Senin, 08 September 2014

Hasan Aspahani: TELIMPUH




Data buku kumpulan puisi

Judul: Telimpuh
Penulis: Hasan Aspahani
Cetakan: I, Juni 2009
Penerbit: Koekoesan, Depok
Tebal: xiii + 107 halaman (63 puisi)
ISBN: 978-979-1442-28-2
Perancang sampul: MN. Jihad
Tata Letak: Hari Ambari
Foto Isi: R. Yusuf Hidayat
Foto Profil: Irwansyah Putra
Prolog: Ramdzan Mihat
Epilog: Haris Firdaus

Secara berurut, Telimpuh terdiri dari 4 (empat) kumpulan, yaitu Kitab Komik (10 puisi), Kamus Empat Kata (19 puisi), Malaikat Penjaga Gawang (16 puisi), dan Tetapi, Aku Penyair! (18 puisi).

Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Malaikat Penjaga Gawang

Solilokui Sang Bola Kaki, 3

KENAPA semua tentara tidak dilatih menjadi
pemain sepakbola saja?

Bukankah pemain bola tidak perlu sepatu
lars, topi baja, apalagi peluru dan senjata?

Bukankah kostum pemain bola lebih meriah
dan enak dilihat daripada seragam tentara?

Siapa yang meragukan kehebatan seorang
sniper kalau ia dilatih jadi seorang striker?

Dan kehebatan para komandan ditentukan oleh
strategi bertahan dan menjebol gawang lawan?

Mungkinkah dunia akan lebih damai, kalau
wajib militer diganti wajib main bola?

Dan suara-suara tembakan pun berganti
menjadi riuh penonton di lapangan sepakbola?

Pantaskah kalau hari Sabtu ditetapkan
sebagai hari wajib main bola?

Berapa jumlah stadion bola di satu negara, kalau
anggaran militer dialihkan untuk membangunnya?

Siapa setuju kalau kamp-kamp tentara digusur
dan lahannya dibuat lapangan sepakbola?

Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa
yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia?

Kalau pertempuran berhenti saat siaran bola,
kenapa Piala Dunia tidak digelar tiap hari saja?

Untuk sebuah lapangan sepakbola, apakah
tidak bisa semua ranjau darat dijinakkan?

Bisakah tank-tank diubah jadi traktor, agar
berguna untuk membuat lapangan sepakbola?



Kompetisi Musim Hujan

DI kursi goyang, bersama encok di pinggang dan
usia tua: waktu yang dikalkulasi seperti cicilan utang,
dikenangnya saat-saat main bola bersama hujan.

Anak-anak yang telanjang, -- hujan yang telanjang,
telah sempurna menerjemahkan arti kegembiraan:

bola basah biarlah, nasib bergulir tak pasti biarlah,
tubuh basah biarlah, kehangatan rumah menunggu biarlah,
hati basah biarlah, keriangan luruh tumpah biarlah,
kaki basah biarlah, lumpur melumuri biarlah.

Di kursi goyang, bersama gemetar di lutut dan
mata tua: terlalu banyak bayang menghalangi pandang,
disiapkannya hati mendengar tiupan peluit panjang.


Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Kitab Komik

Kartun Waktu
: Furqon Elwe

/1/
KITA bergantian menggambar wajah sendiri
di panel-panel kosong Waktu, kertas panjang itu

Ada balon percakapan banyak sekali, balon yang
tak menunjuk pada siapa-siapa, balon yang kosong
karena tak ada kata yang berani berada di sana

/2/
“Bisakah kalian menggambar aku?” tanya Waktu
kepada kau dan aku: sepasang kartunis yang suka
ditertawakan oleh kehidupan yang tak lucu.

“Bisa,” katamu.

Aku tak tahu bagaimana caranya.

“Gampang,” jawabku, “kosongkan saja
kertas itu,” bisikmu padaku.

/3/
Kertas kosong. Kartun Waktu.

Gambar wajah kita tadi masih ada di situ
keluar masuk balon-balon percakapan,
membikin Waktu sekarang tampak amat lucu:
kau tiba-tiba seperti mengucapkan aku,
aku pun fasih mengatakan engkau.


Catatan Seorang Pembuat Komik

SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3

Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
Aku pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
yang selalu didekap dada – kadang di kepala. Ada
skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
“Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
sebenarnya hendak merantau ke mana?” Siapa yang
berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.

Aku ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
arsip, rancangan sampul. “Masih ingat? Di toko
alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?” Ah,
sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan
urusan kenangan dan daftar belanja.

Masih juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga  yang
membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
nama dan tanggal kematian. “Namamu sendiri,
Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?”


Sebuah Komik Perang

DENGAN gelisah yang tak nyenyak, berkelambu
asap dan peluru, aku mencari kata yang tepat
untuk efek suara yang hebat, desing dan dentum,
suara bom. Juga suara tangis, yang bukankah sama
untuk semua bahasa?

Aku sedang merancang sebuah komik perang.

Kurujuk saja buku Superman, juga dongeng Lampu
Aladin yang kudengar pada malam kesekian dari cerita
seribu satu malam. Tak ada lagi cerita raja yang
lupa membunuh istrinya. Cuma bualan entah tentang minyak
entah cadangan dinar dan dolar, lalu dengan itu alasan
pembunuhan pun diberi stempel pengesahan: lakukan!

Komik itu kubatalkan saja, daripada cuma sia-sia.


Komik Strip, 2

BAGAIMANA menyusun kau, aku dan langit
dengan pendar selembut satin
dan balon percakapan yang penuh jerit?
– di meja gambar: potret pengantin –

Sketsa robek, bergumpal kertas
pensilku patah, tinta hitamku tumpah
“aku harus belajar lagi membuat garis,
aku harus melupakan komik yang lirih.”

– Gambar saja close up malam, ujarmu
gambar saja arsir-arsir kelam –
aku pun mencelup kuas ke hitam matamu
tunggu, sayang, jangan dulu terpejam. 


Pelajaran Bebas Menggambar Komik

PADA saatnya tiba, kita harus memberi
percakapan pada gambar itu, lanskap
dengan huruf bisu itu. Kelak ketika kita
khatamkan kitab komik ini, tak ada senyap
turun mendekap gurun, hati yang gerun.

Pada saatnya tiba, kita harus membubuhi
warna pada gambar hitam putih itu, dengan
pastel pelangi. Kelak ketika kita kumpulkan
kertas kucal ini, tak ada bidang kosong
yang menjerit, menuntut minta diwarnai


Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Kamus Empat Kata

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T, 2

TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai
sembah ini kau sentuh. “Telah aku lewatkan beribu subuh,
telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair,
jatuh air tangis membulir bulir. Aku hendak terus bersimpuh,
hingga menguap semua peluh, di tubuh.

TELAP: bahkan jika petirmu melepas peluru menuju punggungku, aku
hendak menghadapnya, menerima pada dada, seluas ada.
Kau lihatkah? Setiap mili tubuhku adalah parut huruf, padanya
bisa kau baca romantika luka. Kau dengarkah? Setiap pori kulitku
ada khusyuk nada, padanya dapat kau dengar serenada bida.

TAUL: “Aku telah mengenal senjamu itu.” Kau, penjala waktu itu. Aku
nelayan tak berperahu, menggantung dayung di punggungmu,
melabuh sauh di teluk tubuhmu. “Tapi, aku pun ikan. Menggelapar
di mata kailmu.” Kau, pemancing waktu itu.

TINGKUH: kita telah lelah berbantah, menebar tengkar. Maka biar kini
aku memohon sembah, mengatur simpuh. Menunggu lain subuh,
setelah runtuh malam yang angkuh. Maka biar kini aku menimba
perahu, setelah malam karam di muaramu, menuju hulu waktu. 


Kamus Empat Kata: Sepi, Jauh, Jarak, Hilang

SEPI: Oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini.
Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli.
Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta.
Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku
yang sudah kau hapus. “Beginikah kelak padamu kata ini
memaknai diri sendiri, menerjemah ke panjang hari-hari.”

JAUH: Aku pun sejak itu tak bisa berhenti, terus saja pergi,
singgah menginap di istana tua, mampir minum kopi
di kedai senja. “Lihat ada rumput liar tumbuh di ujung
celana, Tuan.” Kata perempuan, merayu, agar aku
lebih lama bertahan. Di tubuh yang ia tawarkan. “Aku,
harus terus berjalan, maaf. Aku belum bisa melemakan,
sebuah kata di kamus, yang maknanya ingin kubuktikan.

JARAK: Pal batas kota, makin menua, bagai totem-totem purba.
Rambu-rambu melarah berkarat: angka kilometer tak larat
mengukur betapa tebal lembaran kamus memisah kau
di halaman pertama dan aku yang telah hilang masih juga
bertahan dalam kata yang tak kau suka, di ribuan halaman lain
sesudahnya. Aku semakin tahu. “Huruf awal kita memang beda.”

HILANG: Dan lengkapkah ensiklopedi perjalanan? Aku menyusun
ribuan entah-entah. Menjilidkan sebuah kitab pertanyaan.
Hampir menemukan jawaban, lalu datang pak pos tua,
mengelu-elu kabar yang tak mau kutahu. “Telah kubakar
seluruh lembar, kamus yang setiap katanya adalah kisahmu
tentang aku, tiap hurufnya adalah jejakmu atas jejakku, tiap
contoh kalimatnya adalah jawabmu setiap kali kutanya.”


Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Tetapi, Aku Penyair!  

Sepasang Kartu Pos
: Tulus Widjanarko & TS Pinang

DI puncak punggung, hanya jerami segunung, pematang
yang ia ikuti berujung pada jurang, bagai telunjuk hilang.

Dusun, tertunjuk pada arah yang salah. “Jangan gegabah,
tinggalkan ladang, bila semua malai bakal rebah, Lelaki. Lihatlah,
jari-jariku berdarah. Semusim ini menyiangi gulma. Agar
kita tak lagi-lagi hanya memanen gundah,” kata Perempuan.
Seperti sumpah. Aku: bocah menempa tanah, di kolong rumah.

“Ibu,” kataku pada Perempuan itu, “Kenapa kau larang aku ikut
berburu dengan Lelaki itu? Aku sudah pandai menebang bambu.
Meruncingkannya jadi anak panah. Aku benci layang-layang itu!”

“Pergilah ke kota!” kata Perempuan itu. Perintah. Atau petuah.

Maka bila kutebak musim panen tiba, kukirim sepasang kartu pos.
Untuk si Lelaki, kulunasi janji: hewan buruan telah kubuat lumpuh.
Untuk si Perempuan, kuulangi doa: luka jarimu, lekaslah sembuh.


Kolam, Kursi Rotan, Kura-kura, Katak dan Kucing di Kukusan
: singgah di rumah Rieke dan Donny

HANGAT hari hujan, merendam sekolam kalam
tegak tangkai teratai, menjadi pena Li Bai

Sesusun kursi rotan mengejar ke kejauhan
kenangan, ke kesepian toples tua kue lama

Rieke berteriak, “Kura-kuranya makan katak, Don!”
Kubayangkan, ia dijawab dengan filsafat terapan.

Di hijau halaman, di sejangkauan tangan angan
kucing memeluki sisa sunyi, ia mimpi menulis puisi.

Di kukusan, rumah itu membuka pintu bersunduk kayu
seperti kitab kisah yang berakhir bahagia, selalu.


Tetapi, Aku Penyair!
: Gus tf

/1/
TETAPI, aku penyair

bukan pengemis cemas
yang tak pernah yakin selalu ada sesuatu
yang bisa disantap di kantong roti

Aku penyair
yang tahu pasti, di kantong roti itu
selalu ada lapar: penuh dan sangat tawar.

Ya, aku kira
aku tadi bertemu seseorang seperti Diogenes,
menumbuk-numbukkan ujung tongkat
ke kantong rotiku yang kempes,
“Bagikanlah, bagikanlah sekerat lapar itu padaku.”

/2/
Tetapi, aku penyair

bukan penyihir mahir
menyimpan mantera di saku mantel

Aku penyair
yang meringkuk
di dalam tong
– bahasa yang sering dicurigai & kerap disesali –
tetapi ke dalam tong itulah aku kembali
meringkuk seperti janin
menendang-nendang dinding rahim.

Aku dengar
ada seseorang berkata, seperti Socrates
filsuf berlidah protes
di depan sebuah syair, sebuah pertanyaan
ia tinggalkan,
“kenapa terlalu banyak kata, berdesakan,
kata yang tidak saya perlukan?”

Sejak itu aku lenyapkan diri
berulang kali, di akhir sajak
menghilangkan jejak, agar bait tak sesak,
mengulangi perpisahan:
aku terus berjalan, ke keberbagaian,
sedang sajak menuju ke kebanyakan,
arah berlain-lainan.

/3/
“Tetapi aku penyair,”
kataku.

“Benarkah?” katamu,
“bila ya, mari kita melenyap ke lain badan,
mari kita menghancur ke lain sebutan,
karena dengan demikian
kita bisa menghampir pada keabadian,
kita dapat kuat menahan
kita mampu lama bertahan.”


Pelangi di Rambutmu
: Oom Danarto

TUJUH lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu

Siapakah sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah sufi menyanyi irama asmaramu?

Setangkai mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai mawar bersilancar di tangkai hujan

Tujuh lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di rimbun kebunmu, naung sayap malaikat

Kakimu dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.


Pompong tak Singgah di Bakong
: Rida K Liamsi

BAIKLAH, lekas naik selangkah ke Daik,
sebelum dada cabik, sebelum dahi belah

Dan patah cabang lain jatuh ke jantung laut
ke bibir yang mengucap nama perahu hanyut

Siapa yang membisikkan siasat itu padamu, Sultan?

Maka tak ada peta pengungsian di lautan
dan sekarang kita melangkah tanpa denah

tersandung batang rebah pangkal sagu busuk

aduh, ada duri tertikam di sela kuku ibujari
aduh, ada lebah menyengat ujung lidah, tapi
masih kita berlagu tudung periuk pandai menipu

Siapa yang menikamkan khianat itu padamu, Sultan?

Sebagai tual-tual sagu, dirakit ke muara itu,
bila hujan sebentar, tenggelam rumah pengulu
tengok ada perahu datang dari teluk berhantu
menjemput bocah lelaki lihai menghalau ragu
Baiklah, lekas naik selangkah ke Daik,
sebelum mata lamur, sisa seruas umur

Sultan, siapa yang bilang padamu ini sudah terlanjur?


Dipantau di Pantai, di Rantau dirantai
: Damhuri Muhammad

MEMANG, tak ada tempat
kecuali sekat-sekat
ruang
di samping surau

menampung para lelaki
terusir
dari pintu rumah ibu
dari kamar bekas istri

Atau
jauh terdesak
ke jarak

terhalau
ke rantau

*
Kau bilang,
“Memang
Kami telah amat mahir
menanak riang dan risau
menyantapnya di lepau.”

*
Jarak
pantai
ke pelantar pelabuhan
hanya ada sejangkau
di seberang surau.
Ketika kabut kalap
laut gelap
itulah saat tepat
untuk melepas tali tambat.
Tak akan ada yang mengantar
ketika lelaki berangkat.

Tak ada.

Pun bekal
mungkin hanya kain sebungkal
dan sebakal
sesal.

*
“Jangan
bertanya
inginkah aku pulang.”
kau bilang,
“karena aku
terbayang pada
mata mata-mata
yang memantau
di rumah
pantai.”

Mata para perempuan
yang meningkap
di tingkap.

*
“Jangan
bertanya juga,
bagaimana aku
melangkah
di jalan
yang tak terarah
ke rumah,”
kau bilang,
“sebab kaki kami
bagai dirantai
di rantau.”


Danau Betina
: Hary B Koriun

ASYIK sekali dia menangis,
menangisi tangisnya sendiri

Mata kacanya pecah

Ia bertukar air mata
dengan mata air danau itu

Saat itu kau sedang
mengeringkan matamu
yang seharian kuyup
kehujanan airmatanya

Kau sedang memancing senja

Ada bayangannya,
bayangan senja, dan
bayanganmu
di tabah wajah danau itu

Kau pemancing yang tak mahir
bisa saja kau terpancing
bayanganmu sendiri

Betul, kan? Ketika
beriak wajah danau itu
padahal ia tak meminta kau renangi
tiba-tiba saja kau sudah
menggelepar di mata kailmu sendiri

Basah lagi, basah lagi

Senja, seperti biasanya
selalu lekas, cemas dan rawan

Kelopak matanya segumpal awan

Matanya akuarium,
sinarnya ranum

Kau kini berada di sana
sendiri,
berenang hening,
di bening mata kaca itu


Tentang Hasan Aspahani
Hasan Aspahani, di buku kumpulan puisi keduanya ini, setelah Orgasmaya (2007), menulis biografinya sendiri seperti sebuah catatan kecil satu halaman. Di buka dengan pertanyaan: “Kau penyair sekarang ya?” tanya temannya. Itu harusnya cuma pertanyaan biasa… dst. Di bagian tengah, ia mulai masuk ke bagian cerita, misalnya beberapa sajaknya digubah menjadi komposisi musik sastra oleh Ananda Sukarlan. Dan akhirnya biografi ini diakhirnya dengan pertanyaan juga: “Anda Hasan Aspahani, kan?” tanya temannya. Hanya inilah pertanyaan yang dengan lekas dan pasti bisa ia iyakan.


Catatan Lain
Penyair menulis pengantar yang terdiri dari 4 paragraf dan satu kesimpulan. TETAPI Sajak adalah sebuah tetapi, kata di paragraf pertama berikut penjelasannya. BAHKAN. Sajak juga adalah sebuah bahkan, kata paragraf kedua dan penjelasan lagi. ATAU. Sajak juga sebuah atau, kata penyair di paragraf selanjutnya. KEMUDIAN. Tetapi sajak juga sebuah kemudian, pungkas penyair, lagi-lagi dengan penjelasannya. Lalu muncul kredo Hasan Aspahani: Ketika saya menyair saya mencari serangkaian tetapi, bahkan, atau dan kemudian.
            Di sampul belakang buku, ada komentar Agus Noor, Teguh Setiawan Pinang, dan Ready Susanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar