Rabu, 02 Januari 2013

Iberamsyah Barbary: SERUMPUN AYAT-AYAT TUHAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Serumpun Ayat-ayat Tuhan, kumpulan sajak 1963-1971 dan 2001-2011
Penulis : Iberamsyah Barbary
Cetakan : kedua edisi revisi, Januari 2012 (cet. I. Agustus 2011)
Penerbit : Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB)
Editor  : HE. Benyamine
Penyunting Bahasa : Ali Syamsudin Arsi
Perancang Sampul : Deden K.F.
Penata letak : Ahmad Syahmiran dan Ridha Nugraha Barbary
Tebal : xvi + 150 halaman (105 puisi)
ISBN : 978-979-1333-05-4
Catatan penutup : Radius Ardanias Hadariah

Beberapa pilihan puisi Iberamsyah Barbary dalam Serumpun Ayat-ayat Tuhan

Nahkoda Muda di Pulau Dara
Buat anakku: Syah Ridha Nugraha

Yang terbawa deru angin
Akhirnya sampai jualah langkah di dermaga angan
Doa-doa yang mengapung didera gelombang
Ikhtiar menggulung dan mendebur, menyibak derunya samudera cinta
Tersingkaplah tabir kasih sayang-Nya
Merapatlah cinta sang nahkoda di siang terang

Di pulau dia akan menerjemahkan ayat-ayat Tuhan, pada:
Burung yang selalu rindu dengan sarang dan tak pernah tersesat pulang
Semut yang selalu silaturahim dan mengerti menghimpun rezeki
Kerbau yang penyabar, dalam menghela tanggung jawab
Tawon yang setia menjaga martabat
Ikan tak pernah asin, dalam kebebasan merenangi lautan

Di dermaga, sang dara dengan serumpun bunga di taman,
pesona cinta
Nahkoda merapat kasih menebar bunga rindu berderai-derai
Bertautlah debur gelombang, meresap di hamparan pasir putih,
yang lama memendam rindu



Pernah Sayang

Bila engkau pernah sayang
Sanjungan yang pernah dilepas, jangan dibuang
Titipkan sama burung yang selalu terbang
Bermadah kicau, alam menyambut sayang

Bila engkau pernah sayang
Jangan cinta dipatah, hati dengan benci
Sengsara jiwa, buah tak jadi

Cinta dipatah, retaklah cermin
Cemberut muka tampak jiwa menyesal nasib
Bila sayang ditanam, pasti kasih bersambut
Daun yang layu berputik rindu
Insya Allah, benci membawa hikmah


Bila Daun Berzikir

Daun diam, bila daun berzikir
Memandang angin semilir
Daun diam, bila daun berzikir
Memandang hangat matahari mengalir
Maka hijaulah cintanya, daun berzikir

Daun bergoyang, bila daun asyik berzikir
Di majelis angin lembut berdesir
Daun menguning emas, bila daun di puncak zikir
Di majelis matahari, membakar cinta
Menghias rimbun, menyebar teduh

Gugurlah daun dihantar senja yang kuning
Tertelentang, tertelungkup memeluk bumi
Daun berzikir, humus membumi, asal berseri
Daun gugur
Kuning emas
Cintanya lebur
Kembali


Penyair Cacing

Aku penyair cacing, mau melubangi batu
Air menetes saja, batu berlobang, kata puisi
Setiap saat dia kirim salam di celah batu
Batu tersanjung membuka diri
Dan aku paham, batu akan menjadi liang tapaku

Dalam geliat zikir, kulepas salam
Mencari celah terangnya cinta
Air mengalir gelora jiwa, berselancar rindu
Mencari tuah kumala, kebesaran hati
Sebuah hikmah yang pasti terjadi

Aku menyelinap, dalam diam membara
Mengembara tinggalkan rumah cinta
Rumah puisi, piring pecah di hati
Batu besar di depan mata, dalam buta aku lobangi
Zikir lembut lendir tubuhku kekuatan diri
Senjata Illahi, yakin memberi arti

Aku penyair cacing, 30 tahun diam dalam nyanyi
Puisiku menggeliat melobangi batu inci perinci
Dingin malam panas matahari, senyuman Sang Illahi
Menempa tajam mata hati
Batu berlobang, kuraih kumala naga
Tahta jiwa, rumah baruku, bertatah puisi
Bersyairlah sang cacing, bermahkota naga

Cacing masih tetap seperti dulu
Menggeliat bersyair dalam lembutnya puisi
Menggemburkan tanah, asal rumah masa lalu

Selesailah tapa cintaku
Yang dicari telah diberi
Piring pecah yang disimpan di lemari besi, aku tautkan lagi
Dan aku ingin bermanja bersama puisi
Di hari senja bermahkota ridha Illahi


Kata Ibu

ayah
engkau tidak mendengar tangis tawaku
yang selalu ditunggu
sejak aku kenal tetes air dada ibu,
sampai tumbuh mengepak sayap
wajahmu hanya dalam cerita
engkau laki-laki pemberani
juga sudah naik haji
tangis pudar membuah rindu
namun, ke mana kepak terbang mencari
lama-lama, aku merasa banggaku hilang terbang sendiri

ayah
cinta bunda kering di dada
karena selalu mengembara membawa hati
dulu berembun, berbinar kalau cerita
tentang sayang dan gagahmu
kerling bening bundar cahaya matanya
lama-lama pudar
terlalu banyak mengecup, gelombang bah derita

ayah
ini kata ibu
dalam kekeringan cinta merangkul aku
mimpinya terbang menggendong bintang
merekah hatinya memetik takdir
mengharumi bunganya semata wayang
menanti, laki-lakinya purnama bulan di dadanya


Buka Puasa
buat: Ajamuddin Tifani

Bila muara malam menjelang
Bersemangat riang langkah menyeberang
Duduk berderet melingkar, membaca tasbih dan shalawat
Mata mencuri pandang, nanar menatap agar-agar
kurma, kue lapis, bubur kareh penutup lapar
Kaum mesjid menabuh beduk
Pecahlah puasa menghalalkan rasa
Lega dahaga, es kelapa menghibur orang berbuka puasa
Alhamdulillah
Kami peserta yang paling setia bulan ini
Mesjid Noor dambaan penjamin buka puasa
Ajamuddin anggota gubuk ampih marista tersenyum
Lapar telah bubar
Pus...pus...pus, kepul asap ahli hisap
telah terbang ke awan
Setelah itu langkah panjangnya hilang dalam barisan
Entah di sudut mana dia tafakur
Katanya dia ingin bermanja-manja
Membangun rumah Tuhan di hatinya


Gamitan
Buat: Arsyad Indradi

Lihatlah tenang-tenang mari kita tetirah
Di gubuk ampih marista ini, tempat kita berlabuh dan merapat
Menjala bintang-bintang di langit,
menggenggam yang tercampak

Tidak usah kita berpacu untuk naik ke bulan
Serahkanlah pelana kepada beduk mesjid
Dan kita perlu dulu berguru pada kursi usang

Berguraulah untuk gembira
Gembiralah untuk rista dan derita
Hingga tiada enggan lagi, kita
meneguk air hujan yang kepanasan
tempat nyamuk bersarang dan bertelur
Manis tanpa gula, dahaga telah terhibur seadanya

Mari kita hitung bintang-bintang yang tertangkap mimpi
Dan kita pamitan dulu sama pemilik mesjid
Mari kita berpacu
Kejar cita
Kejar cinta
Pasti kasih dalam pelukan


Darah

menjalar
membuyar, menebar
dalam sewadah kendi
dari ujung muara
ke ujung dasar
meruncing merah putih lagi
mengalir deras
menguning padi, menunduk dalam denyut

dari sekerat bumi
menetes ke cairan suci
menempa bentuk
untuk janji menjaga bumi
sebelum putaran jarum jam mendenting
mau menundukkan waktu yang bergulir
sekilat puyuh melesat
dari suatu yang menggenggam
rahasia langit dan bumi
dihembusnya dengan suatu kejadian
dengan suatu kekerasan, amat lembut sekali
dalam suatu, bukan suara
jadilah maka terjadilah

darah
berapa detak hidup jantung berdenyut
jadi apa? dalam sandiwara
bila hidup sudah kering dalam cerita
pilar-pilar kembali mengkristal bumi
dari kebekuan, cairan berkata
semua telah mengalir sesuai kodrat
dalam nafiri hiruk pikuk lembah manusia


Banjarbaru

Kota kecil, berbunga karamunting ungu-ungu, itu dulu
Sekarang terbabat, tumbuh rumah-rumah
Para pensiunan betah menetap
Kuburan mengepung kota, itu dulu
Sekarang kota tambah pesolek, dilirik-lirik
Para makelar tanah menjanjikan kue lapis
Berlapis-lapis, ruwet-ruwet manis
Para petinggi yang mengerti, pasang lukah di tengah hari
Matahari tambah meninggi, semarak kota menyingkap rezeki
Ramai burung berkicau, berburu buah ungu-ungu
Karamunting sudah matang, waktunya untuk dipetik

Banjarbaru, kotaku mau jadi apa?
Tergantung petinggi yang ada di Murjani
Kita lihat saja, geliat naga mengaduk awan

Banjarbaru
Kota pemerintahan
Kota pendidikan
Bangga, harap kami bergelayut di atas pelangi
Menanti hujan, berarak awan membawa angin perubahan


Bismillah

Kupinjam ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar selamat, merenangi lautan hati manusia
yang selalu bersiasat
Yang semua belum tentu mengerti,
luasnya rasa apalagi prasangka

Bismillah
Kupinjam ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar tidak tenggelam menyelam dalam duga
Yang semua orang terbatas dalam meraba
dan menyimpan napas yang tersisa

Bismillah
Kupinjam ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar aku tidak besar kepala, dalam bangga membusung dada
Jangan sampai puisi menjadi berhala

Bismillah
Kupinjam ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Biar aku semakin mengerti,
keterbatasan mampu merangkai kata
Satu hurup pun aku tak punya

Bismillah
Kupinjam ayat-ayat-Mu untuk berpuisi
Kurangkai tulis, kurangkai kata, pena tulis menggores arti
Sedikit tak punya arti, mampuku hanya basa-basi
Kasih sayang-Mu lah yang bisa memberi arti
Untuk dimengerti


Tentang Iberamsyah Barbary
Iberamsyah Barbary lahir di Kandangan, 2 Januari 1948. Semasa sekolah dan remaja tahun 1960-1970 di Banjarmasin, aktif di IPNU, KAPPI, PMII, Pramuka, LESBUMI, PERPEKINDO. Selain menulis puisi, juga bergiat di seni drama dan tari. Mengundurkan diri jadi PNS/guru, untuk menjadi sales di PT. Asuransi Jiwasraya hingga pensiun tahun 2002 sebagai Regional Manager untuk wilayah Kalimantan di Balikpapan. Setelah pensiun aktif kembali di dunia pendidikan sebagai pengurus Yayasan Melati di Samarinda, dan sejak 2008 kembali menekuni puisi dan bergabung dengan Komunitas Studi Sastra Banjarbaru.


Catatan Lain
Sebelum Dialog Borneo Kalimantan di Samarinda, Juli 2011 lalu, saya tak pernah ketemu  dengan penyair ini. Jangankan ketemu, mendengar namanya saja belum pernah. Rupanya penyair ini telah lama menghilang dari rimba perpuisian di Kalsel. Tajuddin Noor Ganie dalam Antologi Biografi Sastrawan Kalsel hanya menulis biografinya tiga baris. Hanya disebut bahwa publikasi puisinya antara lain di RRI Banjarmasin dan SKH Banjarmasin Post. Kesan saya, orang ini cepat akrab dengan siapa saja, walaupun baru sekali bertemu, seperti saya. Pembawaannya gembira. Ia menjadi “penunjuk jalan” bagi sastrawan Kalsel yang datang dalam perhelatan itu. Di hotel Lambung, beliau tinggal sekamar dengan penyair Arsyad Indradi. Kepada saya, beliau mengakui kalau yang berjasa besar mengembalikan dia ke dunia puisi adalah penyair Arsyad Indradi. Beliau juga mengajak saya dan penyair Ali Syamsudin Arsi (sedikit di antara peserta yang belum pulang paska penutupan dialog borneo) berkunjung ke rumah sahabatnya, seorang pengusaha, anggota DPR/MPR RI, Ketua NU dan pembina yayasan Melati, H. M. Rusli. Rupanya beliau mengungkapkan keinginan untuk menerbitkan buku puisinya. Setelah dialog Borneo itu, saya jarang lagi bertemu, padahal beliau mulai aktif kumpul-kumpul di Minggu Raya. Itu saya ketahui setelah pertemuan berikutnya di Temu Sastra Indonesia, Banjarmasin, November 2012 lalu di hotel Palm. Di kesempatan itulah beliau ngasih saya buku Serumpun Ayat-ayat Tuhan dan Kumpulan Sajak Asmaul Husna. Buku kumpulan puisi ini dicetak hard cover oleh percetakan PT. Grafika Wangi Kalimantan. Dalam catatan penutup, penyair Radius Ardanias Hadariah menulis begini: Puisi tak pernah cuma.... bagaimana cuma, jika puisi tidak sekedar hadir untuk dirinya, yakni puisi, tapi selalu membawa pesan yang berlapis-lapis, seluas langit terbuka dalam benak sidang penbaca. Puisi-puisi Bram hadir dengan semangat membawa pesan, hampir-hampir tidak peduli yang lain selain pesai. Banyak pesan yang diangkut dalam puisi-puisi Bram, tapi pada puisi mana pun selalu ada pesan dasar, yang menjadi nampan tempat pesan-pesan khusus itu diletakkan, yakni kesetiaan dan kejujuran.    





Tidak ada komentar:

Posting Komentar