Rabu, 05 September 2012

Faisal Kamandobat: ALANGKAH TOLOL PATUNG INI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Alangkah Tolol Patung Ini
Penulis : Faisal Kamandobat
Cetakan : I, Agustus 2007
Penerbit : Olongia, Yogyakarta.
Tebal : 135 halaman (48 judul puisi)

ISBN : 978-979-15622-5-6
 Gambar sampul : lukisan karya Nasirun berjudul “Absurd Journey”
Perancang Sampul : Adi Kamandobat
Ilustrasi isi : Nasirun

Beberapa pilihan puisi Faisal Kamandobat dalam Alangkah Tolol Patung Ini

Misterium Tremendum Et Fascinans

segalanya telah terungkap
walau kita tertahan kebisuan
matamu mengatakan segalanya
lebih dalam dari bayang-bayang
yang menampilkan cahaya

tak perlu darah menjadi luka
tak perlu bunga dibebani makna
kau dan aku sepasang isyarat
yang menjalin ada dan ketiadaan
dalam hasrat penghabisan

waktu kehilangan jejaknya
ruang tak dapat memutuskan
di mana kita berada: pertemuan ini
memusnahkan kau dan aku
dalam pengalaman di seberang dunia

2004


Lelaki di Atas Bukit
Buat Acep Zamzam Noor

aku membayangkanmu
berdiri di atas bukit
dengan telapak terluka
seperti nabi golgota
menuai kudus
dalam ayat yang murung

di sana mukamu kalah
lenganmu pecah
dadamu dihunus sajak-sajak
matamu terbius matahari
mulutmu yang terbuka
seakan menyerap dunia
ke dalam duka

aku ingin menjabatmu
tapi tanganku tak diberkati
aku ingin mati bersamamu
tapi aku tak punya tuhan
yang mewartakan penyelamatan


aku terberai di mana-mana
kesetanan kata-kata
di lindap mataku
sajak-sajak tertimbun
bagai maut
di kakiku bayang-bayang
mencabik-cabik langkahku

aku menyebut namamu
saat darahmu berlayar
menuju taman lambang
di mana kudapati sosokmu
terbaring dalam hening
menunggu tuhan bertindak
untuk memeras lukamu
jadi puisi mengalir

2003


Aku Mencintai Kalian

aku mencintai kalian
yang setia pada kesunyian
aku ingin menjadi bagian
dari malam-malam kalian
yang panjang serupa sungai
menyentuh rasa lapar
bagai ciuman di urat leher

pada kesunyian
kita bersandar hidup
pada kesunyian
kita dipertemukan
seperti urat-urat menyatu
di dasar jantung
seperti laut menerima
limpahan sungai-sungai

aku mencintai kalian
yang setia pada kesunyian
menunggu sebuah nada
jatuh membelah
seperti tetes embun
di punggung batuan
seperti puisi terkata
di rekah mulut yang duka

aku ingin mengembara
dalam kesunyian
mengarungi rasa lapar
dana menatap nanar mata kalian
seperti pulau terkepung lautan
dan tak seorang pun
berlayar di sana

sebab aku telah berada di sana
dengan puisi-puisiku
jauh sebelum kalian datang
membawa rasa lapar
dari lembah atau pantai:
pada kesunyian
kita bersandar hidup
dari kesunyian
setiap tindakan dimulai

2007  


Kebun Bulan

inilah kebun
tempatku memimpikanmu
saat malam tiba
bintang-bintang berpijar
bulan di pucuk daun-daun
menggugahku
mengenangmu kembali

lebih halus dari engkau
merias diri sendiri
lebih ikhlas dari ibu
melahirkanmu di bumi
aku berkaca pada matamu
membaca sajak
sambil membuka
kamar-kamar jiwamu

langit terasa lebih rendah
dari yang dulu
tanah terasa lebih basah
dari yang sudah
bunga-bunga gaib tumbuh
di dalam hari
menjelma taman
tempat kita saling berbagi

sebelum angin pasang
mencemaskan
sebelum aku ditegur
satu kenyataan
bahwa kau gadis manis
sederhana
yang telah mati tertanam

2001


Jerussalem

dari bukit zaitun
kuusap kota berdebu
gedung-gedung lempung
seperti keramik tua
dengan anggur dan bedil
aku masuk ke dalamnya
darahku menetes
demi gaib iman

di istana sulaiman
kuat haikal dan kubah padat
bayangan balqis tengkurap
kota segi empat
menebarkan nazar-nazar sunyi
terluka
mengamini para nabi berdoa

di gang-gang gelap
firman tercecer
bagai arak atau mukjizat
saat daud bernyanyi
melunakkan besi
lalu musa membelah pantai
isa menghidupkan orang mati
dan anak quraisy naik ke langit –
nabi-nabi datang
membius batu dan binatang

jurussalem
arakan orang ziarah
raut pilu paras tengadah
dalam sembahyang minta surga
demi iman
saling menista dan menikam

1998
  

Bayangan

sebelum aku pergi darimu
dan melepaskan lenganmu
dari lenganku
sebelum kita berjarak
dan di antara kita
cinta yang besar tergeletak
seperti mayat memohon ampunan
dengan lengan seputih awan
atau garam

pada saat itu kita tak peduli
peringatan yang ditiupkan angin
atau gelombang atau planet-planet
meski kita telah mendengar
lewat ribuan peristiwa
yang mengalir di darah kita:
bahwa cinta, dan mungkin hanya cinta
membuat manusia tak punya cukup mata
atau telinga atau hati
untuk mempercayai bukti-bukti

kita tak lagi merasakan lapar
yang memekik di jalanan, hutan
atau di dalam diri kita
seperti naga yang bahagia,
kita tak lagi percaya
pohon itu tumbuh dan sungai itu ada:
segalanya khayali,
juga bumi yang dipijak
tak hanya dengan kaki
tetapi juga tangan, jantung, kepala
yang tegak bagai batu

kini, setelah cinta
dibiarkan menanggung sekarat
pada leher dan tulang-tulangnya,
setelah cinta tak ada lagi yang memeluk
dan mempercayai,
segala yang dulu khayali
membuka telinga dan mata kita
yang diliputi kemayaan

segalanya kembali nyata:
matahari melewati almanak
dan hari-hari melintas
bagai kawanan burung
sungai-sungai mengalir di bawahnya
menampung batu yang sekeras bintang:
tapi di mana aku di tengah semua itu,
dan di mana kau dapat kutemukan?

sementara dari balik kehilangan besar
yang kita tanggung
dua lengan putih menggapai-gapai
bagai tangan kematian
mengaduk-aduk dada dan perut kita
seakan tengah mencari surga,
roti, atau apa saja yang tersisa
dari pertemuan panjang yang sia-sia

tak ada banyak pilihan
ketika cinta dan kematian
telah menjelma sepasang lengan:
kita hanya bisa memainkan
satu adegan: kita biarkan mereka
mengambil hidup yang kita kenakan,
sedang dari mereka akan kita curi
sepasang jiwanya yang abadi

2006
 

Masa Tua
Buat Max Arifin

langit terbuka, malam pun turun
menaruh masa tua di kepalamu
bagai piala pemberian orang suci
sepulang jauh mengembara
bersama matahari dan bayang-bayangnya

demikianlah waktu memahat hidup
menulis nasib di mana saja
waktu adalah pena liar
yang mencatat setiap peristiwa
di urat dagingmu yang lembut
tintanya terbuat dari darah
yang merah oleh luka

suatu kali kau menatapku
seakan tengah mencari masa muda
yang pernah akrab dahulu
namun kau tak menemukan apapun
selain seorang remaja yang takjub
menyaksikan warna maut di rambutmu

aku ingin menyentuh warna itu
tetapi sang waktu mencegahku
dengan tongkat kebesarannya

di bawah bintang redup
kau bacakan sebuah buku
yang berkisah tentang padang pasir:
tuhan menggelar alam ini untuk kita,
katamu, dan kita sepasang musafir
yang meratap, tersenyum, dan bernyanyi
menyaksikan siang dan malam
berguguran di belakang

lalu kau tutup buku itu –
seperti puisi, hidup ini sederhana:
aku tak perlu takjub padamu
dan kau tak perlu gemetar menatapku

2005


Alangkah Tolol Patung ini

alangkah tolol patung ini
membiarkan matahari lewat begitu saja
seandainya ku membuat siang
dari lampu neon
ia tak tahu bahwa itu mustahil

bagaimana menjadi manusia
kalau tak tahu terbuat dari debu?
telah kucipta jasadnya dari tanah
tapi patung ini tak juga
menjelma diriku

sejak itu aku percaya
batu pecah akan berdarah
memancarkan duka
dari takdir keheningannya:
betapa sakitnya menjadi batu!
betapa sakitnya menjadi mayat!
aku tak tahu
yang kutahu darahku merah
dan menghitam saat tubuh ini membatu

menarilah segala yang tak kekal
menarilah aku menerbangkan nyawaku
betapa telah kupanggil mautku sendiri
melalui patung batu ini
kucari-cari bintang pelipur
di sekeliling mataku
tapi bintang adalah batu:
maut menyala di angkasa kosong!

2003
 

Api

api itu cahaya
yang mencipta bayang-bayang
sosok gelap paling setia
membuntuti sang tuan

bagai maut menciumi
segala yang hidup
segala yang ada
menjadi dambaan ketiadaan

bukan mimpi
aku menulis puisi ini
bukan pula api

2001    


Wasiat

kata-kata, aku tak mampu
hidup lebih lama darimu:
teruskan hidupku
gemakan jiwaku yang punah

dalam mati kata-kataku bernyanyi
mengantar darahku yang hilang

kata-kata, aku tak mampu
hidup lebih lama darimu:
tiuplah seruling di hati yang patah
sentuhlah bibir yang rindu bergetar

kata-kataku hanyut di masa depan
meninggalkanku dengan lambung tertidur

jika kau dapati kata-kataku
tergeletak di tepi jalan, tegurlah
maka aku yang telah mengabu
akan berdenyut dalam jantungmu

2003


Tentang Faisal Kamandobat
Faisal Kamandobat lahir di Majenang, Cilacap, 31 Desember 1980. Menempuh hidup dengan nyantri di pondok pesantren di beberapa daerah: Magelang, Kediri, Tasikmalaya, dan Yogyakarta. Sejumlah puisi, esai dan prosanya pernah muncul di Kompas, Suara Merdeka, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Minggu Pagi, Jurnal Cerpen Indonesia, Horison, dsb. Juga dimuat dalam antologi bersama al. Hijau Kelon (Kompas).

Catatan Lain
Kumpulan puisi ini ditutup dengan catatan penyair, “Pengalaman dan Tindakan Puitik”. Faisal Kamandobat menulis begini: “Dalam pengalaman saya, menulis puisi barangkali lebih sebagai pemberian daripada pilihan. Puisi mengunjungi dunia batin saya jauh di masa kecil..... Ia hadir tanpa saya minta, mungkin serupa cinta atau iman. Dulu ketika pengetahuan saya masih amat sempit, saya melihat sosoknya tak lebih hanyalah susunan kata-kata yang begitu lunak, dan saya pun ragu pada kemampuannya menjadikan hidup lebih baik. Berbagai usaha saya lakukan untuk menghapus jejak, semangat dan sosoknya, tetapi saya selalu gagal. Akhirnya saya hanya bisa tunduk dengan menerima kehadirannya dalam diri saya, merawat semangat dan mengembangkan sosoknya.” 
            Sajak-sajak dalam kumpulan ini menurut penuturan penulisnya, lahir lewat proses penuliskan lebih kurang sepuluh tahun. Terdiri dari Kabar Kebisuan (15 puisi), Kebun Bulan (16 puisi) dan Pada Sebuah Senja (17 puisi). Awal pertama saya menyentuh buku ini barangkali saat kegiatan Aruh Sastra di Amuntai tahun 2008. Seingat saya, saya dan Hajriansyah datang belakangan, sekitar Jum’at sore, jadi kami mencari penginapan untuk bermalam. Sandi Firly bergabung kemudian, jadi di penginapan kami sekamar bertiga. Malam itu, di tengah perbincangan-perbincangan yang terjadi, saya menyuntuki buku ini. Buku itu Hajri yang membawa. Sabtu siang, saya dan Hajri sudah cabut dari lokasi acara. Pulang ke Banjarmasin. Jadi tidak sempat bertemu dengan pembicara utama, Korrie Layun Rampan, yang dijadwalkan berbicara pada hari Minggunya.
            Tahun 2011, saya memutuskan untuk beli buku itu lewat Indrian Koto, harganya Rp. 20.000,- Sampai dengan selamat di RS Jiwa Sambang Lihum, tempat saya mangkal, 23 Juni 2011. Jadi sudah sekitar setahun lalu saya menyimpan buku ini, dan sudah sekitar empat tahun lalu sejak saya pertama menyentuhnya. Tema puisi Faisal Kamandobat, saya pikir, banyak berputar di sekitar cinta dan kematian.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar