Minggu, 08 Januari 2012

Joko Pinurbo: KEPADA CIUM


Data buku kumpulan puisi

Judul : Kepada Cium
Penulis : Joko Pinurbo
Cetakan : I, Februari 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 42 halaman (33 judul puisi)
ISBN-10 : 979-22-2716-4
ISBN-13 : 978-979-22-2716-1
Desain Sampul : Koskow
Foto sampul : Dewi Nugraheni
Drawing halaman dalam : Mirna Yulistianti

Beberapa pilihan puisi Joko Pinurbo dalam Kepada Cium

Pemulung Kecil

Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah: onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.

Sesekali ia bercanda juga:
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”

Dikumpulkannya juga rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak: “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”

Kemudian ia pergi dan masuk ke relung tidurku.

2006


Kepada Puisi

Kau adalah mata, aku airmatamu.

2003



Selamat Tidur, Malam

Selamat tidur, malam.
Selamat menggigil di tubuh
yang tak bisa tidur ini:
ranjang kecil yang tak
akan habis kautiduri.

2006


Kepada Cium

Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah baru karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.

Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.

2006


Usia 44

Dua kursi kurus duduk gelisah
di bawah pohon hujan di pojok halaman

Dua ekor celana terbang rendah
dengan kepak sayap yang pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan.

Dua ekor celana, dua ekor sepi
menggigil riang di atas kursi
di bawah rindang hujan di pojok halaman
dan berkicau saja mereka sepanjang petang

2006


Kepada Uang

Uang, berilah aku rumah yang murah saja
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.

Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku,
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.

2006


Tentang Joko Pinurbo
Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 11 Mei 1962. Menyelesaikan pendidikan di SMA Seminari Mertoyudan Magelang dan melanjutkan studi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (tamat tahun 1987). Sejak tahun 1992 bergabung dengan kelompok Gramedia. Kumpulan Puisinya: Celana (1999) memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001, Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002, Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004) menerima penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2005, Pacar Senja – seratus puisi pilihan (2005).


Catatan Lain
Buku punya Hajri, kupinjam kemarin tanggal 28 Desember 2011. Harga buku, menurut barcode yang ada di buku itu adalah Rp. 20.000,- Ternyata ketahuan, blog ini memiliki nama yang sama dengan salah satu judul puisi Joko Pinurbo :D. Ya, saya selalu feeling kalo nama blog ini ada keterkaitan dengan Joko Pinurbo, tapi saya lupa kapan nyantolnya dan lewat media apa. Yang jelas buku Kepada Cium baru pertama kali ini saya pegang dan saya buka-buka. Koleksi buku saya cuma Celana (1999).

3 komentar:

  1. wah, jadi ingat pas saya membaca puisi Joko Pinurbo di sebuah acara lomba. :)

    berkawan dengan saya ya, jangan lupa kunjungi dan follow blog saya http://kampungkaryakita.blogspot.com/. Saya sudah memfollow blog ini.. Sukses :)

    BalasHapus
  2. entah kenapa puisi yg Kepada Puisi tersebut menurut saya lebih pas kalau "aku adalah mata, kau airmataku."
    sebagai penggambaran puisi sbagai pelampiasan perasaan sang penyair.

    tapi mungkin maksud Jokpin puisi sebagai mata, aku air matamu, adalah penggambaran puisi yg telah membentuk kepribadian si penyair ataw mungkin puisi telah membawa namanya ke lingkup penyair yg diperhitungkan. (ngasal!, hehehe :D)

    -AF-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu bener kok. Sebuah puisi, ketika dilepas ke publik, menjadi milik siapa saja. Penafsiran pun boleh apa saja. Tidak ada penafsiran tunggal milik si penyair, walaupun ia juga punya hak untuk menafsir...

      Hapus