Senin, 25 Desember 2023

Susilo Bambang Yudhoyono: MEMBASUH HATI DI TAMAN KEHIDUPAN



 Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Membasuh Hati di Taman Kehidupan
Penulis: Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.
Cetakan: I, Agustus 2014
Tebal: xxii + 136 halaman (77 puisi)
Foto-foto: Ani Yudhoyono
Penataletak: Wendie Artswenda
Perancang Sampul: Iksaka Banu
Prolog: A. Mustofa Bisri dan Putu Wijaya
E-ISBN: 978-602-424-966-3
 
Membasuh Hati di Taman Kehidupan terdiri atas 2 kumpulan puisi yang pernah diterbitkan untuk kalangan terbatas, yaitu: Taman Kehidupan (2004, 31 puisi) dan Membasuh Hati (2010, 46 puisi).
 
Sepilihan puisi Susilo Bambang Yudhoyono dalam Membasuh Hati di Taman Kehidupan
 
Rasa dan Kehidupan
 
Di padepokan tua
di kaki Bukit Banyu Kahuripan
berkata Ki Sudi Panuntun, sang guru filsafat Jawa
 
Anak-anakku
kau boleh melanglang buana
menyeberang laut, menjelajah dunia
mencari makna
hakikat hidup di dunia fana
 
Aku tidak tahu
apa yang kau dapatkan anakku
ketika segalanya tak selalu terang
meskipun kau datang berulang-ulang
jangan-jangan engkau
mendapati alam sunyi penuh kehampaan
 
Di seberang sana
ada pohon kelapa, berkelompok lima-lima
dan semua memberi guna
pada manusia
 
Jika pencarian makna pohon kelapa
kau mulai dari akar, batang, daun dan manggar
juga sabut, tempurung, buh putih dan air manis segar
kau dapatkan segala makna
yang serba benda dan kasat mata
 
Tetapi,
jika kau sejenak bertafakur
dan kau buka pintu jiwamu
yang tengah mendaki dan mencari,
kau akan dapati anakku
bahwa dalam manisnya air kelapa
ada rasa
dan hanya rasa,
hakikat dari segala kehidupan manusia
 
Bogor, 6 Agustus 2010
 
 
Old Soldiers Never Die
 
Kusimpan dalam pojok memorabilia
baret hijau yang menyimpan cerita
di medan latihan, di medan laga
di bukit-bukit terjal, di tebing-tebing curam
di Timor Timur, di Bosnia dan di Amerika
 
Baret hijauku, yang lekat di ragaku,
dan dalam jiwaku
menembus gelombang laut di malam gulita
meloncat dari deru pesawat, melayang di udara
bersatu dalam heroisme prajurit-prajurit muda
yang tak kenal bahaya
karena itulah sumpahku pada negara
sepanjang masa
 
Aku sering rindu
berlari bersama prajurit lintas udara, di lapangan hijau
dalam gegap gempita mars pasukan elite
bagai rajawali yang menukik
dan menyambar lawan dari langit biru
 
Meskipun masa-masa indah itu telah berlalu
bakti ksatria sejati tak pernah henti
 
Old soldiers never die; they just fade away….
 
Wisma Negara, 1 Agustus 2010
 
 
Anak Laut
 
Bocah kecil bermain di tepi laut
Bercanda, berbinar dalam tawa
dan menari di gulungan ombak putih kemilau
 
Aku berlari di kolong langit biru
menjemput burung camar yang terbang tinggi,
menghampiri nyiur yang bergoyang dan melambai
 
Oh, indahnya alam ini!
Oh, lepasnya hati ini!
 
Kubernyanyi,
dan tak henti memuji keagungan laut ciptaan Ilahi
Kusapu batu karang,
dan kudekati pasir bening memanjang
dalam debur ombak pantai selatan
 
Aku tak lagi bocah kecil yang berlari
dan bercanda dengan paman nelayan
di tepi pantai penuh kenangan
 
Tapi,
laut yang luas di kolong kemesraan ini
adalah hatiku yang terus hidup
di taman impian dan pengharapan
 
Jakarta, 21 Januari 2004
 
 
Demi Waktu
 
Bulan di atas perahu
Sendu
 
Cemara di kaki gunung
Termenung
 
Lolong ke keheningan malam
Kelam
 
Pengemis di ujung kota
Duka
 
Kutahu waktu menjanjikan berkah
Kuburu, pantang menyerah
Apalagi pasrah
 
Jakarta, 20 Januari 2004
 
 
Cinta
 
Cinta itu buta
Cinta itu dahaga
Cinta itu kembara
Ke mana,
kekasih kau kupuja?
 
Lembah yang dalam, tak perlu kau turuni
Gunung yang menjulang, tak perlu kau daki
Laut yang membentang, tak perlu kau arungi
Karena cinta tak pernah pergi,
di sini
di dalam hati
 
Mestikah cinta terus bersinar
dalam kelam yang mulai pudar
dalam jiwamu yang makin bergetar
dan bola matamu yang kian berbinar
 
Cikeas, 4 Februari 2004
 
 
Jakarta
 
Jakarta ini neraka
kota brengsek dan penuh derita,
keluh Maman
Dua tahun aku terlunta
dan terseok di sudut-sudut kota,
nestapa
 
Kutinggalkan Priangan Timur dengan impian
Kurenggut tali keakraban
dan manisnya persaudaraan bersama teman
Kuberlari, kudatangi kota harapan
Dusta!
Perahuku kandas
Impianku terjatuh di jalanan
dan tergilas kehidupan malam yang kejam
 
Kau ingin jadi apa?
tanya Didin sang pengamen
Majikan?
Tuan Kaya?
Mobil Mersi,
dan Rumah Idaman?
 
Begitu yang kudengar dari si cantik Euis
kawan sekolah di kampung sebelah
Ia bergelimang suka
berlian dan gaun sutera
Ia ucapan surga, taman Firdaus,
di Jakarta Raya…
Tunjukkan padaku, pengamen kurus
di mana Euis punya surga?
 
Aku tak kenal Euis
dan juga surganya
 
Aku tak pernah peduli pada apa pun
kecuali surgaku sendiri
yang kumiliki dalam jagadku
 
Adakah?
 
Ya, di hatiku
Dalam sukmaku
Dalam ragaku,
dan jiwaku yang bebas dari khayalan
dan beribu angan-angan
 
Hari-hariku adalah surga yang kucari
Menuntun batin dengan tembang dan kasih,
Bersemi di taman Tuhan
 
Jakarta, 22 Januari 2004
 
 
Berlayar di Langit Biru
 
Kuhabiskan waktu
berlayar di langit biru
di atas pulau seribu
dan tertidur di mimpiku
 
Apa yang kucari,
berminggu dan berhari
mengarungi jagadku yang sunyi
ketika awan itu tiba-tiba pergi
 
Bumiku lengang
kakiku melayang, tanganku terbang
di awang-awang
 
Haruskah kukembali
ke pelabuhan hati
ketika buih pun tak lagi bernyanyi
 
Ke mana lagi?
 
Cikeas, 4 Februari 2004
 
 
Malioboro
 
Malioboro yang kukenang dulu,
beberapa windu lalu,
ketika puncak Merapi
setiap hari masih berselimut kabut,
dan pedagang kaki lima
sejak subuh telah menjajakan ketan dan ubi bakar,
adalah Malioboro yang ramah
hangat, tapi tak panas
banyak kelakar dan tegur sapa
 
Aku pangling, kini
Malioboroku tak sembunyi dari angin globalisasi
dan deru modernisasi yang kian menjadi
yang hampir tak menyisakan
sudut-sudut kehidupan
yang dulu kurindukan dan membuatku kerasan
 
Pernah kusapa pelukis bunga
dan juga pematung candi,
meskipun tidak seterkenal maestro Affandi
yang punya hati dan kerap bercerita
tentang kehidupan,
dan perubahan
 
Tak keliru, kata sang pelukis
kalau Yogya dan Malioboroku tak seperti dulu
karena inilah kehidupan
yang terus berputar dan mengejar ketidakpastian
meskipun, warisan manis dan nostalgia
tak harus dibiarkan terkubur tanpa nisan
 
Biarlah aku, seniman tua dan kawan-kawan
yang bertutur kepada mereka
anak-anak zaman di hadapan
yang tak selalu punya mimpi
dan indahnya kenangan
 
Cikeas, 1 Agustus 2010
 
 
Lukisan yang Hilang
 
Sudah lama kulihat lukisan itu
tergantung
di atas meja berserak
dan tumpukan buku-buku dan gelas yang retak
 
Entah siapa yang pernah menyentuh
debu di ruas pigura tua itu
dengan jemarinya
yang tertinggal dalam bayang-bayang
 
Kini lukisan itu menghilang
mengejar remang dan jejak-jejak cahaya
yang menembus sudut jendela
rumah tua di pinggir dermaga
 
Jakarta, 29 Juli 2010
 
 
Kangen
 
Rindunya hatiku padamu
kekasih tambatan hati
di seberang sana
 
Bolehkan kutitipkan salam
lewat burung kenari
yang terus bernyanyi
 
Sayang, aku kangen
pada pelangi di matamu, dan
kasih indah di dadamu
 
Masihkah bersemi?
 
Jakarta, 11 Februari 2004
 
 
Jagadmu yang Kembar
 
Pernahkah kau menyusuri hidup yang perih?
 
          Karena ragamu letih, hatimu pedih, dan
          tertatih kau dalam perjalanan panjang
          mencari terminal hidup yang kau sebut
          “bahagia”. Dan kau marah karena alam
          mengejekmu bulat-bulat, bagai
          menghantammu, ombak ganas
          menghempaskanmu, dan terdampar kau
          di karang kering, di tengah malam yang sunyi.
 
Sudahkah kemudian kau putuskan langkahmu
untuk berbalik arah ke bandara hidupmu yang
kembar?
 
          Kuingat ketika kau kenalkan jagad besar
          dan jagad kecilmu kepada bulan, kepada
          bintang, kepada lautan, dan kepada burung
          dan kupu-kupu riang yang tak putus
          berpantun kasih. Dan kepada semuanya.
          Romantisme jagad kecil di taman sari jagad
          besar, yang terus berkelana, tak tidur, tak
          henti, sampai nanti.
 
Harus kukatakan kini: jangan kau hentikan
langkah, meski terminal yang kau cari tak
mungkin kau dapati. Entah berapa windu.
Sampai jagad kembarmu menjadi satu. Dalam
hidupmu.
 
Yogyakarta, 16 Februari 2004
 
 
Indonesiaku, Alam Kehidupanku
 
Aku berdiri di tepi bukit, di kaki langit,
ketika kabut pagi menepi dan pergi,
dan melambai di ngarai sunyi,
dalam dendang burung kepodang,
yang menari dan bernyanyi riang
 
Aku terpana memandang sang Surya,
yang memancarkan cahaya kehidupan, sinar keemasan,
juga kerinduan dan harapan,
menyambut zaman yang mulai tiba,
tanah Indonesia yang kian sejahtera
 
Di malam hening pernah kupejamkan mata
dalam kelam, duka dan nestapa
ketika negeri ini bagaikan runtuh karena bencana
pertanda alam yang tengah murka
 
Dan ketika hatiku menengadah, memohon ampun
dan kupasrahkan segalanya kepadaNya,
meski aku tak pernah putus asa
apalagi menyerah, untuk membangun dan
menapaki hari esok, menuju gelombang baru
peradaban bangsa….
 
Kudengar firman Tuhan dalam hatiku:
 
          “Negerimu besar,
          alammu indah, bumimu kaya
 
          Anugerah dan musibah, tak perlu
          membuatmu menyerah
 
          Taburkan kasih sayang,
          dan bersahabatlah dengan alam semesta
 
          Kuberikan berkah,
          bersamanya.”
 
Jakarta, 1 Juli 2007
 
 
Burung Kepodang
 
Burung kepodang
Melompat riang
Di pohon ketapang
 
Kuucapkan padanya selamat siang
dalam dendang
 
Oh, kepodang
Ke mana kau terbang?
 
Jakarta, 29 Juli 2010
 
 
Kenduri di Tengah Kota
 
Abang Jamil ingin kenduri di tengah kota
sama teman yang dulu bermain bola
di sepetak tanah
dekat Terminal Kebun Kelapa
 
Dulu ada Mamat, Ujang, Mu’in, dan Dadang
saban hari berkelakar dan terkadang
bergadang dengan riang
sambil memuji Si Euis, bintang kelas dari Sumedang
 
Kenduri, buat Jamil, untuk ingat dan bersyukur
ketika hidup makin dikejar umur
menghitung amal dan dosa,
dari hidup yang tak selalu mujur
 
Ah, tapi di mana mereka semua
karena lama tak saling menyapa
apalagi berbagi suka
 
Sebulan sudah Jamil mengundang mereka
melalui koran kesohor Acuh Saja
kebanggaan masyarakat pinggir kota
 
Tapi mereka tak kunjung datang,
hati Jamil kembali lengang
sunyi, dan tertidur dalam bayang-bayang
 
Jakarta, 30 Juli 2010
 
 
Kuda Tua
 
Dua kuda tua
Terlunta-lunta
 
Memang tua
Dimakan usia
 
Cobalah kamu sapa
 
Cikeas, 28 Juli 2010
 
 
Flamboyan
 
Kembang merah di ujung kota
Menunggu sapa angin utara
Atau langkah kuda penarik kereta
Pembawa berita
dan simfoni cinta
 
Flamboyan, kaulah yang dirindukan
sang pengembara
Yang menapaki harinya tanpa huru-hara
hingga puncak almamater para ksatria
 
Jika bungamu jatuh berguguran
dalam semerbak wangi sinar pesona
Kau ucapkan selamat datang
pada pengembara berpedati tua
Yang tak henti berucap bahagia
karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia
berakhir di batas kota
 
Semarang, 25 Januari 2004
 
 
Hidup di Desa
 
Merdunya seruling di malam hening
Di relung bulan sabit, di atas bukit
Sedamai hati petani, ketika mimpi telah pergi
Menanti mentari pagi bersinar kembali
Membawa salam ke seluruh negeri
 
Ketika kokok ayam memecah kebisuan dusun
dan fajar meremang di ufuk timur
Kehidupan insan menapak lagi
Mengarungi hari panjang yang menjanjikan
harapan
 
Bila sang surya lengser perlahan di ujung senja
Warga desa bergegas kembali
ke rumah-rumah mereka
 
Berbagi cerita dalam kisah suka dan duka
Meski hati tetap bahagia
Karena itulah dunia mereka
Hidup di desa,
pewaris adat nenek moyang mereka
 
Jakarta, 13 Februari 2004
 
 
Tentang Susilo Bambang Yudhoyono
Tempat dan tanggal lahir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak sebutkan di buku ini. Cuma ada dikatakan bahwa jiwa seni SBY tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh dan bersemi sejak masa remaja. Ia mengikuti hampir semua ekstra kurikuler sekolah seperti menulis puisi dalam bahasa Jawa dan Indonesia, mengikuti sanggar seni lukis, tari, drama, gamelan, seni wayang, dan bermain musik. Selain menulis puisi, juga menulis/mencipta lagu.
 
 
Catatan Lain
          Ini kata Gus Mus di dalam prolognya: “Petinggi negeri dan politisi, khususnya di negeri ini, boleh jadi termasuk makhluk yang sulit dibayangkan hubungannya dengan sastra. Lebih sulit lagi membayangkannya berpuisi, apalagi memuisi. Kalau akhir-akhir ini ada pejabat baca puisi, biasanya sekadar mengikuti tren untuk meramaikan suatu acara tertentu. Biasanya bersama berbagai kalangan yang lain seperti artis, pengusaha, ulama, dan lain-lain—kaprahnya sudah disiapkan puisi-puisi yang akan dibaca.//Petinggi atau politisi menulis puisi tentu merupakan sesuatu yang ganjil. Di negeri ini puisi mencitrakan cita rasa dan kelembutan, sedangkan petinggi dan politisi sudah terlanjut tercitrakan sebagai tak memiliki cita rasa dan vulgar. …”.
            Kata Putu Wijaya: “Menulis puisi tidak serta-merta menjadikan seseorang penyair, sekalipun dia seorang presiden. Dan SBY pun tidak menulis puisi karena dia presiden. SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengukuhkan kembali karakter yang retak.” Begituh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar