Minggu, 05 November 2017

Iman Budhi Santosa: DUNIA SEMATA WAYANG


Data buku kumpulan puisi

Judul : Dunia Semata Wayang
Penulis : Iman Budhi Santosa
Cetakan : I, Juni 2005
Penerbit : Hikayat, Yogyakarta.
Tebal : xvi + 150 halaman (127 puisi)
ISBN : 979-99845-1-3
Pemeriksa aksara : Zulaicha Hanum, Kholiq Imron
Desain sampul : Syamsul Falaq
Tata letak : Rahmat Janary
Prolog : Emha Ainun Nadjib
Epilog : Linus Suryadi AG

Beberapa pilihan puisi Iman Budhi Santosa dalam Dunia Semata Wayang

LELAKI EMPAT PENJURU
                                                Kepada : ULP

Seorang lelaki Sumba lahir kembali di Jawa
memanggang diri, menggunting alamat pulang
menuntun puisi pandai mengundang
dipikul juga rindu murid berguru
ditantang pula cinta mengusut makna
            : Kalian yang suka bertinju
            boleh jadi besar dalam debu
            setelah berulangkali jatuh
            bergantung pada sepasang susu

Maka berteriak ia menuding
setiap penjuru. Mengajak musim
mengumpulkan anak terbawa angin

Dari setumpuk Koran (wajahnya setiap malam)
tak terbayang kapan ini berakhir
Karena senyumnya hanya pertanda
satu sajak menggoda benak penyair
           
Ia kini
hidupnya ada
            di setiap penjuru
            empat penjuru
            membagi dirinya
            medan debat
            dan seteru

1974


SEHABIS KUTUTUP PINTU

Sehabis kututup pintu dan terdiam sesaat
hanyalah diriku, segalanya terbenam dalam jiwaku
begitu cepat, atas nama-Mu, atas nama Kesunyian
seluruh kehidupan menyatu, kehidupan dengan
    bahasa satu
ketiadaan yang kekal berbunyi: Mu

Di mana hari-hari yang lampau kutinggalkan
kenapa masih juga di sini, membuktikan
nama-nama yang sama di luar pengamatan, kembali
terbit untuk tidak mengecewakan perhitungan zaman
   yang telah pasti

Sehabis kututup pintu dan terdiam, sesaat
tampaklah diriku, ada
di mana-mana
di setiap benda

1969



PENATAH BATU DUKUH UDANAWU

Melalui serat batu, ia berkisah
ada celah yang membuat dunia terbelah

Melalui tatah terasah, ia menakar otot palu
mengolah lekuk-liku, getar sukma pertapa
penjaga setua ribuan batu lembah Udanawu

Dengan tangkas mereka membuat cadas-beras
berbicara, batu hitam memasuki dunia
tapi, ia tetap bersila (seperti gunung Perahu)
mengukir hidup serupa meru
menunggu wangsit
dalam kidung yang wingit
seperti pohon randu
menggugurkan daunnya
menyongsong bunga yang segera terbit

1997


KINANTHI BESALEN PANDAI BESI

Kepada tungku, kepada palu
baja sedia bersekolah. Mau berguru
berpijar menakar desis ububan
ikhlas tinggal bahan
kembali pada logam
kembali pada diam
menunggu lekuk-liku ketetapan empu
menuju bangun-bentuk landasan perilaku

“Kuhidupkan kalian lewat air dan api
kubuatkan engkau nama dan manfaat
untuk apa lahir dari besalen ini.
Tapi jelas bukan pedang belati!
Sebab kerabat kami bumi, petani
perang tak terbayang
terhadap belalang serta miang padi
menebang batang pisang, membelah kayu
atau merumput memanjakan sapi,”
bisik Si Tua pelahan
seperti dalang pada jejer pertama
sebuah lakon yang dimainkan ribuan peran

Lima tujuh hari sekali
kendati pasar sepi, desa susut tercuci
masih terdengar kesiur trembesi
senandung kinanthi, kasih pada besi
mendinginkan besalen ini
sebelum lunas retribusi
atas panen dari pundak dan telapak tangannya sendiri

