Selasa, 06 September 2011

Hajriansyah: JEJAK AIR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Jejak Air
Penulis : Hajriansyah
Cetakan : I, Oktober 2007
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : iv + 56 halaman (11 judul puisi)
ISBN : 978-979-159699-9
Gambar sampul : Hery S


Beberapa pilihan puisi Hajriansyah dalam Jejak Air


Prolog

Aku lahir dari kedalaman,
tempatku di waktu kecil menjejakkan kaki
Di sungai yang kecoklatan airnya
kami menyelam; menggenggam lumpur di tangan kiri
mencoba meyakinkan yang lain bahwa
kami telah sampai di dasar sungai

Kata-kataku lahir dari kedalaman,
seperti ingin meyakinkanmu
Aku telah sampai di dasar sungai
atau tanah berlumpur yang ku injak
sesaat tadi 

Kata-kataku adalah yang tertahan di tenggorokan
saat air menekan lubang-lubang di tubuhku
saat aku begitu berhasrat
Begitu bergembira ingin memenangkan diri
Aku lupa
lupa pada warna sungai, bau air,
pada yang menekan tubuhku sedemikian
rupa; aku begitu ingin sampai kepermukaan,
membuncah gelombang
bersorak menang, tapi aku lupa
lupa pada semua yang mengepungku
mengitari, masuk ke lubang-lubang
tubuhku, membuatku tersedak

Aku duduk di pinggir sungai, aku
tersengal; seteguk air masuk ke mulut, 
mulutku kering; yang lain mengering
di tubuhku


Aku mabuk dan terpana
Aku telanjang di dasar sungai
Aku telanjang di pinggir sungai
Aku kedinginan mendekap lutut
Aku menggigil karena air ;
Yang kecoklatan membawa butir-butir lumpur
yang mengalir menerbangkan perahu
yang mengelilingi kota kecilku
yang membuatku larut di permukaan
yang menekanku ketika menyelam
yang membuatku terbatuk-batuk
yang menggiringku ke hilir-hulu;
darat-laut; timbul- tenggelam;
yang menenggelamkanku ke dasar sungai
saat aku hampir mati di waktu kecil
sebab kutukan alis yang bertaut

Inilah sajak-sajakku
kata-kata yang mengambang
seperti segerombolan ilung yang
hanyut dibawa arus
segerombolan yang menakutkan kami
di masa kecil
Yang menyimpan trauma
akan buaya dan hantu sungai

Kata-kata ini, yang mengalir
bersama air
adalah yang datang
dari ketakutan dan harapan
dari kenangan dan mimpi-mimpi
yang terus-menerus memanggilmu 
yang terus-menerus mengalir
ke rumah-rumahmu
seperti ingin berbisik:
   ” Jejakku tertinggal
      bersama perahu
      yang terus-menerus kau
      kayuh ke ladang-ladang
      ke mimpi-mimpi
      tak berkesudahan ”



Gadis yang Ceria

 Air yang mengalir selalu saja
tak tertahankan; ia pergi menjumpa
muara-muara, di tengah sungai besar
seringkali ada pusaran yang yang menukik
ke kedalaman
seakan hati seseorang selalu singgah
di suatu tempat yang menariknya

Serupa buaya putih – buaya kuning
yang menggodamu untuk singgah
pusaran air menenggelamkanmu
dan engkau kemudian bertanya
pada akalmu
” Adakah jalan menuju cahaya ? ”
Seseorang menjawabnya,
dan ia berbaring di sampingmu
” Jangan kau bergantung pada
batang pohon yang larut bersamamu”

xxx

Aku menarik nafas setengah hati
Suatu hari dalam hidupku
aku berjumpa dengan gadis yang ceria
di senyumnya yang menggoda
kutemui keriangan masa kecilku
hatiku serupa ruang yang terbuka
ia masuk dan mengisinya dengan panas
dengan gairah kanak-kanak
Aku berempati pada kemalangan
pada hidup yang sepi
pada kesia-siaan duniawi
pada sebatang ranting yang jatuh
di pinggir sungai, dibawa larut
dipukul kecoklatan air yang meninggi
dibawa ke muara kepedihan
dan ketidakmenentuan hidup yang labil
Aku terpejam di sana
Larut bersamamu
digiring ke pusaran air
Tanganku yang melambai ditarik
ke permukaan
Kulihat wajah istriku yang murung,
aku tertegun di pinggir sungai
Pusaran air mengirim gelombang
dan riak kecil ke hatiku..
Aku hanyut di sini
diantara bayangan yang serupa
Tambun raksaasa menutup akalku
Aku bertanya
” Adakah jalan menuju cahaya ? ”

Di hati manusia ada api yang membeku
panasnya tak cukup kuat menguapkan
gumpalan-gumpalan yang menutupinya
Sebuah keriangan dari tawa yang sepi
menguapkan segalanya
Api kecil menari-nari..

Mira, kusebut namamu
serupa nama hotel di seberang galeri
tempat tanah terus meninggi
kacamata, senyum ceria, dan
suara latah yang dibuat-buat
seperti memanggil keriangan kanak-
kanakku
Seorang polisi di tengah malam
engkau ditilang dan tawaran nakal
pengganti sanksi; dan sebuah janji
engkau tertawa, tapi ingat janjimu
yang sewaktu-waktu bisa saja
kau tepati
Suatu malam kuantar engkau
ke tempat teman-temanmu
aku menunggumu di jalan
dengan tak sabar
”Aku mabok”  smsmu padaku
Sampai sms itu nyasar di suatu
malam, dan aku tertidur
isteriku yang membalasnya
Isteriku..

Aku tak tahu kapan lagi
kita bertemu
Biarlah angin yang menjatuhkan
daun itu menunggu
Menunggu di pinggir sungai
memikirkan diri yang fana
menelisik ke dasar hati
dan bertanya

” Adakah jalan menuju cahaya? ”

xxx

Adakah cinta terbang
ke langit malam
bersama cerita-cerita nisbi

Gagak-gagak pulang ke sarang
suaranya menghantui jiwa
Adakah cinta terbang tinggi 
terbang bersama gagak
ke langit malam

Pada gelombang
Pada riak air : suaranya selembut
suara daun dihembus angin
Pada pengalaman yang berbusa
Aku mengenang cinta
cinta yang melebihi nama
Perasaan manusiawi
Yang terbang bersama angin bersama
awan, terbang ke langit malam


Pernah ku tanya padamu
apa itu cinta
entahlah, katamu
dan kau pergi meninggalkan mimpi
Pada bayang-bayang
kutemui diriku sendiri 



Lukisan Bangku Indah di Taman

Sebuah bangku berwarna merah
di taman yang hijau
dan pohon-pohon yang ganjil
Di sana pernah
aku duduk menunggumu
datang bersama bintang dan pelangi
di sore yang jingga

Sesobek kanvas itu
penuh dengan tumpukan cat
dengan teknik impasto  yang keras
Aku dan Kamu
dan orang-orang yang bermimpi
tentang surga berwarna Biru Cobalt
terang: dan pigura pecah, dan 
 periode biru dari tangan Picasso

Aku tetap menunggu,
meski sekarang dengan
pakaian yang lebih necis
berwarna Merah Jambu

Aku tahu kau pasti datang
di suatu waktu
dengan sekeranjang cat Winton
dari Inggris

Orang-orang yang berjalan
Langit kelabu
Hijau viridian yang kau sapukan
kini telah apak  baunya
tak lagi sesegar dulu;
tapi masih lebih hijau
dari pohon yang daunnya layu

Sebuah lukisan
Bangku Indah di Taman
Merah warnanya
semerah hatiku
yang tetap menungu

Tapi hujan datang
seperti duri-duri pada kulit
salak yang kau hadiahkan
padaku waktu hujan 
sebelum ini

Aku masih menunggu,
di bangku merah
di taman di pinggir kota
sebelum pantai yang abadi       
seperti legenda itu :
Aku ingin penantian ini
menjadi lukisan yang indah
sebuah bangku indah ditaman

Sepeda pancal yang bermerek Gazelle
kusandarkan di pokok kering
Kalau suatu hari kau lewat
mungkin kau akan ingat;
aku masih menunggu,
meski di dalam hati

”..bunga-bunga abadi
merah, kuning, dan biru
yang menjelma seribu”



Epilog

Di siang hari yang indah
Ketika matahari naik ke
puncaknya,
saat mobil dan motor
 melaju kencang
aku pulang ke rumah ayahku
Selalu ada kesunyian
 di sana
di petak tanah gambut
dengan rawa-rawa

Hari ini, pada deru motor
serupa Angin Limbubu
kulihat wajah kota berair mata
mengalir membasahi
rasa haus kita akan
barang-barang yang kemudian
 memojokkan kita

Aku menoleh ke Barat
 matahari bersinar lebih
 terang 
dan Limbubu yang menderu
menerbangkan kita
bersama penantian dan
hutang-hutang

xxx

Di kepala ada banyak sekali
kenangan yang menunggu
ada pula mimpi dan hutang-hutang;
Maka kusandarkan semuanya
pada kenangan dan pertanyaan :
“ Sudahkah Kau mampir
ke rumahku? “

Adakah hidup yang sesaat
memberi jejak yang abadi

Pernahkah Kau lihat
bangku merah di tamanku;
Ada Warna Jingga di sobekan
kayunya yang tipis
Pernahkah Kau lihat awan
berwarna Hijau di langit Merah

Dan sungai-sungai yang
mengaliri kotaku;
Benarkah Tambun yang
meruntuhkan jembatan itu

Adakah mimpi yang
meninggalkan jejaknya di air,
serupa jukung kecilku
di siang ini
 
Entahlah kawan,
aku pun ragu!
Pada sajak-sajak ini
Aku berharap jawab
darimu

  
Tentang Hajriansyah
Lahir Banjarmasin, 10 Oktober 1979. Bos Tahura Media dan pengusaha advertising. Pernah sekolah di Pondok Pesantren Darul Hijrah, pernah kuliah di MSD (Modern School of Design) Yogyakarta dan ISI Yogyakarta dengan minat seni lukis. Mendapat hadiah Seni dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2011 di bidang seni rupa. Kumpulan cerpennya Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami (2009). Kumpulan puisinya selain Jejak Air (2007) adalah Jejak-Jejak Angin (2006, bersama saya) dan 79 Puisi Hajri (2010). Konon sedang menyiapkan novel juga, pengembangan dari cerita bersambung yang pernah terbit di koran Media Kalimantan. Tapi entahlah.   


Catatan Lain
Buku ini  saya dapatkan sekitar pertengahan 2011, di gudang Tahura Media, sekalian mau ngambil kumpulan puisi saya Buku Harian Pejalan Tidur. Meski telah lama terbit, tak punya saya bukunya itu, meski softcopynya telah saya miliki dan tersimpan baik di komputer saya. Jejak Air cuma berisi sebelas puisi, tapi panjangnya audzubillah, setidaknya bagi saya yang penyuka dan pembuat puisi-puisi pendek. Di cover belakang ada tempelan harga dengan barcode, senilai Rp. 20.500,-. Di bawahnya, tempelan kertas biasa dengan harga cuma Rp. 7.500,-  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar