Sabtu, 03 November 2012

M. Fadjroel Rachman: CATATAN BAWAH TANAH


Data buku kumpulan puisi

Judul : Catatan Bawah Tanah: Kumpulan sajak anak muda Indonesia dalam empat penjara
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Cetakan : I, September 1993
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Tebal : xviii + 123 halaman (27 judul puisi)
ISBN : 979-461-147-6
Desain sampul : Danton Sihombing (Studio Jean Kharis)
Pengantar : T. Mulya Lubis

Beberapa pilihan puisi M. Fadjroel Rachman dalam Catatan Bawah Tanah

Malam Lebaran

Sendirian
Di dunia mayat-mayat

Aku hidup!

Di kehampaan-segala

Tersalib

Sukamiskin, 15 April 1991


Doa Manis buat Tuhan

Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat
dan sawi kurus yang kami tanam
Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia
menyegarkan batang-batangnya
Setiap malam dari balik terali besi kuhisap
udara kering dan embun tipis, berebutan
dengan bayam, tomat dan sawi kurus
Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah
sebenarnya di balik cuaca?
Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan
besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar
dan paru-paru orang besar di kota-kota
Dan kamu?

Aku tak tahu, aku tak tahu
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
      mengusap lembut terali besi dan wajahku
Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya
      mampu bertanya ke arah langit
Bukankah langit telah menganugerahi orang-
      orang bijak dan berkuasa, martabat untuk
      menuangkan jutaan kata-kata di benak kita
      yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket
      tulang perutmu
Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka

Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan
      membuat miskin dan membuat kaya, Ia
      meninggikan dan merendahkan juga
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
      mengusap lembut terali besi dan wajahku
Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-
      rintih tentang penderitaan hidup, lalu
      kudengar desah genit si penyiar wanita,
      “Salam kompak selalu dan selamat
      menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari
      gadis Z di gubuk derita”
Hai, hai siapakah yang berbahagia dan
      siapakah yang menderita?


Lalu kedengar ramalan bintang
“Buat pendengar yang bernaung di bawah
      bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan
      minggu ini bersama anda dan asmara si dia
      makin mesra saja, kesehatan anda pun makin
      sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”
Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang
      dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan
      meneguk air teh pahit di cangkir berkarat
Kuhisap udara kering sambil menyanyikan
      Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin
      sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah
      manusia yang berakal-budi?)
Cahaya bulan pucat menerangi bumi
      sekarat, mengusap lembut terali besi dan
      wajahku
Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa
“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,
      siapakah yang berbahagia dan siapakah yang
      menderita?”

Kebon Waru, November 1989


Soekarno, Narapidana Blok Timur Atas nomor 01

Pandangilah, namun jangan menitikkan airmata
Di luar jendela-jeruji selmu, di luar jendela-jeruji
      selku
Serdadu-serdadu berbaris dalam
      mimpi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu
Serdadu-serdadu berbaris mencincang akal-
      budi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu;
Langit, bebatuan, rerumputan dan udara yang
      kita hisap mengucurkan darah
      menenggelamkan segala impian manusia

Di ruang-waktu
Di ruang-waktu

Hanya gelisah dan sepi
Lalu mati

Sukamiskin, Oktober 1990


Malam-malam di Jendela

Ada cemara lurus menusuk langit
Ada angin berlendir, mayat membusuk
Ada rintih hujan, doa-doa rubuh
Dan wangi kemboja mengiris malam

Lalu kata-kata menggelepar sekarat
:Engkaukah berpayung hitam di tepian cakrawala?
Cahaya terkulai beku. Segalanya pucat-pasi
Diri lampus sudah dalam sihir malam. Dan sia-sia
Engkaukah yang bertanya, “Ada apa?”
Bayang langit menarikan perih. Kekosongan
: Antara Ada dan Tiada
: Antara Engkau dan Aku
Engkau mencari siapa?

Dalam sepi kuburan sejarah-manusia
Dalam sepi kuburan alam semesta
: Aku ingin berbicara kepadamu

Sukamiskin, Oktober 1990


Kenapa Rachman masih Menulis Puisi?

Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau darah dan teror masih membasahi wajah
      dan tubuh keringnya
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau urat-syaraf dan kasih-sayangnya dicabut
      satu persatu
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau jiwa dan hati-nuraninya disalib jeruji besi
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau kematian dan mimpi buruk
      menyergapnya berkali-kali
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Karena dalam samudera ketidaktahuan,
      manusia bersaudara
Karena dalam samudera kemanusiaan, manusia
      bersaudara

Kau dengarkah suaraku, lagu jiwaku,
      saudaraku?
“Aku ingin ziarah dan berbaring dalam
      samudera cahaya jiwamu”

Kebun Waru, 17 Januari 1990


Aku Teringat Godot, Kucing Kesayanganku

Halo … halo apa kabar Godot?
Ratusan hari kita berpisah, tahukan engkau aku
      berada di mana?
Engkau masih tidur di pembaringanku?
Awas, kakimu harus dibersihkan sebelum naik
      ke pembaringanku
Siapakah yang memberimu makanan sekarang?
Apakah engkau masih enggan memakan ikan asin?
Untuk sementara terimalah apa-adanya, ya Godot

Aku tersenyum pahit, makananmu lebih baik
      daripada makananku di terali besi ini, apalagi
      dengan makanan anjing tetangga kita
Kalau engkau berada si sini, kurasa sudah mati
      kelaparan karena seleramu yang terlampau tinggi

Aku terkurung di terali besi, Godot
dan engkau masih bisa berpacaran di atas
      genteng rumah
Bermesraan di pojok-pojok dapur, tetapi engkau
      selalu saja membatalkan niatmu bila juru
      masak lengah dengan semur dagingnya

Nah, sekarang bagaimana dengan pacar barumu
      kucing tetangga kita, masih setia?
Ayolah, Godot, beraksilah, bukankah saat ini
      musim hujan, tapi hati-hati dengan jantan-
      jantan lain, tanpa kau sangka-sangka bisa
      saja mereka melarikan calon ibu anak-anakmu
Pikatlah hatinya, beri si dia janji-janji surgawi
      (Kalau terpaksa janji-janji pembangunan
      boleh juga)
Insya Allah si dia akan setia denganmu
(Hai, kenapa kita selalu bersumpah atas nama
      Tuhan ketika berpacaran. Lalu kalau kita
      berpisah atas nama siapakah?)
Apakah jadinya kita ya Godot bila tak mampu
      membuat janji, engkau dan aku akan senasib
      menjadi gelandangan dari negeri ke negeri
      tanpa peta, tanpa penunjuk arah
Lalu mabuk dan kesepian dalam pori-pori darah
      sejarah
Ya, seperti Hamlet kehilangan Ophelia

Ayolah Godot, yang penting jangan berantem
      dan putus asa
Sampai jumpa lagi dalam pembaringan yang
      sama 13 tahun yang akan datang
Hiduplah dengan menentang bahaya,
Sehingga di hari kematian kita, sahabat-sahabat
      akan berkata
“Dia hidup; benar-benar hidup dan ada”

Kebun Waru, Desember 1989


Kita Harus Menuliskan Semua Hak Asasi Kita

Kita harus menuliskan semua hak asasi kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
      pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita

Kita harus menyanyikan semua lagu dan
      membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
      menjadi berhala haus-darah dan pencabut
      nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
      menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi
      kehidupan
Bahwa tanpa hak-hak asasi kekuasaan akan
      merampas tanah-tanah pekarangan kita,
      pekerjaan kita bahkan yang tak cukup untuk
      makan hari ini, menggusur dan membakar
      rumah-rumah kita, menghisap semua
      persediaan air minum kita, merampas
      pendidikan, masa-depan anak-anak kita dan
      merampas semua suara kita, akal-budi serta
      hati-nurani kita

Apakah lagi yang tak mungkin dirampas oleh
      Tirani Kekuasaan?
Bahkan keberanian kita, dimasukkan dalam
      selokan
Dan negeri kita dijadikan kandang kerbau
Lalu seorang sipir maha-tahu dan maha-kuasa
      akan menggebuk siapa saja yang tak
      disukainya

Lalu bagaimana mungkin ada perbincangan
      akal-budi dan hati-nurani di kandang kerbau?
Cendekiawan dan penyair dijadikan benalu
      dan hama bagi rakyat jelata
Senapan dan jampi-jampi peraturan
      dimasukkan paksa ke mulut dan saku
      mahasiswa, ulama serta pendeta
Lalu di manakah rumah-luas bagi cinta-kasih
      alam semesta?

Lalu untuk apa bernegara, bila hanya sebagai
      alat memonopoli kekayaan dan kekuasaan,
      memonopoli akal-budi dan hati-nurani
Lalu untuk apa lembaga perwakilan, bila hanya
      menjadi lembaga main-sulap cukong-cukong
      dan penguasa dengan kapitalis Jepang,
      Eropa, Amerika; menjadi lembaga membagi-
      bagi uang-saku dan proyek-proyek pembangunan
Astaga, lembaga apakah ini, demikian lihai
      memperjudikan perut dan masa-depan
      bangsa sendiri
Lalu apa gunanya wakil-rakyat, bila tak mau
      membela kebutuhan dan kepentingan rakyat
      jelata; bila menutup mata dan telinga dari
      segala penderitaan rakyat jelata

Bukankah merak tak lain daripada benalu dan
      hama bagi penghidupan rakyat jelata
Bukankah mereka tak lain daripada
      pengkhianat bagi cita-cita dan penghidupan
      rakyat jelata

Lalu apa gunanya pengadilan bila tidak berani
      menyuarakan keadilan; bila hanya menjadi
      alas kaki dan buldoser kekuasaan; menggilas
      ratusan juta rakyat yang memperjuangkan
      hak-hak asasi; bila hanya menjadi kondom
      bagi cukong dan penguasa rakus haus darah

Lalu saudara-saudaraku ratusan juta rakyat
      yang terampas hak-hak asasinya
Untuk apa berdiam diri menonton sikap-politik
      cukong-cukong dan penguasa di pengadilan
      berlumut ini
Lebih baik kita mengangkat poster-poster dan
      menuliskan semua hak asasi kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
      pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita

Dan kita harus menyanyikan semua lagu dan
      membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
      menjadi berhala haus-darah dan pencabut
      nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
      menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi kehidupan

Kebon Waru, Desember 1989


Bersimpuhlah di hadapan Bunda

Kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
      terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian
      memohon doa-restunya

Sebab sipir-sipir maha-tahu dan maha kuasa
      serta tukang-tukang sihir haus darah dan
      kekuasaan mengintai kita dari segala
      penjuru
Mereka bagai karbon monoksida yang
      berkeliaran di ruang-waktu meracuni darah
      merahmu dan menghisap sel-sel syarafmu
Tak ada lagi keamanan di negeri ini, engkau
      bisa saja raib tanpa seorangpun sahabat atau
      kerabatmu mengetahuinya
Dan hanya ikan di kali-kali yang menangisi
      kepergianmu
Lalu siapa yang akan mengabarkan kepedihan
      ini kepada Bunda terkasih?
Ah, bila penguasa tak suka padamu, lebih baik
      sebelum pergi dari rumahmu, ucapkan
      selamat tinggal pada kerabat-kerabat dan
      sahabat-sahabatmu
Beri makan binatang-binatang kesayanganmu
      dan katakan, “Hari-hari semakin
      mengerikan, penuh darah dan kekejaman di
      negeri ini, mudah-mudahan kita bisa
      berjumpa lagi di saat makan siang nanti,
      atau dalam ribuan hari lagi, atau malah tidak
      kembali sama sekali”
(Ah, kenangkanlah segala impian, mimpi buruk
      dan kebahagiaan kecil yang kita alami
      hingga hari terakhir kehidupan kita)

Engkau boleh saja berteriak itu barbar, tak
      beradab, memperkosa keadilan, akal budi
      dan hati-nurani
Tapi apalah artinya teriakan-teriakanmu bila
      sipir-sipir maha-tahu dan maha-kuasa serta
      tukang-tukang sihir haus darah dan
      kekuasaan menjerat tali gantungan ke
      lehermu dan menutup pernapasanmu,
      kemudian membakar kornea matamu, dan
      memisahkanmu tiba-tiba dari Bunda terkasih,
      sahabat-sahabatmu serta kerabat-kerabatmu

Ya, kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
      terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian
      memohon doa restunya
Karena kita tak tahu, apakah akan berjumpa
      lagi dengan Bunda terkasih, segalanya serba
      tak pasti. Manusia serta kehidupan tak
      berharga sama sekali di negeri ini
Kita juga tak tahu siapakah yang bakal
      mengabari Bunda terkasih dan menghiburnya
      di hari-hari dukanya
Sebaiknya, tinggalkanlah secarik kertas di
      pembaringan yang bakal kita tinggalkan,
      semoga Bunda masih mencium kehadiran dan
      mendengar getar kesakitan suara kita dari
      balik terali besi penyiksaan atau dari balik
      debu-debu beku pengubur tubuh kering kita.
      Dan tuliskanlah, (Mungkin ini tulisan
      terakhir di batu nisan nanti? Akan
      bernisankah kuburan kita nanti?) “If the man
      who wants to build up a better life for the
      People (the oppressed and exploited people)
      and fight for it and build up democracy, social
      justice, human rights, sovereignty of the
      people in the realm of politics, economic and
      culture; because he believes in brotherhood,
      individual uniqueness, man’s curiousity (the
      strength of man’s reason) and he is the heresy
      for himself must be called a rebel; so then call
      me a rebel”

Setidaknya Bunda kita terkasih bisa mengerti
      bila tak ada seorang pun di muka bumi
      memahami manusia mabuk dan kesepian
      semacam kita

Percayalah Bunda terkasih pasti memahami
Bunda terkasih pasti memahami

Kebon Waru, Desember 1989


Di Mesjid, Nusakambangan

Ini padang-perburuan-abadi
“Kenapa nanah menggelegak di alam-raya?”

Seperti bayang-bayang: Sendirian
Aku beku-mematung di ruang-waktu

Aku-duka-abadi
Aku-duka-abadi

“Baiklah, kita berpisah saja”

Nusakambangan, September 1990
Sukamiskin, Oktober 1990


Aku tak lagi Bermimpi, Estragon!*

Sekarang aku di sini, saudaraku, menghirup
Nanah luka-lukaku. Sendirian
Terlontar ke alam raya rintisanku dan melukis-
lukis Kejalanganku di dinding langit beku
Aku tak lagi bermimpi, Estragon!
Aku tak lagi bermimpi, Estragon!
Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada yang kumengerti selain Perubahan Abadi
Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada yang kumengerti selain Pertanyaan Abadi
Aku kini ruang-waktu-abadi bagi diriku sendiri!
Telah kutinggalkan segalanya. Aku muak pada segalanya
Juga dirimu!
Di manakah Manusia? Di manakah janji para
pengecut dan pelacur itu?
Lihatlah, hanya Kuburan Tandus dan Pesta
Kematian yang bermakna di Bumi Luka Parah ini
Lihatlah bebatuan dan langit-terbakar
mengucurkan darah
Ah, berdustakah aku?
Ciumlah amis darah di belantara kata-kata,
dalam kerongkonganmu, dalam
kerongkongan waktu, dalam Kitab-Sucimu
Ciumlah amis darah dalam mimpi-mimpi dan
doa-doa ketakutanmu
Atau dalam Cinta!
Bayi dungu dilahirkan entah untuk apa dan
dengan riangnya menari-nari memuja
Ketololan si Penjaja Kebenaran dan Jalan Keabadian
Di alun-alun kota, kabarnya tempat nabi-nabi
ditasbihkan, yang terdengar hanya jeritan
dan tangisan tak berkesudahan
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar kesepian dan kematian tak lagi
menghancurkan kegembiraan hidup dan
jalinan kasih sayang?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
untuk melupakan kenangan dan mimpi-
buruk dalam cekikan ruang waktu berdarah ini?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar dapat kumengerti siapakah
sebenarnya kita, darimana berasal dan
akan ke mana pergi?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar orang mati bisa berbincang di Pasar
Malam dan tak lagi menjadi dongeng untuk
menakuti anak-anak, para pengecut dan
pelacur Kehidupan?
- Ah, haruskah kucekik engkau untuk dusta
yang bersemayam di alam raya, tuan dokter?
- Engkau butuh aspirin dalam dosis yang paling
mematikan, bukan?
- Dokter, kegelisahan pikiran adalah hantu
barbar yang melayang-layang tanpa basa-
basi di urat syaraf dan begitu bebal
terhadap doa maupun mantera dari nabi
paling sempurna sekalipun. Kenapa Neraka
Jahanam dan Daging Busuk ini harus
didustakan, tuan dokter?
- Bukankah kesederhanaan pikiran adalah doa
tersakti kaum pengecut dan pelacur yang
menjadikan bumi sebagai Rumah Ibadat
dan Pabrik Anggur bagi Pesta Pembunuhan?
- Hopla, mari pergi! kata Estragon
- Tidak! Tidak! Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan Deritaku!
- Ah, lihatlah langit terbakar, tak kau ciumkah
bau usus hangus dari perutmu sendiri?
- Estragon, bukankah Penantian Tanpa Akhir ini
menjadikan kita Tuan atas nasib sendiri?
- Kita tak menantikan apa-apa di sini.
Pengadilan Agung itu hanya dusta kaum
pengecut dan pelacur. Neraka Jahanam dan
Daging Busuk inilah Hidup kita. Di luar
dinding ini hanya Sepi dan Ketiadaan
bertahta. Dan dirimu adalah Keputusanmu.
Titik.
- Tapi Estragon, aku ingin melupakan hujan-
beku di dalam hatiku, membakar semua
pakaian kegelisahanku, melupakan semua
Tarian Tolol Kehidupan kita dan segala
Upacara Berdarah dalam Drama Sia-Sia ini.
Ini bukan kegilaan dan aku tak ingin
mendustakan Neraka Jahanam dan Daging
Busuk yang mencincang urat syaraf dan
nurani kita. Bagaimana itu mungkin,
Estragon? Akankah kupilih segala
kejahatan yang merayu-rayu ini?
- Aku telah membunuh si Pendusta yang
mengaku Hakim Agung itu dan telah
kubakar segala makna tindakan di
Kerongkongan Waktu Gulita ini
- Aku bermimpi bahwa aku tak lagi bermimpi,
bukankah begitu pikiranmu, Estragon? Tapi
engkau dalam pakaian badut dan tingkah
laku memuakkan itu dapat menari-nari
riang dalam kubangan darah leluhur dan
sanak-saudaramu, juga Bundamu. Tak
adakah yang memberatkan hatimu? Engkau
ingin melupakan kesia-siaan Hidup dan
Ketidaktahuanmu? Tidakkah semua ini
menyentakkan urat syaraf, lalu kita
melawan sehabis-habisnya?
- Baiklah Estragon, walaupun    rayuan untuk
menyederhanakan Hidup mengguncang
impian dan kesadaranku. Aku tak mau
pergi. Inilah Kerajaan Deritaku. Engkau
pergilah, ajak Vladimir. Aku tak
menantikan apa-apa di sini dan lupakanlah
Pengadilan Agung itu. Bukankah semuanya
hanya mimpi tolol masa kanak-kanak kita

Lalu tentang Dosa dan Hari Pembalasan
sebaiknya diabadikan sebagai dongeng
satu babak di Pasar Malam untuk
menghibur hati kita yang lelah setelah
bertempur di front terdepan mengurangi
Darah, Penderitaan dan Keputusasaan.
Namun engkaupun mengerti Estragon
bahwa aku tak memaknakan apa-apa dan
tak memahami apa-apa. Aku hanya ingin
menyayangi sanak saudaraku, manusia
yang Letih dan Menderita ini dan melawan
sehabis-habisnya Ketololan para penjaja
Kebenaran dan Jalan Keabadian
Inilah aku. Aku kini ruang waktu abadi bagi
diriku sendiri!
Akulah duka anak-dara yang bunuh diri
Akulah duka anak-dara yang bunuh diri
surat putih dan genangan airmatanya
membakar urat syarafku, membakar
kedustaan hidupku dan mengabari bahwa
aku hidup dalam Neraka Jahanam dan
Daging Busuk
Inilah bumiku. Inilah Kerajaan Deritaku!
Aku mengerti betapa menyakitkan semua ini.
Aku memilih tindakan yang kupandang sia-
sia untuk mengguncang ruang-waktu yang
sia-sia dan memuakkan ini
Wahai, beri daku satu ciuman di bibir kering ini
kejahatan merayu-rayu di belantara kata-kata
Di manakah manusia? Di manakah janji para
pengecut dan pelacur itu?
Hopla...
Mari pergi
Mari pergi
Tidak!...tidak! Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan Deritaku

Kebonwaru, agustus 1990
Nusakambangan, September 1990


* Nama Estragon dan Vladimir diambil dari nama tokoh badut dalam Waiting for Godot, karya Samuel Beckett (English Edition, London: Faber dan Faber, 1955)


Tentang M. Fadjroel Rachman
M. Fadjroel Rachman kelahiran Banjarmasin, 17 Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung hingga mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara Bakorstanasda Jawa Barat, Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung, Penjara Nusakambangan dan Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden grup apresiasi sastra (GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit pikiran rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh  Bandung, 1985).


Catatan Lain
Dalam pengantarnya, T. Mulya Lubis menulis: "Nampaknya, buat penyair narapidana ini, kehidupan ini mengandung banyak sekali kejahatan, dan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Ia memang marah, dan  dalam  posisinya sebagai  narapidana ia hanya bisa  merenung dan menularkan amarah dan keputusasaannya melalui puisi.... Puisi penyair narapidana ini, seperti juga catatan subversif Mochtar Lubis atau catatan harian Alexander Sholzenitzin adalah suara hati nurani yang terluka." T. Mulya Lubis juga  menyebut bahwa M. Fadjroel Rahman telah menemukan sekolah baru yang membabtisnya menjadi Penyair. Dan sekolah baru itu adalah penjara.
Buku koleksi Y.S.Agus Suseno ini nampaknya dibeli tahun 1993 di toko buku Gramedia, yang jika tidak salah mata melihat (karna sedikit agak kabur) berharga Rp.4.750,- Barcode harga masih menempel di cover belakang.

3 komentar: