Rabu, 07 November 2012

Cecep Syamsul Hari: 21 LOVE POEMS


Data buku kumpulan puisi

Judul  : 21 Love Poems (e-book)
Penulis : Cecep Syamsul Hari
Cetakan  : I, 2006 (e-book: 2008)
Penerbit : Orfeus E-book, Cimahi.
Tebal : 74 halaman (21 puisi-bilingual Indonesia-Inggris)
Penerjamah ke bahasa Inggris : Harry Aveling dan Dewi Candraningrum
                          
Beberapa pilihan puisi Cecep Syamsul Hari dalam 21 Love Poems

Sebab Bagai Angin

Jangan pergi. Sebab bagai angin
aku selalu bersama arah. Tak ada yang bisa
sembunyi dari rindu batinku.

Jangan pergi. Sebab bagai angin
kelak aku sampai di negeri yang ditujumu.
Mungkin lebih dulu.

Biarkan kulabuhkan sampan lempungku
di tepian telaga
bening matamu itu.

1991-1992



Syair Kesedihan

Kusadari malam itu, matamu kata-kata.
Pohon cemara sendiri dalam hujan,
mengubah kelopak-kelopak airmata jadi permainan cahaya.

Aku melihat seorang anak perempuan pada matamu yang ragu.
Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu-kupu;
bermimpi menyihir batang cemara
jadi sepotong coklat raksasa.

Hidup dan mati seorang penyair berkawan kata-kata.
Kata adalah ruh dan keajaiban;
keriangan dan kesedihan.

Sebab matamu kata-kata
malam itu, aku menjadi seorang pencinta.

Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi wangi
kerudung rambutmu.

Dari dunia yang murung,
Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih karena ditinggalkan."

Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.

Bagi penyair, kesedihan yang sempurna
sorga yang dijanjikan.

Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih
karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.

Seorang penyair dan seorang pencinta
mengembara dalam tubuhku.

Maka biarkan
kuiris matamu dengan puluhan kecupan.

Lukai aku dengan kesedihan.

1996-2006


Sebelum Makan Malam

Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz.
Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh dewasa:

Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu,
dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan
keinginan dan kesedihan.

Bukan fosil atau gambar separuh badan
sebagai sasaran tembakan.

Seperti engkau,
aku lahir dari sebuah sejarah
yang lecak dan selingkuh.

Tetapi kita mencintai negeri yang sama,
yang senyumnya bagai impian,
seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama,
yang senyumnya bagai buaian.

Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz,
seperti babad rambutmu yang menipis
dan hikayat luka dalam aliran darahku.

Segalanya menjadi selalu mungkin:
Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita
yang penuh senyum dan gelak tawa.

Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan
menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari lubang
persembunyian, juga impian, kita yang rapuh.

Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica,
kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja dari pasangan
paman dan bibi yang tambun dan riang.

Tetapi juga dari sahabat khayalan,
Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti,
sepasang granium, tiga grasia,
dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.

1994-2006


Episode Terakhir dari Kenangan

Ketika waktu berhenti,
kota-kota menghapus jejak airmatamu
dengan keheningan kenangan.

Aku tak lagi mampu mengingat
kapan kisah cinta itu dimulai,
kapan selesai.

Barangkali pada sebuah senja
di bising kota asing dan kumuh,
pada beranda sebuah hotel di ujung jalan riuh.

Atau dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu.

Kota-kota berangkat tua dalam batinku.
Namun senyummu abadi seperti sebaris sajak Po Chu-i.

Senja yang kusimpan dalam ingatan
kini lapuk dan berlumut.

Tetap saja sukar kubedakan
keajaiban dongeng dan kepiluan masa silam.

Ketika waktu berhenti,
kukenang kembali airmatamu yang menari:

Di situ senja yang tak terlupakan diciptakan.
Dan cinta, disapa dengan ribuan nama.

1994-2006


Empat Mil dari Kenangan

Sepasang angsa di sudut taman pom bensin:
Kusaksikan keajaiban dongeng dan biografi bersatu di situ.

Seperti Wilde yang murung
di depan sajak Ginsberg dan Rendra.

Kota-kota tanpa patung "Happy Prince" menyimpan dendam
dan keinginan diam-diam pada kematian.

Bagai puisi Malna dalam saku celana kekuasaan.

O, ke mana orang-orang pergi begitu bergegas
pada dini hari yang riuh ini?

Di luar jendela para penyair,
borgol dan selongsong peluru mengubah dirinya menjadi bahasa.

Sayangku, di sebuah tempat dalam kenangan,
Sa`di kehilangan lentera,
Tardji kehilangan ngiau,

aku kehilangan engkau.

1994-2006               


Gerimis

Di sudut sebuah perpustakaan
yang mengandung angin basah pada bingkai-bingkai jendelanya,
aku menemukan kembali wajahmu yang gaib itu.

Mencair dari kebekuan kenangan
dan malam-malam penuh siraman cahaya bulan
purnama.

Aku ketuk pintu terkunci itu,
hujan hari terakhir bulan Desember menyisakan butir-butir embun
berpendaran pada ujung rambutmu yang jauh.

Begitu sukar memahami dirimu
sebagai pertemuan biasa atau kebetulan saja.          

Aku kesepian dan tak mengerti.

Wajahmu memandangku di mana-mana,
menangis tanpa airmata.

Aku susuri jalan darahku sendiri.
Takjub menemukan kepingan-kepingan luka
membangun dunianya sendiri.

Di sudut sebuah pura desa
yang disapu gerimis sepanjang hari,
kukecup kedua kelopak matamu dengan seluruh hatiku.

Dosa begitu manis dalam lidahku,
barangkali seperti khuldi.

Dari pagi berkabut itu
aku memulai pengembaraanku yang abadi.

Mencari sepucuk pesan
dari kata-kata yang tak sempat kau ucapkan.

1994-2006


Molto Allegro

Seperti Neruda lelah menjadi manusia, malam itu
aku pergi dan memanggil taksi.

Ke mana? Ke mana saja, jawabku.

Aku pun lewat di depan rumahmu.
Namun telah lama kau pergi dari rumah itu,
rumah itu, begitu saja, seperti dulu kau lari dari mimpi-mimpiku.

Dari balik jendela, kota sungguh sepi.
Bagai gunting di atas genting.

Ajaib benar jika tiba-tiba bertemu Tuhan dan Tchaikovsky
di sebuah persimpangan jalan.

Tetapi perempuan-perempuan aneh itu terlalu berani
memamerkan tato mereka, di bahu yang terbuka.
Aku takut sepatuku berdebu,
jadi kuberi mereka lambaian tangan saja.

Berhenti di depan Fame Station
seraya mengucapkan terimakasih
pada sopir yang mengerti kesedihanku.

Asia-Afrika, kau tidur seperti bayi.
Bangun dan peluklah Don Quixote malang ini,
pengembara penuh duka, jatuh cinta
berulang kali pada perempuan yang sama.

Perempuan yang sama.

Orang dewasa yang selalu takjub pada kemurungan
tak terduga.

Setiap satu langkah, kulihat makam ibuku,
lembab oleh tangisan masa kecilku.

Seperti Neruda lelah menjadi lelaki,
aku berpikir mengakhiri dengan paksa
hidupku di sini.

Namun kutemukan Mozart di kamar
sebuah hotel dekat Simpang Lima.

Molto Allegro. Molto Allegro.
Adakah juga kekasihku menunggu di situ?

Perjalananku berakhir di atas single-bed yang nyaman.
Aku tertidur seperti buaian dan dalam mimpiku
perempuan bersayap menyelasar tubuhku dengan ciuman-ciuman.

"Sungguhkah kau lelah menjadi lelaki?"
bisiknya, ringan bagai udara kamar.

Pagi, kutemukan jawaban kesedihanku malam itu:

Risau atau murung atau kehilangan
sepasang alismu yang tebal.

1997-2006


Tentang Cecep Syamsul Hari
Cecep Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance (1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems: Bilingual Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007). Ia juga menulis novel Soska (), cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di Jakarta, Indonesia, sejak 1966.

Catatan Lain
Membaca kumpulan ini, saya merasa yang ini lebih kuat ketimbang buku puisi Perahu Berlayar Sampai Bintang. E-book ini saya temukan di website penyairnya. Silakan download langsung di sumber aslinya (telusur link di atas), jangan lupa kasih donasi.  

2 komentar:

  1. Don't buy in to the hype. Article Source: L. Since then, things have been going steadily downhill where reverse osmosis water filters are concerned.

    my blog; reverse osmosis water filter arizona

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berbagi informasi menarik dan bermanfaatnya
    Tetap semangat untuk share info yang lainnya!!!!

    BalasHapus