1993


LEGENDA JEMBATAN JAHANAM

Ada pesta di kolong jembatan itu.
Kendang rebana, suara-suara maya
muncul dari karat pilar tuanya.
Rumpun bambu, batu-batu
memantulkan tangis kedasih
setiap menjelang senja
seperti menagih
sesaji darah manusia.
Ada dingin mengajak, dan malam
anggarakasih berselimut kabut basah
menyebar kembang selasih
kesukaan arwah. Tapi sopir tua itu
justru mengalungkan tasbih
melihat gadis berpakaian ronggeng
menari di atas bendul besi
sisi kiri. Sekejap kemudian
hanya ricik sungai yang mengerti
siapakah yang dapat melintas
menemukan cahaya matahari
selain mereka yang ikhlas
meniti jejak Nabi?

1987


SEMALAM DI ASTANA SAPTARENGGA IMOGIRI

Tinggal cungkup setia memayungi
masih saja mendaki bila mendekat
telanjang kaki, sembunyi
di balik seragam abdi kerabat

Tak adakah yang lebih tinggi
dari hamba sahaya
lebih bersahaja dari tahta
menyambut anak-anak zaman yang berbeda?
Padahal Sunan dan Sultan telah bersalaman
dengan jengkerik, dengan burung-burung malam
bersahabat dengan ulat tanah
yang menghabiskan jasad dari sejarah

Aku termenung menyaksikan agathis alba
tirus melengkung, mengepung
Saptarengga, dan warung
menjajakan tikar pelita
semalaman berjaga
menunggu tuah itu menetes
serupa es
membasahi
kerongkongannya

1979


LANGGAR TUA DI PANTAI JUWANA

Azan dan ombak bergandengan
menyongsong malam. Bertahun merangkai
kisah kelapa dan lidi, sambil bertapa
meneruskan hikayat santri
pantai utara pulau Jawa

Papan dan bambu, genting dan kayu
pasir sampai detik waktu
saling berikrar, supaya pantai mendengar
anak-anak mengaji
belajar dan memuji

Di sini Juwana. Angin sejenak reda
laut hilang suara
ketika maghrib mendarat, dan cuaca
menggandeng nelayan-nelayan
berjamaah di bawah lampu minyak temaram
sebelum kembali menjadi ikan
menerima asin garam
rumah kedua
di lautan

1997


KARENA CINTA

Engkau memanggilku dari tahun-tahun yang aman
dari tanah yang betah memelihara rumah papan
dan gurun masih mengisyaratkan hujan
ketika langit semakin tua
mengandung uap musim jagat yang renta

Sepatuh air aku pun mengalir
menawarkan buih, bunga tanah, dan pasir
menghidupkan lumut ganggang
menggamit kalian berani telanjang
mandi sunyi mengurai diri ke berbagai sendang

Serupa kayu aku pun mau
buat pagar atau dibakar. Seumpama lagu
siap dinyanyikan, juga dilupakan
tidak berisik diputar sekali waktu
setelah bertugas menjaga masa lalu

Sahabat, aku datang karena cinta
karena pesan yang tersembunyi di balik kata
sungguh tak membuatku seperti buku tua

1993


MALIOBORO MALAM HARI

Gambar-gambar itu demikian sabar. Menunggu
kita melamar, mendaftarkan potret diri
ke dalam album orang-orang yang sepaham
dengan televisi, dengan keajaiban zaman
dengan halusinasi jutaan anak negeri

Namun pertimbangkan sekali lagi
baik diam atau memasuki
ia tak ubahnya rumah sendiri
menjanjikan kehangatan, misteri-misteri kehidupan
ia adalah altar tempat mimpi dan sesaji dihalalkan

Gambar-gambar tak bercadar datang pergi
samar-samar ada dinding semakin meninggi
seumpama pagar mustahil kalian tak keburu melompati

1991


MELATI BUAT MULTATULI

Lebak membara, tersulut
api nurani Setiabudi
Indo yang melawan arus kali
bayonet yang menikam balik dada Kumpeni

Kebetulan saja aku lahir di sana, katanya
sedang kebenaran ada di mana-mana.
Kulit bukan pula cerminan isi
jadi aku memilih terbit terbaca di negeri ini

Jauh mimpi beroleh medali
bersama kertas tinta, buah tangan sastrawi
mati di mana pun pantas. Kapan pun jadi,
lepas potret diri berbingkai emas
lepas terbilang berdiri tanpa alas
pesan pernyataannya terngiang tandas
            : Bangsa, kelas, dan ujud ragawi
            jangan ampuni kalau menindas
              jangan sebut tamu jika menyatu senapas
Menangisi Saijah dan Adinda
Menghidupi Het Tijdchrift serta De Express
Mengobarkan tiga serangkai : Janget Kinatelon
sebongkah salju indah memancarkan putihnya
ke dalam ucap keringat kebangkitan dunia ketiga
Harganya tercurah luhur membatik cinta
Jazadnya terpendam hancur di belahan bumi utara

1982


RATU SELATAN

Sendiri menunggu kegelapan pantai selatan
perempuan laut, lelah batinmu bersampan
lupa tubuhmu tatahan kulit wayang
berbekal sesaji melonjak bintang-bintang
maka jadilah kau Bintang. Maharani perlambang
kerdip sunyi kunang-kunang di batu karang

Meniti liat ligatnya lidah lelaki
kau Pesona. Tembang sejati, smaradahana
timangan jiwa Sang Dyah Pitaloka
yang haus seloka serta lilit kata pujangga
yang menembus pusar lelaki
dan bersemayam di jantungnya
dan yang pupus porak-poranda
di tangan ksatria Mada

Berderap di atas kereta kuda
dikawal tetabuhan tak kasat mata
menjaga bukit lembah tanah Jawa
engkaulah Sang Ratu. Mawar dupa menyambutmu
di setiap pintu. Namun puteri
jangan takuti anak-anak kami
sepulang mengaji mulut mereka sangatlah wangi
di lidahnya masih bergayut tuah shalawat Nabi

1979


PUISI PAGI SEORANG PENGANGGUR

Tuhanku
hari ini tak ada yang tercatat dalam buku
tak ada ruang yang terbaik buat menunggu
tak pernah lagi hari-hari kuhitung
batu-batu lelap menatap
lewat jendela yang terbuka
terdengarlah senantiasa teriakan-teriakan
gemuruh       roda-roda kehidupan
yang digerakkan tangan-tangan
kembali aku pun mengaca pada diri sendiri
ketika Kau tetap bernama Sunyi
ketika segalanya hadir: puisi
Tuhanku
hari ini untuk pertama kali
kuucapkan pada-Mu: Selamat Pagi
sebab ketika hari bulan terus juga memberi
senantiasa aku pun merasa
hidup memang bukan milikku pasti

1969


KISAH DUKUN TUA PEBUKITAN GIRILAYA

Telah kusalami daun srigunggu, tapak liman
dan rumpun katu yang setia menunggu.
Ribuan catatan tertera di sana
serupa akar wangi yang tersimpan dalam almari
memelihara baju bekas dan kain panjang
yang tak dijamah lagi

Dengan jemari keriput, khasiat demi khasiat
dilepaskan ke setiap kiblat.
Dengan mata tak berkabut, diterima segala duka
yang disodorkan ke pangkuannya.
Dengan bersahaja ia mengajak bersaudara
siapapun mencecap daun sembukan
akar lalang, kulit ketapang
biji mahoni, bunga kemangi
menepati janji
mengawal sanak kerabat
yang hidupnya semakin gersang
seperti pebukitan ini

1998


MALAM PASAR LOAK

Orang-orang terjepit, orang-orang bernasib pahit
membuat sempit trotoar, membangun pasar
pada selembar kain yang tergelar.

Sambil menunggu (seperti rambu-rambu)
semua menghadang, semua merasa perlu
karena buku, baju, sepatu yang ditawarkan
hanya sisa masa lalu dan telah dicampakkan

Bersama lampu minyak, puluhan orang mencari
atau menolak. Kadang mencela. Tak ada yang memuji
sebelum menemukan alasan belanja
sebelum jatuh pilihan yang tertunda-tunda

Padahal di balik karat, di balik warna kusam
ada kalimat, ada sisipan dan warisan
yang membuat sejenak bernafas
ketika saku terbatas (pada suatu zaman)
dan ribuan orang menemukan jalan pintas
membangun kerajaan di sepanjang jalan
hanya dengan menuliskan sejumlah angka
dan tanda tangan yang jenaka
pada secarik kertas yang bermahkota

1996


ORANG-ORANG PERCETAKAN
LEWAT TENGAH MALAM

Dengan sabar dan sekaligus pintar
mereka jaga mesin-mesin itu berputar.
Meronda gigi, rol tinta, bunyi suara
takut semuanya berhenti, dan umpatan
menggelegar di telinga. “Ini sarapan pagi
dunia! Mengerti…”

Matanya bahagia. Menyala, biarpun koran
tak mencatat nama mereka.
Hidup dari kencangnya sekrup, bau kertas
berita-berita cerdas, keringatnya memang untuk malam
penanya tangan-tangan cekatan
selebihnya hanya berisik ruangan
hiruk-pikuk tulisan dan iklan
berebut halaman

Menjelang subuh bangunan sepi
koran-koran dibawa pergi
tak terdengar mandor memuji, kecuali dingin
menggamit mereka menambah panjang
hutang di warung kopi

1996


PENGABDI-PENGABDI TAHTA MATARAM

Dengan surjan biru tua, bersila
luluh merawat takzim
sembah sejiwa
seperti belum ingin, Mataram
terkunci sebagai petilasan. Dan paseban
seterusnya angan-angan

Kenapa menyimpang, mengarang
benteng gerbang penjara mati
tombak almanak luntur dalam almari
hingga percaya dongeng, buah kisah pembarang
rendah lelah abdi
bungkuk sepenuh hati
diikat sejengkal tanah magersari

Bagaimana menjawab, sebelum dekat
seperti api dengan asap
seperti cacat dengan sebab?
Sungguh! Hari demi hari mereka ukur
mujur sekecil apa
hanya terkail selama jauh tidur
seumpama tikar saat digelar
dan istana sekadar altar

Sengaja mereka bertapa
di balik surjan biru tua. Seperti huruf Jawa
tak lagi dibaca; tapi berbunyi
sebagai legenda. Serupa catatan kaki
denyut nadi sendiri
rusuk tempat jantung terdengar ada
alamat kita bernaung, berlindung
pada sebuah peta

1993


DUNIA SEMATA WAYANG

Memburu anak semata wayang
rindu berganti ibu
bertarung sungguh demi selendang
sampai tua minta ditunggu
bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu

Dulu bocah sekarang bocah
tak sanggup menerima kalah
sebentar berani, sebentar sembunyi
mudah mendekat sukar didekati
karena ia tak beralamat
karena ia tak merasa jahat
meninggalkan kerabat tanpa permisi
segan bersurat di mana berdiri saat ini

Selebar apapun dunia
anak semata wayang, kembali juga
ke kamarnya. Lengang dan laba-laba
lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti
mengatakan sepotong lidi
atau bintang yang nekat masuk atmosfer bumi

1987


EKSEKUSI 1983

Seperti menjerit
ia memberi aba-aba
satu kopi pahit.
Tapi sejam kemudian belum juga disentuhnya,
sibuk berlindung dari bayang-bayang toples
perempuan warung yang kenes, poster dan kalender
dan siang pada gelas es

“Malam nanti, aku mati,” desahnya
dengan nafas amis tembaga
seperti ada jarum, melintang
di tenggorokannya

Lalu ia meremas
selembar uang kertas
membenamkannya ke dalam kopi
Lantas berdiri. “Besok sediakan kopi manis,
ingat, satu kopi manis, di sini
dan hitung hutangku selama ini. Mengerti?!” katanya
sambil menancapkan sangkur telanjang di atas meja

Tiga lelaki berseragam
seperti muncul dari angan-angan
tiba-tiba sudah di pintu
dan berseru: “Jarot, kami diperintahkan menjemputmu!”

1983


BALADA PEREMPUAN-PEREMPUAN TERCINTA

Perempuan-perempuan tercinta memaparkan kasih
tatkala kita berkubang darah
di pangkuannya. Semenjak tarikan nafas pertama
sampai terputusnya ikatan semesta.
Melalui tetak tajamnya kulit bambu
maka jadilah aku, seperti kalian
menangis mendengar suara azan
nyaring dibisikkan pada telinga kanan.
Namun serentak pula terpejam
lantaran setetes madu, puting susu
serta kehangatan selimut beledu
seia-sekata menyatakan ada sorga
di bawah telapak kaki perempuan
yang melahirkan kita

Perempuan-perempuan perkasa, berputar
bagaikan jentera. Liat lenturnya
ibarat benang-benang sutera.
Matahari di kepala, bayi merah di punggungnya
Tangannya menari, menyelinap di antara bulir padi
dengan kinanthi mempersembahkan puji
bagi Sang Hyang Seri. Dengan dhandhanggula
Siap menidurkan para lelaki, menggoyang
dangau bambu menjadi seakan beralaskan permadani.
Demikianlah. Ia adalah permaisuri
penyambung rusuk kita kanan kiri
adalah pundi-pundi tempat menyimpan
sejumlah arti. Menjadi bunga
waktu menerima tamu di beranda
menjadi gerimis
di tengah kemarau lama. Garam
bagi kehidupan
gemercik sungai malam hari. Orang pertama
yang bakal menangis, meratapi
manakala kita kembali ke sisi Illahi

Perempuan-perempuan cendekia, memahami luka
lewat gigitan selendang yang terselempang
di pundaknya, terali besi yang tersembunyi
di balik kain kebaya, berates tahun
menjadikannya perhiasan semata. Sesekali
terpakai ikut menyemarakkan upacara
selesai itu tempatnya kembali ke dasar
kotak kayu cendana. Bercampur bau setanggi
tombak dan keris pusaka. Sampai matahari
menghantarkan pagi, satu persatu mereka pun
bangikit dari mimpi. Satu persatu berkeramas
membersihkan diri. Satu persatu berpencar
mengikuti kelapak sayap merpati
melesat mengungkap rahasia langit dan matahari
agar ilmu Tuhan segera menyentuh bumi
agar kata dan angka saling melengkapi
seperti Bima dan Arimbi
seperti Pergiwa dan Pergiwati

Perempuan-perempuan terpana, menganggap Sinta
telah mati di hutan Dandaka. Menuduh Subadra
biang keladi pemberhalaan
terhadap kejantanan serta kharisma
sehabis malapetaka Anjani melahirkan kera
kemudian menyusul Kunthi harus menimang Basukarna
meski ada yang meniru Banowati
malam-malam melompati jendela
pura-pura tertegun mendengar Drupadi
menjatuhkan punagi keramas menggunakan
darahnya Dursasana. Walau sebenarnya mengerti
semuanya tak pernah ada. Kecuali Kartini
atau Sartika. Atau Maria. Atau Khadijah
atau Aisyah. Hanya satu atau dua yang patut
dan bernilai sejarah.
Selebihnya hanyalah rumput
namun mulia, apabila berpaut
menutup kegersangan jiwa kita yang papa.
Rumah sejati bagi para khalifah
selama cintanya terbukti dan menjadi sedarah
biarkan batinnya menari
sesekali kita merendah. Biarkan pula raganya
mencari bunga yang paling wangi untuk istirah
semacam keheningan lembah. Biar di hatinya
hanya ada seorang lelaki boleh berkemah

1985


TENTANG TRAGEDI ORANG-ORANG YANG MENGGANTUNG DI PEDALAMAN WONOSARI

Dengan seutas tali ia membuang sisa kata
dari lidahnya. Menyerahkan leher terjerat
pada dahan akasia, teritis rumah
atau pekarangan sunyi tak terjaga.
Tak ada secarik kertas, pesan selintas
mengapa memilih tercekik
terbeliak dan kalah?

“Bumi tak memberikan tempat. Duka pun juga
tak menyiapkan air mata untuk memandikan jazadnya.
Tanggal dan hari hanya mencatat
ketika tetangga kerabat enggan merawat
ketika doa dan upacara seperti numpang lewat,”
kata orang-orang tua menyampaikan fatwa lama.
Tapi, sepanjang hari, bulan, dan tahun
diam-diam mereka malah antri, susul-menyusul
peduli kayu batu mengumpat, mencerca
kutu serangga menonton dan terpana
bersyukur tak memiliki tangan jahat
yang begitu kejam dan merdeka

1996


Tentang Iman Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. Pendidikan formalnya S.Pb.M.A (1968) dan Akademi Farming (1983). Pernah bekerja di perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dan Disbun Prov. Dati I Jateng (1975-1987). Tahun 1969 bersama Undu Landu Paranggi cs. Mendirikan Persada Studi Klub (PSK). Esainya: Senandung Rumah Ibu (1983), Profesi Wong Cilik (1999), Kalakanji (2003), Kisah Polah Tingkah (2001). Kumpulan puisinya: Tiga Bayangan (1970), Dunia Semata Wayang (1996), Matahari-matahari Kecil (2004). Novelnya: Barong Kertapati (1976), Ranjang Tiga Bunga (1975), Dorodasih (2002). Kumpulan cerpen: Kalimantang (2003). Lainnya: Talipati (features/kisah, 2003).


Catatan Lain
Kata Linus dalam epilog: “Fokus utama pergulatan penyair ini memang mengolah nasib dari tangan Sang Nasib. Hampir semua tema dalam kumpulan puisi ini berbicara dan menerjemahkan ragam nasib hidup manusia. Bila tidak cukup dengan ungkapan langsung dalam aku-lirik penyair ketika menghadapi nasib hidupnya, ia pun suka melakukan identifikasi terhadap nasib banyak orang. Sidang pembaca diajak menyelami nasib banyak orang dari berbagai tingkat sosial, berbagai bidang profesi dan berbagai predikat hidup, berkat kesediaan penyair ini merasuki nasib dan situasi batin banyak orang itu.” (halaman 145).
            Adapun Emha menulis begini: “Di Persada Studi Klub Umbu ‘menggendam’ kami untuk berpacu setiap detik, siang dan malam, saat terjaga maupun dalam tidur. Kami membawa keriuhrendahan dunia puisi, juga kesunyian, sampai ke sudut-sudut mimpi yang paling abstrak.//Kecintaan dan kemabukan dalam puisi merupakan titik berat kehidupan kami. Puisi lebih utama dibanding negara, tentara, universitas, atau segala macam kesibukan dan benda-benda yang berseliweran sedahsyat apapun di sekitar kami.//Setiap kali nongol dari Jalan Pasarkembang ke ujung utara Malioboro sekitar jam 21.00 malam, tangan Iman Budhi Santosa selalu menenteng buku tulis yang berkulit tebal. Sesudah bersapaan dan mengobrol, biasanya ia lantas menyodorkan buku itu kepada Umbu. Sudah pasti, lembaran-lembaran buku itu semakin hari semakin dipenuhi oleh karya demi karya sajak Iman Budhi Santosa. Betapa cemburunya saya. Si Iman baru menengokkan ke arah Umbu saja saya sudah merasa ditinggalkannya setahun. Ia terus menulis puisi dan menulis puisi. Ia memeras hari-harinya dengan penghayatan hidup dan kesetiaan poetika.” (halaman viii-ix).
            Awalnya saya ingin percaya dengan keterangan Linus dalam epilog bahwa buku ini menyajikan 90 judul puisi. (lihat halaman 141). Namun akhirnya saya hitung juga daftar isi dan menemukan 127 puisi. Mendapat jawaban ketika dalam biografi penyair dikatakan bahwa Dunia Semata Wayang memiliki tahun terbit 1996. Kemungkinannya, buku ini telah mengalami metamorfosis dan terbit kembali dengan penambahan beberapa puisi baru. Dan kita pun tahu bahwa Linus menandai tulisannya itu dengan tempat dan tanggal: Kadisobo, 1 Februari 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar