Rabu, 01 Agustus 2012

GHIRAH GATHA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Ghirah Gatha
Penulis : Lan Fang (1970 – 2011)
Cetakan : I, 2011
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : viii + 60 halaman (17 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-8106-4
Desain cover : Marcel AW
Setting : vtree_yuniar@yahoo.com

Beberapa pilihan puisi Lan Fang dalam Ghirah Gatha

Waktu

dari waktu ke waktu
aku kian tu
a

dari waktu ke waktu
cintaku tetap mu
da

dari waktu ke waktu
menunggu
nya


Bagai

aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir,
bagai kesunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir.

aku mencintaimu bagai laut,
bagai induk semua anak sungai, muara semua kabut.

aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala,
: sedang kau bagaimana?



Sangat Bukan

apakah kau: angin yang melekat pada kaca pintu?
      sangat bukan,
aku pintu, tempat syair menumpahkan ragu.

kalau begitu apakah kau: keraguan yang dipanah rindu?
      sangat bukan,
aku rindu yang melayari waktu demi waktu

jadi apakah kau: waktu yang tersulut sumbu
      sangat bukan,
      aku sumbu bulan dari celah kelambu.


6 Sonet Bunga Tidur (6)

sudah berapa malam kau tak berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
maka, mataku tak bertabir gula. rupanya kau meneropong bintang.
tolong, ambilkan satu saja untukku. biarkan yang lain, sayang.
sebab di plafon, para tikus berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.

“kenapa tak menyukai mereka? maaf, bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
aku hanya cemas : apakah tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
mereka hanya kusir kereta labu Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
di mana akan kau sematkan sebiji bintang itu? di rambut atau di jantung hati?

telah kurangkai kembang setaman. sebab banyak rahasia yang kita simpan.
semua hanya untukmu. sebab bertambah malam mata harus semakin awas.
abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita tidak berbeda pikiran.
kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.

sekarang aku (ingin) merebahi pundakmu. ciumlah mataku.
kelopak dan bulumataku. kau akan menemukan banyak sonet di situ.


Sebuah Pagi

pada sebuah pagi yang sumringah. burung-burung singgah
mematuki bebijian seperti memetik putik-putik puitik,
lalu mereka memeluk suluk untuk mewuwung suwung


Tangis Belibis

(1)

teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.

(2)

kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?

di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.

“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.

tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)

kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.

(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)

(3)

aku ini malam

tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.

maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.

(4)

suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.

azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”

rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!

(5)

seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”

ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.

  
Tentang Lan Fang
Go Lan Fang atau biasa dikenal dengan Lan Fang terlahir di Banjarmasin, 5 Maret 1970. Alumni Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Sejak sekolah dasar imajinasinya mulai berkembang dengan buku-buku dari Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek. Cerita pendek yang pertama dikirimnya: Catatan Yang Tertinggal langsung dimuat di majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986. Langsung terlecut, pada periode 1986-1988, ia pun cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, dan terutama Anita Cemerlang. Konon, kebanyakan cerpen yang tulisnya bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran. Lan Fang aktif berkesenian setelah di Surabaya. Ia meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura pada tanggal 25 Desember 2011 dalam usia 41 tahun. Ia meninggalkan tiga orang putra kembar yang masih berusia 13 tahun. Dua putra bernama Vajra Viria Husala dan Vajra Vidya Husala serta seorang putri bernama VajraYeshi Husala. Buku-buku yang telah diterbitkannya: Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-Laki yang Salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Yang Liu (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), Lelakon (2007), Ciuman Di Bawah Hujan (2010), Sonata Musim Kelima (2012) & Kumpulan Puisi Ghirah Gatha (2012). Dua yang terakhir diterbitkan untuk mengenang Lan Fang.


Catatan Lain
Buku kumpulan puisi Ghirah Gatha, disebutkan dalam pengantar, adalah kumpulan puisi yang diterbitkan posthumous – setelah sang pengarang meninggal dunia. Buku yang saya pegang ini tak diketahui siapa yang menyuntingnya. Juga tak ada biodata penulisnya. Hanya dikatakan In memoriam LAN FANG 5 Maret 1970 – 25 Desember 2011 di awal, ditambah komentar dari sahabat dan media di bagian belakang. Hanya ada 17 (tujuh belas) judul puisi, namun setidaknya ada 8 puisi yang dibikin secara serial (berseri), sehingga jika diurai akan ada 51 puisi. Puisi-puisi yang berseri itu adalah: 1. Kabar Kabut, 2. Sihir Zahir, 3. Tangis Belibis, 4. Desis Gerimis, (masing-masing 5 seri), 5. Tapak Sajak, 6. Bayang Wayang, (masing-masing 3 seri), 7. 9 Rubaiyat Langit dan Hujan (9 seri), dan 8. 6 Sonet Bunga Tidur (6 seri). Buku ini saya beli di Gramedia Veteran pada 26 Juni 2012 lalu dengan harga Rp. 20.000,-
            Oya, di bagian ini, di luar kebiasaan saya sebelumnya, akan saya ambilkan juga puisi Lan Fang yang “tak ada” di buku ini. Pernah dimuat di http://www.jawapos.com/ (sedang saya ngambilnya di sini: http://sastra-indonesia.com/2009/03/puisi-puisi-lan-fang/). Sebenarnya bukan tak ada, tapi terurai dan mengalami modifikasi bentuk (menjadi beberapa bait), juga mengalami perubahan/revisi kata di buku ghirah gatha.  Puisi (1): muncul menjadi Bayang Wayang (2), Puisi (2): muncul menjadi Bayang Wayang (3), Puisi (3): muncul di Tangis Belibis (4), Puisi (4): muncul di Bayang Wayang (1), Puisi (5): muncul di Sihir Zahir (2), dan Puisi (6): muncul di Desis Gerimis (3). Ini puisinya:

Satu Sampai Enam

 (1)
ada yang menenteng lampion, menunggumu. ”sebentar lagi festival musim semi.
tetapi belum ada yang mengirim salam.” tampak bunga-bunga mei hwa
berselaput salju palsu. rupanya semua musim sudah tidak jelas.
siapa yang telah memainkan mereka?
”ada dalangnya!” tambur terus ditabuh. barongsai tak tahu harus mengedipkan
mata ke sebelah mana. kalau begitu siapa wayangnya? ia mencermati mereka
yang dikatakan curang. putri Gurun Gobi, dayang istana Manchu atau
Durna berkartu dua? diamlah! menurutmu, aku salah bila berpikiran begitu.
kau masih juga belum pulang, masih mencangkul hutan, masih menggali gunung
”aku mencari singgasana bersepuh permata,” aku pun membenarkanmu. di antara
kita harus bersedia untuk tidak mempercakapkan benar dan salah. cukup mengerti. apakah kau juga menciptakan taman bunga seruni untuknya?
ia tetap menunggumu. ada gerimis yang tidak lebat tetapi telah membuat tanah
basah. tangannya ditangkupkan agar nyala lampion tidak padam walaupun
makin lemah. masih cukup benderang untuk membuka berapa banyak kartu yang
kita punya. bukankah kita juga kerap mendalang sekaligus mewayang?

(2)
setiap hari terasa aneh. dicoret-coretnya kertas, membayangkanmu,
membayangkan untuk melupakanmu. ck, betapa tak bisa.
tiba-tiba ia teringat keringat embun yang tumbuh di tubuh
sesloki sepi. diintipnya. kau terapung-apung di sana.
rupanya si penyair masih mabuk. pada sufi atau pada puisi? karena hennesy
atau karena sunyi? konon, kau tak boleh mabuk. tetapi kau tak pernah
melarangnya mabuk, bukan? aku selalu memikirkanmu. ada kata-kata
yang kian tertata.
maka terkutuklah siang dan malam yang semakin aneh itu. siang ada
di dada terang dan malam adalah rindu bagi para kekasih. sehingga
senja merapat, tak lagi misteri. semakin banyak yang ingin ditumpahkan.
tetapi kau seperti penyair itu, begitu pandai memampatkan perasaan.
di mana kau sembunyikan? apakah akan kau biarkan ia menyesal dengan
luar biasa? semalaman telah dipungutnya remah-remah rempah untuk
mencuri harummu, wangi bunga cengkeh. maka bersiaplah, sebentar lagi
ia luncurkan geletar kelakar liar yang gemetar. rasakan saja!

(3)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
adzan Jogja dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: ”silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku girang: ”apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!

(4)
Arjuna merentang urat gendewa. ia memanah gendang angin,
tetabuhan langit yang dibidik dengan badik.
”akan kubekukan lidah matahari!”
mengapa Ekalaya tidak mengail pasir saja, kakanda?
aku cemas ibu jarinya dicederai butir kerikil. tolong,
jadikan aku serupa Drupadi yang tak mengikat rambut
sebelum Durna mati. bisakah? ia terlalu sakti.
”kenapa raden itu kau cermati dari hari ke hari, adinda?”
begitulah, berita kulanjut seperti kuurut huruf demi huruf,
seperti kau berkirim surat yang lambat terbalas.
rupanya tujuh belas sangat dekat dengan delapan belas.
itu saat yang tak bisa terlompati. ada angin bergulat dengan
gelombang. mendadak gelasku jatuh tetapi tak pecah.
jangan tinggi, jangan berbuih, jangan pasang, kakanda. jangan…

(5)
”apa yang kau bubuhkan pada helai malam, sri panggung?”
gincu atau anting? mari sini. maukah kau kusunting dengan
canting? maka kubungkus rapat mimpi yang kau tampilkan.
diam-diam telah kutakik namamu dengan rintik hujan.
tetapi yakinkah kau bahwa mimpi akan tetap mimpi?
ia tak pernah mendustai atau menipu tidur kita. percayalah,
pelupukku masih setengah tertutup juga setengah menyala.
di sana tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa. sepi jadi gelisah.
”peganglah aku,” tetapi aku memelukmu. jangan takut luput.
aku juga menciummu. apakah ini yang kau inginkan, bunga tidur?
menurutmu, mimpi tak perlu dikuatirkan, tak usah dipikirkan.
aku sering sekali memimpikanmu, entah.
kemudian beratus harum ratus membangunkanku. ada yang meletup.
aku kapuk yang pecah dari kulit buahnya. ah, jangan begitu.
ini hanya sedikit sakit. isyarat berpukat itu bukan siulan
daun-daun bambu. semoga saja.

(6)
segerombolan daun kering berputar seperti hujan menciptakan
selajur rajut yang kejar-mengejar. mataku berkerjap-kerjap
menghindari angin, yang menyapukan satu denyut, yang bertubi
memukul tubir bibir. lalu…
kau terus mengusahakan waktu. yang berjingkat dari: tiga puluh satu,
satu, dua, tiga, dan seterusnya. artinya biji-biji gerimis masih saling deras.
artinya baterai di jam dindingku masih memacu jarum-jarum hujan.
artinya terima kasih, saya selalu diingatkan. lalu…
kupercaya satu getar itu akan kita tutup sampai tetap satu seperti semula.
mereka bukan kisah yang tertunda. itu titik yang pernah kau amati
dengan cermat lalu kau sambar dengan cepat.


2 komentar: