Sabtu, 09 Juni 2012

Asmara Hadi: PENJAIR API NASIONALISME


Data buku kumpulan puisi

Judul : Penjair Api Nasionalisme
Penulis : Asmara Hadi
Cetakan : I, 1965
Penerbit : PT. Gunung Agung, Jakarta
Tebal : 105 halaman (58 judul puisi)
Editor dan Pengantar : Drs. J. U. Nasution

Beberapa pilihan puisi Asmara Hadi dalam Penjair Api Nasionalisme

Zaman Kami

Zaman kami zaman membakar
Zaman jang penuh perdjuangan
Dan kami generasi kini
Berdjuang dalamnja bagai pahlawan

Pada wadjah kami bersinar
Indah tjemerlang tjahja kemenangan
Djantung kami berdegup gumbira
Seperti akan melihat tunangan

Kami berdjuang menjerahkan djiwa
Pada zaman jang perlukan kami
Dalam kekalahan zaman sekarang
Kamilah rasul kemenangan nanti

Seperti dari puntjak gunung jang tinggi
Kita lebih dahulu dapat melihat,
Tjahaja fadjar kemerah-merahan
Tanda matahari akan terbit
Sedang djauh didalam lembah
Semuanja masih gelap-gulita
Demikianlah djiwaku lebih dahulu
Dari puntjak gunung puisi
Dapat melihat sinar memerah
Sinar fadjar kemenangan kita
Sedang dalam kehidupan sehari-hari
Semuanja masih gelap-gulita

Pudjangga Baru, no.1 , th. V, Djuli 1937



Bilakah

Bilakah alam bersinar senang
Diterangi Surja Kemerdekaan?
Bilakah rakjat bernafas tenang
Mengisap udara Kemerdekaan?

Bilakah terbit bintang ,,Merdeka”
Menjinari alam Indonesia?
Bilakah hilang malam tjelaka
Kehidupan senang bersuka ria?

Disitulah baru senang dihati
Indonesia telah merdeka
Merah-Putih telah berkibar

Disanalah baru aku berhenti
Dari bermenung berhati duka
Hari panas, tiada sabar

Fikiran Rakjat, no. 24, Des 1932


Merindukan Bahagia

Djikalau hari lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Alam seperti dalam semadhi
Sukma djiwaku rasa tengelam
Dalam laut tiada berwatas
Menangis hati diiris sedih

Fikiranku melajang perlahan
Diatas sajap kenangan sunji
Kepantai waktu nan telah lalu
Djiwa menangis tertahan-tahan
Terkenang nasib Tanahku ini:
Mengandung pilu, mendjundjung malu

Terkenang waktu zaman tjemerlang
Mandi disinar surja Merdeka
Terang tjahaya Indonesia
Air mataku djatuh berlinang
Hantjur hati dihempaskan duka
Hilang gaja, tiada berdaja

Wahai panah kenangan rindu
Sudahlah engkau meluka hati
Djangan mendamba masa nan sudah
Dengar disana njanjian merdu
Seperti makai petunang sakti
Menghapus gundah didalam dada

Njanjian merdu terdengar terang
Datangnja dari sebelah Timur
Dimana surja hampir bertjah’ja
Njanjian anak zaman sekarang:
,,Indonesia Tanahku makmur,
Hampir bertjah’ja surja Bahagia!”

Pudjangga baru, no. 6, th I, des 1933.


Mawar

Terorak kelopak mawar djuita
Warna berseri mendandan sari
Mengalun wangi kematahari
Ketika pagi indah tjuatja

Datang lebah, hinggap kebunga
Hendak menjeri, itu maksudnja
Mawar menjerah bagia-rela
Lebah menghisap sepuas-puasnya

Setelah habis wangi dan madu
Terbanglah lebah, pulang kesarang
Mawar sendu terkulai laju
Mengenangkan tjinta lebah jang tjurang

(Penjelasan editor: sadjak ,,Mawar” diatas diambil dari dokumentasi Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan, Djakarta. Sadjak tersebut hendak dimuat dalam madjalah Pandji Pustaka djaman Djepang, tapi karena dianggap mengandung ketjaman terhadap pemerintah Djepang maka tak dapat dimuat.)


Untuk Asia Raja

Dalam kandang kawat berduri
Terkurung badan, Djiwa meradang
Bertanya dimanakah Tuhan
Jang adil dan kuasa kata orang

Wadjah seorang pahlawan
Terbajang senjum dimuka mataku
Njata benar matanja bersinar
Tunduk aku kerena malu

*
Kita hidup dalam zaman
Jang mendidih bagai lautan
Djauh masih tepi jang aman

Sekitar kita air semata
Kapal ketjil terumbang-ambing
Kilat berdenjar, badai gempita

Keraskan hati, lawan segala
Enjahkan perasaan sangsi dan tjabar
Kita ditangan Allah Ta’ala

*
Bagia kita angkatan sekarang
Hidup dizaman pantjaroba
Dunia raja luas mengembang
Bagai bumi menanti usaha

Djangan mengeluh, jangan mengaduh
Hai pemuda! Gembira dan girang
Seharusnja kamu! Zamanmu subuh
Jang mendahului siang gemilang

Perasaan pedih dihitung djangan!
Pedih bunda melahirkan anak
Pedih benih menembus bumi
Pedih hilang datang bagia

Relakan teman badanmu mendjadi
Pupuk hantjur dilapangan waktu
Dari kurban angkatan kini
Mewangi nanti bunga restu

*
Gemuruhlah kamu angkatan udara
Hantjurkan bom jang menjerahkan maut
Kamu meriam, gunturkanlah suara
Jang dahsjat diatas bumi dan laut

Maraklah api, tinggi dan permai
Bakarlah, bakarlah seluruh dunia
Hantjurkan pendjara, debukan rantai
Jang berabad-abad mengikat Asia!

Dari buku Dibelakang Kawat Berduri, halaman terakhir, 1942


Rasuna Said

Didalam kebun tanah Andalas
Tumbuh sekuntum melati mulia
Perhiasan Ibunda Indonesia
Menambah tjantik, membawa djelas

Demikian Rasuna kumisalkan
Sepantun sunting sanggul Ibunda
Di Indonesia harum namamu
Sampaikan mati djadi kenangan

Teruslah, O, Rasuna Melati
Teguhkan iman, tetapkan hati
Membela tanahmu Indonesia

Namamu harum tidakkan hilang
Sebagai bintang gilang-gemilang
Engkau Rasuna, perempuan mulia!

Fikiran Rakjat, no. 31, djan. 1933


Kapada Dipanegara

Sebagai bintang dimalam jang kelam
Kemilau diatas langit jang hidjau
Dan berabad-abad setia menindjau
Pelajar ditengah laut jang dalam

Djadi pedoman, menundjukkan djalan
Didalam kesunjian malam waktu
Demikianlah engkau bagi bangsamu
Jang dalam kelam malam kungkungan

Menuntun bangsamu ketanah bahagia
Jang berlautkan Senang, bergunung Mulia
Diatapi langit kesempurnaan

Engkaulah menjadji bintang bangsamu
Menjinari dunia setiap pendjuru
Memantjarkan tjah’ja Kemerdekaan!

Fikiran Rakjat, no. 33-34, Feb. 1933


Kami Penabur

Kami bekerdja dipadang masa
Menaburkan benih tjinta mulia
Jang nanti akan senantiasa
Semerbakkan wangi bahgia-dunia

Tapi kami hanja penabur
Bila dunia berbahagia nati
Kami sudah lama berkubur
Tiada dapat merasainja lagi

Sungguhpun begitu kami ichlas
Bekerdja sekarang dipadang masa
Kami tiada harapkan balas
Bahgia kami ialah berdjasa

Pelopor Gerindo, April-Mei 1938


Semangat Demokrasi

Gemilang pagi mandi tjahaja
Bangun alam kilau-kilauan
Bisik berbisik nikmat rasanja
Angin mesra mentjium Priangan

Burung bernjanji girang bahgia
Melompat dari dahan kedahan
Daun dan bunga bertabur mutia
Air mata Dewi Keindahan

Seperi pagi pantun perawan
Tjantik djelita berdjiwa mulia
Kasih bermimpi dimata rahman

Demikianlah semangat Demokrasi
Melajang indah di Indonesia
Membawa berita Kemerdekaan nanti

Pelopor Gerindo, Okt 1937


Selamat Tinggal, Periangan

Taman sari, tanah Periangan
Sekarang ini berpisah kita
Kereta api hampir berdjalan
Selamat tinggal alam djelita
Negeri lain datang meminta
Engkau kan hanja tinggal kenangan
Tempat, dimana mendapat tjinta
Akan selalu terangan-angan

Peluit berbunji, tinggallah engkau
Bukit dan gunung hidjau berkilau
Alam rupawan menawan hati
Tinggallah kota, tinggallah dusun
Tinggallah sawah turun bersusun
Kamu kutjinta sampaikan mati

Pudjangga baru, no. 12, th. I, djuni 1934


Kepada Seniman

Tahukah teman, wahai seniman
Dimanakah tempatmu didalam dunia?
Bukan dimertju kedirianmu
Tapi disini, antara manusia
Tuan bukan putra dewata
Tuanpun hanja manusia sadja!

Djangan hanja dibunga kembang
Dimata gadis, dibintang malam
Digunung biru, ditasik tenang
Ditjandi keramat, diartja pualam
Tuan tjari Keindahan
Keindahan ada dalam segala

Dilokomotif jang menarik kereta
Dimesin pabrik jang gegap-gempita
Dilumpur sawah, ditangan buruh
Dalam segala ada Keindahan
Tertawa, menangis, menanti seniman!

Dari mertju kedirianmu
Turunlah engkau, wahai seniman
Dengan api seniman jang sakti
Buatlah semuanja djadi bernjawa
Djadilah engkau ditengah rakjatmu
Mertju api, besar dan tinggi
Terang menerangi hidup bangsamu!

Pandji Pustaka, No. 9-10 th. XXI, Maret 1943


Sekarangan Kembang
(Buat Ratna)

Mengarang aku, adikku aju
Bunga dari taman djiwa
Kembang dewata kekal-tak-laju
Gemilang djuita berwangi tjinta

Buat engkau kembang kukarang
Akan hiasan kepalamu
Tanda tjinta, dindaku sajang
Njala kekal dalam djiwaku

Ingin aku sebagai pengarang
Meninggalkan sjair gilang gemilang
Supaya tjinta jang njala sekarang
Sepandjang masa tiada ‘kan hilang

Supaja namamu, adikku aju
Gemilang kekal dalam dunia
Dipudja segala pembatja sadjakku
Ratna Asmara: tjinta mulia

Dari miljunan dara didunia
Kumuliakan engkau sebagai dewiku
Kupudja dengan njanjian mulia:
Kembang dan setanggi dupa hatiku

O, dewi, jang menjinarkan tjahaja
Terangilah selalu djalan djiwaku
Supaja sampai dibahagia raja
Dalam pelukan swarga tjintamu

Ja, jakin aku, nanti tanganmu
Akan meletakkan tanda tjintamu
Karangan bunga atas kepalaku
Karena aku setia selalu

Tiada takut tempo tjobaan
Berdiri dahsjat antara kita
Jakin kuat dalam perdjuangan
Untuk engkau, Ratna djuita

Akan gemilang tenang matamu
Menjinarkan tjaja kasih abadi
Akan berkumpul hasrat djiwaku
Dalam bisikan ,,Kandaku Hadi”

Menggeram segara jang luas-dalam
Ketawa suara maut dan baja
Mantjar halintar membelah malam
Gempita badai memburu segara

Dalam kedahsjatan malam gempita
Jang membuat tjabar djiwaku
Terbajang gemilang pagi djelita
Ketika segala bersinarkan tjintamu

Ingat aku akan pintamu
Semoga djiwaku selalu mulia
Dilindungi restu do’a tjintamu
Sebagai sjatrya melalui dunia

Perasaan sangsi segeralah hilang
Digantikan perasaan jakin gembira
Dilangit gelita gemilanglah bintang
Pemimpin djalanku diatas segara

Jakin djiwaku kapal ‘kan sampai
Dalam pelabuhan kota kentjana
Tempat hidup gemilang permai
Manusia bagia sebagai dewa

Kita hidup dimasa jang indah
Zaman bangsa sadar kembali
Miljunan tangan kerdja gelisah
Bangunkan swarga diatas bumi

Dengarlah dinda, dendang jang suka
Mendengung atas Indonesia
Masuk dalam hati jang duka
Membuat mata bersinar mulia

Ratnaku, dinda, bahagia kita
Dapat hidup dimasa kini
Menanam bibit tjinta dan tjita
Jang akan berbuah dimasa nanti

Dalam matamu, dinda djuita
Kulihat sinar dunia baru:
Indonesia negeri kita
Bahagia diatas segara biru

Kulihat kanak bermain girang
Ditengah bunga jang sedang kembang
Ditengah padi: emas gemilang
Kerdja petani sambil berdendang

Dalam fabrik jang gegap gempita
Kudengar njanjian usaha raja
Ribuan mata mengintan tjuatja
Ribuan tangan kerdja suka

Kaum melarat tiada lagi
Tiap manusia berhak sama
Dari lahir sampaikan mati
Hidup bebas laksana dewa

Kalau aku melihat tawamu
Gemilangkan sinar tjinta mulia
Terbajang-bajang depan mataku
Bagia raja benderang didunia

Terdengar-dengar laguan melajang
Beritakan dunia makmur-damai
Umat manusia berkasih-sajang
Dalam persatuan tulus-permai

Ja, kekasih, jakin djiwaku
Tjinta sosial pasti ‘kan menang
Kalau aku melihat tawamu
Gemilang tenang nandakan senang

O, kekasih, njalakan djiwaku
Selalu dengan api tjintamu
Supaja dapat kuat dan girang
Serta berdjuang dizaman sekarang!

Membangunkan keindahan baru
Dinegeri kita, Indonesia
Jang bagai zamrud disegara biru
Restui daku, kekasih mulia!

Pudjangga Baru, no. 1-2, th. VIII, Djuli-Agust 1940


Nasib Tanah Airku

I
Panas jang terik datang membakar
Lemahlah kembang hampirlah mati
Tunduk tergantung bersedih hati
Mohon air kepada akar

Mendapat air amatlah sukar
Belumlah turun hudjan dinanti
Musim kemarau belum berhenti
Angin bertiup belum bertukar

Seperti kembang hampirkan laju
Lemah tampaknja, rawan dan saju
Demikianlah ‘kau Indonesia

Nasibmu malang amat tjelaka
Hidup dirundung malapetaka
Tidak mengenal rasa Bahagia

II
Mentari datang menghalaukan malam
Menjinarkan senjum penuh tjahaja
Dunia lah bangun memberi salam
Njanjian jang merdu menjambut surja

Lihatlah teratai didalam kolam
Tersenjum membuka kuntumnja, dia
Menghamburkan harum kedalam alam
Pemudja pagi gemilang mulia

Memandang pagi menjedapkan mata
Keraguan hati hilang semata
Memikirkan nasib Tanah Airku

Seperti mentari dikala pagi
Kemerdekaan tentu datang lagi
Menerangi Tanah tempat lahirku

Pudjangga Baru, no. 10, th I, april 1934


Tentang Asmara Hadi
Asmara Hadi adalah nama pena. Nama aslinya Abdul Hadi. Selain Asmara Hadi, juga ada Ipih atau H.R. singkatan dari Hadi dan Ratna, Hadi adalah namanya sendiri, sedang Ratna adalah nama seseorang yang kelak menjadi isterinya. Asmara Hadi lahir di Bengkulu pada tanggal 8 September 1914. Meninggal pada 3 September 1976 di Bandung. Tahun 1929, melanjutkan sekolah di Jakarta, di sana tinggal bersama mahasiswa2 yang turut aktif dalam pergerakan kebangsaan. Kemudian pindah ke Bandung, sekolah menengah di MULO, Taman Siswa. Ia kemudian masuk partai politik dan menjadi seorang kader yang digembleng Bung Karno. Tatkala Bung Karno tahun 1932 menerbitkan Fikiran Rakjat, Asmara Hadi adalah seorang pembantunya. Kata penyunting: Dari tangannjalah sadjak-sadjak jang dimuat madjalah tersebut. Konsekuensi dari tokoh pergerakan adalah pembuangan dan penjara. Tahun 1934 - 1935, Asmara Hadi ikut dibuang ke Ende bersama Bung Karno. Tahun 1937 kembali merasai hotel prodeo, demikian juga tahun 1938 dan tahun 1939, bersama Amir Sjarifuddin. Tatkala pecah perang Pasifik tahun 1941, kembali ia ditangkap dan menjadi tawanan. Bersama pemimpin-pemimpin pergerakan lain, ia berpindah-pindah penjara mulai dari Sukabumi, Garut, Jakarta, dan kembali ke Sukabumi lagi. Inilah yang kemudian melahirkan buku Dibelakang Kawat Berduri. Penyunting buku menulis begini: “Dibelakang Kawat Berduri terbitan Pemandangan, Djakarta 2602 (1942). Buku ini merupakan buku tjatatan selama pengarangnja ditawan pemerintah Belanda, ketika Perang Pasifik petjah. Peristiwanya dimulai tanggal 8 Desember 1941, jaitu saat petjahnja Perang Pasifik hingga tanggal 15 Maret tatkala pengarang dapat bebas dari Nusakambangan. Dalam buku tersebut digambarkan antara lain bagaimana pengarang dibawa P.I.D pengeledahan di rumahnja, keadaan didalam tahanan, pertanjaan2 yang dimadjukan kepadanja serta peristiwa2 jang lain selama ditawan itu. Kisah2 didalamnja diselingi pula dengan puisi.”    
            Asmara Hadi pernah menjadi pemimpin majalah Pelopor Gerindo (1937-1938), pemimpin redaksi majalah Tudjuan Rakjat (1938-1941), dan pembantu tetap majalah Pudjangga Baru.

Hal Lain
Penyunting buku ini, J.U. Nasution, menulis dalam pengantarnya, bahwa dalam tahun dua puluhan telah didapati sajak-sajak yang berisikan semangat kebangsaan dari penyair Muh. Yamin, Rustam Effendi dan Sanusi Pane. Kesemua penyair itu adalah juga tokoh-tokoh dalam pergerakan kita, tulisnya. Nah, dipermulaan tahun tiga puluhan muncul lagi seorang penyair yang keras sekali semangat kebangsaannya memenuhi sajak-sajaknya. Penyair itu terkenal dengan nama samaran Asmara Hadi.
            Tulis penyunting lagi: “Asmara Hadi lahir sebagai penyair tatkala kesusateraan Indonesia kuat dipengaruhi aliran romantik. Inilah sebabnya semangat kebangsaan dalam sajak-sajaknya berjalin dengan unsur-unsur romantik.” Maka muncullah perbandingan-perbandingan dan lambang-lambang yang sering digunakan penyair romantik seperti mentari, kembang, teratai, pagi, intinya berisi lukisan alam dengan segala keindahannya.
            Di pengantar juga dikatakan bahwa bahwa Asmara Hadi memiliki kekaguman terhadap Sanusi Pane. Ternyata, selain karena Sanusi Pane pernah menjadi guru bahasa Asmara Hadi, juga karena sikap yang diperlihatkan Sanusi terhadap perjuangan bangsanya dan keberaniannya berkorban untuk kepentingan bangsanya. Sanusi Pane pernah dihadapkan pada persoalan apakah akan terus bekerja pada pemerintah Belanda dengan penghidupan yang terjamin atau terjun ke lapangan politik dengan segala konsekuensinya. Dan Sanusi Pane memilih yang kedua.
            Penyunting juga memberi penilaian seperti ini: “Kitapun tahu bahwa sajak-sajaknya bila dibandingkan dengan sajak-sajak amir Hamzah, ditinjau dari sudut estetika, pengunaan bahasa saja tidaklah seindah sajak-sajak Amir Hamzah. Pun sebagai penyair harus kita akui sajak-sajaknya tidak seluas Sanusi Pane penggaliannya. Akan tetapi siapa yang mengikuti perkembangan puisi sebelum perang, ia harus mengakui bahwa sajak-sajak Asmara Hadi adalah yang paling keras dan pasti semangat kebangsaannya.”  
            Terakhir mengenai ejaan, beberapa saat saya harus merenung, apakah akan menampilkan dengan ejaan sekarang atau bertahan seperti di buku saja. Saya mengambil jalan kedua. Dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. “tj” berubah menjadi “c”, contoh “tjinta” menjadi “cinta”
  2. “j” menjadi “y”, contoh “jang” menjadi “yang”

Di dalam buku, penyunting melakukan penyesuaian ejaan dari puisi asli Asmara Hadi. Berikut penjelasannya:

Pendjelasan

Dalam mengumpulkan kembali sadjak2 penjair, pada umumnja edjaannja dirobah menurut edjaan sekarang. Antara lain jang perlu diperhatikan ialah:
1.      Dalam aslinja ,,oe” dirobah djadi ,,u”
2.      Edjaan kata2 ,,ra’jat”, ,,’alam” dalam aslinja dirobah djadi ,,rakjat”, ,,alam”
3.      Tanda – diatas huruf e dalam kata ,,merẽka” misalnja, dibuang.
4. Kata2 asing seperti ,,ideaal”, ,,materieel” seperti terdapat dalam sadjak ,,Dalam Masjarakat”, dirobah djadi ,,ideal”, ,,materiil”.
5.  Kata2 ,,dikaki gunung”, ,,dipuntjak”, seperti terdapat dalam sadjak ,,Dikaki Gunung” aslinja dipisah: ,,di kaki gunung”, ,,di puntjak”. Begitu djuga kata ,,ditjium” dalam sadjak ,,Hidup baru” aslinya ,,di tjium”. Banjak kata2 demikian jang dalam aslinja dipisah, dalam buku ini disatukan.

Saya meminjam buku ini di Perpustarda Prov. Kalimantan Selatan. Sayangnya, ada dua halaman yang hilang, yaitu halaman 26 dan 27, sehingga ada dua sajak yang terlewatkan yaitu Tjandra-Birawa dan Sumpah Pemuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar