Selasa, 03 April 2012

Subagio Sastrowardojo: KERONCONG MOTINGGO


Data buku kumpulan puisi


Judul : Keroncong Motinggo
Penulis : Subagio Sastrowardojo
Cetakan : I, 1975
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 116 halaman (58 puisi)
Gambar muka : Popo Iskandar



sebab aku suka kepada cahaya/yang mekar sebagai bunga/dan membakar seluruh kota//api, bikin aku muda
(Sajak Ilham, Subagio Sastrowardojo)

Beberapa pilihan puisi Subagio Sastrowardojo dalam Keroncong Motinggo

Kejatuhan

Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?



Nuh

Kadang-kadang
di tengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debur laut
menghempas karang

Aku tahu pasti
sehabis mengembara
dan bercengkerama di kota
aku akan kembali ke pantai
memenuhi janji

Sekali ini tidak akan ada pelarian
atau perlawanan

Kapal terakhir terdampar di pasir

Aku akan menyerah diam
waktu air membenam


Menara

Setiap pagi
membuka sorga
dan anak-anak mengulang lagi bahasa
yang terlupa malam hari

Itu sebelum tiba kutuk
yang memisah arti
dari kata
dan percakapan tak mungkin lagi

Sebelum musnah menara kesadaran
terbakar api senja

Menyusul kemudian penantian
semalaman
kepada pagi


Sayap Patah

sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
--  meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali


Jika Hari Rembang Petang

Jika hari rembang petang
tidak berarti permainan bakal selesai
dan boleh tinggalkan gelanggang

hanya peranan bertukar
dari pemain di dalam
menjadi penonton di luar

kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
dan melihat bayang
terlempar di layar

kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk

hari sudah tinggi
kau tak berbenah?

di bawah bayang senja
setiap barang nampak indah

muka-muka yang lelah
berbinar di redup sinar

di antara kita berdua, kekasih
siapa dulu akan terkapar?


Proklamasi

Ketapang yang bercumbuan dengan musim
menjatuhkan daunnya di halaman candi
Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh
di muka gerbang berukiran huruf lam
yang dijaga orang kidal


L’education Sentimentale

untuk mempelajari warna
aku kembali kepada bunga
di musim tumbuh –
merah, kuning, ungu – dan hijau
dari rumput
di sela hitam tanah
untuk kilau cahaya aku belajar
dari sinar mata dan perang rambut
seperti emas, dan putih
ah, dari langit yang telanjang
atau dari tubuhmu yang kukasih
atau dari maut
semua putih
aku kumbang yang melayang
demi gairah menuntut
dan sanggup hidup sehari


Kayon

pohon purba
- di tengah hutan merah tua -
tahu akan makna dunia
maka diam
tak bicara


Belukar

terlepas dari napas pertama
aku terlempar ke padang sepi
anjing liar tersekat di belukar
bernasib mengembara tiada henti
dirundung rindu
kugoreskan napsu ke perut bumi
– aku sungguh tak nyeleweng dari janji –
berkubang dalam lumpur dan tahi
masih maukah kau menerimaku kembali
apa sempat kau memberiku mimpi


Pertiwi

ia rebah di lembah pagi:
paha putih menjulurkan ketela
lengan manis beruas tebu
dan jari tangan mengalirkan bulir padi

pemburu, apa yang kautunggu!

rambut rindang melindungi kelapa
gading – buah dadanya

tanpa ayal kutempuh semak belukar
menyambut daging ilahi

di belah gapura kuhirup madu abadi


Pasrah

Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari

Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring

Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening


Genesis

pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
– aku cinta – kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin
lihat, api itu terus menyala


Pagi

tepat pukul lima
pagi
jagat mengental
malam yang menyeruak
menumpahkan noda di sutera langit
diriku yang terbakar dekat dinding
kehabisan arus berahi
dan kau juga
rambutmu yang terkait di sela jari
tidak lagi membersitkan selera
nasibmu terhela di ranjang tua
siapa sempat bicara tentang dosa:
telah terhenti suara lantang di taman firdausi
suara lelaki yang tak mungkin berulang lagi


Adam

Karena terkutuk
manusia pertama yang terdampar di pantai
matanya buta

Dinding mega memagari cakrawala
Dunianya adalah kekosongan tanpa makna

Waktu ditanya dari mana ia berasal
dan mengapa bintang berlayangan di langit
ia hanya menggeleng tak mengerti


Wawancara

I
Di balik cinta yang hilang, Tuhan
terus menusuk duri kenangan
sehingga terkelupas kulit nyawaku
dan darahku telanjang
menjerit
dari rongga rindu paling kelam

II
Apatah yang lebih hitam
dari bayanganmu
yang tercapak di sudut tembok
di mana tumbang jembangan bunga

Atau di papan pintu tua
yang kuketuk tapi tak ada yang membuka

Hatimu terlalu baik, Tuhan
dan membiarkan bayangan hitam
mengikut langkahku sendirian
lalu mencekikku di lorong lengang

III
Mataku rabun
(karena terlalu banyak membaca)
sulit lagi percaya
di mana kau berada

Di hari hampa
masihkah kau di situ, berjaga?

Telah kututup buku di meja
dan dadaku sudah penuh dengan napasmu
Tuhan, akan kembali kau bersabda?

IV
Sebelum mereka bangun
aku telah selesai mendirikan rumah
dari pasir di pantai
O, betapa indahnya berbaring
membayangkan kuda putih
dan kapal layar di mega
Parak siang menurut rencana
aku akan berlomba di lapang bola
dan main perang dengan kayu dan api
pura-pura tertembak dan menangkup mati
Terpelanting ke alam kanak
aku sering berpaling ke dini hari
saat sebelum mimpi siang ini terjadi
Sebab aku sebenarnya tidak berbeda
dengan kau, Tuhan:
Hadirku di sini lebih dulu dari bapa
dan nyawaku purba tidak pernah jadi tua

V
Hatiku putih kini
karena kalis dari dosa
Dapatkah kau kubujuk
dan minta kau bicara?
Telah kulecut tubuhku
dengan siksa penyesalan
sehingga remuk dagingku
dan tinggal hanya rindu kepada suaramu
Tetapi mukamu tetap diam
seperti kertas kosong
tak beraksara
Haruskan aku mabuk lagi oleh kata
dan berceloteh tanpa makna?
Tuhan, aku tak sabar menanti berita kalam
langsung terbit dari sumber ilham

VI
Di bagian musim ini
mendung di pantai
mendatangkan resah
di hati dan dinding rumah
Dan kau, Tuhan, berlaku sebagai tamu asing
gelisah keluar-masuk
melintasi lantai pintu
Mengapa tidak singgah di laut batinku
dan memancarkan rahmatmu dari sana
dari hening lubuk
yang tak pernah goncang oleh badai
di mana kau bisa betah


Ilham

di bukit siguntang
 – di puncaknya pernah kuciptakan bulan –
bintang berburuan

angin yang kucinta
mengucup pelupuk mata
– dinginnya menusuk, tajam
seperti duri embun –

apa tidak baik
mendirikan dinding
dari puing mega
dan menjaga
supaya api menyala

sebab aku suka kepada cahaya
yang mekar sebagai bunga
dan membakar seluruh kota

api, bikin aku muda

sebentar lagi bakal pagi
terasa pada selera lidah
dan gelitik kaki

segera ke lembah aku lari


Dalang

Pulang dari seberang pantai
lidahnya seperti kelu
dan ia tidak sedia
memainkan lagi bonekanya
Pondoknya tertutup buat tamu
Rakyat yang kebingungan
mendobrak pintunya dan berteriak:
– Kisahkan lakon hidup ini
dan terangkan apa artinya!
Terbangun dari keheningan
ia menulis sajak satu kata
yang paling bagus
berbunyi: “Hong”


Tentang Subagio Sastrowardojo
Subagio Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan mulai menulis cerpen, sajak dan esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya dalam bidang sastra dan teater di Yale University. Dan saat ini (maksudnya sekitar tahun terbit buku ini, 1975), ia tinggal di Adelaide, Australia, mengajar bahasa dan sastra Indonesia di sana. Kumpulan puisinya, Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Hari dan Hara (...). Kumpulan cerpennya Kejantanan di Sumbing (1965). Esainya Bakat Alam dan Intelektualisme (1972).

Catatan Lain
Keroncong Motinggo, yang merupakan koleksi Perpustarda Prov. Kalsel ini, terdiri dari dua kumpulan sajak, yaitu Keroncong Motinggo (15 sajak) dan Genesis (44 sajak), ditutup dengan sebuah esai panjang dari penulisnya Mengapa Saya Menulis Sajak. Antara lain Subagio menulis begini: Waktu muda saya ingin menempuh jalan musik, tetapi kemudian saya merasa bahwa bunyi begitu lemah menghadapi landa waktu. Bunyi begitu mudah menguap tanpa meninggalkan kumandang di udara dan yang tinggal hanya lambang-lambang mati di atas kertas musik. ... Kemudian saya berkecimpung selama beberapa waktu di dalam bidang seni lukis. Tetapi saya rasakan seni ini sebagai seni bisu. Ia adalah seni manusia tanpa lidah dan saya tidak puas dengan seni lukis, menurut perasaan saya sarana lukisan tidak cukup lembut untuk mengucapkan gerak perasaan dan pikiran. Di dalam lukisan, nyawa masih terus bergulat hendak mengucapkan diri seakan-akan terkungkung dalam tubuh yang tak dianugrahi bahasa.
            Kata Subagio lagi, tentang kenapa ia memilih sastra, lebih khusus puisi karena ... “Di dalam kesusastraan pengalaman estetik tidak hanya melibat saat-saat jasmaniah, penginderaan dan perasaan dari kehidupan sebagai insan, tetapi bersangkutan juga dengan masalah-masalah, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan yang menjadi ciri khas kehidupan manusiawi. Di dalam sastra kita mengucap dan terbayang sebagai manusia yang penuh.” ...... Di dalam penulisan sajak keterpukauan saya pada nilai-nilai keindahan yang kekal tidak saja merupakan desakan untuk menulis, tetapi juga mempengaruhi pemilihan pokok karangan. Bermacam-macam tema yang mendasari sajak-sajak saya, seperti tema kesepian, cinta jasmaniah atau nasib yang tak menentu.
            Lebih jauh Subagio berujar begini, setelah mengutip sajak Kejatuhan dan Genesis: Seperti kentara pada sajak-sajak ini, saya telah meminjam drama sajak dari Kitab Injil. Saya bukan seorang Kristen, tetapi soalnya saya selalu merasa tertarik pada kisah-kisah dari zaman-zaman kuno, dongeng dan hikayat lama, kitab-kitab suci. ... Mereka berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan yang sejati yang lurus datang dari perasaan serta bayangan batinnya. Penyair menemukan pada tokoh-tokoh purba itu jenis sesamanya yang lebih mula dan tua, yang seperti dia hendak menyaksikan dunia dalam keperawanannya, sebelum diwarnai pandangannya oleh kategori dan metode berpikir yang kini ada. Tokoh-tokoh purba itu dengan langsung menyentuh hakikat yang ada.      
            Saya berkenalan dengan pertama kali dengan Subagio Sastrowardojo sejak SMP (sekitar umur 13-15) lewat buku Daerah Perbatasan. Dan lebih dari yang dapat saya sadari, puisi-puisinya membius dan mempengaruhi saya. Puluhan tahun berlalu dan saya jarang lagi mendengar namanya atau puisinya muncul/dibicarakan. Maka hari ini, saya menghadirkan lagi penyair kuat ini dengan penuh perasaan nostagia.
        Oya, di buku ini juga ada cap toko, yaitu Toko Buku M. Joenoes, Kotak Pos No. 166, Bandjarmasin. Beberapa penyair lama di Banjarmasin sering mengenang toko buku ini dengan nostagia. 

3 komentar:

  1. It was very interesting for me to read that blog. Thanks the author for it. I like such topics and everything that is connected to them. I would like to read more soon.
    1982 Pontiac 6000 AC Compressor

    BalasHapus