Senin, 04 Juni 2012

Ajip Rosidi: SURAT CINTA ENDAY RASIDIN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Surat Cinta Enday Rasidin, Kumpulan Sajak 1954-1959
Penulis : Ajip Rosidi
Cetakan : III, 1987 (cet. I, 1960)
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, mulai cet. II, 1976
Tebal : 64 halaman (36 puisi)
ISBN : 979-419-036-5
Gambar kulit : A. Wakidjan

Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Surat Cinta Enday Rasidin

Bulan

Cuma bulan mampu mencium hatiku
Bulan yang biru

Cuma perempuan yang bakal ngerti dukaku
Perempuan yang rindu

1956


Penyair

Penyairlah ia yang percaya pada tenaga kata-kata
Jiwa terkutuk terlempar pada kembara
Yang berdiri di depanku, bicara

Penyairlah ia yang masih percaya pada tenaga kata-kata
Mengangkat tangan pelan-pelan, menabik pada bulan
Yang tersenyum meski suram, sendirian

1957



L’enfant Terrible

Membungkuklah langit: rintik menangisi
Anak yang tiada rumah kan pulang
Berdiri tegap di railing jembatan
Mentertawakan langit cengeng hati

Taufan mengamuk di tengah lautan
Kapal terbanting kan pecah tenggelam
Anak yang tiada siapa kan meminta
Tenang dalam ketenangan belia

Dunia terbakar dalam perang
Api dan peluru dan dendam menerjang
Anak yang tiada tanah air kan pulang
Menyuruk antara maut dan ancaman pedang

Namun jika masuk dalam ruangan
Penuh orang tua-tua yang sopan
Menyambutnya hormat dan segan
Anak yang selalu hidup sendiri
Tersiksa hati dan lemah sendi
Ingin kembali ke tengah ancaman
Dan maut yang menjangkaukan tangan

1959


Kusaksikan Manusia

Kusaksikan manusia dendam-mendendam
Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam
Kuyakinkan mereka akan kebaikan manusia
Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati

Kukatakan: Ini tanah kita, orang lain tak usah campur!
Tapi kulihat mereka mengangkat senjata,
            lalu menggempur:
Berikan segala tanah, semua punya kami!
Yang menang pun mengibarkan panji-panji

1957


Surat Cinta Enday Rasidin

Kita telah pergi bersama senja yang tenggelam
Masuk kerajaan besar yang juga lagi tenggelam
Masuk gerbang yang tersundul kepala bersinar remang
Kita telah jalan dengan tangan di saku celana
Negara di mana rumah berjendela sepenuh arah
Negara di mana rumah menampung cahya
            keempat penjuru

Negara mereka yang kucinta
Dengan bisik mesra dari suara sudah parau
Dengan bisik parau dari suara yang mesra

Di mana orang ketawa dan ketawa
Walau mata sudah lama kehabisan cahya

Kita telah jalan sama didera sinar matahari
Kita telah jalan sama ditelah kelam malam
Menemui pojok pondok yang depek
Dalam baju longgar dan sepatu sebelah lebih besar

Pondok di mana atap setinggi dada
Pondok di mana bilik hanya sedepa
Pondok mereka yang kucinta
Penuh tawa lepas tanpa lelucon
Penuh lelucon dengan tawa yang lepas

Di mana orang bicara dan bicara
Walau mulut sudah lama kehabisan kata

Kita telah jalan sama bergandengan tangan
Kita telah jalan sama beriringan
Dengan pantalon yang digulung hingga lutut
Berpeci miring dan saputangan bersulam biru

Di mana orang ketawa dan bicara
Di sana kita tenggelam antara mereka

1956


Tanah Sunda

Ke mana pun berjalan, terpandang
daerah ramah di sana
Ke mana pun ngembara, kujumpa
manusia hari terbuka
mesra menerima

Pabila pun berseru menggetar nyanyi
suara rindu bersenandung duka
Pabila pun bertemu, menggetar hati
sawang lepas terhampar luas
dunia hijau muda

Riak sungai pagi-pagi
Angin keras menyibak rambut di dahi
Dan kulihat tanah penuh darah
tubuh beku terbaring kuyu
menggapaikan tangan sia-sia
berseru pun sia-sia

Ah, di mana pun kaubukakan rangkuman
ku kan menetap di sana
Kapan pun kaulambaikan tangan
ku kan datang
menekankan jantung ke tanah hitam

1956


Perempuan

Perempuan adalah rindu di mana laut menemu diri
Di rahim siapa gerbang surga membuka
Di mana jiwa adalah kelembutan lumut hitam
Di mana kata adalah kesejukan rimbun daunan
Pada perut siapa kaki langit terpaut
Tangan siapa menjulur, membelai dalam gelap malam
Waktu kuminta padanya langit, diberikannya
langit tanpa awan

Perempuan adalah dendam di mana api mendapat lidah
Di rahim siapa gerbang neraka membuka
Di mana harapan tak menemukan lembaga
Di mana kasih-sayang hanya sia-sia
Di mana kepedihan mengatasi duka
Tangan siapa mengelus mesra, hati tak setia penuh bisa
Waktu kuminta padanya langit, disemburkannya
ludah siksaan

1957


Kepada Jakarta

Kukutuk kau dalam debu keringat kota
Karena di balik keharuan paling dalam
Mengintip malaria

Kucinta kau kala senja
Mentari mengubur sinar menyirat bukit-bukit atap
Menari di kening-kening rumah, membelai perut sungai
Lalu lintas bergegas, kelip lampu beca
Semua makin pudar, semua jadi samar
Lahir kembali dalam kecerlangan malam
Mengambang mobil-mobil hitam di aspal hitam

Kucinta kau dalam ketelanjangan malam
Penuh warna dalam keriahan gemilang
Sibuk dalam kelengangan arah
Menjauhi sudut jiwa paling sepi
Menyaruk-nyaruk jalan menyusur kali
Becermin di permukaan air kemilau
Bulan rendah seolah terjangkau

Kucinta kau kalau dinihari
Redam batuk memecah sunyi
Dan nyanyian tukang beca
Mengadukan nasib pada langit
Dan bintang yang tak mau ngerti

Kucinta Jakarta
Karena kau kota kelahiran kedua

1955


Dewi Sukma Menghidupkan lagi Mundinglaya di Kusumah

Bukankah raden lelaki sejati
Jantan gagah tiada lawan
Jago di bumi, pahlawan di angkasa
Perwira para perwira

Mengapa kalah oleh Guriang Tujuh
Yang tumbuh dalam tubuh
Yang bersarang dalam jiwa
Yang kan takluk pada tekad

Bangkitlah, Semangat
Tuk bertempur, tuk berjuang
Jangan takut usia tak lanjut
Jangan kuatir menemu laut

Bangkitlah, Semangat
Kan bangkit oleh kipasku
Kipas keramat punya nenenda
Sang Pohaci Wiru Mananggay

1959


Nyanyian Para Petani Jatiwangi

I
Dari pagi hingga petang
Kulepas kerbauku sayang
Entah ke mana kau menuju
Entah di mana kusembunyi

Dari pagi hingga petang
Haram riang, kerja tak tentram
Subur sawah: rumput dan lalang
Burung lapar berputaran terbang

Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan
Tanah terbengkalai, kolam kering
Wahai, bukan tak mau sawah kukerjakan
Dalam hati penuh ketakutan

II
Kalau hari menjelang senja
Lengang pematang, lengang rumah
Tiada anak mengandangkan ayam

Kalau hari menjelang petang
Berat dan tiada harapan
Bayang-bayang lenyap di tikungan

Kalau hari menjelang malam
Tiada lelaki merasa aman
Dalam rumah sendiri

Kalau malam telah datang
Tiada nyanyi bunda menidurkan
Tiada lepas tangis bayi

Kalau malam telah turun
Tiada suling, tiada pantun
Hanya gaang, hanya angin

Kalammalam telah tiba
Tiada kacapi, tiada kinanti
Asmarandana dalam hari

Kalau malam telah datang
Entah besok masih kujelang
Entah mentari kulihat lagi

III
Wahai bulan, sunyinya sendirian
Tiada pemuda kan berpesan
Membisikkan kerinduan

Wahai bulan, alangkah muram
Tiada perawan kan menyanyi
Menyampaikan bisik hati

Wahai bulan, alangkah pelan
Muram dan sepi
Apa yang kautatap?

Wahai bulan, alangkah lama
Was-was dan ngeri
Mentari yang kuharap

Alangkah kusuka memandang bulan
Remang dan lembut
Tapi hati penuh takut

IV
Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi
Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?

Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi?
Gilirankukah atau Madhapi?

Fajar kembang merekah
Duhai, pabila burung berkicau
alangkah lega hati

1958


Tamu Malam

I
Jingga membayang
Dan langit lembayung
Tenteram dan lengang
Seluruh kampung

Kian gelap dan sunyi
Bintang-bintang bekerdipan sama sendiri
Nafas malam berat dan sesak
Menekan dada, menindih pundak

Angin semilir, lidah api
Pelita meliuk ngeri
Terbekam seluruh udara
Oleh ketakutan mati

II
Sebelum terhanyut dalam mimpi
Sebelum terlayap dalam tidur
Selagi masih diamuk bimbang
Hati yang selalu sangsi
Tersadar oleh derap yang berat
Gegap dan mendekat

Sebelum hanyut hati dalam mimpi
Sebelum hanyut hati ...
Terjaga dari takut-ketakutan
Oleh bayangan bencana
Kan tiba

III
Lihat! Betapa terang malam
Seluruh kampung benderang
Karena kobaran api
Menjulang atap
Seperti Banaspati
Menelan rumah

Dengar! Betapa pikuk suara
Tangis perempuan dan bayi
Teriakan dan ratapan
Antara hardik dan maki

Dengar! Letusan-letusan menuli kuping
Dan teriak putus asa
Meratapi Tuhan dan suami
Menangisi anak dan rumah
Karena renggutan
Tangan jahanam

IV
Cepat! Hindarkan diri
Dari mati dan api
Cepat! Tinggalkan pesta
Atas hasil kerja selama ini

Lari! Lari turuni bukit
Lari! Sebrangi jurang

Dan tegalan penuh duri
Selamatkan jiwa, peras nafas
Laporan ke markas!

Terus! Terus lari
Meski enam pal lagi
Terus! Terus lari
Meski habis nafas

Lari! Agar desa tertolong
Dan para manusia tak berhati
Kan ditumpas

V
Terngah-ngah, lesu-lelah
Menghadap komandan jaga
Yang memandang bertanya
“Habis, habis ...
Tandas kampung
Ditelan api...”

“Berapa yang datang semuanya?
Berapa mereka bawa senjata?
Jam berapa mereka tiba?”

Terngah-ngah, lesu-lelah
Mana sempat menghitung menelaah
Karena mesti menyelamatkan nyawa

“Mesti cepat sekarang juga
Bayar dendamku biar punah
Hajar dan kejar
Agar tentram desa”

“Tak bisa, karena jauh terlalu
Sedang truk tak ada...”

Terngah-ngah, lesu-lelah
Hapus-lampus segala harap
Karena truk tak sedia

Terngah-ngah, lesu-lelah
Namun sia-sia kepercayaan
Terbakar sebuah desa

Terngah-ngah, lesu dan lelah
Namun pengejaran besok saja
Siang benderang sinar mentari

1958


Tentang Ajip Rosidi
Ajib Rosidi lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971); Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981). Ajip yang tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya itu pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung (1967); Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981); Guru Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1983-1996). Saat meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Unpad, Ajip Rosidi berujar, "Memajukan Kebudayaan Sunda Bukan Provinsialistis". Untuk melihat daftar karya-karyanya, silakan baca postingan “Pantun Anak Ayam”. J

Catatan Lain
Buku kumpulan puisi Surat Cinta Enday Rasidin, kumpulan sajak 1954-1959, terbagi dua bagian yaitu Surat Cinta Enday Rasidin (27 puisi)  dan Lagu-lagu Orang Buangan (9 puisi). Tak ada kata pengantar apa pun, kecuali puisi pertama yang memang dijuduli Pengantar.

4 komentar:

  1. Terima kasih, sahabatku 'Kepada Puisi' : kerja yang patut dicatat, patut dapat tempat.Salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, bang. Blog ini menjadi besar karena pembaca, karena orang-orang masih mencintai puisi... Salam hangat.

      Hapus
  2. Terima kasih Pak sudah terus memperbarui blog ini. Saya pembaca setia. Hampir setiap hari masih bisa menemukan sajak-sajak baru untuk dibaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. He..terima kasih kembali, karena telah rutin berkunjung kemari...

      Hapus