Rabu, 01 Juli 2015

Tjahjono Widarmanto: MATA AIR DI KARANG RINDU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Mata Air di Karang Rindu
Penulis : Tjahjono Widarmanto
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : SatuKata book@rtPublisher.
Tebal : 44 halaman (42 puisi)
ISBN : 978-602-7731-31-8
Pra cetak : PUSTAKA ILALANG
Cover : R.Giryadi

Mata Air di Karang Rindu terdiri atas 2 bagian, yaitu Zikir Langit Zikir Bumi (21 puisi) dan Mata Air di Karang Rindu (21 puisi).

Beberapa pilihan puisi Tjahjono Widarmanto dalam Mata Air di Karang Rindu

MATA AIR KARANG RINDU

Engkau mata air itu
Segala rindu tinggal
di dasar malam
ingatkan sunyi adalah ke dalam sujud

kuteguk mata airMu
tak hanya untuk dahaga
juga membasuh luka
dari karang-karang jiwa

kuteguk mata airMu
agar dinginnya
membangunkan tidurku

kuteguk dinginMu
biar gurun yang mengerak di hati
jadi sabana tempat malaikat
bertukar senyum dan sapa

/ngawi-kauman/saat subuh


TUBUH KAMI MASIH SAJA DIJEJALI BATU-BATU

Di akhir sunyi yang mengendap-endap sepanjang malam
selalu saja kami gagal mengeja tubuh sendiri
hanya batu-batu resah menumpuk dalam tubuh
tsk bisa jadi prasasti sebab huruf tak bisa dipahatkan

jadilah kami musafir bisu yang mengutuki diri sendiri
gagal membaca tubuhnya di setiap malam
gagal menulis catatan-catatan di batunya sendiri

masih juga kami bertanya
                                    : kalau tak mampu membaca tubuh sendiri
                                                Lantas siapa yang harus membaca tubuh kami?

pertanyaan itu, sia-sia yang membentur-bentur dinding-dinding langit

dan, tubuh kami masih saja dijejali batu-batu

ngawi, bumi ketanggi


ZIKIR LANGIT ZIKIR BUMI

     aku berlari ke kamar mandi: serupa hajar mencari mataair
                                                : merindu wudhu

segala pintu kuketuk segala lembah kukeduk
                                                gericik air:, dingin sirami panasku
kemarau dan musim zikir lail-dari langit ke bumi – dari bumi ke langit bergaunglah dalam percik wudlu
:sungaisungai ayat
mengalirlah ke nadi-nadi
berbiak jadi di mataair tubuhku
belah-belah aliri jantungku
                        jadikan syahbandar lalulintas segala sampan perahu
menebas kilat di pekat dari langit ke bumi
dari bumi naik ke langit
: jarum lesak di waktu
            yang mampat
mata pedang itu
jumpalitan-berkilatan di masyhar padang api
: jalan-jalan kembali tegak tak bersimpang
                                    garis-garis itu. Pohon-pohon itu
menegak
                        aku tertusuk di rantingnya, koyak baju, koyak celana
                                                                                    compang-camping usia
lewat wudhu
kuruwat wajah
lari hijrah dari gelap ke dalam gemeratap gairah

namun tersesat
di sisir dingin gemetar dicakar
dalam selimut bercadas
                        : malaikat-malaikat perempuan merobek perutku
Dengan pisau uzur
                        Pohon-pohon pun tumbuh api di daunnya
            Seperti cendawan
Di akarnya kujumpai cermin yang bergerak-retak dalam ricik air
Suara itu, oo suara itu
: “kelak, jika kau tak mampu menetak takdirmu, maka biarkan waktu terus melarikan detaknya!”
                       
bola mataku melompat-lompat mencari jejak di antara sesak kilat yang  berkerak
                        di dinding-dinding kamar yang retak berlubang terperangkap dalam landscap jelaga
            dalam subuh yang aneh

            zikir itu tadahkan di dinding bergetar
                                                “ rumahku pergi ke mana?”
                                                bisikku risau
                                                sambil menatap keluar pintu jendela
                                                :pintu rahasia-pintu usia pintu doa
                                                                                                            zikir langit
                                                                                                            zikir bumi
                                                                                                            mengajakku hijrah
dengan rambut basah
                                                            dengan dada terbelah
                                                            “bukankah surga neraka mengalir di sana!”
aku pun bergegas ke kamar mandi
mencari wudhu di gigir air
namun segala perigi telah kering,
                                                                        tapi, zikir ku tinggal lampau

                                                                                                                                                (bumi ketanggi)


ZIARAH

bertahun-tahun kami selalu ziarah di sini
mengingat-ingat kematian kami sendiri
yang tak sanggup kami lafalkan
sebab lidah telah kelu serta mata berembun

untuk apakah setiap kepergian ditanyakan
apalagi harus disertai air mata?

kami hanya ingin memasuki lorong asing
dengan riang sambil mengulum senyum
namun, kami dapati tubuh telah fana
langit menyimpan rahasia hujan
seperti tanah dan taburan bunga sembunyikan rahasia usia

segalanya akan kembali pada muasal
kembali pada warna sunyi

                                                            :rahim debu!

                                                                                                            (Surabaya-perak)


DARI BALIK MAUT KULIRIK CINTA

telah Kau kabarkan maut mengendap-endap dari jauh
lampu di kamar telah lama padam, tak ada lagi kitab bisa dibaca
semua hangus dibakar detak memburu
                        zikir tinggal kelu
                        tahajud tinggal sajadah
namun, rindu tak tertahan resah
sebab dari balik maut kulirik cinta

mari, renggut jiwaku
biar aku berulat di mawar cintaMu

                                                                                                                                Tlatah kauman


JEMARIMU MENGGARISKAN PETA-PETA DI DAUN JENDELA

jemariMu tak putus-putusnya mengirimkan hujan
untuk mengusir kemarau di bilik-bilik pertemuan kita
cuaca pun mengatupkan pintunya memberi waktu pada hujan
menyiramkan sejuknya di kuncup mawar di rongga hati

kau menyapaku dengan bahasa diam yang indah
mengajak bersenandung dan mataku khusyuk
menyerap cahaya senja yang kian ungu
dalam bilik ini telah Kau tunjukkan panorama semesta
terlukis di pundak cakrawala segala pelangi
dan seribu harum dikecup kupu-kupu

jemariMu menggariskan peta-peta di daun jendela
tempat segala taman penuh sulur dedaunan
bersama pagi menetaskan kristal embun di sayap tekukur

sisa percik rembulan kemilau oleh bait-bait doa
dibawa semilir angin yang lena
untaian zikir yang habis dieja
            di bilik ini, sejenak sebelum waktu beranjak, Engkau kirimkan kecup

                                                                                                                                tawangmangu-sarangan


BERSIMPUH DI SERIBU SUBUH

aku ingin terlimpuh sehingga lumpuh
sampai sujud ini Kau peluk
                                    : “sudah aku lewatkan pasrah patuh beribu subuh
                                        zikir berduka, syair yang bulirkan air mata
                                                basulah segala peluh, hisaplah segala keluh

aku terus bersimpuh, telimpuh hingga lumpuh
“Kau lihatkah lututku lunglai, beringsut, menggelepar seperti ikan di kailMu”

seribu subuh tetap terlimpuh
kupukul-pukulkan kening untuk tabuh memohon simpuh

                                                                                       ngawi-bumi ketanggi


DI SEBUAH SENJA

termangu mendengar langkah degup matahari mengejar usia
angin tak sanggup bergerak sendu, ingatan mengungu
ketika sampai di batas senja, tubuh tinggal remang
tak lagi sanggup meratap
jadi kanak-kanak kering kurus dihisap bayang-bayang

O, rasa rindu merenung, berikan aku peta biar kucari kitab
Yang menorehkan namaMu, agar bisa kueja dengan lafal senyaring terompet

Awan melayang bagai dendam dalam ingatan. matahari bergegas pergi, cahaya-cahaya biru segera runtuh, bayang-bayang makin hitam, tapi telah serupa hantu

O, waktu, beri aku mantra dan bahasa agar bayang-bayangku sampai pada senja untuk bercakap denganNya

Ngawi-masjid kebonsari


TANAH  LIAT

aku hanya tanah liat
tembikar tempayan rapuh
sekedar topeng kosong
engkau hembuskan hidup
lebih sekedar kuasa kata-kata

aku hanya ruang kosong
musafir yang selalu datang
terlambat dari abad lampau
dengan mata selalu tergenang
pandangi Engkau serupa kanak mengharap permen

engkaulah gembala itu
bernyanyi dengan seruling merambati hati
nafas nadaMu berhembus dari langit ke laut
melanda segenap pantai dan bergaung di lembah-lembah

sunyi
aduhai, Engkau Penggembala, aku sapiMu
ditenung siul serulingMu
merambati dinding-dinding beku
dilekuk sepanjang nadi

ngawi-wareng


SYAHBANDAR

ini dermaga asing, syahbandar tak tercatat dalam atlas
tak ada lambai tangan, tak satupun pengantar apalagi kecupan
tak juga feri kembali, hanya kabut menampar-nampar buritan
lokan-lokan tertinggal di pasir tak satu pun nelayan menarik jala

langit serba merah menyimpan bilik-bilik rahasia tempat sembunyi matahari
hanya ngeri tak berkata apa-apa. Bau keringat dan sisa airmata bergetah
di tengah pasang gelombang kian renta di bawah kolong langit gemuruh
namun, tak satupun terjaga juga saat pasir di gerus gelombang pasang

Surakarta-ngawi


GUGUR BADAI

jarum arloji menusuk-nusuk
: kaukah yang terlambat
terjebak dalam sangkarut  tanda dan gugur badai?

genangan air dan selokan
menyimpan ketakutan
saat lagu, baitnya hampir usai
kunang-kunang kehilangan cahaya
ketika hujan tak juga reda
dan malam takjub, pada gulita

                                                                        di pasar wareng


JENDELA

                                                            jendela kamar selalu terbuka
bisa kutatap kelebat waktu lewat
isyaratMu menegur diam-diam
mengabarkan ada tamu akan mengetuk pintu
mengajakku menghitung helai uban di kepala
lantas membujukku bergegas masuki sebuah perahu
berlayar menuju dermaga baru
tanpa sempat bercermin dan membasuh muka!

bantaran kali solo


TAMSIL KUPU-KUPU (1)

resahku larut gugur bersama ranting
bisikMu dikabarkan rumput dan jemari

di kejauhan malaikat bergaun putih
berlari-lari melintas taman tanpa tepi
di batas langit kepak burung mematuk bayang-bayang

“mengapa Engkau tak kembali atau skedar menengokku?”
            “tak tahukah Engkau aku berdebar menantimu?”

            (akulah kupu-kupu itu terpukul bau wangiMu)

                                                            Ngawi, klitik-ketanggi


TAMSIL KUPU-KUPU (2)

sepasang kupu-kupu letih beriring

: aku ingin kembali menjadi ulat
tidak terbelenggu indahnya warna sayap
ingin kembali berumah dalam kepompong
agar lebih arif menyimak musim!

                                                                                                                Ngawi, wareng


Tentang Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto lahir di Ngawi, 18 April 1969, bukunya yang sudah terbit antara lain : Umayi (Antologi Puisi 2012), nasionalisme Sastra Bunga Rampai esai sastra budaya (2011), Drama:Pengantar dan Penyutradaraanya (2012), Kitab Kelahiran (antologi puisi 2003), Kubur Penyair (antologi puisi 2002), Di Pusat Pusaran Angin (antologi puisi 1997) dan puluhan buku antologi bersama. Menulis sajak, cerpen, artikel, dan esai di berbagai media, antara lain Horison, Basis, Republika, Kompas, Suara Pembaruan Jurnas, Koran Tempo Koran Sindo, Jurnal PERISA (Malaysia), bahana (Brunai darussalam), dll. Seringkali memenangkan sayembara dan  lomba penulisan baik tingkat nasional dan lokal. Beberapa kali mewakili Indonesia di forum sastra internasional dan pernah meraih penghargaan seniman dan budayawan Jawa Timur di bidang kesasteraan. Selain menulis juga nyambi menjadi guru dan dosen. Dalam waktu dekat akan meluncurkan tiga buku terbarunya, yaitu kumpulan telaah sastra, buku cerdas menulis, dan antologi puisi. Email: cahyont@yahoo.co.id. Hp 085643653271


Catatan Lain
Pada awal buku ini, dibuka dengan Salam Penyair, yang ditulis agak panjang. Pada bagian kata yang saya suka adalah “Puisi adalah ikan dan kehidupan adalah kolam. Kedua-duanya saling bergantung. Kedua-duanya berkelindan dan berselingkuh. Tak cuma saling bergantung, puisi maupun kehidupan menuntut penafsiran. Setiap penyair menafsirkan kehidupan dan menuliskan kembali penafsiran tersebut dalam wujud puisi. Saat penyair menggubah kata menjadi puisi sebenarnya pada saat itu ia sedang menganyam tafsir dan perenungan atas kehidupan untuk dirinya sekaligus untuk pembacanya”.
Buku ini merupakan kumpulan puisi beliau yang ke lima Hampir keseluruhan puisi buku ini bernuansa religi atau sufi. Beda dengan dua buku beliau yang pernah saya baca sebelumnya Kubur Penyair dan Kitab kelahiran. Lebih matang dan sarat perenungan-perenungan tentang hubungan vertikal dengan yang di Atas.Dalam buku ini di bagi dua bagian. Pada bagian pertama di beri nama  Zikir Langit Zikir Bumi, terdiri dari 21 Puisi. Pada bagian kedua di beri nama Mata Air Di Karang Rindu pun berisi 21 puisi. Sengaja penyair tidak menulis penanda tahun pembuatan puisi. Tapi di akhir buku ada catatan kalau sebagian puisi-puisi dalam buku ini di publikasikan dalam kurun waktu 2011- hingga paruh 2013 di berbagai media massa, antara lain di Horison, Basis, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat dan Jawa Pos.
Yang menarik di dalam kumpulan puisi ini, ada beberapa puisi tipografi yang ditulis tidaklah lazim, terutama pada puisi yang berjudul Mata Air di Karang Rindu. Pada bait pertama tipografinya rata ke samping kanan dan di bait kedua tipografinya rata ke samping kiri. Begitupun tipografi  pada puisi Zikir Langit Zikir Bumi, mungkin sebagai nilai tambah estetika dan keutuhan sebuah puisi tanpa mengurangi aspek tema, diksi, rima dan gaya berkarakter dan memiliki daya tarik sndiri di dalam menikmati puisi puisi ini
Secara keseluruhan kumpulan buku ini layak mendapatkan apresiasi secara diksi, metafora, gaya tulisan dan terutama nilai renungannya. Tak heran jika Puisi Mata Air Di Karang Rindu ini mendapatkan penghargaan sebagai Pemenang pertama dalam Lomba karya sastra dalam rangka Pemberian Penghargaan Sastra untuk Pendidik pada tahun 2014. (Fevi Machuriyati)

4 komentar:

  1. terimakasih mas Nahdiansyah, Bila banyak kurangnya dalam catatan mohon dimaklumi. Sebab masih belajar. Salam puisi... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weh, catatannya bagus, saya aja sering tak punya ide harus nulis apa.... O iya, baru ingat. Pada puisi berjudul "Tanah Liat", bait kedua, kalimat 'terlambat dari abad lampau' emang diulang dua kali ya Mbak? Trims.

      Hapus
  2. yang benar cuma sekali. bisa di revisikan mas Nahdiansyah?, terimkasih koreksinya. :)

    BalasHapus