Senin, 25 Desember 2023

Surya Gemilang: MENCICIPI KEMATIAN

 

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Mencicipi Kematian
Penulis: Surya Gemilang
Penerbit: Basabasi, Bantul, Yogyakarta.
Cetakan: I, Juli 2018
Tebal: 144 halaman (98 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Reza Nufa
Tata Sampul: Airawan Ratra
Tata Isi: Farsya
Pracetak: Kiki
ISBN: 978-602-5783-14-2
 
Sepilihan puisi Surya Gemilang dalam Mencicipi Kematian
 
Mencicipi Kematian
 
ia resah dan sekarat di musim
senjakala
 
ia tidur dan kerontang di lembah
dada
 
ketika maut tinggal sejengkal di hadapannya,
ia menjelma doa terkhusyuk
dan puisi terbusuk
 
kehidupannya masygul saja:
handai tolan penjenguk
mengingatkan ia pada gereja tua
yang pernah dibakarnya
 
*
 
ia rasa sesal sebelum maut
ia rasa sesal sesudah orang-orang berjubah putih
yang misterius itu mengambil
atmanya dari peti duniawi
 
padahal, kematiannya sekadar harap
menuju moksa
 
namun surga yang dirindukannya
terbakar oleh puisi—seperti gereja tua itu
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Menanam Puisi
 
gadis itu hanya sedang menanam
puisi
di kaki bukit yang melumpuh
di selembar tanah yang masih subur:
 
ia akan membiarkan puisi itu
membunuh ayahnya yang penyair
 
ia akan membiarkan puisi itu
tumbuh menantang puncak bukit
 
ia akan membiarkan puisi itu
melahirkan puisi-puisi yang lain
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Langit Sedang Sakit
 
Langit sedang sakit. perpustakaanku basah.
hujan miring ke kiri. pipimu basah.
mobil dokter berbelok ke kanan. dokter
tak tahu cara menerbangkan mobil.
langit pun tetap sakit. buku-bukuku
umpama sayuran di mangkuk sup.
hujan melingkar-lingkar. pipimu basah.
 
(Jakarta, 2017)
 
 
Poster
 
khianat mengintip dari jendela
kata-kata melaknat
lumat
di mulut keresahan musim
 
dengan sebilah sepi,
orang-orang mengoyak diri
 
dusta yang tak terbendung membangunkan
percik asam dan gelombang panas
bagi kesendirian mata waktu
 
berapa banyak detik yang tersimpan
dalam dompetmu?
berapa banyak igau cemas yang lesap
dalam sangkar dadamu?
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Buku yang Baru Terbit
 
bukuku pun terbit dan bersiap untuk kubakar.
dua juta rupiah yang mati konyol
dan penjualan yang miring ke bawah
 
“aku perlu waktu dua tahun untuk
menyelesaikannya.”
 
namun siapa yang peduli? kami hanya mau gratis
atau mencarinya di toko buku konvensional.
pencarian pun miring ke bawah.
 
bukuku pun terbit dan musim salju akhirnya tiba.
di rumahku sedang tidak ada sebatang kayu bakar pun
dan perapian tampak begitu lapar—
tapi syukurlah bukuku sudah terbit
tanpa ada yang membeli.
 
(Jakarta, 2017)
 
 
Perhitungan
 
satu lembar gurun pasir
dua orang musafir
 
tiga ekor burung merpati
empat orang pemburu
 
lima butir pelor
enam kali senapan menyalak
 
tujuh mayat mengambang di kali
delapan orang perempuan menangis
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Perihal Nasi Pagi Ini
 
nasi masih sehangat nasib
: menyengat seperti tumbangnya sajak
dan jembatan yang membuat kita terjebak
 
“apakah ada dada yang rumpang?”
 
“apakah ada nada yang menyimpang
umpama dosa yang jadi jamak?”
 
*
 
nasi masih sehangat nasib
: menyayat seperti pedang
yang menumpang bus kata
ke kota seberang
 
(Jakarta, 2017)
 
 
Panas Wabah
 
/1/
 
angin musim panas menjebakmu di balkon
tertinggi
kaulihat wabah-wabah purba mengambang
di langit bagian timur
kota
 
kematian satu dan kematian dua berlompatan
dari rumah ke rumah
—mereka berdua bersembunyi
di sunyi botol molotov
 
/2/
 
kompas yang tak tahu arah memandumu
ke puncak nikmat paling
rendah
 
mata angin yang rabun jauh mengantarmu
ke pemberhentian terdekat
yang paling
asing
 
/3/
 
awan-gemawan di atasmu pecah:
siapkan gelas sebanyak mungkin
tampung wine yang tumpah;
biarkan menghantam bumi
perasaan berdosa yang terlampau basah
 
/4/
 
anak-anak boleh mandi di laut
bersama bubuk mesiu yang tak kunjung
dilarutkan garam
 
di cakrawala, kita melihat burung-burung gagak
terbang
mencari batas dunia masing-masing
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Si Gadis Rembulan
 
si gadis rembulan bertamu lagi
ke bibir jurang syair
 
dipeluknya batu nisan
yang memasung puisinya
 
di lambung bumi.
ketika ia berpulang
 
pada kelelapan yang alpa,
arwah puisinya datang
 
dan membawanya ke
tidur yang kedua.
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Kepalaku
 
ketika akuarium itu mengering, ikan-ikan berenang
ke kepalaku.
 
musim kemarau pun berteduh dari hujan
di kepalaku.
 
saat rumah susun begitu ramai, penyair kurus
yang tinggal di sana pun menumpang
di kepalaku
untuk mengomposisi kesedihan dan amarah
yang membuatnya disebut-sebut “penyair”.
 
dan malam akhirnya berlindung
di kepalaku
dari tumpahan cahaya matamu.
 
(Jakarta, 2018)
 
 
Istri Seorang Musafir
 
mungkin suamiku akan pulang besok atau mati hari ini.
mungkin tubuhnya yang serapuh rumput
telah dikunyah olah kuda tunggangan sendiri
—seperti laparku yang menelan satu bayi kami.
mungkin ia telah sampai di negeri tujuan yang paling tepi
—negeri yang menurut kitab suci pernah jadi
tempat tinggal nabi paling suci.
mungkin pula ia memutuskan untuk menetap di
satu titik
dan membangun satu lagi keluarga sepenuh hati.
 
apa pun itu, kini aku lebih jauh
ketimbang segala perjalanan
yang pernah ia tempuh. lebih jauh
berkat murka tuhan yang mengoyak desa ini
tanpa jenuh ….
 
tanpa jenuh ….
 
(Jakarta, 2017) 
 
 
Menonton “Petani Terakhir”
 
kata-kata menembus nyala api. garis waktu:
nanah garam dan anyir angka-angka
 
semut hitam merayap di leher seorang petani.
kakul, dalam senyap cangkangnya, dibawa
 
arus air di saluran irigasi. burung-burung
mematuki ketebalan dompet. di sejumlah
 
telinga, bahasa para petani kehilangan
gambarannya. tapi gas satire selalu sukses
 
memantik tawa. “pemerintah memerlukan
kacamata antirabun, kan?”
 
mungkin, di kemudian hari, sawah-sawah
itu tinggallah lembar-lembar kertas.
 
ketiadaan kelapangan. ketiadaan kata-kata
yang menembus nyala api.
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Rebah di Kelamin Bumi
 
rebah di kelamin bumi:
hasrat dan siasat menembus tempurung
bahasa. di sebelah kiri jalan, garis
doa memanjang dari “kota di dada” sampai
“kota wasangka”.
 
matahari tenggelam di atap museum—
seumpama puisi yang terserak di genangan
prosa. ada sebuah mobil yang terparkir
di samping manuskrip hari esokku.
 
di rumah, aku meledakkan ruang tamu.
tapi aku masih menerima kehadiran
sekalipun yang “tanpa kepergian”. kau
boleh mencoba. semasih ada puisi.
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Beberapa Persembahan
 
/1/
sayang andai kau tak menunggang kuda
terbang. sayang seribu sayang andai atma
hanya dengkik dan ringkik beterbangan
tiada sayap.
 
/2/
sebab aku hendak mematah tulangmu,
tak mestilah tualangmu tertatah bayang
pusara. sebab aku hendak menatah
tualangmu, tak haruslah pulangmu
melatah sulang.
 
/3/
aku menitip sepat maut di pangkal
lidahmu. kau boleh menetap raut pada
tangkal-bidahku.
 
/4/
ia teringat pada makam yang dibongkarnya.
ia teringat pada roh yang menolak merasuk
napasnya, pada jasad yang mengutuk deras
tuturnya.
 
/5/
tak ada yang tersisa, bahkan kematian.
 
(Denpasar, 2016)
 
 
Kematian yang Membawa Kau Pulang
 
kematian pun membawa kau pulang.
mama yang sendiri semakin terpukau sepi.
pun kematian membawa kau pulang
mengapakah pergi kau tetap menggelayut
di gerbang rumah yang biru?
 
(Jakarta, 2017)
 
 
Silsilah Dendam
 
kemarin,
aku menelponmu dalam
nada yang rawan:
“bukankah dendam adalah sunyi
 
yang paling perawan?”
 
(Jakarta, 2017)
 
 
Tentang Surya Gemilang
Surya Gemilang lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Bukunya yang telah terbit Mengejar Bintang Jauh (2015, cerpen) dan Cara Mencintai Monster (2017, puisi). Tulisannya tersebar di berbagai media.
 
 
Catatan Lain
            Di sampul belakang buku ada 3 paragraf dari Pengantar Penyair (ada di halaman 3-5), yang ditampilkan. Salah satunya ini: “Hanya ada sedikit puisi di dalam antologi ini yang bercerita tentang kebahagiaan. Sisanya serba tentang kegelisahan dan kawan-kawannya, yang ternyata menjadi titik tolak saya buat mencari kebahagiaan yang lain.”  Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar