Selasa, 07 Oktober 2014

Usman Arrumy: MANTRA ASMARA




Data buku kumpulan puisi

Judul: Mantra Asmara
Penulis: Usman Arrumy
Penerbit: Hasfa Publishing, Demak
Cetakan: 1, April 2014
Tebal: viii + 138 hlm; 13x19 cm (70 puisi)
ISBN: 978-602-7693-10-4
Penyunting: Gunawan Budi Susanto
Desain Sampul: Muhammad Hidayatullah
Produser: Adi Susanto
Tata Letak: Ahmad Ghossen A
Prolog: Dr. Suwardi Endraswara M. Hum
Epilog: KH. Budi Harjono

aku mencintaimu/seperti tanah menjamah jasad di liang lahat/setulus angin yang menjadi nafasmu
(Petikan sajak Rindu Qudus, Usman Arrumy)

Beberapa pilihan puisi Usman Arrumy dalam Mantra Asmara

Kwatrin Tsuroysme

Selain puisi, adakah jalan untuk menujumu?

Aku mengandaikan kau sebagai kertas putih,
yang berkenan menampung katakata sedih
sebab aku percaya betapa kaulah kekasih

di hadapanmu yang sentosa, 
seluruh kataku moksa, 
sefana dunia seisinya
bagaimana kutulis kau, Cinta
sedang tatapanmu lebih puisi,
ketimbang berlaksa sang pencipta aksara

Puisi adalah satu-satunya kendaraan,
yang mau mengantarkan kesedihan mencapai kenangan
menuju jauh ke dalam dirimu, berpaling dari masa depan

di banding Pujangga terkenal
tatap matamu lebih kekal
nyatanya detakku fasih menyebutmu tanpa sesal
sembari mengembarai semesta,
aku mencari kata paling luka
untuk kusampaikan kepadamu wahai sengsara

Selain puisi, adakah yang lebih kenangan?

aku menghayalkan jadi kata yang terselip di sela kalimatmu
di antara larik lirik di balik bilik yang kaulafalkan dengan rindu
aku akan tumbuh sepenuh yang tak bisa direngkuh
aku akan mengembara sejauh yang tak bisa ditempuh


Sabda Cinta

Kelak, Tuhan akan menyentuh keseluruhanmu melalui tanganku
memasrahkan penglihatanmu di sepasang mataku
jika kau mendengarkan lewat gendang telingaku
indra perasamu bergantung dengan lidahku
bibirku sebagai pengendali senyummu
hidungku mengemban endus aromamu
dadaku menjadi ruang menampung rahasiamu
dan hatiku adalah tempat terbaik untuk menuju

Kau air dari hujanku
aku cahaya dari purnamamu
kau ombak dalam lautku
aku bara dalam apimu
kau dan aku adalah esa;
Cinta yang bergema


Kelak, Tuhan akan membayang di setiap bagian dari dirimu
membiarkanku berlutut menghayati liuk lekuk lakumu
pengembaraanku mengandung jejakmu
dan diammu menyimpan gerakku
airmataku sumber dari mataairmu
getaranmu pangkal dari kegetiranku
rohmu bermukim dalam tubuhku
jiwaku semayam dalam badanmu

kau bunyi dari suaraku
aku arti dalam maknamu
kau berdetak di jantungku
aku berdenyut di nadimu
kau dan aku adalah tunggal:
Cinta yang kekal

Dan kelak, ketika cinta bersabda
kau dan aku tak ada bedanya
sebab kita terlahir dari takdir yang sama
kau isi dari kosongku
aku penuh oleh adamu
kau esa dalam diriku
aku tunggal dalam dirimu


Seruling

Dari rumpun bambu tempatku bermukim dulu
kusampaikan dendamku melalui ratapan pilu
setelah tubuhku ditebas, kulitku dikerati
jiwaku dibakar api, dan tubuhku dilubangi

Sesungguhnya aku telah lama menanggung rindu
setelah sekian waktu pisah dengan kampung halamanku
betapa maklum jika kepadamu aku mendamba,
sudi memanggil udara untuk menuturkan kidung duka
sebab cuma dengan itu kau bisa tahu alangkah sedih
sukma yang tersisih, begitu pedih jauh dari Kekasih

Sekali kau tiup aku meliuk tumbuh jadi irama
menghimpun diri sebagai nada renjana-dukana
bunyiku lebih luwes ketimbang pinggul pesinden
lebih lentur dibanding kengiluan petani gagal panen

Kini, dihadapanmu, kupasrahkan keseluruhanku
agar bibirmu bebas memagutku, jemarimu leluasa menjamahku
biar ia yang mendengar nuraninya tergetar, jantungnya berdebar

Aku muncul sebagai musik, mungkin lirih berbisik
semata agar kau tak terusik, agar kau tak lagi merasa bergidik
Dengan jiwa yang kepayang aku mencari sumber angin
sembari menghalau rasa ingin, aku menggeliat dalam refrein

Dari rumpun bambu tempatku berasal
akan kukisahkan cinta yang tak terlafal
bersenandung kepada kau yang berkabung
melengkung jauh ke dalam jiwa-jiwa suwung

Meski tak kau hirau, aku tabah menyimpan risau
setelah aku merantau jauh ke ribuan pulau
sebab desir angin yang menjadi nafasmu
mungkin juga sempat menjadi bagian dari diriku

O, Kekasih, jumpai aku di tanah kelahiranku
di sana akan kautemu nutfah yang kuwariskan kepadamu
sebab aku sudah tak bisa kembali, aku mesti mengembara
menyapa para pecinta dengan tembang nestapa

Jika suatu waktu, aku mengalun masuk ke gendang telingamu
kuharap kau tak lupa bahwa gema-gendingnya bermuara darimu

Demi kau yang dadanya tersungkur karena ricau sangkur
aku rela cerai dari indukku untuk menjelma sebagai pelipur

Aku akan melayang, memanggul kenanganku 
wajahmu membayang, di tengah lagu-senduku
Diam dan dengarkan, Kekasih, aku akan bersiul
demi menyampaikan suara batinku yang masygul


Silence of Amour

Dengan menyebut nama Sang Pengendali Kalbu
aku bertekad mengusung semua rindu ke masa lalu
--- goa sunyi tempat kenanganmu khusuk bertapa
juga di hatimu, Modric Cha. Muara dari renjana-loka

Demi bisa diam aku akan berguru kepada bongkah batu
yang selalu teguh tak mengadu setiap ditikam badai-deru
Agar mampu setia aku akan mengaji kepada desir udara
yang tak letih mengembara ke huma hingga rimba-rawa

Begitu Titah Nirmala yang kau lepas dari nuranimu sampai ke batinku
seketika syahwatku melayang, jauh. tertepis oleh rinduku padamu
Dan ketika hasrat-birahi merumrum benakku untuk mengkhayalkanmu
aku berjihad menjinakkan Asmara-Tantra yang berdebum merasukiku

Kau membuatku percaya betapa cinta adalah bagian dari keyakinan
: bagian yang terpendam begitu dalam, rahasia yang luput oleh pandangan
--- di sukmaku, Kekasih. ruang bersemayam cintaku, juga keimanan
di sanalah kesedihanku bangkit menghayati hakekat kehampaan

Basuhlah puisiku dengan sisa tangismu agar ia menemukan nasibnya
sebab hendak kemana lagi katakataku mesti mencari sumber airmata
Senyummu yang bersahaja dulu masih terus menggeliat dari ingatanku
bagaimana bisa lupa jika mimpiku pun meratapi kenanganku akanmu

Untuk memperjuangkan kesunyian, aku memahami sorot matamu
manik cahaya tembus pandang yang tak sanggup dihalau debu-kelabu
Aku merunduk di haribaanmu, berserah diri sebagai manifestasi cintaku
ampuni aku manakala tak bisa perkasa menyambut perpisahan  itu


Solitude

Fajar selalu hadir dengan sabar
Dan cahaya berpendar tanpa ingkar

Kamar ini tak henti menuangkan sunyi
Dimana rindu menyuguhkan kesamaran makna puisi
Atau gema cecap paling pahit dari secangkir kopi:
Di sinilah kesendirianku dibasuh embun pagi hari

Kerdip matamu serupa kerjap bintang paling remang
Meski, kutahu, betapapun singkat, pandangmu mesti kuingat

Dongeng Asmara telah berulangkali kubaca
tapi tak ada yang lebih sederhana dari kisah kita
Mungkin, esok pagi, akan kusampaikan bahwa:
"Cinta adalah perjuangan untuk menjadi kita’’

Masuklah ke sunyi, agar kau tahu betapapun lesi
Hatiku tetap jadi hunian terbaik untuk kautempati


Zifza

Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang
aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang
dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu
mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu

Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu
gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu
melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu
tak akan henti, Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku

Berbaringlah dan izinkan aku membelai rambutmu yang tergerai
akan kubisikkan kepadamu serunai kisah yang berkelok bagai sungai
atau menangislah semaumu sampai sembilu lenyap ke dalam rindu
dan biarkan aku menjadi orang terakhir yang menyeka luh-mu itu

Demi luas laut tempat Tuhan merawat ombak dan gelombang
aku menempuh samudra ke arahmu dengan layar terpasang
dan di antara kita ada riwayat yang musti senantiasa kuingat
sebab melupakanmu sesaat adalah keperihan hakekat


Fosforisma

I
Semula huruf itu bermetafor serupa pendar fosfor
manakala atmosfer memercikkan nyala meteor
sebab mereka tahu bahwa dirinya perlu menjadi kata
yang mampu beri penghayatan murni kepada Cinta

II
Dan kata mulanya adalah satu titik yang, lalu berbiak
jika mata pena beranjak bergerak menuju jarak
mungkin berulangkali akan jadi bahasa
atau jadi majas tempat bersuara sintaksis-frasa

III
Lalu kepada kakawin, mereka mendamba masuk ke dalam batin
melingkar bagai cincin, serutin auksin menumbuhkan beringin
Asal kau tahu, rahasia itu lebih luas ketimbang kesepian
lebih gaib tinimbang kebangkitan nisan, lebih bebas dari hujan

IV
Barangkali setiap yang tertera di dalam diri mereka,
merindukan sentuhan lembut sang asmaraloka
setelah sekian lama cuma bertapa di gulita gua;
menjadi tanda baca bagi rima dan hiperbola

V
Hati adalah tempat terbaik bagi kehadiran diri
meresap ke segenap yang sunyi,
dari zaman paling purba mereka khusuk samadi
menghampar dalam sunya-ruri

VI
kadang mereka menghayalkan berbaring dalam kamus
dimana sebagian dirinya tak tertampung oleh hukum-rumus
agar seorang penyair bebas menafsir secara utuh
merubah yang rubuh dari punah ke penuh

VII
mungkin mereka mengharap lesap ke dalam hening
menjelang ke ruang kenang, sesantun embun bening
menghasratkan lidah penyair melepas sebuah nama
tentang puisi yang tak usai diurai pada cinta pertama

VIII
Dan seluruh kata akan kembali kepada cinta
setelah mengembara dari fana ke baka
sebagian mengendap lalu ambyar sewaktu kala
menunggu sampai semesta tak berdaya

 IX
Inilah Sembilan bait puisi yang ditulis penyair kampungan
sebuah perjalanan dari kenangan menuju harapan
sembari nyeduh kopi dan nyesep samsu dengan pipa stigi
hurufhuruf itu dikutuk menjadi puisi


Titah Cinta

Cinta menitahkan aku jadi kata
untuk menyampaikan kau sebagai rahasia
meski tak kutahu kalimat apa yang pantas mewakili
tapi hanya kepada kau aku rela menggigil dalam puisi:

aku buku yang tak mau menerima apaapa selain namamu
setiap hura jadi haru, ketika hariku kosong tanpa hurufmu

aku waktu yang berdetik siasia kecuali kau bisa peka
seluruh laku jadi luka, bila kausua aku penuh prasangka

aku lilin yang melumer andai kau memintaku menghalau gelap
mengabdi kepada api, membayang sekejap lalu penyap

aku arwah yang melayang misalkan kau mengusirku dari tubuhmu
sepi jadi tempat menunggu, sejak kau membiarkanku digendam rindu

aku kemarau yang selalu mengerang selagi kau segan jadi hujan
membisikkan harap kepada awan, memanggilmu dengan sisa getaran

: Kekhawatiran menjadi puncak dari zikirku
pemuja yang tak jemu menunduk di hadapanmu
jangan lagi kau tuntut aku termangu mengawasi parasmu
aku tak mahir menafsir senyum yang menggelincir di bibirmu

Tenanglah, sehening ruang tanpa gema
akan kuresapkan cahaya ke dalam pena
demi kau bisa kutulis sebagai cinta seutuhnya
agar kelak bisa dibaca seusai masa kita


Dendam Kamasutra

Ketika aku mengembara mengarungi benua
Aku jadi sederet aksara yang kaueja sebagai Durma

Dalam sadarku kau menjadi caraka bumantara
Dalam mimpiku kau menjadi bahureksa jendera
Dalam cemasku kau menjadi penyatu cempera
Dalam harapku kau menjadi cakra para batara
Dalam tangisku kau menjadi pembasuh pleura
Dalam tawaku kau menjadi apsara dikara-leka
Dalam sedihku kau menjadi pemandu abiseka
Dalam bahagiaku kau menjadi dewi adikara

Manakala kau berdesir masuk ke lingkar sangkala
Kau jadi suku kata yang kubaca sebagai Gita-Girissa

Pada hasratku kau menjelma Asmara Nala
Pada syahwatku kau menjelma Asmara Tura
Pada birahiku kau menjelma Asmara Turida
Pada gairahku kau menjelma Asmara Gama
Pada tresnaku kau menjelma Asmara Dana
Pada berantaku kau menjelma Asmara Tantra
Pada gandrungku kau menjelma Asmara Kama
Pada kasmaranku kau menjelma Asmara Loka

Kangenku makin membara ketika jarak merembaka


Detak Cinta

Demi sanggup menghayati bola matamu
Kurelakan diriku termangu memandang kerjap bintang
Berpendar terang dalam manikmu yang menerawang

Agar mampu menjiwai gerak tubuhmu
Kuikhlaskan diriku dielus angin yang lembut berdesir
Menghela tiap helai hembusan yang halus bergulir

Supaya dapat memaknai isyarat suara hatimu
Kutekadkan diriku diam sebagai rahasia abadi dalam puisi
Mengungkap kata yang mengutip kitab suci

Biar bisa merasai utuh cintamu
Kuteguhkan diriku dalam kesengsaraan mutlak
Ketika jarak cuma bikin retak seluruh yang berdetak


Asmara Loka

Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku melalui tanganmu
Tuhan akan menulis namaku menggunakan jemarimu
Tuhan akan menggandeng lenganku memakai tanganmu

Tuhan ada di gelapku
Ketika kau padamkan lampumu
Tuhan ada di terangku
Ketika kau nyalakan cahayamu

Dan barangkali, suatu hari nanti
Tuhan akan melangkah menujuku melalui kakimu
Tuhan akan tersenyum kepadaku lewat bibirmu
Tuhan akan menatap mataku melalui matamu

Tuhan ada di tidurku
Ketika kau bersama lelapku
Tuhan ada di sadarku
Ketika kau terjaga untukku

Tuhan ada di isiku
Ketika kau memasuki kosongku

Aku jadi berharap bahwa kelak, entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui hatimu


Fatwa Cinta

Ia memilihku menjadi sunyi yang berderet di celah hurufmu
Dititahkan aku sebagai doa yang melayang jauh membawa takdirmu

Ia memilihku menjadi hening yang teruntai di sela aksaramu
Ditugaskan aku sebagai mantra yang memanggul seluruh nasibmu

Ia memilihku menjadi sepi yang menjulur ke setiap inci abjadmu
Diperintahkan aku sebagai harapan yang memandu cita-citamu

Ia memilihku menjadi makna yang mendekam di balik katamu
Diamanatkan aku sebagai puisi untuk mengelus kegelisahanmu

Ia memilihku menjadi jarak yang membuka jalan rindumu
Dibebankan aku sebagai kenangan untuk memelihara dendammu

Ia memilihku menjadi rahasia yang mendengung dalam cintamu
Diutuskan aku sebagai duta demi menyampaikan suara batinmu

Ia memilihku menjadi jantung ruang tempat imanmu menggeliat
Diserahkan jiwamu kepadaku agar dapat kurawat sesuntuk hayat

Ia berfatwa kalau kau adalah hadiah terbaik dalam hidupku
Disatukan kau dan aku setelah sekian ribu waktu saling tunggu

 Kau sepasang bola mata
Dan aku air terendam di dalamnya


Genderang Gendam

Malam menjalar ke lubuk fajar
cahaya berpendar tak reda pudar
dan gairah berantaku bangkit menjamah langit
seperti bulan sabit nyembul dari balik bukit

aku masuk dari pelupuk menuju tulang rusuk
meliuk ke kalbumu—induk dari semua yang merajuk
sumbumu menyala sekali kupercikkan cahaya
matamu membara begitu kuwiridkan seloka

Merekahlah, merekah. Kau penuh gairah
kelopak kesuma di selaput lembah
aku akan hadir bagai angin berdesir
tak akan lingsir hanya karena dicibir

Kuucap jampi kesumatku rohmu berputar-giling
kuhentakkan kakiku ke bumi sanubarimu terjaring
kusembur kembang tuju rupa ke angkasa gonjang-ganjing
menggeliatlah jiwamu terpelanting ke bagian paling asing

Begitu kulafalkan namamu dalam mantraku
jantungmu berdenyutan menanggung rindu
sekali kurapalkan namamu tiga kali
batinmu tergugah menahan birahi

Tubuhmu bergeliut tertenung ajian asmara wengi
kubisikkan teluh asmaradana menyusup ke urat nadi
mataku berjaga sesuntuk malam demi membuatmu gandrung
kuhasut sukmamu menggigil kalang-kabut dirundung gayung

Aku merapal mantra gendam dalam genderang dendam
kuanyam gurindam merontalah hatimu remuk-redam
kau terguna-guna dan hanya kepadaku kau bisa mengidam


Senja di Montaza

Senja di Montaza
Kutemukan kau di antara guguran cahaya
Seperti kunang-kunang membakar kenanganku
Melampaui rentang jarak dan gema waktu

Ombak yang berdeburan di pesisir Mediterania itu
Mengingatkanku pada rintihanmu ketika mengucap namaku
Gelombang yang terus lembut menikam benteng zaman dulu
Seperti suara rindu yang selalu gagal kusampaikan padamu

Kutemukan kau dalam kepasrahan bongkah batu
Khusyuk bertapa, seperti menunggu kehadiranku
Di pinggir laut dengan angin yang menderu
Kutemukan senyummu menguasai kesepianku

Senja di Montaza
Wajahmu membayang jauh di antara pekik camar di atas laut
Melengkung laiknya pelangi, berkelabat dalam gugus kabut

Kutemukan cinta pada pulau yang berbaring risau
Daratan yang menghubungkan antara aku dan kau
Ombak seperti mau memandu zikir kepasrahanku
Bongkah batu seperti mau membimbing wirid khouf-roja’ku

Hari hampir masuk malam
Gema peluit petugas bersahutan
Senja di Montaza, kutemukan kau
Pada sesuatu yang tak terjangkau


Rubaiyat

Embun terberai begitu santun
setekun rekah merona pada bunga di kebun
adakah angin pagi yang menujumu membisikkan sesuatu,
tentang perasaan masygul yang kusebut masa lalu?

Sembari menjinjing tempayan berisi surat rindu ke arahmu
kubasuh raut mukaku dengan sisa luh yang terendam di dadamu
atas dasar kegelisahan kusampaikan pesan rahasia ini:
sederet kisah yang berderit— yang tak terangkum sunyi 

Rona hitam menyulam diri sebagai malam
kelam geram menghalau cahaya bulan
Di hatimu yang menyimpan perihal kenangan
adakah sekelabat tentangku pada yang kubilang silam?

Aku menujumu melalui airmata,
yang tiap tetesnya menjadi dawat menulis nama
sebuah puisi sebagai suluk paling bersahaja,
untuk menyampaikan pesan ringkas ini, Cinta

Di jantungmu yang menampung seluruh senandung
adakah denyutku berkidung di sela terang-mendung?
di sepanjang tarih ini mungkin sekali saat kita akan menemu letih
membaca sebaris perih sembari mendamba segera kembali pulih


Rindu Qudus

Demi paru-paru yang memuat seluruh rindu
aku mengalir di dalam waktu - bergulir sehening batu
aku bergerak nuju jarak - ruang istirah untuk nulis sajak

di hatimu, seluruh damba
rusuk rinduku yang selalu kupeluk bila dirimu tiada
di jantungmu, seluruh denyut
di situ aku berdegup, mengharap dirimu segera kuncup

kubebaskan diriku mengembara di dalam renungmu
ketika anganku mengabadikanmu, merenda harap
kubiarkan diriku khusuk bertapa dalam lamunmu
mendamba kau eja sebagai katakata yang meratap

di kota itu, Kediri, mula aku mengenal biru matamu
kubisikkan cinta paling mawar terhadap hidupmu
seperti kali terakhir kau-aku temu --kini aku masih tersedu
dan gema cinta senantiasa bergaung di situ

Aku bersimpuh di dalam dirimu yang menolak retak
sepasrah geliat tanah liat; mendamba rindu berbiak

aku mencintaimu
seperti tanah menjamah jasad di liang lahat
setulus angin yang menjadi nafasmu


Kwatrin Strainme

Pada baris pertama dari sajakku
namamu terguris di situ
berdiam diri dari kekhusukan samadi
demi melalui dunia fana ini

dan katakata yang suaka dalam dirimu
saling silang di ingatanku
menjadi jazirah yang ingin selalu kusua
dimana seluruh bahasa bersuluh cahaya

Kelak, jika huruf demi huruf menggurit namaku di nisan
kuharap kauziarahi sajakku yang tinggal kenangan
sebab saat itu kau akan tahu bahwa katakataku dulu,
sesungguhnya bersumber dari degup jantungmu

Pada larik terakhir dari sajakku
namamu membiru di ujung penaku
setiap kata meronta meminta jadi juita
setelah sekian masa dikutuk hidup melata

kuajak kau memasuki sepi
lengkung ruang berhuni segala yang tersembunyi
menghayati mendung yang tak kunjung rampung:
sebaris hujan urung bersenandung

di sungai yang keloknya menjurus kepadamu
di sanalah pelayaranku berhulu
dan kubiar diriku lesap ke dalam luka
untuk bekal sajakku pergi ke persemaian baka


Tentang Usman Arrumy
Usman Arrumy lahir di lingkungan Pesantren Jogoloyo Demak, pada 6 February 1990 M atau 10 Rojab 1410 H. Anak ke Tiga dari Delapan bersaudara. Antologi puisi bersama: Jadzab (antologi puisi lintas pesantren). Adapun bukunya:  Nyanyian Sunyi (puisi), Senandung Lagu Cinta (prosa), Kelana Bertasbih (puisi, 2008), Qutub Cinta (puisi, 2011). Dua buku pertama banyak mendapat pengaruh dari Kahlil Gibran. Saat ini menempuh pendidikan di universitas al-azhar, kairo, mesir.


Catatan Lain
Candra Malik, Baequni Mohammad Hariri, Habib Anis Sholeh Ba'asyin, menyumbang komentar di buku ini. Tapi yang ingin saya kutip (dan saya amini) adalah komentar KH. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren di Cirebon : “Usai membaca kumpulan puisi Usman Arrumy ini saya menemukan Jalal al-Din Rumi, Hafizh, al-Jami dan Sanai dalam Diwan-diwan mereka. Para Begawan dan sufi penyair itu bercerita tentang misteri manusia yang tak pernah henti dan selesai mencari diri dalam ruang dan waktunya masing-masing. Ia adalah cinta, karena cinta adalah hasrat mencari kegembiraan dan keindahan bagi diri. Penulis adalah santri, dan saya selalu berharap banyak santri yang tekun seperti dia; menulis puisi dan sastra profetik yang manis dan menggerakkan.”
            Kalau saya sendiri, mungkin hanya ingin berkata, bahwa ini adalah salah satu kumpulan puisi bertema cinta terkuat yang pernah saya baca. Kalau kita baca riwayat hidup penyair, ia memiliki 25 buku karangan kahlil Gibran dan dengan bekal itu lahirlah buku puisinya yang pertama.  

8 komentar:

  1. salam hangat dari kami ijin menyimak dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus
  2. Sedang menyimak alunan puisi, terpampang di situ
    Menilik ungkapan cinta para sufi, meski dengan malu-malu

    BalasHapus
  3. Di negiri Indonesia,, engkau penyair yg datang atas nama cinta..
    Terus berkarya kawan.. Dengan cinta engkau lahirkan arti perbedaan..

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Keren-keren banget puisinya, Mas. Izin membacakan yaa 😊

    BalasHapus
  6. luar biasa puisi2 ini.
    mendayu dayu hati ini tatkala menikmati baris demi baris..
    dan saya pun jatuh cinta

    BalasHapus
  7. Pingin belajar bikin puisi kaleh jenengan Gus

    BalasHapus