Jumat, 07 September 2012

Ajamuddin Tifani: TANAH PERJANJIAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Tanah Perjanjian
Penulis : Ajamuddin Tifani
Cetakan : I, 2005
Penerbit : Hasta Mitra, Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Bengkel Seni ’78 Jakarta.
Tebal : xxvii + 286 halaman (169 puisi)
ISBN : 979-8659-38-4
Design sampul sekaligus penyantun : Tariganu
Ilustrasi : Arifin Hamdi dan Tariganu
Prolog : Abdul Hadi W.M.
Epilog : H. Syarifuddin R

Beberapa pilihan puisi Ajamuddin Tifani dalam Tanah Perjanjian

Mawar

alangkah kuntum mawar yang berbunga duri
alangkah duri kuntum yang berbunga mawar
di taman, tempat kita bercengkerama ini, teduh
tapi poranda, dan tak sekarang pun ia diam
dalam bengkalai, bahkan ketika kau kujumpa menjelma mawar
alangkah rekah mata durimu, alangkah angkuh kelopak
darahmu, tak pantaskah aku cemburui kamu, setelah
kau duli aku jadi debumu, kau takut aku menjadi
mainan resah-risaumu, alangkah duri kau
dalam dagingku, alangkah mawar kau
dalam rinai batinku yang menyuling wangimu
untuk sebagian menjadi duri, sebagiannya lagi menjadi
perih yang mengalunkan ombak di lautanmu yang lasak
menyentak kelopak agar segera memerah dengan jerit ngilu
butir-butir darah, mahkotamu darah dari segenap luka
biarkan aku mengunyah debumu, aku ditambat dalam beribu
sihir, sehingga tak semakna sihir, atau rindukah
pesona kepayang, dan aku terpingsan-pingsan hingga
terbadai di rimbun mawarmu, maka, inilah sakit
yang wangi, jerajak ini adalah jebak bagi rindu daun
kepada kering, rindu daun kering kepada humus, tapi
akulah itu yang terperangkap di dalamnya lantaran
menggebu cemburu yang tak selesai
aku tak ingin pulang dengan beban sangsai
biarkan ia mendendam, hingga igauku menyebut sirikku
padamu; berhala tak lagi patung, pepohon atau batu
atau api, tapi hening pun
lapar tak lagi zikir, tapi dendam, sabar tak lagi emas
dalam diam, tapi api, sebab manusia tidak hanya menyuap
makanan dari mulutnya, tanpa harus belajar kepada gunung
atau lautan, ia harus menjadi bintang bagi pedoman layarnya
sendiri, inilah serbuk mawar yang kau semaikan antara
sunyimu dan sunyiku, lalu aku datang kepada duri
bahkan tak ada yang mampu untuk satu luka pun
bagi mawarmu? rekah dan wangilah dalam mawar, perih
dan lukalah dalam duri, lihat, alangkah kuntum, mawar
berbunga duri, duri berbunga mawar
tapi akulah kuntum yang menghadang angin
di tengah angin



Sejak Lama
zikir bersama la bastari

sejak lama aku tak percaya kepada ketenteraman
dan sorga hanya bagi si pengharap yang menunggui
kehidupan dengan gairah pedagang: betapa kecil
upah derita jika untuknya dipersembahkan surga
atau neraka

kuidamkan nyeri hingga ke sumsum
dan pada puncaknya aku mendesahkanmu dengan gairah
bercumbu, luruh dalam kelenjarmu, dan cukup puas
hanya dengan cinta
yang melingkupi segala cinta

kuidamkan sesentuh ‘nun’ untuk datang menepati janji
bagi isyarat dari berbagai isyarat yang kau lamatkan
di timbunan debu-debu waktu, yang belum sempat terbaca
seluruhnya, serta menjawab pertanyaan sendiri ini
pertanyaan sepi ini
sambil menyerahkan kerakapku
yang tumbuh di batu-Mu


Lilin

aku bermimpu surat, lilin
lebur kepada malam
kabar baik apa yang memijar
di kelopak bunga hari, lilin
setelah firasat meleleh ke terang siang
angin lepas ke padang-padang?

aku bermimpi surat, lilin
tulisnya mengilukan denyar
tak pun terbaca gigil cuaca
debu dan burung di kertas hari
apa yang terbakar setelah sumbu
dan kelam

sepi?


Karam

aku ingat kamu, sebab, bukanlah laut namanya
jika kau tak membiarkan perahu berkaraman

pada lenguh-lunglaiku, pada puncak ketinggian
aku kenang biru jubahmu
yang menjelma gelombang laut, tempat kapalku yang fana
menemukan kekaramannya yang baka

subuh hari kita berjumpa di pantai
kau serahkan itu padaku
“jadilah gelombang, karang, pasir, pantai, jadilah
jadilah riak, badai, camar, gua-gua di dasarnya, jadilah
jadilah ikan, cakrawala, jadilah laut,” ucapmu basah

tapi, adakah kau ingat aku saat ini, sebab,
bukan laut namanya, jika aku tak membiarkan perahumu
karam di tengahnya


Sajak Memandang Bulan
bagi LF

pandangi bulan saja, anakku
yang sebagian nampak di lobang atap rumah petak ini
ia tersenyum padamu, dengan salam yang aneh
dan harum segenggam nasi

dan pandangilah bulan saja, anakku
sebab bagi kita sendiri keindahan itu
dan hanya untuk kita ia bersinar
hidup itu indah anakku
pandangilah bulan saja
kemegahan cakrawala

dan pandangilah bulan saja, anakku
malam ini
sebab matahari bukan kita punya
apalagi besok hari

dan pandangilah bulan saja, anakku
kerajaan emas bagi anak-anak lainnya
yang kehilangan matahari dalam hidupnya

pandangilah bulan saja, anakku
yang menyepuh mimpi-mimpi kita
hidupmu emas, hidup kita semesta!


Jika Ia Daun

jika ia daun, berilah gugur, berilah
agar tanah dapat menghimpunkan humusnya
restu bagi luka-riangnya ibu pohonnya

jika ia darah, sempurnakanlah perih lukanya,
sempurnakanlah
liang-lukanya, koyak-kelupasnya
agar kucur-nyerinya menyungaikan aduh padamu saja

jika ia rahim, suburkanlah indung-telurnya, suburkanlah
janin apabila ia mengasuhnya, suburkanlah ia bagai tanah
yang subur, agar menggeliat benih rindunya
menjangkau sang surya

jika ia airmata, puisikanlah asinnya, puisikanlah
derainya, puisikanlah sedu-sedannya, ratap raungnya,
gelepar-rentanya, lapar rindunya, hidup matinya
agar semesta memahami
bahwa ia hanya
sebaris puisi


Rumah Puisi

mengapa masih jua limpas rindu lautmu
setelah kuciptakan surau di puncak karang
setelah kuhiasi langit malammu
dengan tujuhpuluhribu kubah-kubah al fatihah
dan merajuk pasir di seluruh pantaiku untuk mengaku
pasir zikirku, pasir lautmu

lah kutimang-tandas tikammu, sedarah-sedarah
lah kubuai timpas-simburmu sepasir-sepasir
lah kusudahkan getir khuldimu setangis-setangis

geramku tak jua memahami rahasia cinta
yang kau tetaskan di sarang-sarang gelisahku
yang senantiasa bergetar, senantiasa amarah
pada jarak dan waktu

mengapa masih jua ratap deram lautmu
padahal di lubuknya sudah kutanam pohon angsanaku
tempat camarku membangun rumah puisinya
tempat daun keringku menyelesaikan kepunahannya


Mencari

di terik matahari kota
adakah kau tahu
aku mencarimu

bila sore menyentuh punggung gereja
kuingat baik-baik bahwa
kau di sampingku
menunduk dan setengah bisu
hai, jangan permainkan ujung rokmu
ada angin bersiut membelah senja ungu

di kali malam yang pekat
adakah kau tahu
aku menantimu
di bawah hamparan mimpiku
dan sepotong doaku


Pagi Akhir Tahun
gasan: aminah

sebuah pagi yang bening dan kudus
bagai perak yang dihamparkan
seluas batas bumi ini
dan telah berkenan mengisi baris-baris sajakku

sebuah pagi yang bening dan kudus
menggemerlap di atas kulit pekerja
menggeliat di antara jeriji tirai depan jendela
mengisi celah ketawakalan kita
mengingatkan perhitungan nasib yang kabur dan fantastis

sebuah pagi yang bening dan kudus
meluncur dari ufuknya bagai sungai
yang memberikan kehidupan kepada manusia
bagai sebuah rasa syukur yang mengalir
dari setiap hati yang tafakur

sebuah pagi yang bening dan kudus
memandikan kota ini dengan sempurna
seakan sebuah permadani yang terhampar
dengan takjim kita memijakkan kaki ke sana
kitapun menikmatinya dengan santun dan hati-hati

sebuah pagi yang bening dan kudus
turun sangat perlahan dan hati-hati
bagai kata kata perpisahan
dari seorang sahabatku yang pergi

menjelang 1971


Requiem Meratus
Bagi Joko Pekik

dan engkau pun saksi atas terkelupasnya kerak bumi di meratus
dan siapa yang menjadikan suka
atas kesengsaraan ini, jeritan yang dikirim angin kemari
ke rimba-rimba yang terusir
hingga pandang ke jauh sana, kaki langit membentang
dari jejak riwayat dedaunan ke kerakusan, bagai mulut gurun
yang tak habis dahaga, siapa pemilik sungai gila, reguklah
kekuasaan atas airnya yang darah itu
apa beda antara tangisan dan burung terakhir dan kau yang lelah
‘ditebas dalam mimpi yang gundah’?
O, pipit yang bersarang di reranting awan-awan
jangan meratap, tapi melawanlah

hidup hanya sejari dari mati, fahamilah bebijian yang semedi
dalam perjalanan menuju jadi di bawah waktu
daun kering yang ikhlas, gugur melepas reranting
luluh dengan roh tanah, meragi kehidupan baru, dan
engkaulah
pohon garing milik mulajadi dari hakikatnya burung tingang
yang ditimang musim itu di kolam-kolam hatatai; ah, ibu bumi
tempatnya menyusu, meratus namanya
luasan ‘tanah malai tanggungan elang’ raja
kemala bagi mamang aruh, sasindin airmata di denting kuriding
istana gading, ditujah oleh duri langgundi, di gantang emas
di gantang intan, luluh ke hati, alahai...sibiran tulang,
meratus yang senantiasa menatap langit
dengan gigil yang sangat kasmaran
dan harapan yang keterlaluan

ketika kau disongsong mimpi buruk, lalu merajah waktu-waktumu
hingga kau tak sempat membaca waktu, lalu kau terlempar
hingga ke jazirah katulistiwa ini, hingga impian bercendawan
o, ning hatala di langit pitu, meratus: titian doa dan harapan
tiang langit tuju mahligai bambang siwara, libas mereka,
pasung rohnya, kita tak berseloroh di hadapan kemanusiaan ini
meratus, jenjang alam atas, tempatku moksa
jandih dan bawuk, menata takdir semesta, muara sungai suara
dan airmata pahlawan simpai delapan, berjaga di tiap sudut
maka, jangan renggut meratus dari cinta dan kasih dicurahkan
di siang di malam tak ada bendera putih dan merah
hanya hitam dan kuning, tanda perlawanan akan menjadi abadi

                       
Mereguk Magrib

merangkak di atas bukit kenyataan
menatap pedih burung lepas senja
apa yang kau turuni
setelah puncak yang terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning, tapi lapar menggulung tegalan
begitu berahi dendam keputusasaan melibas kesadaran
menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya
dengan doa

sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya
karena “Bukankah tanganNya yang melempar, yang
berarti bukan tanganmu?  

aku mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bahwa tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu sendiri
ingatlah kami, sebelum doa berubah menjadi kutukan
merubah impian menjadi perlawanan


Dengan Apa

dengan bahasa apa yang tepat untuk kutulis riwayat ini
seekor burung perenjak yang gugup terbang, melintasi
siang
penyaksi arak-arakan suara, dan batu yang sempat
menyeka airmatanya; inilah peradilan, atas peralihan
kemuliaan menjadi kehinaan

penjarahan yang kalap, dendam berpuluh tahun dan atas
nama
lapar yang berbunga merah di mana-mana
menggila di mana-mana

lalu pembunuhan yang mengatasnamakan kezaliman
lalu darah yang menguapkan angin-anyir
tahta pun sudah ditabalkan dengan segenap dusta yang tak bermalu
ketika kasih, ketika kasih dimakzulkan amarah
lalu apa yang disuarakan hanya oleh burung perenjak?


Perenjak

baik! Untuk itukah cuma burung perenjak yang tengah
asyik menyanyi segera untuk menyatakan: “Tidak!”
tapi burung perenjak pun punya hak
katakan itu pada cakrawala
ia menciap sejadi-jadi
katakan itu pada cakrawala
ia menciap berdarah-darah, ketika ia menyanyi
sehabis-habis nyanyi

katakan itu pada cakrawala
ketika ia melihat titik api pertama yang mencetuskan marak
tapi suaranya sendiri
suaranya sendiri mengandung api
lalu seluruh dirinya sendiri
ia temukan menjadi api


Alif

Alif
tegakkan Alif
tunjukkan cahaya langit
pada Alam
Sebelum Semesta – Sebelum Adam
Sesudah Adam
Alif
Aku dalam Empulur
di tegak Alif
Tegakkan
Ada
jadilah ada
maka
Jadi
!


Tentang Ajamuddin Tifani
Ajamuddin Tifani lahir 23 September 1951 di Banjarmasin. Mulai aktif menulis puisi, cerpen, esai, sejak 1970-an, tersebar antara lain di Berita Buana, Media Indonesia, Pelita, Suara Karya, Sinar Harapan, Mimbar, Basis, Budaya Jaya, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Horison. Menerima hadiah seni bidang sastra Gubernur Kalimantan Selatan tahun 1982. Antologi yang memuat puisinya al: Antologi Puisi ASEAN (Denpasar, 1983), Kilau Zamrud Khatulistiwa (Yogyakarta, 1984), Festival Puisi PPIA XIII (Surabaya, 1992), Sahayun (Padang, 1994), Dari Negeri Poci 3 (1995), Mimbar Penyair Abad XXI (DK Jakarta, 1996), Puisi Indonesia 1997 (Bandung, 1997). Manuskrip kumpulan puisinya al: Kapal Kertas, Kisah Debu, dan Qasyidah Rindu. Meninggal di Banjarmasin, 6 Mei 2002.

Catatan Lain
Sewaktu saya masih SMP, saya suka menulis puisi-puisi orang di sebuah buku folio bergaris. Tentunya puisi-puisi dari penyair-penyair terkemuka Indonesia. Sebut saja Chairil Anwar, Amir Hamzah, Taufik Ismail, Rendra, Goenawan Mohamad, Armyn Pane, Sanusi Pane, St. Takdir Alisyahbana, Ajib Rosidi, Moh. Yamin, Aoh Kartahadimaja, J.E. Tatengkeng, Anas Ma’ruf, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, Subagio Sastrowardojo, Ramadhan KH, Hamzah Fansuri, Toto Sudarto Bahtiar, Rustam Effendi, A Hasymi, dll penyair kontemporer dan terjemahan. Bahkan ada juga puisi-puisi dari orang-orang yang cukup “langka” menulis puisi seperti Usmar Ismail, Arifin C. Noer, Trisno Sumardjo. Tak dinyana, sekian lama hilang, saya membuka-buka kembali buku nostalgia itu. Ternyata saya juga menyimpan satu puisi Ajamuddin Tifani. Judulnya Hangus. Saya lupa mengambil sumber dari mana. Hanya ada dua kemungkinan, Koran Banjarmasin Post atau sebuah antologi bersama koleksi perpustakaan SMP 1 Banjarbaru. Seingatnya saya antologi itu terbit berisi keprihatinan masalah Bosnia. Saya pun membuka Tanah Perjanjian, dan memang Ajamuddin Tifani pernah menulis di sebuah Antologi Bosnia dan Flores, Sebuah antologi puisi belasungkawa (Banjarmasin, 1993). Di antologi itu saya hanya dapat mengingat puisi Sutardji yang berjudul Rumput (juga saya tulis tangan di buku folio bergaris saya), tapi tak mengingat ada puisi Ajamuddin. Penyair Kalsel yang saya ingat ada di antologi itu hanya Hijaz Yamani.
            Oke. Kita abaikan sumber. Sekarang kita fokus ke puisinya saja. Ternyata puisi Hangus tak ada dalam Tanah Perjanjian. Saya malah menemukannya dalam Tragika Sang Pecinta, buku yang diangkat dari skripsi Jamal T. Suryanata. Namun ternyata redaksinya juga berbeda. Berikut kita nikmati kedua puisi itu:
   
Hangus
(versi catatan saya)

Ke mana beribu burung penyair baca puisi?
ke titik didih matahari
ia panjati udara dengan mata tertutup oleh kesadaran
dan sayap terbakar oleh kerinduan

beberapa kepakan sayap lagi kita tiba
ke inti cahaya: dan kita semua menjadi buta
dan kita mendebu setelah hangus terbakar
dan debu kita menjadi bagian dari
keindahan cahayanya yang hilang

Kau dan aku berpijaran dalam satu api
bagai rama-rama di lilinmu, aku meleleh
menemu waktu
pelan, kau selimuti gelisah kami yang kedinginan
dengan hangat terangmu yang asasi

kami maha satukan, satumu
di luar dan di dalam kemakhlukan kami
yang senantiasa mengidamkan debu
dalam kehangusan di apimu


Hangus
(versi Tragika Sang Pecinta, Jamal T. Suryanata)

ke mana lagi perginya burung penyair baca puisi?
alahai, mereka berbondong menuju titik didih matahari
ia panjati udara dengan mata yang tertutup oleh kesadaran
dan sayap terbakar oleh kerinduan

alahai, berapa kepakan sayap lagi kita tiba ke inti cahaya
dan kita semua menjadi buta, dan kita mendebu setelah hangus terbakar
dan debu kita menjadi bagian dari keindahan cahayanya
memancar, memperindah taman dan bunga-bunga
serentak menebar wangiannya

kau dan aku berpijaran dalam satu api, menggelinjangkan nyalanya
alahai, bagai rama-rama di lilinmu aku ikut meleleh
menemu waktu setelah tunai kepedihan terakhir
memberikan nuansa pada lidah nyala apimu
lalu, pelan kauselimuti gelisah kami
dengan hangat terangmu yang asasi

kami mahasatukan satumu
di luar dan di dalam kemakhlukan kami
yang senantiasa mengidamkan debu
dalam kehangatan di apimu


            Dalam pengantarnya, Abdul Hadi W.M. menyebut sajak-sajak Ajamuddin memiliki “kecenderungan sufistik”. Konon, di dasawarsa 1980-an, kecenderungan puisi berangkat dari kegerahan penyair terhadap masalah-masalah sosial, dehumanisasi, hedonisme. Ada amarah dan kegelisahan, nah Ajamuddin, menurut Abdul Hadi, memilih untuk menyuarakan kegetiran hatinya saat melihat kehidupan sosial yang berat dan gelap gulita itu, dengan pergi ke wilayah “kontemplasi” walaupun sering tidak ada sesuatu pun yang didapat, semacam pencerahan. Juga di antara puisinya, ada yang bernada religius romantik, disamping ada pula yang berisi cinta tanah air dan kemanusian. Abdul Hadi juga mencatat bahwa di beberapa sajaknya ada kesan penyair mengambil sikap diam atau pasrah, namun di sajak lain tidak segan-segan menjadi garang dan melawan. Abdul Hadi W.M. juga memberi kritik: nampaknya penyair ini kurang meluangkan waktu untuk memeriksa ulang sajak-sajaknya sebelum dipublikasikan. Abdul Hadi menulis begini: “Seorang penyair tidak boleh beranggapan bahwa menulis sajak itu sekali tulis sudah jadi. Ungkapan-ungkapan yang ambigu dan kaku atau kurang puitik, perlu ditimbang kembali untuk diganti dengan ungkapan lain yang lebih jernih dan menukik. Licensia poetica atau kebebasan penyair untuk memilih kata-kata tidaklah berarti seorang penyair bisa seenaknya menerjemahkan gagasan dan pengalaman estetik ke dalam ungkapan kata-kata apa saja.”
            Abdul Hadi W.M. juga bernostalgia dengan ruang “Dialog” di harian Berita Buana. Dikatakan bahwa selama dasawarsa 1980-an, lembaran budaya ini menjadi pentas atau ajang pertemuan para penyair, kritikus dan esais muda seluruh penjuru tanah air. Dan Ajamuddin Tifani termasuk orang yang rajin mengirim sajak-sajak ke redaksi “Dialog”. Itu sekitar awal 1980an. Baru saling ketemu pada awal tahun 1987 ketika Abdul Hadi W.M. berkunjung ke Banjarmasin untuk memberi ceramah sastra sekaligus pengumpulan data penyair yang hendak diikutkan dalam forum puisi Indonesia 87.
            Hal ihwal penerbitan buku ini diceritakan oleh Tariganu dalam Sekapur Sirih dari Penyantun. Diceritakan Micky Hidayat dan Y.S. Agus Suseno menyerahkan seberkas fotocopy sajak-sajak tifani yang dihimpun bersama Maman S Tawie, pada suatu kesempatan di Taman Budaya Banjarmasin: “Terserah abang mau diapakan yang penting kumpulan Tifani dapat diterbitkan.” Ditambahkan pula, bahwa sajak-sajak ini bisa terberkas berkat bantuan Noor Aini, Abdussukur MH, Tajuddin Noor Ganie, Eza Thabry Husano, Arifin Nur Hasby dan M. Rifani Djamhari. Dari berkas fotocopy salinan dan ketikan sajak-sajak Tifani itu, 12 puisi dikeluarkan oleh penyantun (dan sekaligus penyunting?) karena pernah dimuat dalam antologi Ritus Warna Ritus Kata (antologi bertiga Tariganu, Adjim Arijadi dan Ajamuddin Tifani), dan 3 puisi lainnya bernasib serupa karena pernah dimuat di antologi Tembang Negeri Hijau. Tahun 1988, Ajamuddin Tifani ada menulis surat kepada Tariganu (yang dipanggilnya abang itu), mengutarakan keinginan untuk menerbitkan sebuah antologi:”Hasil simpanan puisiku empat tahun, sejak ’84, dua ratus buah puisi + 50 ilustrasi. Kiranya memadai untuk satu antologi. Sekali lagi, yang ini pun cuma ingin..... ,” demikian tulis Tifani, dengan menggarisbawahi cuma ingin. Demikianlah, Ajamuddin Tifani, yang oleh Korrie Layun Rampan disebut-sebut menempati puncak gelombang kedua dari pencapaian estetika sastra di Kalimantan Selatan (puncak gelompang pertama ditempati Hijaz Yamani, D. Zauhidhie). Saya pribadi belum pernah bertemu langsung dengan penyair ini. Tapi dari cerita Hajri, yang sejak SMA sudah aktif di Taman Budaya Banjarmasin, Ajamuddin Tifani memiliki perawakan yang tinggi besar, sehingga ketika harus memerankan Jin dalam sebuah pementasan teater, sangat cocok dan pas, tinggi besar dengan suara yang menggelegar. Tentulah sangat bertentangan jika ada yang menjuluki penyair ini sebagai penyair “burung perenjak”, setidaknya ada kesan yang bertentangan di benak (imajinasi) saya. Celakanya, ada 2 sajak Ajamuddin Tifani yang menggiring ke arah sana. Ke burung perenjak itu, yaitu puisi “dengan apa” dan “perenjak”.
Membaca antologi “Tanah Perjanjian”, saya juga jadi teringat dengan ujaran Raudal Tanjung Banua, dalam kesempatan Aruh Sastra di Tanjung, Tabalong. Waktu itu saat ngantri bensin di POM bensin, kami keluar mobil cari angin. Raudal berkisah tentang penyair yang selalu gelisah. Meskipun saat itu sedang tidak membincangkan Tifani, namun penyair lain. Kesannya saat itu saya sedang mewawancarai Raudal. Hehe. Bertahun lewat, dan ketika saya menyuntuki “Tanah Perjanjian” koleksi Hajri ini, barulah saya sadar, inilah penyair gelisah itu. Dan inilah pesan saya jika suatu waktu kau ditakdirkan menginjakkan kaki di “Tanah Perjanjian”: “Gelisah bisa menular!!!” Hehehe.       




Tidak ada komentar:

Posting Komentar