Selasa, 05 Agustus 2014

SERANGKUM SAJAK AGUS NOOR



 


Data buku kumpulan puisi

Judul : [Bukan] Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan
Penulis : Agus Noor
Cetakan : -
Penerbit : -
Tebal : -
ISBN : -

Beberapa pilihan puisi Agus Noor dalam blognya

Delapan Kwatrin Kelopak Bunga

1
kau melihat kelopak bunga mengapung
di selokan rumahsakit.
“aih,” katamu,” ia bagai nyawa bayi yang dibuang,
dan menjerit.”

2
malam hari, dalam mimpimu,
kelopak bunga itu tumbuh berkilauan, bersih seperti
wajahmu semasih bayi.
kau, juga tiktok jam itu, perlahan saling tersedu.

3
kau petik bunga  yang tumbuh dalam mimpimu itu,
iseng kau tanggalkan kelopaknya, satu per satu.
kau dengar ada yang mengaduh,
ketika kelopak itu runtuh

4                    
lalu kau bayangkan: alangkah tenang
kelopak bunga itu melayang,
seakan jatuh dari ketiadaan,
kemudian mengapung di selokan

5
tiba-tiba, kamar dipenuhi guguran kelopak
bunga. ada harum yang menyebar
bersama angin yang menyelusup masuk,
dan membuatmu gemetar

6
hanya ada kau, Aku dan kelopak bunga
di kamar. tapi kau yakin: ada
yang sedang diam-diam menatap kita
dengan pandangan berkaca-kaca

7
seperti kau dengar – nun di luar kamar sana
ada yang bersabda: jadilah. maka tumbuhlah
sekuntum bunga. kau berkata: gugurlah,
maka runtuhlah seluruh duka

8
pada pagi saat kau melihat kelopak bunga
mengapung di selokan rumahsakit, kau pun merasa:
                                                      waktu telah tiba.
tergenapkanlah duka

2012



Cinta adalah Ribuan Peristiwa dalam Satu Kepakan Kupu-Kupu *

1. Perempuan: kata

Kusapa kamu, kekasihku, dengan kata, yang membuat dunia ada. Kata, yang akan tumbuh menjadi bermacam peristiwa.

Kusapa kamu, kekasihku, dalam sajak cinta. Di mana kata-kata menjadi doa, yang menjauhkanmu dari pedih dan duka.

Maka, sajak dan doa, akan menjaga kerisauan dan kesepianmu, yang tak pernah mampu terjangkau hatiku.

2. Laki-laki: ciuman

Kekasihku, aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan menanggung duka dunia.

Telah kita lewati senja demi senja yang penuh kerisauan. Senja yang muram – senja yang selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.

Ciumanmu yang lembut, telah menyelamatkanku. Ah, cinta, seperti juga Tuhan, kadang hanya dibutuhkan saat kita merasa kesepian.

3. Perempuan: birahi

Tidak, cintaku, cinta tidak pernah membuatku kesepian. Cinta adalah ribuan peristiwa, dalam satu kepakan sayap kupu-kupu.

Kesepian dan kesakitan, tak lebih anak-anak kecil yang rewel dan manja, sementara kita bertambah tabah oleh usia.

Aku akan terus bertahan mencintai ciuman-ciumanmu, yang tak pernah menjadi masa silam. Seperti aku mencintai harapan.

Benamkan kecemasanku, ke dalam pelukanmu. Biarkan aku mati dengan cantik, dalam birahi. Dan birahimu padam, dalam ciumanku.

4. Laki-laki: senja

Senja dan sebuah ciuman, kadang lebih berharga dari apa pun yang kita pertaruhkan.

Dan aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana: senja ataukah luka, yang kau sembunyikan sekian lama.

Di dadamu: ada memar sayat memanjang, mengiris sintal susumu. Seakan makam yang dipersiapkan bagi kepedihanku.

5. Perempuan: maut

Seorang penyair menulis: “Cinta ialah kelepak terakhir sayap kupu-kupu sebelum maut mulai mengasah kuku.”

Tapi apalah artinya Maut, kekasihku, bila aku bisa tenang dalam pelukanmu.

Maut hanyalah kekosongan. Sedang cinta selalu memiliki caranya sendiri, untuk bersentuhan dengan rindu.

Betapa kurindu, ciumanmu. Sebab nafasmu membadaikan sepi.  Dan pantai akan menjadi begitu biru, saat ciumanmu menggenapi cintamu.

2012
*Sajak ini terinspirasi, dirangkum dan ditulis ulang, dari Bab 8 buku “ Cinta, Kenangan dan Hal-hal yang Tak Selesai”. Terimakasih, kepada para penyair, yang sajak-sajaknya menjadi bagian dari larik-larik dalam sajak ini.


Pada Sebuah Sakit
 @ameelias

masih subuh, kau membatin

subuh yang lain
bagi yang mungkin

seperti terdengar gemeretih
penggorengan mendidih
dari jantungmu

ranjang serba putih ini
sedingin porselin
(dan wajahmu lebih pasi
dari sekerat roti)

kesakitan adalah
dataran asing yang kaujelajahi, sendiri

hanya ada jendela
dimana kaubayangkan pantai
dengan sekawanan camar ramai,
menjerit –

jerit
yang taklid pada sakit

2012


Anjing dan Bir Kesembilan
                                             Djenar Maesa Ayu

Dari balik kegelapan
mata malam itu nyalang,
menatap seekor anjing
yang hidup dalam sebotol bir. 

“Anjing ini,” katamu,
“anak jadah pengkhianatan kita.” 

Lalu kita suling arak api,
menjadi keganjilan
yang hanya kita pahami sendiri.
Selebihnya, hanya birahi
taklid pada sepi.

Kita akan mengingat:
pantai menyimpan gelap,
dusta yang tak terduga.
Perlahan kita memendam birahi,
yang lebih sunyi dari mata orang mati. 

Kita menulis dengan kekosongan
dan tangan gamang.
Kata-kata adalah onggokan tulang-belulang
yang telah jadi arang. 

Dan dengan arang kata-kata ,
di tembok kota
kita menuliskan grafiti,
tapi nyerinya menyayat jantung sendiri. 

Di bawah bulan yang ganjil
(seperti mata juling pengidap kusta, katamu)
anjing dalam botol bir
menatap marah ke arah kita;
dua pendusta yang bersikeras percaya
pada kebaikan dunia. 

“Sebuah kota
yang seluruh penduduknya
terserang anjing gila,
mungkin menarik sebagai cerita.” 

Tapi di kota penuh pendusta,
siapa lebih jadah:
anjing gila ataukah kita?
Lalu aku bercerita tentang revolusi. 

Revolusi adalah anjing
yang memakan kesedihan
anak-anaknya sendiri. 

“Saat ini aku tak butuh revolusi,” katamu.
“Aku butuh pembalut. Aku lagi menstruasi.”

Kujawab: itu menyedihkan bagi laki-laki.

Seolah lidah saling bersentuhan,
pikiran kita yang basah menjelajahi
langit; kuburan bermilyar galaxy mati.

Kau menunjuk:
sembilan bintang terang,
rasi yang belum terkenali.
“Barangkali, bintang itu menandai,
kelak, kita mati sebagai Wali”

Tapi, tak seperti perjamuan penghabisan,
pada botol bir kesembilan
aku menjauh dari pantai.
Meninggalkanmu sendiri.

Di kejauhan silhuet kota gemerlapan.
Terdengar ribuan anjing melolong,

dalam jantungku.

2013


Hai Aku

I
Pada mulanya
Hanya sabda, “Hai, Aku!”
Tersamar gema

Yang bergeletar
Terdengar seperti “Kun!”
Pada telinga

Serupa telur
Sunyi pecah, menjelma
Ruh yang pertama

Di bawah bulan
Burung gagak terdiam
Terpukau dosa

Sedangkan kita
Getir menafsir waktu
Di usir takdir

“Tapi,” katamu
“Kita tak pernah siap
Dihapus senyap.”

Angin bergegas
Sebelum nujum timpas
Cemas pun tuntas

Sedingin kabut
Maut berdenyut lembut
Dan tak tersebut

Di pohon zaitun
Sepasang mata ular
Sehitam zakar

Cahaya memar
Bintang zohar
Bergeletar dan pudar

Lalu kusentuh
Namamu dengan doa
Di keheningan

Tuhan yang tak bernama
Yang berdiam di
Sabda dan dosa:

“Berikan aku
Nikmat yang kekal itu
Bukan di surga.”

“Biarkan kami
Menikmati yang dosa
Dengan bahagia.”

Bukan karena ular
Dan buah itu
Kita tergoda

Kita pilih dunia
Karena surga
Hanyalah dusta

Ke dalam peluk
Kaucoba tolak kutuk
Dan nasib buruk

“Dekaplah aku
Dan sembunyikan aku
Dalam dosaMu.”

“Sungguh, cintaku
Maut tak lebih nikmat
Dari senggama.”

II
Reranting kering
Lengking seekor anjing
Moksa ke hening

Sekukuh iman
Malaikat pun berjaga
Di gerbang surga

Sebelum lengkap ayat
Bahkan malaikat
Pun berkhianat

Kita mengingat:
Mephisto yang jatuh
Ke lembab kitab

Juga Arakiel
Yang mensucikan diri
Ke arak api

Sebab yang suci
Bukanlah yang ilahi
Tak terpahami

“Tuhan hanyalah
Yang tak ada, tetapi
Kita percaya.”

Kita bukanlah
Pemberontak pertama
Yang menyangsikan

Janganlah getir
Kita tidak terusir
Karena takdir

Maka, cintaku
Neraka hanya ada
Di ketakutan

Di jantung langit
Seiris bulan sabit
Dan sisa jerit

Detik melambat
Kukenang dalam khidmat
Yang kan terlewat

III
Kukenang kamu
Di fotosfera senja
Seindah luka

Aku melihat
Kepala bayi mati
Dalam selokan

Wajah wanita
Yang mati diperkosa
Sepucat mawar

Udara tuba
Penuh hujah
Oranng-orang berjubah

Sedang gerimis
Seperti bedak tumpah
Di langit merah

Bagai peronda
Kematian berjaga
Di sudut kota

Dan bayanganMu
Megah berjubah kubah
Sehitam Ka’bah

Seekor burung
Dengan sayap berkobar
Terbang bergegas

“Tuhan yang kudus
Kusembunyikan
Namamu dalam cemas.”

Masih telanjang
Kita memandang
Kota rungsang dan sungsang

Rasanya belum lama
Kita nikmati
Dosa pertama

Di kota kita
Dusta lebih dipuja
Dari yang dosa

Dan kau lihatlah
Tuhan dijual murah
Serta ketengan

“Jangan kautakut
Segala bisa kata
Para pendusta

Tak perlu kaujeritkan
Kecemasanmu
Ke dalam doa.

Sentuhkan saja
Tangan lembutmu itu
Pada cahaya

Dekatkanlah jantungmu
Sedekat detak
Jantungku, Cinta.”

2013
* Lengkapnya, sajak “HAI AKU” ini berjumlah 99 haiku. Saya kutipkan sebagian, sebagaimana yang saya postingkan ini, sebelum versi lengkapnya nanti terbit dalam buku puisi yang tengah saya siapkan


Pagi di Secangkir Kopi
– Peggy Melati Sukma

Aku akan menjadi kopimu,
yang rela mengendap sebagai kepedihanmu
yang sabar menghangatkan kesedihanmu.
Biarkan harum tubuhku, menenangkan jiwamu.

Aku kopi pahit, yang kau seduh dengan cinta.

Segala yang pahit, bukanlah untuk menunda sakit.
Sebab kita hidup untuk berbagi kebahagiaan.
Lalu kau pandangi aku, yang pulas dalam cemas.

Aku kopi pahit, yang belajar menatap dunia
dengan senyumanmu.

Aku akan selalu mengingat pagi bening
suara cangkir berdenting dalam hening
gemericik air dituang, juga ciuman lembut
yang membangunkanku dari perasaan sia-sia.

Kita pernah berteka-teki:
dari apakah terbuat sebiji kopi ini?
“Dari airmata,” katamu, “yang ketika jatuh,
tak pernah merasa kehilangan apa-apa.”

Ia yang rela tak terikat pada yang fana.

Maka, ketika airmatamu jatuh, pagi itu
yang tak tertampung oleh hatimu
biarlah tertampung dalam secangkir kopi.

Kau tahu, cintaku, dalam secangkir kopi
kesedihan tak membutuhkan pelukan.
Biarkan jeritmu yang tertahan
mengendap dalam gelas kehidupan.

Tidurlah kau setenang pagi. Tidurlah, lagi.

Aku kopi pahit
Biarlah seluruh kesedihanmu yang hitam
Menjadi jubahku.

2013


Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni
: SDD

Ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, ialah ia, yang terus mencintaimu, meski kau tak pernah menyadari, dan selalu berjaga dalam kesedihan dan kebahagiaanmu

Ialah yang menggeletar dalam doa-doamu, tanpa pernah kau menyadari, dan kau pun tentram karena merasa ada yang selalu menjagamu

Tanpa pernah kau menyadari, ia diam-diam menjelma bayanganmu, hingga bahkan pun dalam sunyi kau tak lagi merasa sendiri.

Ia, yang sungguh lebih tabah dari hujan bulan Juni, selalu berbisik lembut di telingamu, meski kau tak pernah menyadari, dan seluruh kenanganmu menjadi hangat dalam ingatan

Saat kau terisak menahan tangis, ia yang lebih bijak dari bulan Juni, merasuk ke dalam dadamu yang disesaki duka, hingga kau semakin memahami: betapa airmata mencintai orang yang paling dicintainya dengan cara menjatuhkan diri

Ia jugalah yang menyelusup ke paru-parumu, tanpa sekali pun pernah kau menyadari, ketika kau mendadak tersengal oleh entah apa, dan segalanya tiba-tiba saja menjadi terasa lega

Ketika senja, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tanpa pernah kau menyadari, meruapkan hangat ke dalam teh yang tengah kau nikmati pelan-pelan, hingga kau merasakan sore begitu damai dan menentramkan

Ia jualah yang terus duduk di sampingmu, tanpa pernah kau menyadari, menemanimu dengan sabar memandangi cahaya senja yang perlahan memudar, dan kau bersyukur pada segala yang sebentar

Dan ketika kau tidur, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tak lelah berjaga: dihapusnya debu kecemasan yang berguguran dalam mimpimu

Ada yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni, lebih bijak, dan lebih arif, tetapi kau tak pernah menyadari, meski selalu ada di kesedihan dan kebahagiaanmu, karena ia tak henti-henti mencintaimu

2010


Aubade
Untuk M

Pagi ialah tangan yang terulur santun, ke dalam hatimu. Dibukakannya pintu kebaikan dan keselamatan, bagimu

Pagi yang lembut mengusap keningmu, seperti tangan ibu. Dihapusnya debu kecemasan yang berguguran semalam, dari mimpimu

Pagi ialah kecupan kekasih, yang membangunkan kerinduanmu. Ditumpahkannya seluruh hangat harapan, sebagai degup jantungmu

Jari-jari mungil pagi menggelitik jantung sepimu, ialah tangan kanak-kanak yang lucu dan menggemaskan, kebahagiaanmu

Bila kaurasakan pagi menyentuhkan cahayanya yang lembut, ke hidupmu, itulah tangan gaib Tuhan, membelai kegelisahanmu

2010


Mengingat Jalan-Jalan yang Dilupakan Ingatan

Semua jalan, Ibu,
selalu membawaku
kepadamu.

Di kota yang telah dilupakan oleh ingatan,
aku mencoba mengingat jalan-jalan
yang pernah kita lalui. Juga jalan-jalan
yang belum pernah kita lalui,
             dan yang mungkin akan kita lalui.

Pada setiap jalan yang telah dilupakan oleh ingatan
selalu ada kisah yang menolak dilupakan,
          dan tak mungkin terlupakan.
Setiap jalan punya kisah yang dengan tabah
disimpannya sendiri, menanggung luka
                                dan kebahagiaannya sendiri.
Ketika melewati sebuah jalan
                              kita tak pernah tahu:
adakah  kita menambahi luka,
                     atau kebahagiannya.
  
 Apakah jalan yang kulalui, Ibu,
menambah lukamu.
Atau menyudahi kebahagianmu?

Setelah tahun-tahun yang ingin dilupakan
          masih saja aku mengingat sebuah jalan
yang membentang dari masa kecil.
Jalan yang sabar menyimpan semua tangisan
yang kadang ingin kudengar dalam kesendirian.

Di jalan yang abadi dalam kenangan itu, Ibu,
aku tak lagi bisa membedakan tangismu dan tangisku.
Ketika kudengar tangismu, aku seperti
                     mendengar tangisku sendiri

Kenangan, barangkali memang piringan hitam,
yang suka memutar kesedihan berulang-ulang.

Kota telah mengubah jalan-jalan, tetapi akan
           selalu ada jalan yang abadi dalam ingatan.
Jalan-jalang menghilang dari sejarah.
Mereka terhapuskan tapi tak terlupakan.
Seperti engkau yang lelah, tapi menolak menyerah.

Bagaikan pengungsi ditawan kegelapan,
jalan-jalan itu mencari takdirnya sendiri
agar sampai yang sampai padaku,
                                     sampai juga kepadamu.
Dari arah mana pun jalan itu,
                            dari masa depan atau masa lalu,
              ia akan selalu membawaku padamu.
Adakah jalan itu, Ibu, adalah jalan
                   yang selalu menautkan kepedihan
                                              dengan kenangan

 “Agar kau sampai pada sunyiku, mari
kutunjukkan jalan paling rahasia,
ke jantungku,” katamu.

Dadamu: kota yang berdebar.
Kota penuh jalan rahasia
                yang telah lama terbakar
menjadi memar kisah samar-samar.

Di kota yang dilupakan oleh ingatan inilah, Ibu
aku mengingat jalan-jalan dalam dadamu.

Kau pernah bercerita;
perihal jalan, yang pada suatu hari
menjelma burung, terbang dan hinggap
ke kota lain. Orang-orang memberinya
nama baru. Membangun patung seorang pangeran
yang menyaru dengan jubah megahnya
hanya untuk menutupi kesedihannya.

Kini aku mencoba mengingat, Ibu,
di sebuah kota yang telah hilang dari ingatan:
adakah sebuah jalan yang akan terus menghubungkan
               kenangan dengan kepedihanku, kepadamu.

Seorang kekasih, di sebuah losmen murahan,
pernah berbisik memelukku.
“Akan kukenalkan kau pada satu jalan,” katanya
meraih bibirku yang telah  mekar oleh gairah.
Lalu ia buka bajuku. Kutangku. Celanaku.
                       Susuku. Kulitku. Ingatanku.
Dan ia tunjuk, celah pahaku:
                    inilah jalan bebas hambatan,

menuju surga.

Aku telah memilih jalan bagi kepedihanku,
ketika seluruh jalanan di kota ini ingin aku lupakan.

Jalanan kota ini penuh mahkluk ganjil
yang dadanya menyimpan api kemarahan.
Jalan-jalan yang berkobar tubuh para korban:
wanita yang mati diperkosa.
Jalan-jalan yang mengelabu dan mengelabui.

Seperti Malin terdampar di bandar
yang mengasingkannya, aku memandang jalan-jalan
yang terbakar, di sebuah kota yang telah dilupakan
oleh ingatan. Bila waktu sebuah jalan, Ibu,
betapa jauh ia telah membawaku melupakanmu.

“Bagi seorang anak, sebuah jalan akan melupakan.
Ibu adalah jalan mengabadikan,” katamu

Mungkin, suatu hari orang-orang akan menemukanmu
tergeletak di sebuah jalan tanpa nama, tanpa ingatan.

Pada suatu hari itu, percayalah,
hanya aku yang mengingatmu, Ibu.
Akan selalu mengingatmu.
Meski semua jalan lenyap dari ingatanku.

2011


Suaramu Telah Memikat Ingatanku
untuk #L

suaramu telah memikat ingatanku, hari ini

kurasakan suaramu, seperti cahaya lembut, yang perlahan memeluk seluruh kesedihanku

kau tahu, aku telah lama belajar dari airmata, yang selalu memahami seseorang yang dicintainya dengan cara menjatuhkan diri

akan tiba saatnya, di malam-malamku yang penuh kerisauan, suaramu akan menjelma jerit kijang yang terpanah jantungnya

ya, pada saat itu aku pun tahu: ada yang lebih tajam dari pisau waktu, yakni rindu

kesakitan, memang terasa lebih pedih dalam ingatan. mungkin itu, yang kelak kita sebut: kenangan

kita dipertemukan dalam kegentingan. seperti ada burung-burung api, yang terbang dalam jiwa, dan membakar kita sendiri

tapi kebahagiaan, cintaku, selalu pantas diperjuangkan. apa pun resikonya

kau pasti akan memilih hidup dan kebahagiaanmu. kita akan saling menghapus, atau begitu saja terhapus

bagaimana pun caramu meninggalkan aku, engkau akan selalu bahagia dalam ingatanku. dan aku, akan betahan hidup, dengan mengingat ciuman-ciumanmu

hidup barangkali memang hanya menunda luka

di antara kita, akan tiba juga itu luka: ketika semua kancing bajumu terbuka, dan aku tak bisa lagi menutupnya.

2011


Sajak-Sajak Kecil Kepada M

Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.
Mencintaimu merupakan caraku berdoa setiap hari, untuk semua kebahagiaan kita.
Aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan menanggung duka dunia.
Kupandangi langit lembut itu, seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia, yang lebih ajaib dari surga.
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan, yang membuat kita akan terus bertahan, bahkan dalam kepedihan.
Aku punya cara sederhana mencintaimu: dengan selalu mendoakan kebaikan dan keselamatanmu…
Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.
Kangen ini. Laut tak bertepi…
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket, yang setiap kali kaupakai, akan juga menghangatkan kerinduanku.
Aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana, senja ataukah luka, yang kau sembunyikan sekian lama.
Ada banyak cara berbahagia; satu-satunya cara yang tak pernah kubisa ialah melupakanmu.
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
Senja yang muram, selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.
Ada saat-saat ketika mencoba melupakanmu, semua benda yang dulu pernah kita sentuh, seperti berbicara kembali tentang kamu.
Darimu aku faham, bila airmata ialah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling menakjubkan.
Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.
Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.


Lelucon Menjelang Kematian
: Gus Dur

1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.

Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”

Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.

2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.

“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”

Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.

3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”

Kenapa, kata-Ku.

“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”

4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.

“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”

Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.

Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.

5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.

“Tuan Tuhan, bukan?”

Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur

2010


Tentang Agus Noor
Agus Noor, menulis banyak prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan teater) juga skenario sinetron. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Memorabilia, Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia), Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos. Laman ini menjadi taman pertemuan bagi pikiran dan gagasan, seputar karya-karya Agus Noor. Pertukaran seputar gagasan penciptaan dan proses kreatif tentulah akan lebih menyenangkan dan mencerahkan. Karya-karya Agus Noor yang berupa cerpen juga banyak terhimpun dalam beberapa buku, antara lain: Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Ripin (Cerpen Kompas Pilihan, 2007), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana), dll.
Menerima penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta 1992. Mendapatkan sertifikat Anugerah Cerpen Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1992 untuk tiga cerpennya: “Keluarga Bahagia”, “Dzikir Sebutir Peluru” dan “Tak Ada Mawar di Jalan Raya”. Sedang cerpen “Pemburu” oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Dan cerpen “Piknik” masuk dalam Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya untuk kategori cerpen.
Dua draf novelnya masih ia simpan. Ia sangat yakin, bahwa di dunia ini ada tiga Agus Noor, yang serupa dan persis sama. Makanya, bila suatu hari Anda berjumpa dengan seseorang yang mengaku Agus Noor atau mirip Agus Noor, boleh jadi itu bukan Agus Noor yang sebenarnya. Mungkin itu kembarannya. Untuk memastikan apakah itu Agus Noor sungguhan atau bukan, Anda bisa konfirmasi ke: agus2noor@yahoo.co.id


Catatan Lain
Rasanya, saya masih di Jogja ketika kumpulan cerpen Agus Noor Memorabilia dan Bapak Presiden yang Terhormat, terbit. Beberapa kali pula melihatnya di beberapa kegiatan sastra yang saya ikuti. Kesan saya terhadap cerpennya waktu itu: ia berada satu jalur dengan cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma. Tapi saya bukan pengamat cerpen yang baik, tentu. Pastilah ada titik-titik perbedaan yang tidak mampu saya telisik, karena keterbatasan pengetahuan. Itu hanya penilaian orang awam saja.
            Puisi-puisi yang ada di sini diambil dari blog si penulis. Beberapa waktu lalu, Agus Noor menerbitkan kumpulan puisinya yang pertama, setelah 20 tahun lebih sejak mulai masuk ke dunia kepenulisan. Diterbitkan secara indie. Dan ini komentar Agus Noor tentang penerbitan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan : “Untuk buku puisi ini, saya memang memilih penerbit indie, yang mencoba melakukan penjualan langsung ke pembaca. Saya merasa, penyebaran atau distribusi buku puisi melalui toko buku sama sekali tidak efektif: seperti disebar begitu saja, dan belum tentu tepat sasaran ke pembaca yang memang menyukai puisi. Dengan jejaring sosial Twitter dan Facebook, saya bisa dengan langsung menyapa mereka yang menyukai puisi.” Dan konon hasilnya: Pre-order buku Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan yang dilakukan melalui jejaring sosial media Twitter, dalam dua hari sudah mencapai 500 pemesan!
            Peluncuran pertama kumpulan puisi ini di Tryst Café, Jakarta, pada 9 September 2012. Diikuti serangkaian lagi di Padang, Bogor, Surabaya, Yogyakarta. Kumpulan puisi ini juga dilengkapi dengan sketsa-sketsa dari Agung Kurniawan, seorang pelukis kontemporer Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar