Rabu, 01 Agustus 2012

Sutan Takdir Alisjahbana: TEBARAN MEGA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Tebaran Mega
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Cetakan : V, 2008 (cet. I. 1935)
Penerbit : PT Dian Rakyat, Jakarta.
Tebal : 46 halaman (38 judul puisi)
ISBN : 979-523-412-9
Desain cover : Damang Sarumpaet
Ilustrasi Isi : Koes Prijadi Hs.
Editor : Diana Susyanti

Beberapa pilihan puisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam Tebaran Mega

Segala, Segala

Ani, ya Aniku Ani,
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.

Buka lemari pakaian berkata,
Di tempat tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.

Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang

Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.

Pilu sedih menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merusak.

20 April 1935



Air Mata

Ngalir, ‘ngalirlah air mata,
Aku tiada akan ‘nahanmu.
Apa gunanya aku halangi,
Engkau ‘ngalirkan penuh kalbuku.

Seperti air jernih memancar
Dari celah gunung rimbun,
Seperti hujan sejuk gugur
Dari mega berat mengandung

Ngalirlah, wahai air mata
Engkau pun mendapat hakmu
Dari Chalik yang satu.

Ngalir, ‘ngalirlah air mata,
Aku hendak merasa nikmat
Panasmu ‘ngalir pada pipiku.

20 April 1935


Bertemu

Aku berdiri di tepi makam
Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mega
Jiwaku mesra tunduk ke bawah
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.

Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus,
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam berjanji, kayu berlumut.

Sebagai kilat ‘nyinari di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pilu menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri!

Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Chalik yang esa:
Di depanMu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pawana.
Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang Sinar.

26 April 1935


Menyambut Hidup

Ya Allah, ya Rabbani, dalam kebesaranMu Engkau hadiahkan aku hidup ini dengan kegirangan dan keindahannya.

            Sedunia lebar selam besar Engkau sediakan bagiku dalam limpahan kasihMu: bintang berkelip cahaya di langit malam, kembang mengorak kuncup di padang sinar, unggas bernyanyi di dahan berbuai

Bolehkan aku menampik sekalian rahmat dan nikmatMu yang Engkau curahkan dalam kebesaran dan kemurahanMu itu?

            Aku akan hidup.

            Mengoraklah kelopak menyambut sinar selama hari masih siang.

            Selama siang beta akan bermain di taman seperti tiadakan malam dan apabila malam tiba beta akan menyerahkan muka di pangkuan Bunda.

29 Mei 1935


Sesudah Dibajak

Aku merasa bajakMu menyayat,
Sedih seni mengiris kalbu,
Pedih pilu jiwa mengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh.

Dalam duka semesra ini,
Beta papa, apatah daya?
Keluh hilang di sawang lapang,
Aduh tenggelam dibisik angin.

Ya Allah, ya Rabbi,
Hancurkan, remukkan sesuka hati,
Sayat iris jangan sepala.

Umat daif sekedar bermohon:
Semai benih mulia raya
Dalam tanah sudah dibajak.

1 Mei 1935


Api Suci

Selama nafas masih mengalun,
Selama jantung masih memukul,
Wahai api, bakarlah jiwaku,
Biar mengaduh biar mengeluh.

Seperti baja merah membara,
Dalam bakaran Nyala Raya,
Biar jiwaku habis terlebur,
Dalam kobaran Nyala Raya.

Sesak mendesak rasa di kalbu,
Gelisah liar mata memandang,
Di mana duduk rasa dikejar.

Demikian rahmat tumpahkan selalu,
Nikmat rasa api menghangus,
Nyanyian semata bunyi jeritku.


Kembali

Ketika beta terjaga di dini hari
Melihat alam sepermai ini,
Terasalah beta darah baru
Gembira berdebur di dalam kalbu.

Girang unggas bersuka ria,
Gemilang sekar bermegah warna.
Mega muda bermain di awang,
Kemilau embun menyambut terang.

Hidup, hiduplah jiwa,
Turut gembira turut mencipta
Dalam alam indah jelita

Jalan waktu terhambat tiada,
Siang terkembang malamlah tiba:
Percuma dahlia tiada berbunga.

8 Mei 1935


Sesudah Topan

Bertiup, bertiuplah topan!
Liukan, lengkungkan, patahkan, hempaskan jangan sepala.

Terbangkan daun sampai ke langit.
Tundukkan puncak menyembah bumi,
Serakkan ranting menabur tanah.

Biar mengaduh, biar mengelur biar mengerang putus suara,
Kacaulah perdu, adulah pohon, rusak remuk berpatah-patahan,
Gugurkan buah segala, tua muda jangan dihitung.

Apabila topan sudah berhenti,
Apabila hujan reda kembali, sinar suria turun ke tanah.
Beta melihat tunas memecah dan di tanah lembah kecambah
mengorak daun.

10 Mei 1935


Awan berkuak

Duduk beta merenung awan,
Bercerai menipis di langit biru.
Sayu sendu alun di kalbu,
Menurut mega berkuak menjauh.

Wahai Chalik, mengapa kejam
Seganas ini hidup di dunia?
Mengapa gerang dicerai pisah
Segala yang asik bercinta?

Menangislah jiwa tersedu-sedu
Mengalirlah air mata berduyun-duyun.

Dalam jiwa sedang meratap,
Dalam sukma pilu mengeluh,
Menyerbu sinar ke dalam kabut,
Menjelma kembali awan menjauh.

Beta melihat kilau bergurau,
Beta menyambut suria bersinar.
Segar gembira sukma menggetar
Menunda melanda pergi berjuang

14 Mei 1935


Perjuangan
Kepada Taman Siswa

Tenteram dan damai?
Tidak, tidak Tuhanku!
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi.
Terteram dan damai berbaju putih di dalam kubur.
Tetapi hidup ialah perjuangan.
Perjuangan semata lautan segara.
Perjuangan semata alam semesta.
Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai.
Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.

24 Juli 1935


Pohon Beringin
Kenangan kepada Solo

Tinggi melangit puncakmu bermegah,
Melengkung memayung daunmu bodi.
Berebut akar mencecah tanah,
Masuk membenam ke dalam bumi.

Lemah mendesir daunmu bernyanyi,
Gemulai berbuai dibelai angin,
Nikmat lindap menyerak di kaki,
Mengundang memanggil leka berangin.

Nampak beta berkumpul kelana,
Letih semadi berjuang tiada,
Melunjur kaki menyandar kepala,
Menanti nasib damai bahagia.

Ya Allah, ya Rabbana,
Turunkan badai datangkan taufan,
Rubuhkan tumbangkan pohon perkasa,
Pelindung lelah, pengiba insan.

Rebahkan terbangkan jangan tiada,
Bersihkan bumi dari segala
Tempat terlengah tempat terlena
Tempat terhanyut dalam tiada

Lama sudah tani menanti,
Gelisah tangan memegang bajak,
Tiada tertahan hati gembira,
Hendak meluku membalik tanah.

Kuning permai benih bernas
Menanti memecah menyerbu hidup,
Girang berbunga girang berbuah
Di dalam hujan disinar suria.

25 September 1935


Tentang Sutan Takdir Alisjahbana
(Di dalam buku tak ada biodata penulis, saya nyarinya di  http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana) Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. Buku-bukunya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel, 1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), Sajak-Sajak dan Renungan (1987).


Catatan Lain
Baru kali ini saya membaca buku kumpulan puisi dan merasa terharu: ada suasana berkabung dan perjuangan untuk tetap tegak berdiri. Dikatakan di sampul belakang buku, “Kumpulan sajak ini ditulis Sutan Takdir Alisjahbana dalam masa dua tahun: 1935-1936. Bisa dikatakan pada kurun itu, ia berada dalam suasana berkabung, karena wafatnya istri tercinta. Namun sikap optimisnya, nalarnya yang luas, mampu menghapus pilu, menghalau duka yang melandanya.” Mungkin terlalu berlebihan komentar tersebut, sebab saya merasakan usaha jatuh bangunnya menata perasaan. Kadang ia tersungkur dan menyalahkan, kadang mencoba tegar tapi tetap menitikkan airmata, kadang menggelegar dan penuh semangat. Dan itu sangat, sangat manusiawi. Tebaran Mega adalah metafor nasib manusia, sebagaimana yang saya tangkap dari puisi Awan Berkuak.  
            Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca tulisan-tulisannya dalam Polemik Kebudayaan di Perpustarda Banjarbaru. Ia sering dikaitkan sebagai pro-barat. Ia sangat bersemangat dan tajam. Inspiratif. Ia juga dianggap sebagai pelopor angkatan Pujangga Baru. Sepak terjangnya ke mana-mana. Luar biasa orang ini. Ia filsuf, budayawan, pujangga. Namun menghadapi buku Tebaran Mega, saya seperti menghadapi manusia biasa. Ia menangis dan mengeluh, tersengat dan tersentuh, berdoa menguatkan diri dan berpengharapan.
            Oya, buku ini kubeli tahun lalu, 13 Mei 2011, harinya hari Jum’at. Di TB. Karisma Banjarbaru. Harganya Rp. 22.000,-. Sebelum kututup, di halaman pertama, begitu membuka buku, akan kita temukan tulisan ini: “Dan apabila gumpalan mega yang tebal itu melanggar gunung yang padu, maka pecahlah ia berterbangan dan tinggallah kepermaian rona penghias lereng.  Nb. Waktu sekolah dulu, saya hanya pernah terbaca puisi Perjuangan dan Kembali. Dan kalau dilihat-lihat, hanya ada satu puisi yang ditulis tahun 1936, yaitu puisi di halaman terakhir: Pohon di Kebun, bertanggal 22 Januari 1936.
Dan puisi pertama 14 April 1935, 3 puisi sekaligus: Nikmat Hidup, Dalam Gelombang, Di kakimu.

4 komentar:

  1. Salam Kenal,
    Kunjungan pertama saya di blog ini, mohon izin sobat untuk mengutip dan share di blog saya http://ilalangkota.blogspot.com/
    tentunya dengan menuliskan sumber aslinya.
    Terimakasih

    BalasHapus
  2. Silakan, kawan. Semoga kau bahagia... Makasih dah bertamu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kembali barokalloh...salam persaudaraan...

      Hapus