Minggu, 05 Oktober 2014

Emha Ainun Nadjib: DOA MOHON KUTUKAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Doa Mohon Kutukan
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Cetakan : I, Februari 1995 (Ramadhan 1415)
Penerbit : Risalah Gusti, Surabaya
Desain sampul : Studio 10
Tebal : xii + 96 halaman (34 puisi)
ISBN : 979-556-080-8

Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan/santun dan menutup-nutupi//Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk/berkata apa adanya: misalnya bahwa negeri/ini terlalu banyak maling” (Petikan Syair Heran, Emha Ainun Nadjib)

Buku ini terdiri dari 3 bagian yaitu Doa Mohon Kutukan (20 puisi), Nasionalisme Burung-burung (13 puisi) dan Perjalanan Dusta (1 puisi).

Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Doa Mohon Kutukan

Hati Semesta

Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah Ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

1994



Sawah itu Rahim Ibunda

(1)

Sawah itu rahim Ibunda
Yang mengandungmu dengan sengsara
Melahirkanmu dengan hentakan rasa sakit
Sambil berurai airmata cinta

Padi dan palawija di atasnya
Menyusui perjalanan sejarahmu
Padi, sawah, alam, bukanlah bagian dari dirimu
Engkaulah bagian yang bergantung pada mereka

(2)

Jika diinjak oleh kaki para petani
Sawah-sawah merasa amat bahagia
Tancapan cangkul Bapak-bapak itu
Membuat mereka memperoleh kemuliaan
dari Sang Maha Agung Pemiliknya

Sama mulianya dengan ayam yang disembelih
Sama tinggi karamahnya dengan buah
yang dipetik dari tangkainya
Serta akan berbarengan memasuki surga
Dengan tanah yang dipelihara kegunaannya
buat kesejahteraan manusia

Hati petani adalah lumpur
Sangat karib dengan Tuhan dan penuh syukur
Hujan keringat mereka menjadi telaga
Tempat para Malaikat mandi jiwa

(3)

Tapi kelak engkau akan terpana
Karena sawah-sawah berpindah
tempat tinggalnya
Dari bersemayam agung di alam semesta
Sawah-sawah ditransmigrasikan ke buku-buku
administrasi negara

Kemudian engkau akan lebih  terheran-heran
Karena Negara pun telah berganti
alamatnya
Dari kampung permai hatinurani rakyat
Berpindah ke genggaman tangan
sekelompok orang yang berlagak malaikat

(4)

Sawah adalah rahim Ibunda
Rahim adalah kelopak bunga kasih Tuhan
kepada hamba-hambaNya
Kepada siapa pun yang mengingkarinya
Tuhan menyatakan perang kepadanya

1993


Rumah Cor Api

Demi keadilan
hukum disingkirkan
Demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
Demi ketenteraman
Air ludah harus kembali ditelan

Karena cahaya kemajuan harus memancar
Maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
Karena program-program pembangunan harus lancar
Maka terkadang pasar ini dan bangunan itu perlu dibakar

Lihatlah rumah-rumah cor api
Lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
Batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
Tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
Tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan

Di seberang itu engkau memandang
Rumah-rumah didirikan
Dekat di sisiku aku saksikan
Rumah-rumah digilas dan dirobohkan

Nun di sana engkau melihat
Rumah-rumah disusun-susun
Nun di sini aku menatap
Penduduk terusir berduyun-duyun

Ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah dan
ribuan pemukiman manusia abad 21,
pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya

Pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya,
dan ketika mereka terpaksa menjualnya,
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka

Ketika engkau menempati rumah itu, tahukah engkau
siapa nama tukang-tukang yang menumpuk batu-batanya,
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting

Ketika engkau memijakkan kakimu di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang,
pernahkah engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya,
sejak tahap tender sampai
pemasangan cungkup di puncaknya

Bagi berjuta-juta saudara-saudaramu yang
tak senasib denganmu, yang bertempat tinggal
tidak di pusat uang dan kekuasaan:
pernah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka

Dunia sudah amat tua
Darahnya kita hisap bersama-sama
Kehidupan semakin rapuh
Dan sakit kita tidak semakin sembuh
Langit robek-robek
Badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
Sejumlah pulau akan tenggelam
Lainnya menjadi rawa-rawa
Anak cucumu akan hidup sengsara
Karena rangsum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena

1994


Waktu

Waktu menapaki tanah
Waktu bersijingkat, amat perlahan, di jalanan desaku
Jika saja diperkenankan,
Waktu pengin tinggal abadi padanya,
Waktu tak akan pergi darinya

Sedangkan di kota-kota Waktu melintas sesaat dan
bernapsu cepat-cepat minggat
Karena kota lupa padanya
Karena kota merengkuh Waktu,
mengepaknya dalam paket-paket
Karena kota menghinakannya,
menyamakannya dengan lempengan mata uang!

Waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan,
menggerakkan dedaunan
Waktu bernyanyi di paruh burung-burung
Waktu mengaliri sungai-sungai, sampai ke seribu muara,
menjadikan samudera bergolak,
beribu samudera menjadi lingkaran sungai-sungai
Waktu berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke galaksi
Pada langkahnya yang kedua ilmu pengetahuan manusia
mulai diejeknya, lantas pada langkah ketiga
kesombongan peradabanmu
akan sudah sangat memuakkannya

Waktu melewatimu, menyentuh tengkukmu dan
saat itu juga meninggalkanmu
Waktu mengucapkan salamnya kepadamu setiap
sepertakterhingga detik, menjadikanmu berusia setahun, dua
tahun, tiga tahun
Berusia setahun, dua tahun, tiga tahun,
tanpa pernah usia itu menjadi milikmu,
karena pertambahan kehadiran
Waktu padamu adalah pengurangan jatahnya atas hakmu
Waktu hadir di malam pesta ulang tahunmu,
untuk mengingatkan bahwa yang bisa ia ucapkan kepadamu
hanyalah selamat tinggal yang pedih

Waktu berpapasan dengan usiamu: Siapakah engkau?
Engkau adalah tegangan yang muncul
tatkala mereka bersalaman
Waktu bertegur sapa dengan usiamu:
Siapakah namamu? Ialah sekelebatan
bayangan yang melintas ketika sorot mata mereka bertemu
Waktu berderak-derak menghambur ke satu arah,
dan usiamu melaju berlari ke arah yang sebaliknya
Waktu senantiasa mengucapkan janji kepadamu
untuk bertemu pada suatu hari
di halaman rumah Tuhan, namun belum pernah didengarnya
sungguh-sungguh dari mulutmu jawaban atas janji itu

Waktu senantiasa mengulangi sumpah cintanya
Jika dari mulutmu ia cium bau harum karena kemuliaan hatimu,
maka dijunjungnya engkau
Jika dari badanmu ia hirup bau busuk
karena ambisi dan keserakahan,
maka usiamu menjadi sampah,
ia campakkan ke ruang-ruang kehinaan

1993


Cintaku

Katakan kepadanya bahwa cintaku tak diikat dunia

Katakan bahwa dunia pecah,
ambruk dan terbakar jika menanggungnya

Dunia sibuk merajut jeratan-jeratan,
mempersulit diri dengan ikatan-ikatan,
dimuati manusia yang antre panjang
memasuki sel-sel penjara

Katakan kepadanya bahwa kasih sayangku
tak terpanggul oleh ruang dan waktu

Katakan bahwa kasih sayangku
membebaskannya hingga ke Tuhan

Ruang, tata hidup, perkawinan, kebudayaan dan
sejarah, adalah gumpalan sepi,
dendam dan kemalangan

Dan jika semesta waktu hendak mengukur cintaku,
katakan bahwa ia perlu berulangkali mati
agar berulangkali hidup kembali

1994


Kekasih Lahir dari Duka Derita

Dari mana gerangan tiba ia
mendadak tumpah cahayanya ke wajahku
kekasih datang menguak rahasia
setelah beratus tahun kutunggu-tunggu

Kekasih lahir dari duka derita
kembang mekar tak ada tangkainya
sosoknya menghampiriku dari cakrawala
di bawah matahari tak ada bayangannya

Marilah kupangku dan kutimang-timang
damai rambutmu kuusap di tangan
jangan bilang-bilang engkau tiada
biar matang sepiku, biar sempurna

Jikalau alam semesta ini berjumlah seribu
dan jikalau seluruhnya tergenggam
di tanganku, tidaklah cukup sama sekali
untuk melunasi hutang dari Tuhanku

Rasa perih yang Kau iris-iriskan
ke batinku kali ini
adalah sapuan wangi surga
yang membuktikan cintaMu

Kepedihan jiwa sahabat-sahabat lebih sakit bagiku
dibanding kepedihan jiwaku sendiri
maka kukuhkan hati siapa pun saja yang terlibat
dalam lakon ini

Pinjamkan keteguhanMu kepada langkah kaki mereka
wariskan ketenteramanMu ke dalam ruh mereka
mataharikan esok hari mereka
taburkan teratai dan cinta

Syukurku tak terhingga, duh Gusti
karena terbukti sudah bagi mataku yang buta
bahwa tidaklah sekali-sekali
pernah Engkau memberiku penjara
melainkan cakrawala

1991


Syair Heran

(1)
Aku mendengar engkau berkata tentang kemiskinan
Aku mendengar dengan manisnya engkau berjanji
akan mengentaskan orang-orang
dari kemiskinan mereka

Hatiku lega, meskipun dengan kepercayaan yang
belum sepenuhnya: sesudah 25 tahun, akhirnya
pembangunan yang sejati (mudah-mudahan) dimulai juga

(2)
Tetapi kalau ada seseorang yang kelaparan
dan hingga larut malam tak sejumput
makananan pun ia berhasil dapatkan

Kepada siapakah sebaiknya ia mengeluh? Pintu
rumah siapakah yang boleh ia ketuk?
Kantor manakah yang pernah berpikir untuk
membuka diri terhadapnya?

Orang yang kelaparan, apakah seyogyanya datang
mengadukan keadaannya ke Dinas Sosial?
Ke Kantor Kementerian Dalam Negeri? Atau
mungkin lebih ke Majlis Ulama?

Orang yang sedih dan tidak sanggup membeli
keriangan, orang yang sakit dan tak punya
biaya untuk membeli kesembuhan, ke manakah
harus pergi?

Biasanya mereka bertamu ke rumah Tuhan, tetapi
Tuhan menjawab keluhan mereka: “Lho,
hal-hal seperti itu sudah Kumandatkan kepada
para khalifahKu untuk menanganinya. Alam
anugerahKu telah Kuhamparkan secara
sangat berkecukupan.”

Orang-orang yang lapar, sakit dan kesepian itu
lantas menangis, tetapi adakah pasal dalam
buku hukum atau dalam garis-garis besar
haluan kebangsaan ini yang mengharuskan
seseorang mendengarkan tangis mereka?

Mungkin ada kawan, sahabat-sahabat karib atau
tetangga yang pasti bermurah hati memberi
mereka makan, menghibur hati mereka serta
menyembuhkan sakit mereka

Tetapi apakah sahabat dan para tetangga
bertanggungjawab atas kelaparan mereka?

Dan kalau jumlah orang yang kelaparan, yang
sakit dan kesepian ternyata beribu-ribu,
bahkan berjuta-juta – adakah lembaga yang
bertugas untuk merasa malu? Apakah NU dan
Muhammadiyah bertanggungjawab atas keadaan
orang-orang itu? Bisa jenakkah para
Menteri duduk di kursinya?

(3)
Sangat sukar dipahami bagaimana seseorang bisa
tentetam menjadi pemimpin, sedang
di hadapannya beratus orang kehilangan
sawah nafkahnya demi satu lobang kecil
untuk bola mainan kanak-kanak yang bernama golf

Sangat tidak masuk akal bagaimana masih ada
kata-kata yang bisa muncul dengan mantap
dari mulut seorang pemimpin, tatkala
berjuta-juta orang membayarkan nasibnya
untuk kesejahteraan sejumlah kecil
orang-orang sebangsanya sendiri

Sangat tidak bisa dipercaya bahwa mungkin ada
Menteri yang dipilih karena hatinya tuli
atau karena mata batinnya rabun

Namun juga sangat menakjubkan, bahwa ada rakyat
di suatu negeri, yang memiliki pribadi-
pribadi sedemikian kuat, sehingga ketika
seluruh hidupnya dirampok, mereka tetap
tersenyum dan ikhlas

Para malaikat menegur: “Betapa indahnya
keikhlasan, namun bukan di situ tempatnya.”

(4)
Sangatlah tidak nyaman bahwa terkadang kita
tidak punya kemungkinan untuk
menghalus-haluskan kata

Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan
santun dan menutup-nutupi

Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk
berkata apa adanya: misalnya bahwa negeri
ini terlalu banyak maling

Bahwa kita adalah masyarakat miskin yang setiap
(saat) mengintip kemungkinan untuk maling

Agak memalukan bahwa ternyata yang kita pilih
adalah kemiskinan

Sedemikian seriusnya kemiskinan kita
sehingga kita membutuhkan berpuluh
rumah, beratus perusahaan, berjenis-jenis mobil

Semakin tinggi tumpukan kekayaan kita,
semakin serius tingkat kemiskinan kita

Sebab tanda bahwa seseorang miskin ialah
apabila ia butuh

Tanda bahwa seseorang itu melarat, ialah
jika terbukti ia serakah

Tanda bahwa seseorang itu fakir, ialah
jika ia bernafsu untuk merampok,
memonopoli, merebut apa saja yang bukan miliknya

Adapun orang kaya tak terdorong untuk
melakukan hal demikian

Karena hanya orang kaya yang bisa kenyang
oleh kesederhanaan, yang sanggup
memberikan apa saja tanpa segan
tanpa rasa eman

(5)
Jadi, seingatku kita sendirilah
yang merancang kemiskinan

Kemiskinan mutlak berjuta-juta orang
serta kemiskinan yang lebih absolut
lagi dari jiwa kita sendiri

Setahuku kita sendiri
yang menciptakan kesenjangan

Kepada Tuhan bersikap penuh kesombongan,
kepada rakyat kecil penuh sikap merendahkan

Seingatku kita sendiri yang menyelenggarakan
penggusuran-penggusuran

Setahuku kita sendiri yang tak kunjung henti
men-juklak-juknis-kan keserakahan

1993


Nasionalisme Burung-burung

            Engkau selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau selalu bertanya kepada burung-burung: “Milik siapakah kalian?”
            Dan burung-burung selalu menjawab: “Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia meminjamkan diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada kumpulan manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami beterbangan mencari makan.”
            Seterusnya engkau bertanya: “Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada Tuhan, dan kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri kalian?”
            Burung-burung menjawab: “Setiap saat, kapanpun saja, kami siap mengembalikan diri kami kepada Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia tidak mau mengembalikan diri kami kepada diri kami…”

***

            Demikianlah juga jawaban pepohonan, rumput-rumput, gunung dan perbukitan; demikianlah juga jawaban tanah dan air, darah dan daging, hutan dan sungai-sungai, jika engkau bertanya: “Milik siapakah kalian?” Sehingga engkau akan terheran-heran dan melanjutkan pertanyaan:
            “Apakah manusia itu sejenis makhluk yang kalau meminjam tak bersedia mengembalikan? Yang kalau berhutang, selalu menunda-nunda pembayaran, sampai saat maut menghadang, sampai di bilik pengap penjara ia digeletakkan, sampai dari singgasananya ia dicampakkan? Ataukah manusia itu sejenis ciptaan Tuhan yang sedemikian dungunya sehingga kalau mencuri malah merasa memiliki dan kalau memonopoli malah merasa paling berjasa sendiri?”

***
           
Maka aku juga ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-burung itu, apa kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau membisikkan ke telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin mendengar nyanyian-nyanyian itu kembali:
            Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri dari jenis-jenis burung yang lain.
            Nasionalisme adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung, seluruh burung-burung.
            Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh hinggap dan beterbangan.
            Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana memelihara hutan yang indah dan sehat bagai kehidupan setiap burung, setiap burung.
            Nasionalisme bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari.
            Nasionalisme adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang dari kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang sangkarnya sendiri.

***
            Nasionalisme bukanlah mengketapel burung, menjerat dan mengurungnya, serta menjadikannya hiasan karena meskipun engkau mengelus-elus bulu dan sayapnya, namun engkau berdusta kepada hakikat burung-burung ketika merebut langit dan alam dari kehidupannya.
            Nasionalisme bukanlah membatasi ruang terbang burung-burung, melainkan membuka peluang belajar dan pelatihan bagi nurani burung-burung untuk sanggup menciptakan batas-batas ruang terbangnya sendiri.
            Nasionalisme bukanlah burung dalam sangkar bambu yang tunduk menghormat burung sangkar emas, atau burung sangkar emas meludahi burung sangkar bambu.
            Nasionalisme adalah burung-burung sangkar langit, burung sangkar alam semesta, burung-burung sangkar jagat yang tak dibatasi garis kepentingan kelas-kelas burung, oleh egosentrisme dan penghisapan sejenis burung atas sejenis burung yang lain.
            Nasionalisme bukanlah burung-burung yang engkau tawan dan engkau jatah makan minumnya serta engkau tentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh disantapnya.
            Nasionalisme adalah menguakkan kesanggupan burung-burung yang tanpa akal senantiasa mengerti apa yang berhak dimakannya dan apa yang terlarang untuk diminumnya.
            Nasionalisme burung-burung tidak punya tuan, nasionalisme burung-burung hanya punya Tuhan.
            Nasionalisme adalah burung-burung yang menentukan dan memiliki pemuka-pemuka. Pemuka-pemuka yang bertugas untuk menjadi pekerja yang memenuhi keperluan seluruh burung-burung, sehingga seluruh burung-burung itu bersedia menyisihkan pendapatannya untuk memberi makan kepada pemuka-pemukanya.

***

            Burung-burung tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab jika Tuan memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka dimiliki Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
            Burung-burung sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang diperlukannya, adalah makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya.
            Burung-burung sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik makanan dari alam, dan hanya ketika haus ia berhak menimba minuman dari alam.
            Burung-burung sangat bersetia kepada hakikat kenyataan bahwa berkelebihan itu curang, bahwa penumpukan adalah pencurian.
            Burung-burung senantiasa bersujud kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki segala sesuatu, namun senantiasa pula Ia tak memakainya sendiri melainka meminjamkannya.
            Betapa Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja, untuk merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun Ia tak melakukannya.
            Sehingga burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang tak memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun bertindak sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang dinafsuinya, yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis penghisapan, perbudakan dan penindasan dilakukannya.

***

            Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan di sarang pepohonan apa telornya menetas, oleh karena itu segenap burung di muka bumi mencicit-cicit apabila ada saudara-saudaranya sesama makhluk datang bagai banjir, menebangi pohon-pohon, sehingga merasa kehilangan tempat untuk membuat sarang-sarang.
             Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna telor mereka, berbentuk lonjong atau bulat, oleh karena itu segenap burung di hamparan tanah ini mendongakkan paruh-paruh mereka apabila tiba mesin besar entah dari mana yang menyeragamkan bentuk telor mereka.
            Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna bulu atau berapa besar tubuh mereka, oleh karena itu segenap burung-burung di kehangatan alam ini mengepak-ngepakkan sayap mereka apabila hadir pisau besar yang memangkas bulu mereka dan membonsai badan-badan mereka.
            Nasionalisme burung-burung adalah negeri cinta kasih yang dibatasi hanya oleh cakrawala dan langit biru, sungai, gunung-gunung, hutan, samudera dan pulau-pulau hanyalah torehan garis dan warna-warni dalam kanvas lagu pujaan mereka kepada Tuhan.
            Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan seluruh alam. Negara burung-burung adalah pembangunan tempat dan kesejahteraan untuk saling memerdekakan dan mengasihi.

***

            Jika burung-burung rajawali, jika burung-burung hantu, jika burung-burung raksasa lainnya bergerombol untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas jatah makan minum dan kemerdekaan mereka: maka jagat cinta kasih terbelah menjadi dua negeri. Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas.
            Para penindas berlaku sebagai tuhan, sedangkan para tertindas sesak napasnya tidak hanya oleh kekuasaan yang menindih, tapi juga oleh cinta dan kesantunan yang tidak disemaikan di bagian manapun dari tanah Tuhan.
            Nasionalisme burung-burung terluka dan mengucurkan darah, kerena seluruh burung-burung kecil di mana saja di permukaan bumi terjaring menjadi satu negara rahasia yang tergetar nuraninya, serta bersiap menagih di hari esoknya.

1989


Doa Mohon Kutukan

            Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya.
            Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri.
            Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia, serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohonMu yang baru.
            Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati, kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia.
            Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagai kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan, asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu.
            Jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah. Potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya, seratus berikutnya, dan seribu berikutnya, sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu menjadi terang benderang karena keikhlasan.
            Jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan dibutuhkan kekalahan para hambaMu yang lain, maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia menundukkan wajahnya di hadapanMu.
            Jika untuk mengusir muatan kedunguan di balik kepandaian hambaMu diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain, maka hancurkan dan permalukan aku, asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir di hatinya.
            Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya, maka sengsarakanlah aku.
            Jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku, maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku.
            Jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku, demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu.
            Demi Engkau wahai Tuhan yang aku tiada kecuali karena kemauanMu, aku berikrar dengan sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan.
            Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah memandangMu sampai kembali hakikat tiadaku.

1994


Abracadabra Bumi dan Rumah-rumah

Abracadabra bumi milik Tuhan
Abracadabra tanah dimiliki Tuan-tuan
Abracadabra tanah dipetak-petak dalam sertifikat
Abracadabra tanah habis dan Tuhan minggat
karena tak memiliki surat-surat

Abracadabra bumi dihamparkan
Abracadabra tanah diperebutkan
Abracadabra bumi membuka ladang-ladang rejeki
Abracadabra tanah ditancapi tembok-tembok monopoli

Abracadabra bumi Tuhan menjadi bukan bumi Tuhan
Abracadabra tanah Tuhan menjadi tanah Tuan-tuan
Abracadabra kami mabuk
karena bumi pindah tangan dan tanah berganti
pemilikan melalui cara-cara yang terlalu menusuk

Tuhan,  Kamu sekarang berdomisili di mana
Kucari tak ketemu di kenyataan atau kehampaan
Aku tahu Engkau tak memerlukan persemayaman karena
justru ruang dan waktu bertempat tinggal di dzatMu
Tapi aku cemas karena di kedalaman lubuk hati kamipun
tak terasa getaranMu

Abracadabra bumi beranak hutan
Abracadabra tanah beranak perebutan
Abracadabra bumi menganugerahkan pepohonan
Abracadabra tanah menumbuhkan pertengkaran
Abracadabra kami berjoget dalam orkestrasi kolusi
kami menari dalam ritme akal-akalan dan manipulasi

Pada suatu malam menjelang tidur datang makhluk
entah apa ke sisi ranjangku
Ia jambak rambutku, ia cengkeram leherku:
“Apakah bumi dan tanah ini adalah hasil
produksi pabrikmu sehingga engkau merasa memilikinya?
Apakah pepohonan di hutan, air, minyak, kayu, ruang
dan waktu adalah hasil ciptaanmu
sehingga engkau merasa berhak memilikinya?
Kapan kau bikin badanmu, kapan kau ciptakan kaki
dan tanganmu, kapan kau buat hidung dan helai-helai
rambutmu, sehingga engkau yakin
bahwa itu semua adalah milikmu?”

Abracadabra kau tiup ilmu yang tak berakal
Abracadabra kau hembus-hembuskan pengetahuan
yang ingkar terhadap asal usul
Engkau bercumbu dengan tahayul-tahayul pemilikan,
dan mati dalam salah sangka terhadap kekuasaan.
Engkau menari-nari di bawah matahari sambil
kau penggal ingatan tentang pagi hari
dan tak siap menyongsong senja hari
Engkau rebut hari ini seakan-akan ia milikmu sendiri,
kau potong kesadaran tentang kemarin,
sehingga gelap segala sesuatu di matamu tentang esok hari.

Abracadabra jadi atas bumi ini, atas tanah ini,
atas badan dan dunia ini,
tak kaupunyai hak milik, melainkan sekedar hak pakai
Abracadabra jadi apa yang harus kau lakukan
atas bumi ini, atas tanah ini, atas badan dan
dunia ini, tidak bergantung pada apa kemauanmu,
melainkan berdasarkan apa kehendak Pemiliknya
Abracadabra tetapi kusaksikan siapa yang nyata
dalam hidupmu selain di antara kalian paling berkuasa
Abracadabra kepada siapakah tertuju
puja-puji kepentingan hidupmu selain
kepada pemilik angka saham tertinggi
Abracadabra jadi di manakah Tuhan yang sebenarnya
jika tak juga di hati kecil menjelang kematianmu

1994


Aku Belajar Menulis Puisi

Bebatuan berhembus
Air mengucur ke langit
Tatkala matahari menaburi malam
Di atas gedung-gedung yang berlarian
menggedor pucuk-pucuk dedaunan

Segumpal rambut membuntu jalan tol
Sekeranjang angin tidur mendengkur di lobang jarum
Gunung-gunung lari berbaris mengitari pusarmu
Sementara pabrik-pabrik dan cerobong-cerobong
berkejaran di sela gigi-gigiku

Adakah wastafel telah reda
Apakah sup jagung telah menemukan kemanusiaannya
Karena seusai malam, sore segera tiba
Karena jika langit dan rel-rel dikulum
pasti ungu rasanya

Wacana, wahai, wacana
Kuda-kuda melata, buku-buku menetes dari kelopak mata
Tuliskan puisi di ujung lumpur yang menyala
Pegang erat-erat setiap bola tepat di tangkainya

Sang penyair berdiri tegak sambil bersila
Cakrawala dalam cangkir dikunyah-kunyahnya
Suara klakson dari barisan ekor-ekor serigala
Ia hirup dengan telapak tangan
yang menangis bagai sejumput bola

Tiang-tiang listrik dan kabel-kabel minyak bertanya
Ketika tidur, ke manakah penyair mengembara
Tidur ialah seekor sambal yang menyusun sunyi yang dingin
Pengembaraan adalah batu-bata yang berubah kelamin

Jari kelingkingmu membaca suara:
Para penyair sedang memperdebatkan kegelapan
O, o, perjalanan para penyair belum tiba di gelap
Betapa lagi di cahaya!

1994


Puisi-puisi Hilang

Puisi-puisiku menghilang dari biliknya
Pintu jebol, daun jendela copot, lemari ambruk,
laci dan rak terserak-serak
Gelas minumku terlempar ke tembok,
kertas-kertas berhamburan
merobek-robek dirinya

Di luar, langit sangat, sangat, redup
Aku terbangun dari tidur, dan terbanting!
Puisi-puisiku minggat dari jiwaku
Kamu? Kulihat sebaik sajak teronggok di pojok,
kuhampiri wajahnya memar, cahayanya
merah padam tapi ia tertawa-tawa

Jangan menipu! Aku tahu kamu nangis
Aku tahu hati sajakku terkeping-keping,
huruf-hurufnya mengelupas dari maknanya
Huruf-huruf sajakku berpindah tempat secara massal,
mencari sahabatnya masing-masing,
menemukan rangkaiannya sendiri-sendiri,
bergenggaman tangan satu sama lain,
mengacungkan tinju, menegakkan kemauan
mereka sendiri sambil memekik-mekik

Kata demi kata pecah, mengurai, robek
terpencar dan berdarah
Kalimat-kalimat berpatahan,
kalimat-kalimat tidak mengakui dirinya,
bait-bait ambruk, judulnya diusir

Huruf-huruf berteriak:
“Siapa yang mengumpulkan kita di sini?
Siapa penguasa yang merangkai-rangkai kita,
memperbudak kita, menjadikan kita
gumpalan-gumpalan keindahan,
sesuai hanya dengan kehendaknya?
Siapa itu yang memaksa kita
menjadi tumpukan batu-bata
bangunan klenik dan kepengecutan?”

Huruf-huruf menggeram:
“Ini bukan aku. Dan di sini bukan tempatku.”

1994


Tentang Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Pernah belajar di Pesantren Gontor, pernah singgah di fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Cak Nun, pernah mengikuti Lokakarya Teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1981), Festival Penyair International di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Kumpulan sajaknya: “M” Frustrasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), 99 untuk Tuhanku (1983), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990) dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Kumpulan esainya al: Indonesia: Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1980), Sastra yang Membebaskan (1984), Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Anggukan Ritmis Kaki Para Kiai (1994).     


Catatan lain
            Kumpulan puisi ini, diawali dengan PENGANTAR PENULIS, yang diberi kurung (Mohon Kutukan: Moralitas Beristighfar). Dibuka dengan pertanyaan berikut: “Bukan hanya engkau: aku pun bertanya kepada diriku sendiri://”Kenapa kau minta dikutuk oleh Tuhanmu? Bukankah Ia dalah sesembahan yang justru bersifat Maha Pemurah dan Pengampun? Betapa sombong engkau! Allah senantiasa menghamparkan rahmat dan rezekinya kepada siapa dan apa saja, bahkan pun kepada seekor cecak atau seorang maling: sedemikian angkuhkah hatimu sehingga justru mohon kutukan dari-Nya?”//Diriku berkata kepadaku://”Maafkanlah. Yang kulakukan hanyalah upaya untuk bersikap habis-habisan kepada Tuhanku. Bukankah kalau engkau juga mencintai-Nya, maka engkau tidak menawar-nawar apa pun kehendak-Nya, serta tidak menghendaki kemurahan-Nya hanya untuk hal-hal yang menyenangkanmu? Aku percaya adanya semacam akhlak atau moralitas di dalam setiap ungkapan istighfar kepada-Nya. Jangankan kutukan. Kalaupun Ia memusnahkanmu, mencampakkan penyakit atau kematian kepadamu menaburimu kehinaan dan rasa duka – terimalah semua itu dengan cintamu!” dst…
            Oya, di buku ini ada puisi yang sama persis isinya, hanya berbeda selisih satu baris saja, juga judul yang tak sama, yaitu puisi Selamatan (halaman 33) dan puisi Doa Selamatan (halaman 81). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar