Minggu, 04 Mei 2014

Dina Oktaviani: HATI YANG PATAH BERJALAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Hati yang Patah Berjalan (dwibahasa: Indonesia-inggris)
Penulis dan penerjemah : Dina Oktaviani
Penerbit : Oktaviani Publishing,Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : 146 halaman
ISBN : 978-6602-95473-0-6
Editor : m. aan mansyur, shinta febriany, philip hatch-barnwell
Foto sampul : philip hatch-barnwell
Rancang sampul : andy seno aji
Tata letak : martin

Hati yang Patah Berjalan terdiri dari tiga bagian, yaitu Jalan Kecil Menuju Dina (23 judul puisi); Trinitas (10 puisi): hanya ditandai angka 1 – 10, ciri puisi di bagian ini terdiri dari tiga bait dengan tiga baris di masing-masing baitnya; dan Rumah-rumah Bayangan (60 puisi): ditandai angka 1 – 60, berisi puisi pendek, hanya terdiri tiga baris. 

Beberapa pilihan puisi Dina Oktaviani dalam Hati yang Patah Berjalan

Jalan Kecil Menuju Dina

dia akan menyusur kembali
batu-batu tajam
jalan kecil menjauhi rumah

melihat laut pada langit
mendengar kata-kata cinta dari bibir angin
di setiap kelokan dan kejatuhan

tapi cinta apakah ini
yang telah melukai
dan mencuri kesenangan dari rasa sakit?

dadanya berdarah
tapi hatinya tidak

matanya penuh igauan;
mengembara bagai musik
yang memberi gangguan berbeda
kepada setiap telinga

siapa yang sungguh mendengar
dan akan datang menjemputnya
dan mengatakan:
“semua cuma mimpi
tapi ada artinya”
dan bukan sebaliknya?

langit makin gelap
bintang-bintang bagai lampu-lampu kapal
dan bulan itu adalah dirinya

yang pada kelokan dan kejatuhan ke sekian
yang pada bisikan angin dan kucuran darah ke sekian
telah tak takut menjadi siapa saja

bahkan menjadi dina
seperti tak seorang lain pun bisa



Anggur buat Olfato

kata orang, aku dan olfato berteman baik
meski kami hanya saling mencintai
aku adalah hati, dan olfato berarti naluri

aku menyukai kesedihan yang jatuh dari hujan
dan menetes dari anggur
karena mereka bening dan segar seperti kristal usia
– kamu dapat hidup di masa lalu selamanya;
karena olfato membenci airmata di tubuhku
dan aku dapat membuangnya setiap hujan itu datang

tapi aku tidak mengerti mengapa
olfato lebih menyukai perempuan yang bahagia
yang selalu kering dan baik-baik saja
yang dapat melihat yang benar dan salah pada cinta

di hari kami berpisah
aku menyimpan sisa anggur untuk masa tua kami
sebab, kata orang, aku dan olfato berteman baik
meski bagiku kami hanya saling mencintai

namun olfato tiba sebelum masa tua
ia datang bersama perempuan itu: akalnya
dan gelas yang kupunya cuma dua
jadi kusuguhi mereka dengan kata-kataku saja
sampai mereka pergi:
perempuan itu tak bisa mengambil milikku lagi!

beruntung, hujan turun kemudian
kutenggak anggur sendirian


Deja Vu

seekor kucing di bawah hujan, mengerang
aku mendengar detak jantungku sendiri
terbang ke tanjungkarang

pagi itu tak ada orang menangis
bubuk kopi lengket di tanganku yang kecil
inilah potret keluarga kami:

luka bacok di punggung binatang kesayangan
seorang ayah, dengan hati yang papa
tak mampu menyembuhkan apa-apa

pagi berikutnya anakku kejang
tak ada bubuk kopi untuk jantungnya
atau seorang ayah, yang terus-terusan kutanggalkan


Stasiun yang Kering

aku menangisi stasiun yang kering
dan seperti seharusnya tak seorang pun peduli
selembar karcis bekas; penuh kutulisi

aku pernah mencintaimu setiap hari
dengan tubuh hijau dan pikir yang memar
mengagumi kejahatan-kejahatan kecil
: tanda cinta yang orisinil

tapi hari ini mau ke mana aku mau ke mana
sekopor pakaian dan buku yang itu-itu juga

dalam sakit aku telah mengganti semua merk dan judulnya
agar semua waspada, agar kamu curiga
agar tak seorang percaya:
dalam hatiku tak satu bisa berubah

senja kesekian memasuki stasiun
di seberang gereja lama kamu muncul
dengan rindu yang asing seperti kemarin
; mengacung namaku tinggi-tinggi

bibirmu terbuka
aku menghambur tanpa malu:
memelukmu aku memeluk udara


Kampung Halaman Masa Depan

aku tak tahu apa lagi yang dapat kutulis tentang diriku
tentang perasaan-perasaan itu;
lampu jalan, gerimis yang beterbangan

tak ada rumah senyaman pelarian;
orang-orang yang ingin kukenal
tubuh yang ingin kusentuh

apa lagi yang dapat kulakukan dengan kesepian
dengan para penyakit
aku kehilangan fiksi-fiksi berakhir tragedi
sihir dari cinta yang membesarkan setiap peristiwa

semua jalan menuju kegelapan
seluruh pintu kehilangan kunci

aku kedinginan, nanar bagai tikus basah
dan para kekasih hanyalah putra dari kesedihan:
kegagalanku membaca kesendirian

aku kedinginan, seluruh teman tinggallah percakapan:
apakah yang dia pikirkan; mau ke mana?
aku tak tahu yang dapat kukatakan tentang
perjalanan ini
sepatu yang basah; ibu yang marah;
impian yang merobek kepalaku
hari demi hari (?)


Tong Sampah

tampaknya kamu harus benar-benar berjalan-jalan ke luar
sementara garis-garis basah yang lampau dan kuno itu
menghabisi pakaian setengah kering
di halaman tetangga

apa yang kamu punya?
mimpi indah –
setelah bertahun-tahun kamu percaya
ia buruk bagi puisi?

bawalah keluar, tidak apa-apa
masukkan salah satu dari wajah-wajah itu
ke dalam saku jaket tebalmu
satu saja: satu demi satu
tekan kuat-kuat dengan genggaman jari-jarimu

melompatlah dari jendela
jika ada seseorang yang sedang tertidur
sambil memegang kunci rumah

lalu kamu sudah siap dikepung dan mengepung
angin luar bergunjing, kamu memicing
burung-burung berebut kabar, kamu menapak tak sabar

ada ayam berkokok, ayo berbelok
mana tahu ia membangunkan lebih banyak musuh
sebelum kamu sempat menemukan
tong sampah yang tepat
kamu tak perlu merisaukan lampu luar
yang belum dimatikan
sebab tak ada yang boleh tahu
kamu mampu bangun sepagi ini

kamu tak boleh membuat mereka
yang berpendapat lain tentangmu kecewa
nanti musuh tanpa konflik yang jelas bertambah

sementara bulan yang kamu sebut bulan
tak pernah berubah jumlah
tak bisa diingat sebagai milik pribadi

sementara kamu tak pernah sanggup
menyimpan fasilitas umum sebagai kenangan
meskipun pikirmu, semua yang kamu kira-miliki
adalah kepunyaan orang

hanya ada satu tong sampah
agak di depan
tak banyak orang modern di lingkungan ini

orang-orang tradisional selalu menyimpan sendiri
sampah-sampahnya dan membakarnya
di lubang depan rumah
: biar tetangga tahu mereka juga bisa marah

buanglah wajah dalam kantongmu
yang mulai berat itu ke dalam tong
: biar mereka tahu orang modern yang kesepian pun
tak butuh kenangan
atau mumpung tak ada yang lihat
: orang modern tak bisa marah
kepada sampahnya sendiri

lupakan rencana surat-menyurat
dengan seorang teman rahasia
: seorang teman modern tak akan mau
mengorek tong sampah
untuk membaca keluhan tentang sms
yang tak dibalas

belikan wine, barangkali
ia akan mendengarkan pendapatmu sambil pura-pura
            tak mabuk
: mengapa penyanyi favoritmu tak pernah menegurmu

atau mungkin ia akan menidurimu
dan bertanya sambil menyedekahkan marijuana
: mengapa kamu ingin membunuh orang lagi
padahal fungsi orang jahat adalah melatihmu
mencintai dengan tulus

jangan, jangan kembali ke kampung halaman
kamu sendiri yang bilang
: pejalan dan orang yang berlari tak ingin pulang
– apalagi peragu sepertimu

andai pun lidya belum meninggal
ia seharusnya sudah mati
andai pun ibumu tak hilang
ia semestinya sungguh tak ada
tak punya kawanan itu baik
bagi domba yang sedang disembelih
seharusnya tak ada bedanya

apakah kamu memiliki teman?
apakah kamu memilikiku?

kamu telah kehilangan semuanya
kecuali mimpi-mimpi buruk dan pikiran tak sehat
beranjaklah, lagu-lagu maha sedih dan penyayang itu
tidak ditulis untukmu

ya, begitu, melangkah
kamu boleh membut skenario sendiri
mengenai affair singkat dengan pagi hari
bahkan yang benar-benar lain
; beramai-ramai, kencan dobel, homomemorial,
            sunyi-masokhis

kamu boleh menuliskannya kelak
mencarikannya penerbit dan meletakkannya di toko buku
lalu berdebar-debar oleh tatapan sinis seseorang
yang mendekap bukumu dengna cinta yang nyaris meledak
– dan tak ada orang yang menolong

Oh, mengapa ke sana?
di dapur hanya ada sisa makanan
kenangan yang basi tentang garis-garis lampau yang kuno
dan piring-piring kotor yang masih dapat kamu simpan
hingga beberapa jam lagi

tidak, dengarlah
lihat! apa sih yang dia punya?
seorang musuh telah bangun dan keluar lebih dulu
tanpa kunci –
pintu rumahmu tak pernah terkunci?

(berbisik)
oh, tak tahukah dua puluh tahun ini kujodohkan kamu
dengan harapan…


Hantu-hantu Tanjungkarang

1
apa yang membuatmu gemetar kini
malam hanya sesuatu yang kerap lewat
apa yang belum kauketahui tentang perihnya
kekasih yang dengki, teman yang pudar di angkasa

kaulah seseorang yang tak pernah menyelesaikan sesuatu
karena segala sesuatu terbelah di kepalamu
apa yang membuatmu ragu-ragu di hadapan masa lalu
penyesalan adalah binatang yang tangguh
dengan cakarnya berjalan tegap di bawah kulit
dan membuatmu terluka

sekarang, rasakan irisannya
rasakan irisannya yang samar pada darahmu
kebencian pada ayah dan kecemburuan pada ibu
rasa asing di antara saudara-saudaramu
rumah-rumah yang menyalakan keputusasaan

lampu-lampu telah padam, kekasihku
biarkan aku menyelesaikan malam
dengan menuliskan baris-baris ini
dan mengalirkan mayatmu ke dalam mimpi.

2
bagaimana aku merindukanmu setelah ini
hidup di tengah hantu dan kampung halaman
tak ada yang aku sanggup tinggalkan:
lampu yang kamu padamkan
suara perutmu di pagi hari

atau kekecewaanku sendiri
ketika meninggalkan rumah diam-diam
dan tahu: tak ada yang mengejarku
selain angin, selain bercak-bercak hujan
yang bertahan cukup lama di kepalaku

aku selalu ingin kembali dari simpang jalan itu
dan menangis sepuas-puasnya
aku ingin memukuli tubuhmu keras-keras
sebab kesabaran tak pernah menerangkan apa-apa

kini ketika aku mungkin mencintai yang lain
akankah kamu mencintaiku lagi
mencintaiku di antara kecanggunganmu
dan mencintaiku di antara bayang-bayang
yang mungkin tak bisa kamu wujudkan lagi.

3
maut yang tipis di dekat leherku
siapa yang sungguh mengenalmu
kamu selalu terpejam
sejumlah buku di dalam tubuhmu, penuh catatan
tak pernah bisa kubaca
nama-nama, dusta-dusta
aku hanya tidak ingin menyakiti siapa pun
tidak juga diriku, dengan kesedihanmu, ketakutanmu
dan ketakutanku pada kesedihan

aku telah berhenti berdoa
dan aku tak bisa memilikimu tiba-tiba:
gerimis pagi; hatimu yang terluka
betapa yang kaumiliki akan melemahkanmu

aku mengandalkan cuaca dan hati yang didinginkan
aku bertahan dengan tidur dan mencintai yang kabur
dan aku tak bisa kehilanganmu tiba-tiba:
cintamu yang pelahan; ayat-ayat
yang membuatku mengenang semua tuhan.

4
berapa banyak yang bisa kuambil
dari gerimis tanjungkarang
bangunan mana yang berbicara tentang diriku
jalan mana menuju rumah masa lalu

aku tak menemukan kuburku di setiap gang
pikiranku menjadi hantu, tak bisa kembali ke mana-mana
udara adalah anakku yang kudus
yang kuhirup dan lepaskan, kuhirup dan lepaskan
ia kini memikul dosa-dosa ibunya dari kejauhan
tercemar oleh duka dan membuatku kembali hidup
kembali sekarat

seandainya aku seorang putra
seandainya aku hanya orang yang dicintai


lihatlah, betapa banyak yang diambil dari diriku
aku bahkan tak bisa memiliki airmataku sendiri
yang meluncur deras dan menenggelamkan seluruh kota

5
aku bisa menangis sepuas-puasnya
atau mengetuk pintu rumah semua teman dan
menceritakan
betapa malam telah menganiayaku sepanjang
perjalanan ini
atau betapa perjalanan ini telah menganiayaku
sepanjang malam

aku bisa menghabiskan semua kretek yang kaupunya
dan memesan bergelas-gelas kopi
untuk kupandangi sampai dingin

anakku bisa menangis
dan aku bisa membawanya berlari
melintasi semua horor di kepalaku
aku bisa menelan semua amoxicylin
yang tersimpan di lemariku bertahun-tahun
atau menantang semua mimpi buruk dalam tidurku

aku bisa membuat pintu-pintu kabut membawaku
pulang ke tanjungkarang, ke pagi-pagi
di mana tak seorang pun peduli pada kerinduanku
pada masa depan
di mana semua orang menyayangiku
dan membuatku ketakutan

ia yang kucari berada di sini dan tak ke mana-mana
tapi betapa aku bisa kehilangan dirinya
betapa aku menginginkannya tapi tak tahu untuk apa
betapa aku mencintainya dan tak tahu caranya
betapa aku selalu mencintai sesuatu yang tak bisa
kupahami

6
aku mendengar suaramu sekali
jauh sebelum kita bertemu dan tak pernah bertemu lagi
ruang-ruang dibekukan oleh jarak; hatiku dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan palsu tentang dunia

malam ini gema dari suara itu
melumpuhkan pikiran buruk tentang daun-daun gugur
membuatku pincang dan merindukan rumah

di manakah diriku
selain memudar dalam fiksi-fiksi yang gagal
tentang keluarga; di manakah kamu?

bagaimana seseorang dapat memahami kesedihan
yang tak dikenalnya; kehilangan yang sederhana?

setiap orang adalah messiah bagi dirinya sendiri:
tak ada jalan keluar.

7
kamu membangunkanku pagi-pagi
dengan tangan yang nyata dan pasti―
aku tak punya kebiasaan itu lagi

masuklah ke dalam selimutku menjelang fajar
dan jadilah mimpi ketika aku lelap
makin buruk makin baik: aku akan hidup tanpa kejutan

“mama sudah gila; lebih baik tak bertemu lagi
lagipula dia cantik dan terluka: dia sempurna
aku akan keluar: itu sebuah kebiasaan”

aku berjalan dengan pakaian lengkap musim dingin
mencari-cari cacat untuk kucatat
hujan hanya rintik-rintik, aku hanya ingat angka-angka
tak seorang pun bernama angka

hanya hujan rintik-rintik, aku berjalan seperti kalender
tak ada mantan pacar atau kawan lama:
seluruh kota telah menjadi barang bekas.


Trinitas, 10

barangkali kau tak akan pernah benar-benar melihat
nyawa pada setiap kata yang menggerakkan tanganku
atau airmata pada setiap huruf yang menyusunnya

hujan, hujan adalah impian sekarang
yang selalu kudengar derainya dalam tidur
tapi rumput yang kita tanam itu masih kering

aku menyiraminya agar diriku terus hidup
dengan gemetar, berkeringat, seperti menunggu sebuah sajak
menyusup ke rahimku yang peragu


Rumah-rumah Bayangan

3
bayangan tentang keluarga menghilang
kemudian rumah kami disita
kemudian kami semua menjadi manusia

6
hujan sudah reda
lampu tidak bisa menyala
bayang-bayang membangun dunianya sendiri

7
angka 26 pada tanggalan ibuku hilang
pernikahan tak bisa dihentikan
tiket kereta tak bisa diuangkan

8
musim gugur datang
membikin kejatuhan tak lagi bermakna
dan kehilangan jadi pilihan bersama

15
ketika sendirian
aku ingin membunuh keluarga dan teman
mereka kenyataan

20
aku menolak jantungku berdebar
ketika bertengkar dengan lidya di depan kamar mandi
demi tuhan dia sudah mati

26
sebuah pesta
tequila dan musik dan kenalan dan kenalan
cuma kesendirian bisa membuatku mabuk

27
di pesta orang bertanya
apakah aku penyair atau pembohong
aku orang jujur yang memakai topeng

35
kau berdiri di pintu kamar sebuah hotel
aku selalu datang karena sakit
bayanganmu menularkan kesembuhan

45
pintu kamar setengah terbuka
tempat tidur kosong
aku menangis di luar

49
sebelum subuh hari ini aku terbangun
bercermin bertanya-tanya
apakah maut mendatangi orang muda

51
aku membeli ayam untuk dipelihara
meski hidupnya begitu pendek
dan begitu pasti gunanya


Tentang Dina Oktaviani
Dina Oktaviani lahir 11 Oktober 1985 di Lampung. Saat umur 21 ia mempublikasikan kumpulan puisinya yang pertama, Biografi Kehilangan. Kumpulan cerpennya como un sueno. Ia juga menerjemahkan beberapa buku dari bahasa spanyol dan inggris ke bahasa indonesia. Kata tu buku: having dropped out of university while studying french some years ago, she has now returned to study psychology, a subject close to her heart. Karya-karyanya juga tersebar di berbagai media dan antologi bersama.  


Catatan Lain
Membaca puisi penyair ini, saya pikir, asyik. Tak tahu kenapa alasannya. Seakan-akan dunia tak punya masalah, sebab kita dibawa masuk ke dunia batin aku-lirik, hanyut dalam gelombang perasaan. Beberapa kritik menyebut, pengucapan dina terpengaruh periode romantik di belahan bumi sono. Kita juga tak tahu, mana yang lebih dulu ditulis, puisi yang berbahasa Indonesia atau Inggris, atau ada kompromi kebahasaan antara dua bahasa ini saat puisi itu ditulis. Yang jelas, membaca puisi dina lebih terasa seperti membaca puisi terjemahan. Suasana yang terbangun sepertinya seragam dari halaman satu hingga halaman akhir. Tak ada tanggal penciptaan juga memberi kesulitan tersendiri untuk melacak perkembangan daya ucap. Namun, konon, beberapa orang menyebut bahwa puisi-puisinya matang melebihi umur si penyair. Terlepas dari cover bukunya yang sugestibel, ada beberapa kata yang sepertinya dekat dengan penyair ini: kesepian, kenangan, ragu, kehilangan, sendirian. Entahlah…
            Oya, jika kita berkunjung ke laman dina, di sana ada puisi yang berjudul Hantu-hantu Tanjungkarang, namun jika dicermati, bagian 5 dari puisi itu berbeda dengan di bukunya. Bagian 5 di laman dina, posisinya di buku berdiri sendiri sebagai sebuah puisi dengan judul Stasiun yang Kering. Nah, Hantu-hantu Tanjungkarang dalam blog ini berkiblat pada bukunya.

            Oya, satu lagi. Saya pernah bikin esai tentang gumam ali syamsudin arsi dan saya ikutkan dalam lomba di aruh sastra 10 banjarbaru. Dapat juara 3, plakat, sertifikat, dan duit sejuta. Tau kau apa judulnya: Jalan Menuju Gumam. Dan dari puisi Jalan Kecil Menuju Dina lah saya mengambil inspirasi judulnya. Trims.   

2 komentar:

  1. akhirrnyaaa puisi Dina Oktaviani dimuat juga disini

    BalasHapus

  2. makasi atas infirasinya, semoga tambah berkah ilmunya

    terima kasih , sangat membantu^^

    BalasHapus