Jumat, 04 Oktober 2013

Isbedy Stiawan ZS: PERAHU DI ATAS SAJADAH



Data buku kumpulan puisi

Judul : Perahu di Atas Sajadah
Penulis : Isbedy Stiawan ZS
Cetakan : I, Oktober 2006
Penerbit : Bukupop, Jakarta
Tebal : xii + 84 halaman (35 judul puisi)
ISBN : 979-1012-07-5
Gambar sampul : David

Beberapa pilihan puisi Isbedy Stiawan ZS dalam Perahu di Atas Sajadah

Laut Membawa Jasadku

laut membawa jasadku
ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan, menyimpan riuh jam
tanah basah, melumpurkan langkah
yang terhenti di gerbang-Mu

aku pun tersedu. hujan turun
mengabarkan ketajaman pisau
dan laut tak henti membawa jasadku
ke makam-makam sunyi-Mu
untuk ditanamkan

o aku sendiri dalam kematian ini
di semesta sempurna tiadaku



Dunia dalam Lipatan Sajadah

terlipat dalam sajadah
duniaku yang rempah

lalu apa peduliku
pada segala warna
jika sekali peluk
lekat-retak dunia

kini aku mengembara
dengan selembar sajadah
menyusuri taman-taman
mengecap senyum
selaksa ratu menawan

maka kuremuk-redam
dunia dalam lipatan sajadah
lautan yang membuncah
bukit-bukit belah
disambar Cahaya

aku tafakur
tersungkur


Kubangun Sejuta Sujud

Di mana kusimpan syahwat
Hingga padamu aku khianat?

Kini aku kembali ke kalimat-kalimat
Membaca dan mengingat
Setiap surat demi surat
Yang mengajarkan rahasia
Juga patahan jalan

Dari seribu alpa
Kubangun sejuta sujud
Dan keluasan sesal
Aku tersedu, tumpah:
Airmataku jadi lautan
Kubikin perahu
Dengan darahku
Di laut sunyi malam ini
Aku layarkan
Mendedah ombak
Menikam angin
Kubakar seribu alpaku
Syahwat kutenggelamkan

Jadi buih

Perahuku penuh sayap
Tak singgah di pulau itu
Tapi terbang. Aku terbang
Melebihi gunung
Lampaui awan
Lebih jauh dari pesawat terbang
Tak jatuh. Tak terbakar
Terus menaik
Ke langit

Perahuku terbakar
Tubuhku menegar
Bercahaya-cahaya

: Aku lupa segala syahwat
yang selama ini buatku khianat


Gurun, Darah, Badai

akan ke mana? setiap langkah menuju gurun terbentang, pasir-pasir
beterbangan. membuat matamu lelap. padahal telah ratusan orang
dikubur di sini. gurun menjelma jadi sungai. bersanding dengan
eufrat dan tigris. tapi, jangan basuh tubuhmu di sini: warna airnya
telah berubah merah

akankah gurun ini kembali jadi padang karbala? anak-anak yang
terluka atau mati di jalan-jalan, perempuan-perempuan malang terkapar,
para lelaki tak menahu berserakan

kabil! kabil!
telah kautumpahkan darah di gurun ini lagi
jadi jagal dalam gemuruh badai peradaban


Memandang Dermaga

dari tengah laut
telah kulihat (biarpun samar) dermaga
bagiku menjejakkan langkah, tanah
di mana asalku memulai

laut demi laut
menggairahkan tangga usia
dari asam garam semesta

dari tengah laut
telah jelas (biarpun kecil) dermaga
merajah kelopak mataku


Belum Kukenal Warna Pantai

setelah sampai
ombak di pantai
perahu pun
mencari singgah

pelaut akan turun
mencium pasir
mencecap air

kau tahu
rasa asin?

bahkan sudah
berkali kuinjak pantai
belum juga kukenal
warna pasir
rasa pantai

pelaut akan turun
mencium pasir
mencecap air

kau kenal
warna pantai?

: perahu pun ragu …


Perahu Meninggalkan Pantai

(1)
kembali meninggalkan pantai, selagi angin diam
dan malam curam. arahkan kemudi, pancangkan
layar. ombak berbuncah buang tuah. ini waktu
perahu makin laju. melambai dalam kenang

jauh di balik pulau, kau menunggu. akulah
pengantin yang lama merindu pelaminan
“duhai pantai yang menyimpan tasbih
jangan panggil lagi pelayar ini kembali
sebelum habis laut kulayari,” bisik perahu

perahu meninggalkan pantai malam ini
dan akan kembali esok pagi
ketika fajar bangun dari bolamatamu
yang menawan

(2)
perahu pun sampai
pada capaimu

hening waktu
bening lautmu
gelombang berbuncah
dalam jiwaku

pada keluasan
tiada lagi nama-nama
yang kutulis di pantai,
di pasir, di bakau-bakau

pada pelayaran ini
aku telah melipat badai
sebagai biji-biji tasbih
dalam kantung jubahku

engkau maha-laut
bagiku berlayar
malam-malam …

(3)
perahu tua yang tertambat itu kini menjelma dalam tidurku
ketika malam berbintang. aku pun menuruni pasir pantai
yang kau hamparkan berabad-abad. “segeralah naik
sebelum banjir datang,” ajakmu.

aku terpesona pada parasmu. malam dicahayai purnama
sewaktu aku buru perahumu, sebelum pantai
pasang. sebelum banjir itu datang …

kutinggalkan pantai dengan segala kecupan. aku pun
mengaliri laut ke dalam gelombangmu

“kaulah laut yang selalu datang dalam mimpiku
membawa perahu dan seribu pulau,” kataku
sambil mengeringkan lautku dalam diri!

perahu tua yang dulu tertambat itu menjelma
dalam diriku. malam kini berdegup di hatiku.

(4)
perahu yang kurindu kini telah berlayar. pantai jadi
kian hening di dalam lembaran peta masa silam
yang kurajah dengan bismillah

aku pun jadi piatu di ujung pasir pantai ini
menanti perahu lain tiba
membawa pesanmu

bertahun-tahun aku menunggu
bertahun-tahun pula aku rindu
pada mahakasih-lautmu

beri aku sebuah perahu
untuk mendedah rahasia pesanmu

(5)
jangan hitung berapa gigil kukalungkan di jubahku
bila kau akan ganti dengan sorbanmu

lalu kurangkai kabut yang lelap di pantai ini
jadi perahu menyeberangi laut mahaluasmu

kuburu nuh, ibrahim, dan isa
yang dikejar-kejar pengkhianat

kucari namaku dalam diri para nabi
sampai usai di diri muhammad

aku kini telah sampai
ke kedalaman laut-Mu

(6)
hanya pada keluasan laut
aku bisa tahu batas pantai
maka kularungi perahu dalam diri
menyerpihi badai demi badai

kulupakan pasir yang telah menumbuhkan bakau,
juga bekas telapak kakiku yang terluka
sepanjang pantai:
                                    senja tadi

lalu kutandai bekas luka itu sebelum malam
menggelepar dalam jaringmu

dan laut melipat tubuhku
serupa memeram anak kepompong
menggeliat pada sabda-Mu

(7)
ku tak pernah takut ketika perahu ini
membawaku ke dalam paling malam
sebab di tanganku seribu tasbih
menguntai namanamamu
yang kupetik dari pohon jiwa

sudah kuselesaikan percintaanku pada pantai,
pada pasir, pada lumpur, dan ilalang
kini giliranku menuju pulau jauh
melipat laut hingga jadi zikirku

subhanallah!
aku jadi imam bagi diriku
di atas perahu ini
menerima titah
langkahku yang patah

(8)
sudah lama tak kulihat iringan panjang
melintas pantai yang luka ini
malam perih, langit payung hitam
dalam gerimis yang tajam

perahu tua yang tersimpan dalam kitab
masih setia menunggu di dekat bongkahan batu
tapi tiada lagi lelaki tua yang selalu melambai
dan menarik iringan panjang itu berlayar

segalanya sunyi
malam mati
di bawah gerimis yang belati

hidup menjadi terlunta
di pantai tak bernama
menatap rahasia segara

“arungkan perahu tua itu,
arungkan. sekali lagi
sebelum banjir melumat,” kata anak itu

pantai pun kembali sepi
laut pun penuh lelampu

(9)
akulah pelayar yang baru selesai
meredamkan badai hingga perahu kembali
melarung ke laut paling sunyi. di kepalaku langit
membentang, bintang-bintang
mencahayai perjalananku
   selesai sudah kuredakan badai yang datang
     sejak perahu meninggalkan
pantai. malam bersinar. perahuku menjelma kupu-kupu,
   sayapnya ditumbuhi
cahaya. kubiarkan terbang ke langit yang warna.
membawa tubuhku pula…

pantai yang kutinggalkan meranggas bakau
dari payau ini kularungkan
perahu menuju pulaumu yang sunyi. kubangun
firdaus di sana seperti adam
pertama kali merindu kekasih
seperti hawa sebelum terlunta
mengunyah sepanjang masa!

dikawal oleh angin yang lunglai aku
mengendarai perahu sampai
masuk ke dalam igaumu. mengadukan segala
kenangan luka di pantai:
“ini perahu baruku bikinan nuh, izinkan
aku melaut …”

(10)
perahu yang tertambat di bukit tua itu kini menghanyut
                                                 ke dalam malamku. “hai
orang berselimut. bangun dan melautlah, selagi angin
     pantai dan ombak tak
berbadai,” bisikmu. aku pun bangun lalu menuju perahu
yang sekejap lagi
meninggalkan pantai.

inilah pelayaran malamku sekali lagi. yang jauh. sudah
   berapa pulau kulintasi,
sudah berapa kedalaman kurenangi. aku kini makin
                                        mencapai adamu. dalam zikir
aku mabuk. laut membuncah di dalam tarikan napasku.
      aku mencari, kau menjumpa.
dari pelayaran malam yang kelam, tak habis-habis
  kulafaskan segala dermagamu.

“wahai orang berselimut, bangun dan berlayarlah.
lepaskan pakaian tidurmu,
selimut yang membuatmu mendengkur,” bisikmu
   berlayarlah ke keluasan
lautku. malam akan selalu menjagamu. layar akan
    melindungimu. lafaskan segala
nama dari dalam hatimu

jangan ingin berhenti. berlayarlah, berlayar!
laut akan membawamu kembali ke pantai. ke bukit tua
yang jauh
tempat perahumu melepas sauh


Dari Sebuah Sajadah

dari sebuah sajadah ini
aku baca rahasia demi rahasia
cinta kita. di hatiku yang
selalu terbuka, kutulis
sisa perjalanan

o kekasih, telah kukirim
berbagai kenangan
hingga yang ada hanya wajahmu
tergambar di sajadah ini

lalu bagaimana mungkin kupilih
selain kau untuk kuimani
dalam perjalanan usia ini?


Aku Berlayar

aku berlayar bersama matahari ke dalam
sajadahku. inilah perjalananku yang
sunyi setelah bertahun-tahun matahari
mengendaraiku ke kampung-kampung biru
ke padang-padang tanpa nama!

aku kini berlayar bersama matahari
dan berlabuh ke dermagamu yang
sunyi, aku menangisi lautan:
di gelombang yang tak pernah bisa
kumaknai, hanya kudapati sisa
keningku bersujud di sana

aku kini berlayar. jauh di balik
sunyi malam, kutinggalkan lelapku
dan mengayuh ke dermagamu
yang selalu terjaga


Khalwat

I
Lalu sunyi
jam berpacu dalam dada
mengekalkan hujan dan debu
di setiap sajadah

Dan matahari pun pecah
berlumpur di wajah semesta
yang dingin menerima tibaku
dari perjalanan jauh

Tak pernah suci dadaku
karena hujan debu begitu setia
maka aku pun terus menerus bercintaan dengan-Mu
untuk sebuah kerinduan

II
kuhamparkan sajadah panjang
di bumi-Mu yang telanjang
menyatukan suara dan hati
dalam detak waktu-Mu yang pasti

sebab gemuruh bumi
senantiasa mendedah langkah
yang kerap ragu menuju-Mu
Allah, kekalkan!

III
bumi pun diam berputar
ketika kusampai di mihrab-Mu
hanya laut dalam dada
bernyanyi untuk pantai dan
pasir-pasir

IV
Kurebahkan matahari di pangkuan
lantas pikuk ribuan kota padam. aku
mengaji kesunyian, aku menggali
denyut matahari

Tidurlah tidur di dalam waktu
o ribuan kota yang pikuk!

V
Kuredamkan gemuruh angin
Dan malam sunyi menafasi nama-Mu
Cahaya cahaya cahaya
Peluklah dadaku
Yang masih setia dengan gelap
Kemudian luluhkan
Sehabis debu terakhir


VI
Tak pernah terbayang debu dalam dada
karena itu aku tak ingin
berhenti khalwat di dalam jam
demi jam yang riuh berputar

Mana angin-Mu
ya Allah?

(dadaku telah sesak oleh debu!)

VII
kurekam burung malam yang
rindu salju. tapi ranting dunia
talah lama patah dibantai beton dan baja
dan ribuan pabrik. aku merekamnya
dalam batin yang pecah

VIII
di pemakaman
jamkota kaku. Dan kudengar
arwah pun bertasbih atas nama kefanaan
di sini begitu terang kalam-Mu
mengajarkan nama-nama Abadi

IX
Inilah bahasa-Mu
Alif, ba, ta!

Ya Rabbi, aku ingin belajar membaca semesta
dengan menyebut asma-Mu aku mengaji
rahasia demi rahasia sampai ya

Begitu dekat jarak-Mu
seperti napas dan raga:
aku tak bisa sembunyi

….

XVIII
Aku membaca bahasa rahasia-Mu
Aku membaca bahasa sunyi-Mu
Aku membaca bahasa langit-Mu
Aku membaca bahasa tanah-Mu
Aku membaca bahasa api-Mu
Aku membaca bahasa air-Mu
Aku membaca bahasa malaikat-Mu
Aku membaca bahasa nabi-Mu
Aku membaca bahasa kitab-Mu
Aku membaca bahasa manusia-Mu
Aku membaca bahasa hewan-Mu

Tapi tak habis-habis aku membaca-Mu!

XXIV
di batas pertempuran
tak ada yang kalah tak ada yang menang
tanah telah berhenti membantai
sebab hadiah ini hari ialah kasih-Mu
yang kupungut di setiap sajadah
dunia yang basah oleh tangisku

XXIX
mengulang-ulang nama-Mu
akhirnya aku lebur juga
hingga namaku hilang …

tinggal kini jasadku
yang Kau tandu

XXX
sampai pada puncak pendakian
aku tak berani lagi menaiki tangga-Mu

aku masih gagu ya Rabbi
ayatayat-Mu belum khatam kukaji


Tentang Isbedy Stiawan ZS
Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Berkhidmat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Kumpulan puisinya antara lain: Membaca Bahasa Sunyi, Lukisan Ombak, Kembali Ziarah, Daun-Daun Tadarus, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (2003), Menampar Angin (2003), Kota Cahaya – 100 puisi pilihan (2005). Kumpulan cerpennya Ziarah Ayah (2003), Bulan Kembali Rebah di Meja Diggers (2004), Dawai Kembali Berdenting (2004), Perempuan Sunyi (2004), Selembut Angin Setajam Ranting (2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (2005), Hanya untuk Satu Nama (2005).


Catatan Lain

Buku koleksi penyair Y.S. Agus Suseno ini terbagi atas dua kumpulan, yaitu Perahu (12 puisi) dan Di Atas Sajadah (23 puisi). Penyair Isbedy sendiri memberi sedikit pengantar dalam kumpulannya ini. Judulnya: Dengan Perahu Kulayari Sajadah. Katanya, “Maka betapapun puisi-puisi saya (juga) mengikuti fenomena yang (terus) berubah itu, akan tetapi sebagai muslim saya tetap rindu mengekspresikan “kerinduan Illahi” itu ke dalam puisi-puisi saya. Dengan begitu, saya pun dapat berkaca. Puisi-puisi islami, bagi saya, adalah tausiah; setidaknya untuk diri saya pribadi.

4 komentar:

  1. Makasih postingannya, sangan membantu untuk tugas saya, saya jadi bisa belajar tanpa punya bukunya,,,
    Boleh kita saling follow?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya, sama-sama. Tapi memiliki bukunya jelas lebih baik, untuk memperoleh gambaran yang utuh, meskipun banyak di antaranya hanya beredar di kalangan tertentu atau numpang mampir sebentar di toko buku. Boleh. Salam puisi.

      Hapus