Minggu, 01 April 2012

Hans Magnus Enzensberger: CORET YANG TIDAK PERLU



Data buku kumpulan puisi

Judul  : Coret yang tidak Perlu
Penulis : Hans Magnus Enzensberger
Cetakan : I, 2010
Penerbit  : Horison, Jakarta.
Dukungan dana : Goethe-Institut Jakarta dan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta.
Hak cipta terjemahan : Agus R. Sarjono dan Berthold Damshauser
Tebal  : x + 164 halaman (40 puisi dwi-bahasa, Jerman-Indonesia)
ISBN : 978-979-19813-1-6
Rancang sampul  dan isi : Tugas Suprianto
Sumber foto sampul: www.aphelis.net

Beberapa pilihan puisi Hans Magnus Enzensberger dalam Coret yang tidak Perlu

Rondeau

Bicara itu gampang

Tapi kata-kata tak bisa dimakan
Maka buatlah roti
Membuat roti itu sulit
Maka jadilah tukang roti

Tapi roti tak bisa dihuni
Maka bangunlah rumah
Membangun rumah itu sulit
Maka jadilah tukang bangunan

Tapi di atas gunung tak bisa dibangun rumah
Maka pindahkanlah gunung
Memindahkan gunung itu sulit
Maka jadilah nabi

Tapi pikiran tak bisa didengar
Maka bicaralah
Bicara itu sulit
Maka jadilah engkau seperti kau adanya

dan teruslah bergumam sendirian,
wahai makhluk tak berguna.

Rondeau: bentuk puisi abad pertengahan, di mana larik tertentu diulang-ulang pada masing-masing bait.



Kelebihan Istriku

Kelebihan istriku kelewat banyak
untuk selembar kertas A 4
Ia adalah makhluk multisel dengan rambut gemerisik,
yang malam hari, bila ia tidur, berbiak dengan anggun.
Tiap helai rambutnya kugemari. Ia dikaruniai
bagian-bagian empuk. Bila cuping hidungnya
sedikit bergetar, aku tahu: ia sedang berpikir.
Betapa sering ia berpikir, dan betapa tak semena-mena ia hidup!
Aku tahu, ia pandai meleletkan lidah,
pandai main kaki. Bila tertawa atau marah,
pada mulutnya tampak kerutan baru
yang kusukai. Ia tak seluruhnya putih,
ia memiliki beberapa warna. Tarikan nafasnya
pun banyak jumlahnya, belum lagi
aneka jiwa di dadanya.
Aku heran, bahwa di sini,
tempat kebetulan aku berada, kerap ia ada.


Riset tentang Motivasi

Sayang aku tak punya pilihan lain selain membunuh kalian,

  karena kalian menolak bicara bahasa Bask
  karena bank memblokir kartu kredit saya
  karena Papa
  karena tak tahan memandang perempuan tak bercadar
  karena keki sama orang kaya
  demi menyenangkan Tuhan Maha Pengasih
  karena kalian tak memberiku uang untuk suntikan berikutnya
  karena kalian tak cukup Katolik/terlalu Katolik
  karena tersinggung
  karena Mama
  karena kalian selalu menatapku dengan aneh
  karena dalam ujian aku salah conteng dan tidak lulus
  karena mendapat bisikan-bisikan gaib
  karena sudah begitu. Begitu saja.

Terima kasih atas pengertian kalian.

(Conteng pilihan anda sebelum berbuat!)


Kunjungan

Ketika kumendongak dari kertasku yang kosong
sang malaikat telah hadir di kamar

Sesosok malaikat yang serba biasa,
kemungkinan besar dari kasta sudra.

Anda tak bisa bayangkan,
ucapnya, betapa Anda tak ada pentingnya.

Satu saja dari lima belas ribu nuansa
warna biru, katanya,

lebih masuk hitungan bagi dunia
dari segala yang Anda perbuat atau tak perbuat,

belum lagi kita bicara tentang belerang
atau galaksi Magellan

Bahkan cocor bebek, betapapun sederhananya
meninggalkan rumpang, sedang Anda tidak.

Pada cerlang matanya kulihat, ia mengharap
sanggahan, pergulatan panjang.

Aku diam saja. Aku menunggu,
hingga ia menghilang, bisu.


Tentang Sulitnya Penataran Ulang

Sungguh menakjubkan
segala agenda raksasa ini:
Zaman keemasan
Kerajaan Tuhan di bumi
sirnanya negara.
Meyakinkan memang.

Andai saja orang-orang itu tak ada!
Senantiasa dan di mana saja mereka pengganggu.
Bikin kacau semua rencana.

Ketika manusia akan dimerdekakan
mereka tergesa ke salon
Bukannya berbaris mengekor sang perintis
mereka malah bilang: Duh enaknya kalau ada bir
Bukannya berjuang demi cita luhur mulia
mereka giat mengurus encok dan jerawat
Saat-saat kritis dan menentukan
mereka justru cari tempat jajan atau warung rokok
Tepat menjelang Seribu Tahun Yang Jaya
mereka sibuk mengurus popok

Orang-orang itu selalu bikin gagal semuanya.
Mereka tak bisa dipegang dan diandalkan
Sekarung kutu jauh lebih mudah ditata.

Keplinplanan borjuis kecil!
Konsumtif dungu!
Sisa produk lama!

Tak gampang membunuh mereka semua!
Tak gampang pula menatarnya siang malam!

Coba kalau orang-orang itu tak ada
semua pasti berbeda.

Coba kalau orang-orang itu tak ada
semua bakal beres segera
Coba kalau orang-orang itu tak ada
Coba
(Maka di sini aku pun tak perlu bikin repot lagi.)


Middle Class Blues

Kami baik-baik saja.
Kami sibuk.
Kami kenyang.
Kami makan.

Rumput tumbuh,
Produk sosial,
Kuku jari,
Masa lalu.

Jalanan kosong
Kontrak-kontrak sudah beres.
Sirene-sirene membisu.
Semua bakal berlalu.

Kaum almarhum sudah siapkan surat wasiat.
Hujan sudah berkurang
Perang belum dinyatakan
Itu tak perlu buru-buru.

Kami lahap rumput.
Kami lahap produk sosial.
Kami lahap kuku jari.
Kami lahap masa lalu.

Kami punya tiada yang perlu dirahasiakan
Kami punya tiada yang perlu dianggap kehilangan.
Kami punya tiada yang perlu dikatakan.
Kami punya.
Jam sudah diputar.
Semuanya sduah tertata.
Piring-piring sudah dicuci.
Bis terakhir sudah lewat.
Kosong pula.
Kami baik-baik saja.
Apa lagi yang kami nantikan?


Si Malang Kassandra

Cuma dia yang tahu apa yang bakal terjadi,
dia cuma: semua itu, katanya,
bakal berakhir dengan buruk. Tentu saja
tak seorang pun yang percaya.
Memang kejadiannya sudah sangat lama. Tapi sejak itu
semuanya bilang begitu. Lihat saja
kurs saham, kemacetan,
dan warta berita malam. Masalahnya adalah
apakah arti “semua itu”, dan kapan?
Sampai saatnya tiba tentu tak ada yang percaya
apa yang dicemaskan semua orang.
Lihat saja mobil-mobil baru,
tempat-tempat hiburan, dan iklan jodoh.

Kassandra: tokoh perempuan dalam mitologi Yunani. Kassandra peramal yang tidak dipercayai siapa pun. Sedangkan ramalannya selalu menjadi kenyataan.


Creditur

Ketiadaan mutlak saja
sudah gawat rasanya.
Membuat mulas
kaum metafisikawan.
Menemukan nol
tak seperti memetik bunga.

Apalagi ketika
seorang India sembarangan
kejatuhan ide
bahwa sesuatu bisa kurang dari tiada.
Kontan orang Yunani mogok.

Para pakar ketuhanan pun
merasa canggung dengan ide itu.
Tipuan setan, ucap mereka,
bisikan iblis.

Inikah angka-angka alami,
pekik skeptiswan-skeptiswati,
minus satu, minus satu milyar?

Hanya dia yang berduit,
dan jumlahnya segelintir saja,
yang sama sekali tak pernah gentar:

Hutang dan potongan pajak,
pembukuan ganda.
Dunia binasa oleh bunga.
Aritmetika – lumbung mereka.
Kita semua berkredit,
kata para banker.
Cuma soal kepercayaan

Sejak itu, ia makin membesar saja
yakni ia yang kurang dari tiada.

Creditur, bahasa latin; bentuk pasif dari kata kerja credere yang artinya percaya. Istilah kredit (pinjaman) berasal dari kata latin itu.


Perkabungan atas Apel

Di sini dulu apel terbaring
Di sini dulu meja
Itu dulu rumah
Itu dulu kota
Di sini tanah istirah

Apel itu
adalah bumi
sebuah planet elok
tempat apel-apel dulu ada
juga para pemakannya.


Tentang Hans Magnus Enzensberger
Hans Magnus Enzensberger lahir di Kaufbeuren, kota kecil di Jerman Selatan pada 11 November 1929. ketika Magnus berumur 9 tahun, perang dunia II meletus, kota Nurnberg yang ditinggalinya sejak 1931 mulai dibom sekutu tahun 1942. selesai perang Jerman hancur total. Paska perang ia pernah menjadi pedagang di pasar gelap dan penerjemah bagi tentara Inggris yang sedang menduduki Jerman. Pada tahun 1955 ia meraih gelar doktor dengan menulis disertasi bertemakan puitika penyair romantis Jerman Clemen Brentano (1778-1842). Sejak awal tahun enampuluhan Enzenberger mulai aktif di bidang politik.  Kumpulan puisinya al: Verteidigung der wolfe (Pembelaan Serigala; 1957), Landessprache (Bahasa Nasional; 1960), yang mengukuhnya nama harumnya sebagai “penyair politis” dan “penyair kiri”, Blindenschrift (Huruf Braille; 1964), Mausoleum. 37 Balladen aus der Geschichte des Fortschritts (Mausoleum. 37 Balada dari Sejarah Kemajuan; 1975), Die Furie des Verschwindes (Dewa Sang Kehilangan;1980), Zukunftsmusik (Cita-cita Masa Depan; 1991), Kiosk. Neue Gedichte  (Kios. Sajak-sajak baru; 1995), Leichter als Luft. Moralische Gedichte (Lebih Ringan daripada Udara. Sajak-sajak Moral; 1999), Die Geschichte der Wolken. 99 Meditationen (Sejarah Awan. 99 Meditasi; 2003) dan kira-kira 30 buku non-puisi (novel, cerpen, esai, dan sebagainya).

Catatan Lain
Buku yang saya pinjam dari Hajri ini diantarkan oleh penerjemahnya, masing-masing satu tulisan. Berthold Damshauser menulis Enzensberger: Penyair dan Cendekiawan, sedang Agus R. Sarjono menulis Setan Ironi antara Kanan dan Kiri. Dikatakan Agus R. Sarjono, dengan melalui perdebatan tentunya, Enzensberger dapat dianggap sebagai penyair terbesar Jerman saat ini. Tulisnya lagi: “Selain kiprahnya alam dunia sastra dapat dibilang unik, ia juga menunjukkan minat yang beragam dan pergulatan intelektual yang cukup habis-habisan mulai dari sisi kiri hingga kecewa dan meragukan pandangan-pandangan kiri sampai bergeser ke kanan dan tetap senantiasa kritis pada segala yang kanan.  
            Agus juga menjuluki Enzensberger sebagai “si setan ironi” karena hampir seluruh karyanya dicahayai nada ironi bahkan bernada sarkastik. Julukan setan ironi sebenarnya plesetan dari buku anak yang ditulis Enzensberger, yang populer dan juga telah beredar di Indonesia dengan judul Setan Angka. Sebuah buku yang mencoba mengakrabkan anak dengan 2 hal yang menakutkan mereka yaitu setan dan matematika.
Di akhir tulisannya, Agus sebagai pribadi mengucapkan terima kasih kepada rekan editor dan penerjemah seri puisi Jerman, Berthold Damshauser, yang dikatakan memiliki dedikasi tinggi  sehingga menerjemahkan puisi-puisi Jerman yang hebat itu sering kali hingga menjelang pagi. Pujian sebaliknya juga dilakukan Berthold Damshauser terhadap Agus. Katanya, “Penerjemahan puisi Enzensberger ternyata tidak sesulit penerjemahan Goethe atau Celan, tetapi merupakan tantangan juga, khususnya mengenai upaya menjelmakan humor subtil perpuisian Enzensberger pada terjemahan Indonesia. Tantangan itu dapat diatasi berkat kongenialitas Agus R. Sarjono yang  - seperti Enzensberger – mahir berhumor dan berironi, seperti telah dibuktikan dalam karya-karyanya sendiri. Dapat dikatakan bahwa pada proses penerjemahan itu telah terjadi pertemuan dua maestro humor: Enzensberger dan Agus R. Sarjono.”
            Maka demikianlah, saya pun mengamini apa ujaran penerbit Horison, bahwa apa yang diupayakan dengan tekun oleh editor dan penerjemah tidak saja memperkaya apresiasi tapi juga sekaligus membuka dialog seluas-luasnya dengan budaya Jerman khususnya, dan Barat umumnya. Karena, kata penerbit lagi, untuk mengenal suatu bangsa, cara terbaik adalah membaca dunia batin dan renungannya, yakni karya-karya sastranya. Entahlah. 

1 komentar: