Selasa, 01 April 2014

Abdul Hadi W. M.: POTRET PANJANG SEORANG PENGUNJUNG PANTAI SANUR

 

Data buku kumpulan puisi

Judul: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Kumpulan Sajak (1967-1971)
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan: I, 1975
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Seri: PJ 167
Tebal: 68 halaman (39 judul puisi)
Gambar jilid: Popo Iskandar
Dicetak oleh: Yamunu, Jakarta

Beberapa pilihan puisi Abdul Hadi W. M. dalam Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur

Langit di Mana-mana

Langit berjalan atas pohon-pohon. Di mana-mana
bayangan mereka di atas air, di atas pasir
dan gelap. Bintang-bintang seperti lampu-lampu yang ditaruh para
nelayan
dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
lapar itu, haus itu! Dan awan cair
menembus hatimu
Ayolah buyung, kaubaringkan tubuhmu
Tak ada bulan, tak ada nyanyian, bagi tumbuhan di bumi
Kami kan tidurkan kamu pada ranjang kayu
muara sungai dan musim kemarau
Ayolah buyung kautembangkan pucung belum tidur
baik di atas mimpimu, putri-putri buih naik ke badan
tengah malam dan jika bintang-bintang menembus sunyi para nelayan
perahu-perahu dagang yang tua, membersihkan laut, bayangan
Mereka di mana-mana. Dan gelap
Ayolah buyung tidur. Ombak sudah siap
menelan lelahmu. Dan dongengmu teramat bagus
Seperti penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah pergi, ke mana-mana
Sebab langit di mana-mana. Dan mimpimu di mana-mana
Tanah air di mana-mana

1969



Lagu Putih

Malam itu datang dengan sayap burung
Yang berisik menuju kota
Di luar daunan menderu
Menyeru kelam

Mengapa lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai jatuh mengabut padang yang sepi?

Betina: berikan aku saat berlupa
Dan firman itu sampaikan
Aku butuh segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh impian dan dugaan

Menyeru malam dan lenyap dalam rusuk

1971


Malam Teluk

Malam di teluk
menyuruk ke kelam
Dan bulan yang tinggal rusuk
Padam keabuan

Ratusan gagak
Berteriak
Terbang menuju kota

Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
Mengatup pantai?

Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi

Aku berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari

Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri

1971


Di Tapal Batas, Lalu Engkau

Di tapal batas, matahari melelehkan panas
Sosok tubuhmu melayang dalam gelap
Mengapa ditingkap senyap dan daunan jadi ranggas
Nafasmu luka dan tak lelap?

Pada tidur aku meraba diri. Mencari makna
Pelupuk. Sutra. Mawar. Nanap. Hampa
Dan tak tahu, kota terantuk pada hujan
Menghembus debu dan menghilang

Lindungkan kelambu ranjangmu. Pada sisa
Perempuan bergegas menyusuri malam penciptaan
Menari, menarik remuk, menarik bumi dan akan terbit
Bulan yang menggosokkan gading pada pimping. Langit
Memperlihatkan bintang susu, lalu sengit
Nafasmu yang luka membayangkan rupa

1971


Lagu Bulan

Sajak-sajak Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi apa
Dalam kamar yang kukutuk sebagai dia

Bowo mengajakku pergi lagi
Pergi lagi
Dengan rambut kusut
Angin berkabut
Keriuhan kota yang undur
Dalam mata hati kami yang tak pernah mau tidur:

Tuhan, kami adalah piatu
Bulan yang dingin
Menghampar bayangan rumah
Yang ditinggalkan
Di tengah malam buta

Lewat jembatan
Gang-gang yang melelahkan pikiran
Lagu “Don’t believe….”. Dan
Bunyi langkah kaki kami
Menindas malam yang celaka

Bowo bicara keras dan ketawa
Meneguk bier-nya lagi
Mentertawakan udara yang hampa:

Tidakkah Tuhan juga bersedih
Mencarikan nabi buat kita?

Sajak-sajak Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi apa
Dalam kamar yang kukutuk sebagai dia

Kami yang tersaruk pergi lagi
Dan rumah kami di awan

1971


Lagu Biasa

Musik jazz yang tenang dengan kalimat-kalimat
Chu Yuan yang masih berdebat
Riung Gunung, kabut Puncak dan aku malam ini
Punya langit yang terpejam
Dan bintang-bintang yang menuangkan anggurnya

Kau akan dijemput oleh guide asing itu

Dan aku diam-diam akan pergi melewati
Tengah malam yang larut sebelum kau tahu
Bahwa aku akan mendapatkan batu-batu karang di langit
Lengking Satchmo, telegram singkat dan daun-daun pinus
Pemandangan yang menyayat

Kau akan ditanya oleh guide asing itu

Dan diam-diam bulan akan menyoroti wajahku
Sebelum ia menutup matanya melipat selimutnya dan membelakangi
Awan. Dan mereka akan melukiskan malam seperti ini
Dengan hujan yang mulai turun di sebuah kota
Night Club, losmen dan gang yang menuju ke rumah Fransiska
Sudah lembab dalam langsai Agustus

Aus, dingin, jazz dan engganku berada di udara beku

Dan guide itu menuliskan namamu kembali di agenda biru

1971


Elegi I

Di sorga: ada juga derita

Ketika keranda-keranda putih
Dalam gelap gulita
Ditarik kereta berkuda
Ke sungai perak
Ruh-ruhpun terbang
Pulang ke sarang senja
Dan matahari pucat

Tuhan berdiri
Di tepi telaga darah

Dan pada nisan seorang Gembala
Tertulis berita:

Di padang Kerbela
Telah terbunuh Hasan dan Husein
Dengan lidah terulur ke tanah
Dan tubuh yang remuk

Tuhan berduka
Memandang bumi yang jelaga
Di mana Adam telah buas seketika
Dan Hawa melahirkan anak-anak cacad muka:

Muhamad, Muhammad!

1971


Baitl Makdis, Pada Malam Israk

Kita tunggu gemintang, mengerdipkan matanya lembut
kita tunggu angin mencecah arusnya kencang
suara laut di bawah benua dan cuaca
yang membersihkan tanah-tanah di dataran Palestina
dan sejuta suara bagai lonceng berdencang ramai
di mesjid itu, suara para nabi. Terasa waktu
menanti cuaca tiba

Apakah yang bakal terjadi
di benua kita?
di jazirah hitam ini
di mana para rasul dan nabi
diburu dan dibunuh
oleh orang-orang kerdil
dari tengah benua?

Muhammad! Lempangkanlah jalan kami
yang dahulu

(Gaib arwah rasul dan nabi mengucap salam
waktu shalat selesai) dan di relung jagad
yang risau
kerdip gemintang memutih
sampai juga ke negeri masyrik

1970


Mikraj

Di ujung musim yang menggasing
bagai dengus gurun pasir

cahaya melompat
dalam laut salju
diseretnya langkah
malam itu
dalam putih waktu

Muhammad, Kutawarkan
padamu:
jenuh semesta itu
Kupenuhi isi dadamu;
nasib manusia
bentangkan kedua tanganmu!

pohon-pohon kurma
di tepi ka’bah
di pusat Mekkah

menyanyi dalam gaib malam
dan mengucap malam
ke seluruh alam
yang mencecahkan kalam

di puncak jagad
leburlah
rindunya
menjadi zarrah itu

marhaban, Kuutus kau
juru selamat

1970


Pertemuan

Ada percintaan gaib
antara dingin yang tiba dan pohon-pohon cemara tua
Ada percakapan gaib
antara bulan dan suara-suara hutan yang mengelana
Ada perjanjian gaib
antara detik lonceng dan suara adan waktu isya tiba
Ada pertemuan gaib
sewaktu risau. Sewaktu kau bertanya

Siapakah di mesjid jauh itu
Sujud dan mendo’a?
Membacakan surat Yasin yang panjang. Waktu
angin merendah
Ia hilang di puncak
Sepi

1969


Sendiri

Mengalir di udara sepi
Seakan rinai
dan Ratapan sukmaku
Waktu kawanan peri
beterbangan
di gugusan awan Mei

Runcing pohon cemara
memagut dan melecut
suara angin
seakan langkah mayat
melengoskan dahaknya
ke bumi

Ah, jalan begitu gelapnya di situ
di ujung jalan itu
dan di kejauhan
antara dengus hantu

Dan kini, antara bauran kekacauan pikiran
dan kebosanan
dan kegelisahan
kujotoskan tanganku
dan kutindas kata-kata keyakinanku

Mengalir di udara sepi
Seakan rinai
dan Ratapan sukmaku
Waktu kawanan peri
beterbangan
di gugusan awan Mei

1970


Sajak

waktu sinar bulan
luncur karena angin Selatan
ia berjalan
lewat hutan

bagai melodi
suara kayu-kayuan
dengan ranting-rantingnya yang tua

kau tak tahu jalan ke Utara?
memotong atau lurus?
dan hutan itu
sudah ada yang empunya?

kau tahu jalan ke Utara?
terpotong atau menembus
sungai lebar?

dan ia berjalan
lewat hutan

sinar bulan berpendaran
embun jatuh

1971


Lagu

Danau kelabu pada dataran
Hutan-hutan di sekitarnya, perkasa
Gumpalan dingin di langit malam
Menghamparkan bayangan salju

Mengapa pimping pada mabok
Dan mengimpikan pagi musim rontok?

Tuhan dan gemuruh itu
Menghembus dan menyerbu

Melepaskan gasing
Dari pohonan tak berwarna
Tak bernama

1972


Ada Sebuah Kota, Katamu, Tak Pernah Teduh

            AKU ingin mengunjungi sebuah negeri tanpa mesjid dan rumah
sakit, tanpa kedai minum, lewat peperangan yang tak selesai di sana,
menyebrangi sungai-sungai dan jembatan-jembatan, melupakan
pengemis-pengemis yang merintih.

            ADA kota yang tak pernah teduh, katamu setelah meneguk
kopi susu yang kental, bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta dan
orang-orang telah diungsikan perlahan-lahan sebelum subuh, mereka
beriringan diam-diam melewati lembah yang gelap dan tak tahu

            TERBACA pada koran sore yang bertumpuk di meja, berita-
berita pemboman di Vietnam Utara dan lapangan-lapangan terbang
di Tel Aviv dan Karachi. Kita luka ketika anak-anak yang berpawai
kemarin sore masih berkabung menyanyikan lagu perpisahan dan
kenangan pada pahlawan yang pergi, seorang pemetik gitar dan
penyanyi. Tapi kita selalu lupa bahwa orang-orang selalu punya
kalimat percakapan setiap berjumpa: mau ke mana atau langit di
kota itu selalu gelap dan setiap orang mengatakan demikian,
mengangguk-anggukan kepalanya demikian dan menyanyikannya
demikian

            SUARA-suara mobil yang mondar-mandir dan orang-orang
di pasar, kaupun berkata: “Lihatlah kamar orang asing di hotel
itu, itulah yang selalu kita angankan, dengan blues yang selalu
memberikan hiburan nikmat bagi setiap pelancong dan dari atas
kamar bertingkat, pada kaca jendela yang kukuh bisa kaulihat orang-
orang bergerak diam-diam setelah pembantaian selesai untuk semen-
tara dan mereka itu selalu berkata: langit di atas kota selalu gelap
dan yang lainnya selalu berusaha mengatakannya demikian”.
kemudian kita dengar hujan dengan bunyi gamelan yang sayup,
menyebut nama seorang raja yang lama dirindukan.

            DARI rahim senyap orang-orang sekonyong-konyong berjejalan
meneriakkan bahwa perang telah selesai, tanpa mengatakan bagai-
mana selesai, bagaimana bisa selesai, seperti perumpamaanmu
tentang Perang Badar, Perang Kerbela, Perang Salib, Perang Bubat
dan lain-lainnya dan lain-lainnya

            KAU menunjuk langit yang menampakkan bintang susu, seperti
dilihat para pelaut, lalu ribuan bintang mengerumuni langit, lalu
kautaruhkan bibirmu membelitkan paha dengan penuh perasaan dan
mendoa agar bisa bermimpi dan bisa melupakan segala-galanya
dan segala-galanya

            ADA sebuah kota, katamu setelah merebahkan tubuh yang
penat, sebuah kota yang tak pernah teduh dan kita musti pergi biarpun
belum selesai, bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta, tapi di mana
kita hanya mengerti dengan menyebutkan sebuah amsal yang tak
jelas

1972
(nb. puisi di atas bertipografi paragrafik, rata kiri-kanan)


Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W. M.  lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Laut belum Pasang (Litera, Jakarta, 1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, Jakarta, 1975), Cermin (Budaya Jaya, Jakarta, 1975), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, Jakarta, 1977) dan Meditasi (Balai Pustaka, 1982). Kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di harian Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka. Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris terkemuka di Indonesia

Catatan Lain
Kumpulan puisi ini, yang merupakan koleksi Perpustarda Prov. Kalsel, pengembalian pertamanya tanggal 20 September 1978. Saya belum lahir. Dipinjam terakhir 16 Mei 1988. Baru dua puluh lima tahun kemudian ada yang meminjam lagi, yaitu saya. Ada satu lembar halaman terobek, saya baru sadar belakangan, yaitu halaman 52-53. Maka tak dapatlah saya lihat sajak Penjelmaan-penjelmaan dan bagian awal dari Mabok Malam I. Biodata Abdul Hadi W.M. ada di bagian sampul belakang, tersenyum lebar hingga terlihat giginya. Rambutnya juga panjang, kira-kira sebahu. Baik foto maupun tulisan terlihat kebiruan. 

3 komentar:

  1. nice post kak
    suka puisinyaa :D
    sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe

    andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn

    BalasHapus