Rabu, 05 April 2017

Refdinal Muzan : SALJU DI SINGGALANG


Data buku kumpulan puisi

Judul : Salju di Singgalang
Penulis : Refdinal Muzan
Cetakan : I, 2013
Penerbit : AG Litera (CV. Alif Gemilang Pressindo), Yogyakarta.
Tebal : vii + 210 halaman (126 puisi)
ISBN : 978-602-7692-81-7
Pengantar : Rusli Marzuki Saria

Beberapa pilihan puisi Refdinal Muzan dalam Salju di Singgalang

Sufistik

Bila puisi itu menghilang di tengah kabut malam
hamparan mana pada hati ia mendampar?
genangan rindu cinta
Luka, atau ternikmati sepenggal dosa
mengais sisa di kedalaman
mengetuk sapa dari pintu ke pintu
tajam nanar tatap mata
bukalah kembali catatan langit
sedari dulu kucoba menitis pada seorang Rahib
yang menghening cipta di sebatang pohon
kutelusuri jejak seorang sufi yang bermukin di goa batu
dan kutitipkan gelisah di persimpangan jalan
membelah rembulan,
menyalakan api unggun di tengah malam
bersama denting gitar dan lolongan hati srigala
ketika semua kembali, kitapun merasa
Tuhan yang berumah di dada
kita sendiri

30 September 2011


Salju di Singgalang

Rintik angin tiada henti membelai
kita dapati sepinggang gunung dan pagaran
segala curah terhimpun dari langit
Geming suara diri membalur bersama ufuk
dan kaki-kaki selalu tabah menebar benih

Di sinilah tumpah, katamu serangkai bait yang tak pernah mati
mengalir di sungai-sungai nadi
Ketika semakin erat di buhul tali tuk berpegang
meyakin selubuk dalam segala jernih sauk di tangan

Singgalang, bila nyanyian pendaki hanya tinggal kenangan
bukankah telah kita simpan selaci janji merentas musim
silih dan datang
Meski seok kaki tak lagi menjejaki
kau masih selalu tegar menatap langkah-langkah kami di sini
Menghimpun segala doa sebelum segala tiada
menggetarkan mata di selaput kabut nanar pandang
Meluruh buih di liku arus seribu kali
dingin menyekap sebuah sujud di atas batu
Di puncakmu itu sekali hadir
berselimut salju

12 Juni 2013



Terbang

Seketika langit adalah juga sayap-sayap yang mengembang dalam cakrawala
Lepas melesat dan angin menghampar dalam deru
dalam gemuruh dalam riuh-riuh tak bertuan
Segerombolan biru pekat melanglang
bersama elang bersama burung bersama jiwa-jiwa melepas
duka terkungkung

Di atas puncak bukit cadas, tak ada awan menepis ragu
semua terdiam dan bertekuk dalam hening
Menyatu bagai simponi mengalun di panggung langit
Tajam sorot mata menggamit diri tuk selalu percaya
dan pekikmu membahana dalam gelegar menyayat luka

Inilah matahari yang kan membawa singgasana cahaya
telah berjuta mil perjalanan selalu saja ada yang terkapar
dan tertatih menghitung hari
seperti kembali membuka awal halaman buku
sedang perjalanan waktu melesat tak menunggu

Ya, di sini aku percaya
dan selalu berusaha terbang
di kedalaman bahana jiwa.

12 Februari 2012


Malam di Jam Gadang

Sececer langkah telahpun menelusuri jejakmu yang jenjang
masih tersisa menghitungkan napas di sela riuh dan redam
suara-suara yang kau simpan
wajah-wajah yang menatap
dan gelaran sepanggung mimpi-mimpi
yang berjejal

Kitalah sebuah taman tempat berhimpun segala kenang
di ceruk matamu yang lengkung telah kutanam
sesubur julang dedaunan yang hijau
wewarna selaksa puspa
dan bangku-bangku yang masih setia menyimpan
dan menunggu

Di ketinggian lengkung sebuah tanah
dulu sering kita menghitung kerlap lampu-lampu malam
dan rumah-rumah di pinggang Merapi dan Singgalang
seperti kunang-kunang bertebaran melengkapi langit
dengan sebuah malam perlahan hinggap
di tungku sepi dingin yang memanggil

Adalah aku masih melindasi seputaran pendam
dentang Jam gadang menghitung malam
gemakan sebuah jarum waktu
Mungkinkah kau di situ

8 Juni 2013


Ambigu

Tak
Tak jua terselam sekilau caya semakin retak
Lelap melena menapak di pusaran angin layang sejenak
Memagut hujan, membalut asap, menitikkan puri
di puncak gunung sepi

Tak
Tak jua melaras gema lepas di tebing batu yang sesak
sahutan menukik hinggap di ujung cemara berderai
Kitapun berlarian bagai bocah menjuluk layangan putus
sedepa penggalan ia tersangkut di ubun waktu
yang pupus

Tak
Tak terbaca sekeping hati yang berserak
Beranda tua,dinding kusam, rumputan liar merambat
dan jaringan lelawa pekat di gerbang rentang
lama sepi tiada singgah
bersemayam bersama lumut semakin megah

Tak
Tak ada nafas ruang membagi hanya sesak
mendaki denyut diatas pelana angin
pelarian terkunci menepi
sebatang pohon tak lagi rindang
kilat menyambar ujung dan membelah
terpaku geming ingsut begitu entah

Tak
Tak kutahu dimana mengata tidak
ragu terbendung muara bah menggejolak
masih saja jarak mengalun isak
bila atma melupa jangan
dan
tak

14 Mei 2012


Menepi

Di pelayaran ombak bukankah sekali waktu kan menepi
Riuh hati yang kita rumahkan
saat tengadah tangan adalah julaian vertikal
menembus ruang dan waktu
Selimut itu merangkup gigil yang kau tahan
atau butiran salju perlahan turun sebagai redup
kala gersang dan kerontang

Biarkan sejenak liar yang mendampar
hingga gelora itu perlahan reda dalam amuk
berkesudah
seperti derai buih yang terpecah karang
seperti prahara yang menjinak dalam dekapan Maha

Keterasingankah yang telah terjejaki
satu persatu dahan-dahan yang kutemui
satu persatu butiran itu semakin berkilau dalam sepi
pada sedalam denyut mendekati

Berikanlah secercah sinar ya Tuhan
Bila dalam pekat gulita yang terlangkah
ada kehilangan bentuk dalam arah
Dari setapak kumelamat, ada selangkah Kau mendekat
Dari seayun melangkah kaki, ada derap Kau berlari

Di pelayaran ombak hamparan itu masih terberi
biarlah semakin betah ku di sini
sebagai perajut desir menujuMu
abadi.

27 Juli 2012


Insulinde Senja

I
Mana ruang kita hadir kala kaki di sini menjejak
menghirup langit
untuk kembali menjelma sepasang burung
dalam sebuah kurun yang beruntun

II
seberkas nafas baru saja tersimak
melengkapi teduh semayam riang
Kaki-kaki kecil yang berlari
kecemasanmu menghampiri
kau menjadi pagar
gelombang pasang

III
tidak lagi mengayuh angin
satu persatu lelah bersandar
arti sebuah rampung
akankah bersadar

IV
ada terhidang selaut cakrawala
dan jingga mejadi tangga
persemayaman catatan musim
sebelum lelap dan malam
merangkup kita

18 Januari 2013


Perempuan Bersayap Ombak

Meliukan waktu dalam lekuk tubuh musim
Ada yang terkapar tanpa seucap debar yang merintih
Cuma bisik pasir dan jejak-jejak kaki menghitung hari
Atau debur yang tersangkut di ubun waktu
Agar semua kembali hadir sebagai saksi

Dia tidak pernah sendiri dalam sepi yang mengunci
Angin begitu membelai tak ditahu penghujung usai
dan kita selalu menempuh sebagai perangkai
atau si peninggal yang menghitung sesal

Dentuman karang tak menghinggap untuk sebuah tepian
Semakin kau kokoh menerjal langit tak berpalang
Isak ombak tak meniris di sayat luka yang kau tampis
semakin membawamu terbang menjadikan sayap
untuk kau bertahan

14 Oktober 2012


Bacakanlah Kekasih

Bacakanlah kekasih
Bacakanlah selafaz zikir yang membuatku sejuk
menempuh jalan
Semua telah kita berikan pada nasib
sebelum langit berceceran jadi atap yang tiris
Tak perlu lagi seteduh tempat tuk berlari
begitu telah kita lengkapi tahun-tahun yang jurang
menimbun tasik dari gundukan pasir di tangan
berpegangan ketika malam-malam
menjadi pedang yang memisahkan

Tak perlu membalut semua dengan tangis
Bujuran kaku, genggaman tangan telah menjadi unggun api
di atas dataran sebuah lembah
saat "Auld lang Syne" semakin menghanyut di arus gitar
seperti dulu kupetik
sebelum cahaya kunang-kunang menayangkan
dongeng-dongeng sebelum tidur

Inikah puntung terakhir yang kita padamkan
sebab gelap yang pekat masih saja menjadi daun-daun
menyemaikan embun
kulihat sebutir bintang begitu pasi dijerang mentari

Ya, kekasih. Bacakanlah
bacakanlah tentang sebuah rumah pohon di tepi pantai
Tempat dulu kau menghimbau saat aku terdampar
dengan sejuta luka
Puing demi puing berbetah kutambal
reruntuhan tak pernah menjadi akhir sebuah sudah
selalu kita tampik jenjang demi jenjang sebelum
puncak menara itu hadirkan titik semakin jelas di ketinggian
Kibaran anak-anak rambutmu semakin melayarkanku
helai demi helai

Jangan , kekasih
jangan kau baca sebuah nama di atas batu nisan
sebab seekor burung gagak yang tadi hinggap
telah melengkapi sebuah duka
untuk kembali terbang menukik cakrawala
menebarkan aroma sepenggal doa
yang kau bacakan

21 Januari 2013


Sahabatku Yupnical Saketi

Ada genderang yang seperti bertabuh di kejauhan yang kita jangkau di selembar awan
Dan kulihat begitu simak rindu yang kau untai akan nyanyian sebuah bukit, semedi sebuah ngarai dan klenengan ganto di leher pedati yang menikam malam
Kutahu sepucuk jambi sembilan lurah dan kulihat jejak-jejak pendawa yang terlepas dari puncak gunung
di belantara senyap kita mukimkan sebuah risalah yang sejatinya harus berumah
Bila sedenyut nadi melemparkan sebuah jala dalam sisa langkah sepanjang sungai, dan kutahu kita masih melukis jernih di bening batang hari, di sebuah batu besar yang menepi ketika kusahutkan gema di perawan hati
Kau menoleh dan sejenak merapatkan dengar di rekah tanah merah, di pagut batang-batang kayu dan sela akar yang telah menjadi altar bagi sukma kita
Bila himbauan Merapi dan Singgalang menggaung di rongga dada
telah kutitipkan dentang jam gadang di ribuan salammu di ribuan cahaya menggilas kita
Bandulnya semakin tua menghitung detak hati pengelana
namun semasih tegar menopang langit di puncak-puncak atap rumah baanjuang
disertai sahutan puput batang padi, tingkah bansi dan talempong
harmoninya mengalir di anak-anak sungai jantung sepucuk jambi
Duhai Puti, selalu kusimak namamu di rangkaian majis aksara yang berisi
Aku semakin menyelam dan terhanyut di pusaran warna yang menyimpan misteri
Dan salammu sungguh membanggakanku
di pagi ini.

7 Desember 2012


Malam yang Kutebas

Malam yang kutebas makin berceceran dalam ranah tak bertuan
Inikah ruang akan kembali kau hadirkan
bila sepi kembali menggema di puncak menara-menara batu
Dalam sapuan genta yang menggelombang
burung-burung kembali terbang meninggalkan sarang
sesaat di sayap yang sama
sesaat di riuh pekat tak beda
sesaat di suara beraroma doa

Tuhan, Engkau telah menggetarkan sebait tanda di dada-dada pengembara
Tentang sebuah mukim sebidang hati di luas samudera
ketika langit semakin rendah
Tangan-tangan menjangkau menambat seutas daya
kegamangan pada deru angin dan risalah sebuah mohon
Lalu mereka menjelma seketika jadi rahib yang mengheningkan cipta pada sebatang pohon

Aku semakin merangkak menekuri sebilah cahaya
Jika keletihan membaluri dalam kamuflase permainan warna
Aku telah memejam menjemput seberkas sinar putih yang senantiasa Kau tanam
Meski merah bercucuran dalam sebait luka
Aku akan kembali menebas malam
menguak pagi di hati
yang selalu mencari

5 Januari 2013


Sang

Menitislah kau seperti rumput liar
desauan yang mencambuk dalam ruang yang bergetar
bila gapaian terbentur dalam dinding kusam
seribu angin dan kaki seribu ingin kita mencari

Dan Sang, apa yang tersembunyi tiap kata menghampiri
hanya mengalir dan meliuk mengairi nadi
setetes tadi yang menyerap telahpun membasuh
sesaat segelombang sekat mengabur pandang

Mungkin semua akan berlalu tanpa hirau yang peduli
searoma napas masih tertinggal di jejak yang tikam
akan kembali mengemas menjadi butiran kristal
atau kita tak kan pernah tahu sebagaimana berasal

Sang, seperti dulu dan kini yang kau bentang
berlapis warna dan swara tak kan menghadang
tak hirau kata pergi dan datang
seperti orang-orang yang menyebutmu
Sang

16 Maret 2013


Seraut Nama

mungkin akan kembali mengeja jemari waktu
dalam sesekali tandang yang kita bentang
Seperti pertemuan yang kau tanam di sepi ilalang
sejuang untuk terus bertahan dalam bagian

Ya,perlahan semua seperti bandul jam yang berdetak
selalu kita menghitung meski di lingkaran tak beranjak
cuma kulihat semakin rabuk termakan isak

Kau datang, sesayup mata masih hinggap di telaga yang lindap
Tak perlu mungkin seucap kata bila sorot telah terbaca pada mata
tinggal lagi kita melembarkan tentang dulu dan kini
dalam sebuah jilid yang dimengerti

Selalu kutahu bila sebuah sahut yang terpendam
adalah suara-suara yang menggetarkan ruang menjadi
tata seribu warna seribu cahaya
dan seraut nama

19 April 2013


Musi yang Kau Beri

Begitukah sebuah arus yang pernah sampai
hingga kubisikan juga bila di sini telah muara
Dalam hanyut sebiduk perahu tak berdayung
lalu kau menjelma gelombang
menuju arah tuk berpegang

susurilah seliku darah dan tepian-tepian yang mendebar
Di bumi seliuk Gending Sriwijaya
engkau telah menjadi lorong dalam sebuah senja
yang berkobar
Bila burung-burung selayang gendang di atas muka air yang tenang
sahut menyahut gema perlahan turun
di rentas puncak bukit si Guntang Mahameru

Sepanjang pesisir pantai akankah segala terdampar
selegenda Pulo kemaro
Gundukan tanah yang perlahan menjadi nisan
sekisah yang tiada sampai di jalan kosong
sebab kesetiaan itu tercemaskan seperti Tan Bun Ann

Dan akupun telah menjadi arus
sejenak tadi
dalam Musi yang Kau beri

20 April 2013


Tengadah

Di langit negeri, awan itu tak selamanya berarak segumpal curah yang tumpah
wajah-wajah semakin berhamburan dengan leher yang tengadah
menjelmakan tetes demi tetes duka yang beku
sejenak memayung untuk kemudian berlalu

Di langit negeri, ada semakin tak mampu menampung curah
berkelebat seperti desingan peluru di udara
menggenang turun di bendungan yang bobol
menjadi seisak telaga yang memprahara

kau ketuk pintu-pintu dengan seribu janji yang berkarat
Pada selahan ambisi yang semakin rakus
Untuk kemudian bertanam di ladang jiwa-jiwa
yang polos dan tandus
melengkapi singgasana dengan sejuta tumbal
dan kata yang tak ada sesal

Di langit negeri, sejuta panggung telah menjadi
lakonan sejuta badut dengan sejuta topeng yang bopeng
Untuk berjuta mata dan leher yang tengadah
perih yang sendiri

20 April 2013


Republik Luka

Sebuah bingkai kaca sepertinya tak lagi jernih melihatnya
Sebundar lobang menembus menjadi retak di garis-garis terbaca
dan orang selalu tak tak pernah tahu siapa melemparnya
seperti permainan dadu dalam pesta
seperti sebutir peluru tak kenal pemiliknya.

Pandang ini menjadi bimbang mengarti sebuah peta
meyakin sebuah suara seperti saat pilkada
Tapi masih teraba sebuah detak jantung yang terjaga
agar tak sekarat memupus lusuh sang saka
sebab tetesan telah mengaliri mata air
dan airmata

Segumpal daging dalam dada
sering menjadi hitam disengat kilauan tahta dan wanita
Sehembus napas sering menjadi tuba di sekitar gayut yang mendamba
selangkah kaki sering meninjak tengadah tangan menampung hampa
sepaling senyum sering cuma topeng sembunyikan dusta
semanis kata sering hanya buai untuk bisa melintas di sana
Setanah air sering kita simak
menjadi republik yang luka

Di sebalik kaca
darah itu semakin menetes di merah yang memudar warna
Tulang itu berserak di putih yang melusuh buih

12 Mei 2013


Bukankah Pada Diam

Bukankah pada diam semua terkatakan
Akan sesayat rindu yang menggelepar
atau sangsi bagi sayap asa yang kau tumpahkan
Sebagai penjejal waktu kadang kita terseok memanggul mimpi yang putus
Lalu menghadirkan lengang di persimpangan
Matahari, rembulan dan bintang seolah berkejaran

Bukankah pada diam masih kita dengarkan
"hati ini telah kita genggam"
dalam cermin yang membelah muka
kita tersuruk dalam ruang seribu kaca

"Carilah satu di antara semu"
Kita berpaling meliukan langkah
Menggapai dan memilih dengan mata hati
Garang tak henti menggapai, juga bayang
yang terpecah melukai

"Aku di sini, tak pernah jauh darimu"
Suara yang mengakhiri kita untuk bermukim
Menaburkan bernas dalam bulir yang meluas
entah di detak jantung mana saat lembut tanganmu
kembali kuraih
sebab jarak masih membentang jurang
dalam diam

17 September 2012


Buat E

Matamu yang bundar masih seperti bola menggelinding
Tinggal lagi kita mencari sebuah dataran
Ketika hujan kata-kata telah menumbuhkan hijau
di waktu yang kita kejar
Aku tak mampu lagi sembunyi
di seberang jalan yang petang
Bila panah itu semakin menembus
meraba detak dada mimpi yang genting
Kita akan kembali seperti merpati
yang terluka

Sebuah tempat yang kau ciptakan
Derai-derai rambutmu bagai berjatuhan dari atas bukit
Melewati beberapa lompat bebatuan
bergemuruh dan pecah menjadi genang
Di sini aku rendam dalam diam
percik airnya melukis pelangi
jadi abadi

Jangan lagi kau berlari menembus hujan
sebab bola mata itu
telah menjadi matahari yang kita sulam
padamu E semua semakin dalam

16 Oktober 2012


Menyelami Sebuah Sungai

Menyelami sebuah sungai
arusnya adalah aliran darah di nadiku
Menyatu seperti hulu yang menunggu
mengakhir seperti hilir yang getir
Tapi tak pernah ada sahutan yang mesti tersesal
Dalam gelombang di riak pasang
Dalam kering di susut surut
terik perlahan terpanggang
Gembur tanah lempung, ronta ratusan ikan dan udang
aku jadi sebuah lokan yang kesepian

selalu ada malam yang membelah
Di remang tanah tepian, lampu-lampu kapal
tak pernah henti menghimbau rindu untuk pulang
Bersahutan tenung dalam sebuah diam
saat temali merapat dan gaung klakson semakin lusuh
dalam gema tertelan mendung

Aku masih ingat riwayat sebuah perahu yang tertambat
Saat mimpi-mimpi menjadi pesisir yang pelesir
Lalu kau masih menyimpan seribu dayung
hingga sebuah ujung melayarkan semua
kukatakan bila ternyata aku telah menjadi sungai
dan menyelam bersama darah
di kenangan

1 Desember 2012


Tentang Refdinal Muzan
Refdinal Muzan lahir di Padang 15 Mei 1966. Mulai menggelutipuisi sejak SMA. Lulusan FPBS IKIP Padang, pendidikan Bahasa Inggris (1997).Kumpulan puisi tunggal perdananya Mozaik Matahari (Penerbit FAM Publishing, 2012). Selain itu puisinya tersebar di berbagai antologi puisi bersama, juga termuatdi Koran Rakyat Sumbar, Padang Express, Haluan, dll. Sehari-hari berprofesi sebagai tenaga pendidik yang mengajar Bahasa Inggris di SMPN 1 Sungai Pua, Kab. Agam, Sumatera Barat.


Catatan Lain
Ada 5 testimoni yang mengiringi kelahiran buku ini, yaitu dari Denni Meilizon, Iyut Fitra, Erison J. Kambari, Ibramsyah Amandit, dan Mohammad Isa Gautama. Kata Denni Meilizon: “Sajak-sajak dalam buku ini bisa jadi penghormatan penyair terhadap kemanisan kata yang bermadu-madu.”

            Bagi saya pribadi, hal yang menakjubkan dari buku ini adalah cover bukunya. Hehe. Imajinasi tentang adanya salju yang melingkupi rumah gadang benar-benar ajaib untuk anak tropis seperti saya (atau untuk kebanyakan orang Indonesia). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar