Data buku
kumpulan puisi
Judul :
Penjair Api Nasionalisme
Penulis :
Asmara Hadi
Cetakan :
I, 1965
Penerbit :
PT. Gunung Agung, Jakarta
Tebal :
105 halaman (58 judul puisi)
Editor dan Pengantar : Drs. J. U. Nasution
Beberapa pilihan puisi Asmara Hadi dalam Penjair Api Nasionalisme
Zaman Kami
Zaman kami zaman membakar
Zaman jang penuh perdjuangan
Dan kami generasi kini
Berdjuang dalamnja bagai pahlawan
Pada wadjah kami bersinar
Indah tjemerlang tjahja kemenangan
Djantung kami berdegup gumbira
Seperti akan melihat tunangan
Kami berdjuang menjerahkan djiwa
Pada zaman jang perlukan kami
Dalam kekalahan zaman sekarang
Kamilah rasul kemenangan nanti
Seperti dari puntjak gunung jang tinggi
Kita lebih dahulu dapat melihat,
Tjahaja fadjar kemerah-merahan
Tanda matahari akan terbit
Sedang djauh didalam lembah
Semuanja masih gelap-gulita
Demikianlah djiwaku lebih dahulu
Dari puntjak gunung puisi
Dapat melihat sinar memerah
Sinar fadjar kemenangan kita
Sedang dalam kehidupan sehari-hari
Semuanja masih gelap-gulita
Pudjangga Baru, no.1 , th. V, Djuli 1937
Bilakah
Bilakah alam
bersinar senang
Diterangi Surja
Kemerdekaan?
Bilakah rakjat
bernafas tenang
Mengisap udara
Kemerdekaan?
Bilakah terbit bintang ,,Merdeka”
Menjinari alam Indonesia?
Bilakah hilang malam tjelaka
Kehidupan senang bersuka ria?
Disitulah baru
senang dihati
Indonesia telah
merdeka
Merah-Putih telah
berkibar
Disanalah baru aku berhenti
Dari bermenung berhati duka
Hari panas, tiada sabar
Fikiran Rakjat, no. 24, Des 1932
Merindukan Bahagia
Djikalau hari lah
tengah malam
Angin berhenti dari
bernafas
Alam seperti dalam
semadhi
Sukma djiwaku rasa
tengelam
Dalam laut tiada
berwatas
Menangis hati
diiris sedih
Fikiranku melajang
perlahan
Diatas sajap
kenangan sunji
Kepantai waktu nan
telah lalu
Djiwa menangis
tertahan-tahan
Terkenang nasib
Tanahku ini:
Mengandung pilu,
mendjundjung malu
Terkenang waktu
zaman tjemerlang
Mandi disinar surja
Merdeka
Terang tjahaya
Indonesia
Air mataku djatuh
berlinang
Hantjur hati
dihempaskan duka
Hilang gaja, tiada
berdaja
Wahai panah
kenangan rindu
Sudahlah engkau
meluka hati
Djangan mendamba
masa nan sudah
Dengar disana
njanjian merdu
Seperti makai
petunang sakti
Menghapus gundah
didalam dada
Njanjian merdu
terdengar terang
Datangnja dari
sebelah Timur
Dimana surja hampir
bertjah’ja
Njanjian anak zaman
sekarang:
,,Indonesia Tanahku
makmur,
Hampir bertjah’ja
surja Bahagia!”
Pudjangga baru, no. 6, th I,
des 1933.
Mawar
Terorak kelopak
mawar djuita
Warna berseri
mendandan sari
Mengalun wangi
kematahari
Ketika pagi indah
tjuatja
Datang lebah,
hinggap kebunga
Hendak menjeri, itu
maksudnja
Mawar menjerah
bagia-rela
Lebah menghisap
sepuas-puasnya
Setelah habis wangi
dan madu
Terbanglah lebah,
pulang kesarang
Mawar sendu
terkulai laju
Mengenangkan tjinta
lebah jang tjurang
(Penjelasan editor: sadjak
,,Mawar” diatas diambil dari dokumentasi Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan, Djakarta.
Sadjak tersebut hendak dimuat dalam madjalah Pandji Pustaka djaman Djepang,
tapi karena dianggap mengandung ketjaman terhadap pemerintah Djepang maka tak
dapat dimuat.)
Untuk Asia Raja
Dalam kandang kawat
berduri
Terkurung badan,
Djiwa meradang
Bertanya dimanakah
Tuhan
Jang adil dan kuasa
kata orang
Wadjah seorang
pahlawan
Terbajang senjum
dimuka mataku
Njata benar matanja
bersinar
Tunduk aku kerena
malu
*
Kita hidup dalam
zaman
Jang mendidih bagai
lautan
Djauh masih tepi
jang aman
Sekitar kita air
semata
Kapal ketjil
terumbang-ambing
Kilat berdenjar,
badai gempita
Keraskan hati,
lawan segala
Enjahkan perasaan
sangsi dan tjabar
Kita ditangan Allah
Ta’ala
*
Bagia kita angkatan
sekarang
Hidup dizaman
pantjaroba
Dunia raja luas
mengembang
Bagai bumi menanti
usaha
Djangan mengeluh,
jangan mengaduh
Hai pemuda! Gembira
dan girang
Seharusnja kamu!
Zamanmu subuh
Jang mendahului
siang gemilang
Perasaan pedih
dihitung djangan!
Pedih bunda
melahirkan anak
Pedih benih
menembus bumi
Pedih hilang datang
bagia
Relakan teman
badanmu mendjadi
Pupuk hantjur
dilapangan waktu
Dari kurban
angkatan kini
Mewangi nanti bunga
restu
*
Gemuruhlah kamu
angkatan udara
Hantjurkan bom jang
menjerahkan maut
Kamu meriam,
gunturkanlah suara
Jang dahsjat diatas
bumi dan laut
Maraklah api,
tinggi dan permai
Bakarlah, bakarlah
seluruh dunia
Hantjurkan
pendjara, debukan rantai
Jang berabad-abad
mengikat Asia!
Dari buku Dibelakang Kawat Berduri, halaman terakhir, 1942
Rasuna Said
Didalam kebun tanah
Andalas
Tumbuh sekuntum
melati mulia
Perhiasan Ibunda
Indonesia
Menambah tjantik,
membawa djelas
Demikian Rasuna kumisalkan
Sepantun sunting sanggul Ibunda
Di Indonesia harum namamu
Sampaikan mati djadi kenangan
Teruslah, O, Rasuna
Melati
Teguhkan iman,
tetapkan hati
Membela tanahmu
Indonesia
Namamu harum tidakkan hilang
Sebagai bintang gilang-gemilang
Engkau Rasuna, perempuan mulia!
Fikiran Rakjat, no. 31, djan.
1933
Kapada Dipanegara
Sebagai bintang dimalam jang
kelam
Kemilau diatas langit jang hidjau
Dan berabad-abad setia menindjau
Pelajar ditengah laut jang dalam
Djadi pedoman,
menundjukkan djalan
Didalam kesunjian
malam waktu
Demikianlah engkau
bagi bangsamu
Jang dalam kelam
malam kungkungan
Menuntun bangsamu ketanah bahagia
Jang berlautkan Senang, bergunung
Mulia
Diatapi langit kesempurnaan
Engkaulah menjadji
bintang bangsamu
Menjinari dunia
setiap pendjuru
Memantjarkan
tjah’ja Kemerdekaan!
Fikiran Rakjat, no. 33-34, Feb.
1933
Kami Penabur
Kami bekerdja
dipadang masa
Menaburkan benih
tjinta mulia
Jang nanti akan
senantiasa
Semerbakkan wangi
bahgia-dunia
Tapi kami hanja
penabur
Bila dunia
berbahagia nati
Kami sudah lama
berkubur
Tiada dapat
merasainja lagi
Sungguhpun begitu
kami ichlas
Bekerdja sekarang
dipadang masa
Kami tiada harapkan
balas
Bahgia kami ialah
berdjasa
Pelopor Gerindo, April-Mei 1938
Semangat Demokrasi
Gemilang pagi mandi
tjahaja
Bangun alam
kilau-kilauan
Bisik berbisik
nikmat rasanja
Angin mesra
mentjium Priangan
Burung bernjanji
girang bahgia
Melompat dari dahan
kedahan
Daun dan bunga
bertabur mutia
Air mata Dewi
Keindahan
Seperi pagi pantun
perawan
Tjantik djelita
berdjiwa mulia
Kasih bermimpi
dimata rahman
Demikianlah
semangat Demokrasi
Melajang indah di
Indonesia
Membawa berita
Kemerdekaan nanti
Pelopor Gerindo, Okt 1937
Selamat Tinggal, Periangan
Taman sari, tanah
Periangan
Sekarang ini
berpisah kita
Kereta api hampir
berdjalan
Selamat tinggal alam
djelita
Negeri lain datang
meminta
Engkau kan hanja
tinggal kenangan
Tempat, dimana
mendapat tjinta
Akan selalu
terangan-angan
Peluit berbunji,
tinggallah engkau
Bukit dan gunung
hidjau berkilau
Alam rupawan
menawan hati
Tinggallah kota,
tinggallah dusun
Tinggallah sawah
turun bersusun
Kamu kutjinta
sampaikan mati
Pudjangga baru, no. 12, th. I,
djuni 1934
Kepada Seniman
Tahukah teman,
wahai seniman
Dimanakah tempatmu
didalam dunia?
Bukan dimertju
kedirianmu
Tapi disini, antara
manusia
Tuan bukan putra
dewata
Tuanpun hanja
manusia sadja!
Djangan hanja
dibunga kembang
Dimata gadis,
dibintang malam
Digunung biru,
ditasik tenang
Ditjandi keramat,
diartja pualam
Tuan tjari
Keindahan
Keindahan ada dalam
segala
Dilokomotif jang
menarik kereta
Dimesin pabrik jang
gegap-gempita
Dilumpur sawah,
ditangan buruh
Dalam segala ada
Keindahan
Tertawa, menangis,
menanti seniman!
Dari mertju
kedirianmu
Turunlah engkau,
wahai seniman
Dengan api seniman
jang sakti
Buatlah semuanja
djadi bernjawa
Djadilah engkau
ditengah rakjatmu
Mertju api, besar
dan tinggi
Terang menerangi
hidup bangsamu!
Pandji Pustaka, No. 9-10 th.
XXI, Maret 1943
Sekarangan Kembang
(Buat Ratna)
Mengarang aku,
adikku aju
Bunga dari taman
djiwa
Kembang dewata
kekal-tak-laju
Gemilang djuita
berwangi tjinta
Buat engkau kembang
kukarang
Akan hiasan
kepalamu
Tanda tjinta,
dindaku sajang
Njala kekal dalam
djiwaku
Ingin aku sebagai
pengarang
Meninggalkan sjair
gilang gemilang
Supaya tjinta jang
njala sekarang
Sepandjang masa
tiada ‘kan hilang
Supaja namamu,
adikku aju
Gemilang kekal
dalam dunia
Dipudja segala
pembatja sadjakku
Ratna Asmara:
tjinta mulia
Dari miljunan dara
didunia
Kumuliakan engkau
sebagai dewiku
Kupudja dengan
njanjian mulia:
Kembang dan
setanggi dupa hatiku
O, dewi, jang
menjinarkan tjahaja
Terangilah selalu
djalan djiwaku
Supaja sampai
dibahagia raja
Dalam pelukan
swarga tjintamu
Ja, jakin aku,
nanti tanganmu
Akan meletakkan
tanda tjintamu
Karangan bunga atas
kepalaku
Karena aku setia
selalu
Tiada takut tempo
tjobaan
Berdiri dahsjat
antara kita
Jakin kuat dalam
perdjuangan
Untuk engkau, Ratna
djuita
Akan gemilang
tenang matamu
Menjinarkan tjaja
kasih abadi
Akan berkumpul
hasrat djiwaku
Dalam bisikan
,,Kandaku Hadi”
Menggeram segara
jang luas-dalam
Ketawa suara maut
dan baja
Mantjar halintar
membelah malam
Gempita badai
memburu segara
Dalam kedahsjatan
malam gempita
Jang membuat tjabar
djiwaku
Terbajang gemilang
pagi djelita
Ketika segala
bersinarkan tjintamu
Ingat aku akan
pintamu
Semoga djiwaku
selalu mulia
Dilindungi restu do’a
tjintamu
Sebagai sjatrya
melalui dunia
Perasaan sangsi
segeralah hilang
Digantikan perasaan
jakin gembira
Dilangit gelita
gemilanglah bintang
Pemimpin djalanku
diatas segara
Jakin djiwaku kapal
‘kan sampai
Dalam pelabuhan
kota kentjana
Tempat hidup gemilang
permai
Manusia bagia
sebagai dewa
Kita hidup dimasa
jang indah
Zaman bangsa sadar
kembali
Miljunan tangan
kerdja gelisah
Bangunkan swarga
diatas bumi
Dengarlah dinda,
dendang jang suka
Mendengung atas
Indonesia
Masuk dalam hati
jang duka
Membuat mata
bersinar mulia
Ratnaku, dinda,
bahagia kita
Dapat hidup dimasa
kini
Menanam bibit
tjinta dan tjita
Jang akan berbuah
dimasa nanti
Dalam matamu, dinda
djuita
Kulihat sinar dunia
baru:
Indonesia negeri
kita
Bahagia diatas
segara biru
Kulihat kanak bermain
girang
Ditengah bunga jang
sedang kembang
Ditengah padi: emas
gemilang
Kerdja petani
sambil berdendang
Dalam fabrik jang
gegap gempita
Kudengar njanjian
usaha raja
Ribuan mata
mengintan tjuatja
Ribuan tangan
kerdja suka
Kaum melarat tiada
lagi
Tiap manusia berhak
sama
Dari lahir
sampaikan mati
Hidup bebas laksana
dewa
Kalau aku melihat
tawamu
Gemilangkan sinar
tjinta mulia
Terbajang-bajang
depan mataku
Bagia raja
benderang didunia
Terdengar-dengar
laguan melajang
Beritakan dunia
makmur-damai
Umat manusia
berkasih-sajang
Dalam persatuan
tulus-permai
Ja, kekasih, jakin
djiwaku
Tjinta sosial pasti
‘kan menang
Kalau aku melihat
tawamu
Gemilang tenang
nandakan senang
O, kekasih,
njalakan djiwaku
Selalu dengan api
tjintamu
Supaja dapat kuat
dan girang
Serta berdjuang
dizaman sekarang!
Membangunkan
keindahan baru
Dinegeri kita,
Indonesia
Jang bagai zamrud
disegara biru
Restui daku,
kekasih mulia!
Pudjangga Baru, no. 1-2, th.
VIII, Djuli-Agust 1940
Nasib Tanah Airku
I
Panas jang terik
datang membakar
Lemahlah kembang
hampirlah mati
Tunduk tergantung
bersedih hati
Mohon air kepada
akar
Mendapat air
amatlah sukar
Belumlah turun
hudjan dinanti
Musim kemarau belum
berhenti
Angin bertiup belum
bertukar
Seperti kembang
hampirkan laju
Lemah tampaknja,
rawan dan saju
Demikianlah ‘kau
Indonesia
Nasibmu malang amat
tjelaka
Hidup dirundung
malapetaka
Tidak mengenal rasa
Bahagia
II
Mentari datang
menghalaukan malam
Menjinarkan senjum
penuh tjahaja
Dunia lah bangun
memberi salam
Njanjian jang merdu
menjambut surja
Lihatlah teratai
didalam kolam
Tersenjum membuka
kuntumnja, dia
Menghamburkan harum
kedalam alam
Pemudja pagi
gemilang mulia
Memandang pagi
menjedapkan mata
Keraguan hati
hilang semata
Memikirkan nasib
Tanah Airku
Seperti mentari
dikala pagi
Kemerdekaan tentu
datang lagi
Menerangi Tanah
tempat lahirku
Pudjangga Baru, no. 10, th I,
april 1934
Tentang Asmara Hadi
Asmara Hadi adalah nama pena. Nama aslinya Abdul Hadi. Selain Asmara Hadi,
juga ada Ipih atau H.R. singkatan
dari Hadi dan Ratna, Hadi adalah
namanya sendiri, sedang Ratna adalah nama seseorang yang kelak menjadi
isterinya. Asmara Hadi lahir di Bengkulu pada tanggal 8 September 1914. Meninggal pada 3 September
1976 di Bandung. Tahun 1929, melanjutkan sekolah
di Jakarta, di sana tinggal bersama mahasiswa2 yang turut aktif dalam pergerakan
kebangsaan. Kemudian pindah ke Bandung, sekolah menengah di MULO, Taman Siswa.
Ia kemudian masuk partai politik dan menjadi seorang kader yang digembleng Bung
Karno. Tatkala Bung Karno tahun 1932 menerbitkan Fikiran Rakjat, Asmara Hadi
adalah seorang pembantunya. Kata penyunting: Dari tangannjalah sadjak-sadjak jang dimuat madjalah tersebut.
Konsekuensi dari tokoh pergerakan adalah pembuangan dan penjara. Tahun 1934 -
1935, Asmara Hadi ikut dibuang ke Ende bersama Bung Karno. Tahun 1937 kembali
merasai hotel prodeo, demikian juga tahun 1938 dan tahun 1939, bersama Amir
Sjarifuddin. Tatkala pecah perang Pasifik tahun 1941, kembali ia ditangkap dan
menjadi tawanan. Bersama pemimpin-pemimpin pergerakan lain, ia berpindah-pindah
penjara mulai dari Sukabumi, Garut, Jakarta, dan kembali ke Sukabumi lagi.
Inilah yang kemudian melahirkan buku Dibelakang
Kawat Berduri. Penyunting buku menulis begini: “Dibelakang Kawat Berduri
terbitan Pemandangan, Djakarta 2602 (1942). Buku ini merupakan buku tjatatan
selama pengarangnja ditawan pemerintah Belanda, ketika Perang Pasifik petjah.
Peristiwanya dimulai tanggal 8 Desember 1941, jaitu saat petjahnja Perang
Pasifik hingga tanggal 15 Maret tatkala pengarang dapat bebas dari
Nusakambangan. Dalam buku tersebut digambarkan antara lain bagaimana pengarang
dibawa P.I.D pengeledahan di rumahnja, keadaan didalam tahanan, pertanjaan2
yang dimadjukan kepadanja serta peristiwa2 jang lain selama ditawan itu. Kisah2
didalamnja diselingi pula dengan puisi.”
Asmara
Hadi pernah menjadi pemimpin majalah Pelopor
Gerindo (1937-1938), pemimpin redaksi majalah Tudjuan Rakjat (1938-1941), dan pembantu tetap majalah Pudjangga Baru.
Hal
Lain
Penyunting buku ini, J.U. Nasution, menulis dalam pengantarnya, bahwa dalam
tahun dua puluhan telah didapati sajak-sajak yang berisikan semangat kebangsaan
dari penyair Muh. Yamin, Rustam Effendi dan Sanusi Pane. Kesemua penyair itu
adalah juga tokoh-tokoh dalam pergerakan kita, tulisnya. Nah, dipermulaan tahun
tiga puluhan muncul lagi seorang penyair yang keras sekali semangat
kebangsaannya memenuhi sajak-sajaknya. Penyair itu terkenal dengan nama samaran
Asmara Hadi.
Tulis penyunting lagi: “Asmara Hadi lahir sebagai penyair tatkala
kesusateraan Indonesia kuat dipengaruhi aliran romantik. Inilah sebabnya
semangat kebangsaan dalam sajak-sajaknya berjalin dengan unsur-unsur romantik.”
Maka muncullah perbandingan-perbandingan dan lambang-lambang yang sering
digunakan penyair romantik seperti mentari, kembang, teratai, pagi, intinya
berisi lukisan alam dengan segala keindahannya.
Di pengantar juga
dikatakan bahwa bahwa Asmara Hadi memiliki kekaguman terhadap Sanusi Pane.
Ternyata, selain karena Sanusi Pane pernah menjadi guru bahasa Asmara Hadi,
juga karena sikap yang diperlihatkan Sanusi terhadap perjuangan bangsanya dan
keberaniannya berkorban untuk kepentingan bangsanya. Sanusi Pane pernah
dihadapkan pada persoalan apakah akan terus bekerja pada pemerintah Belanda
dengan penghidupan yang terjamin atau terjun ke lapangan politik dengan segala
konsekuensinya. Dan Sanusi Pane memilih yang kedua.
Penyunting juga memberi
penilaian seperti ini: “Kitapun tahu
bahwa sajak-sajaknya bila dibandingkan dengan sajak-sajak amir Hamzah, ditinjau
dari sudut estetika, pengunaan bahasa saja tidaklah seindah sajak-sajak Amir
Hamzah. Pun sebagai penyair harus kita akui sajak-sajaknya tidak seluas Sanusi
Pane penggaliannya. Akan tetapi siapa yang mengikuti perkembangan puisi sebelum
perang, ia harus mengakui bahwa sajak-sajak Asmara Hadi adalah yang paling
keras dan pasti semangat kebangsaannya.”
Terakhir mengenai ejaan,
beberapa saat saya harus merenung, apakah akan menampilkan dengan ejaan
sekarang atau bertahan seperti di buku saja. Saya mengambil jalan kedua. Dengan
penjelasan sebagai berikut:
- “tj” berubah menjadi “c”, contoh “tjinta” menjadi “cinta”
- “j” menjadi “y”, contoh “jang” menjadi “yang”
Di dalam buku, penyunting melakukan penyesuaian ejaan dari puisi asli
Asmara Hadi. Berikut penjelasannya:
Pendjelasan
Dalam mengumpulkan kembali sadjak2 penjair, pada umumnja edjaannja dirobah
menurut edjaan sekarang. Antara lain jang perlu diperhatikan ialah:
1.
Dalam aslinja ,,oe” dirobah djadi ,,u”
2.
Edjaan kata2 ,,ra’jat”, ,,’alam” dalam aslinja dirobah djadi ,,rakjat”,
,,alam”
3.
Tanda – diatas huruf e dalam kata ,,merẽka” misalnja, dibuang.
4. Kata2 asing seperti ,,ideaal”, ,,materieel” seperti terdapat dalam sadjak
,,Dalam Masjarakat”, dirobah djadi ,,ideal”, ,,materiil”.
5. Kata2 ,,dikaki gunung”, ,,dipuntjak”, seperti terdapat dalam sadjak
,,Dikaki Gunung” aslinja dipisah: ,,di kaki gunung”, ,,di puntjak”. Begitu
djuga kata ,,ditjium” dalam sadjak ,,Hidup baru” aslinya ,,di tjium”. Banjak
kata2 demikian jang dalam aslinja dipisah, dalam buku ini disatukan.
Saya meminjam buku ini di Perpustarda Prov. Kalimantan Selatan. Sayangnya,
ada dua halaman yang hilang, yaitu halaman 26 dan 27, sehingga ada dua sajak
yang terlewatkan yaitu Tjandra-Birawa
dan Sumpah Pemuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar