Kamis, 01 Januari 2015

Ngurah Parsua: 99 PUISIKU




Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : 99 Puisiku
Penulis : Ngurah Parsua
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Lembaga Seniman Indonesia Bali (LESIBA), Bali.
Tebal : xvi + 132 halaman (99 judul puisi)
ISBN : 978-979-15268-2-1
Desain sampul dan buku : MDR, KT
Percetakan : Swasta Nulus
Prolog : Jiwa Atmaja
Epilog : Putu Arya Tirtawirya

99 Puisiku terbagi atas tiga bagian, yaitu Puisiku (2001-2004, 47 puisi), Puisiku Hari Ini (1999-2000, 38 puisi), Pada Puisi (1972-1998, 14 puisi)

Beberapa pilihan puisi Ngurah Parsua dalam 99 Puisiku

Pada Puisi

kepedihan luka, mengembara ke batas dunia
sayap tak pernah jemu dan layu
kepak pikiran, gairah, burung mungil terbang
dalam sunyi, pembicaraan dini hari

penghibur lelahku, diamlah duka, tidur saja
dalam puisi ini, rebahkan tubuh kering dan pahit kaku
tatap langit biru senandungkan isi hati
haru tergenang di kelopak mata
istirahat dari huru-hara

kutulis cermin sendiri, mengasah pedang
mesiu, memberi selamat kepada saudara
dendam dengki kasih sayangku, kebanggaan
dan kesombonganku
keserakahan, ketercelaan pikiran burukku
memberi selamat kepada derita
tabahlah, dunia kecil jatuh
ke tangan kesedihan

rebahlah, tidur paling nyenyak
esoknya mendaki pegunungan himalaya
pulang dan mengembara
menyeberangi selat malaka
teduhnya rumah sendiri
pada puisi

Denpasar, 1979



Surat Seorang Penyair Kepada Kekasihnya

dekapan purnama
ladang terbuka
jemari di tanah subur
lembut lenyap baur
sepasang burung di ranting
flamboyan
melepas sunyi

perahu menepi
pelabuhan sepi
ditambatkan abadi
semoga Tuhan
semogalah Tuhan!
rakhmat harapan

burung beterbangan
apa mereka punya sekarang
petani setia di kaki bukit
miskin terpencil di gubug mungil
cinta membara
pusaka ibu-bapa

manisku, manisku sayang
rumah berteduh puisi telanjang
humor berkelakar membuat sabar prihatin
sederhana tanpa pangkat jabatan
senangkah menerima kehadirannya
terbentang lepas padang tegalannya
suka, awan bayang-bayang
gaib lama bertahan
sengsara kuda tungganganku berkejaran
kepunyaan penghabisan kematian
milik abadi bertahan

hidup bertahan membangun harapan
teduhnya bintang di malam kelam
buat apakah hadir?
mereguk rasa pahit sebelum terakhir
pedih menjadi manis
kita bercinta
penuh silih meminta
menyandang kegairahan
cermin mengenal diri
bayang-bayang tak pernah mati

puisi mengajarku jantan bersabar
diam mengenal siapa bermain di atas layar
mengajarku pemberontakan
kutujukan protes, dan
keruntuhan selalu tiba bagi
siapa saja menipu kalbunya sendiri
mengajarku beribadah
sujud segenap diri kumal karatan
aku pun bukan milikku, ibu-bapa
bayangan menjalankan papa
papa bukanlah untuk menyerah
cinta bergairah malam purnama
meniup layar perahu lautan
bulan matahari berangkulan
melangsungkan perkawinan
membakar kegairahan
terimalah
terimalah manisku
segala miskin kepapaanku
dungu bertahan karena-Nya

Denpasar, 1972


Kawula-Gusti

hati telaga bening
wajah di air hening
rindu pada-Mu

engkau jiwa sumber jiwa
          dilerai ruang bungkus kaca
     tembus pandang bertatapan
gelisah rayuan kalbu
     menyesakkan batin
          mendaki ke puncak kesucian

kudus pencarian
di lorong kemuliaan
antara Maha Besar dan pengabdi
di dua jiwa
tersekat selaput sutra
bertatapan di taman rindang damai
penyatuan bayang-bayang
manunggal tanpa berlekatan
ketika sempurna tiba

Denpasar, 2004


Jejak Pengembara

jejak di matahari; lagu seruling
meniup hutan belantara
siapakah

pagi ini, rerumputan terbakar
jadi abu tanpa debu
siapakah

dipetik nyanyian penghibur
tanpa lelah
getar angin
tak pernah berhenti
siapakah

penyeka darah, di balik
tangis tak pernah berhenti
rindu penyanyi di langit sendiri
menapak jejak
sunyi ditiup seruling abadi
siapakah

Denpasar, Juni 2004


Puisiku

irama lara, biarlah dan puisi
terindah, ditulis kalbu. Cinta luka bertahun
bayang kejernihan, tak pernah berhenti minta
hening, kesadaran
hina
kebenaran terakhir di baliknya, duka
Air gerimis tak jemu membasahi kalbu
Engkau irama, keheningan segala,
bunyi di dalam sepi,
bertemu cahaya kencana,
membuai cinta abadi seorang dara,
tak pernah hilang ditelan waktu
mengalir di setiap musim
Penyair besar telah mati, menepuk dada
tak berarti di hadapan-Nya
Terukir di balik sukma,
Dipersembahkan, bunga hati
dibalut bayang derita
pengemis di kota-kota menanti
sampai terakhir

Denpasar, 2004


Semadi

gadis memetik sukma
serangga bernyanyi
ngarai sunyi
pasraman tua
mengirim segala
berita api korban
besar oleh doa
kesepian panjang
cukupkan saja

lalang tumbuh tajamnya
runcing diasah sepi
mengalir ke anak sungai
he, jero gede
dilingkari umbul-umbul
besar karena sepi
semadi

segala hidup jadi tak mati
segala miskin sederhana
makna segala makna
tak siap diucapkan
lebih baik memejam mata
ditabuh kulkul
hidup dan mati abadi mencari
lembah sunyi senyap saja
tertidur resah pada lembah
carilah! Tak guna gelisah!!!
di balik jendela dan pintu rumah

Denpasar, 1983


Puisi Ibu

Puisi ibu: ibu dari puisi
lahir dari kelelahan
pesta larut malam
di perjamuan bermabukan
ibu semua puisi:
lahir di bumi
setelah mabuk laut
kehidupan
membalutkan bijaknya
di luka

puisi ibu, ditulis penyair
mati tersihir
dan darah duka mengalir
terukir manis: terpahat penyihir
di kaki semesta terukir

karenanya, membaca puisi ibu
mengingat perjalanan
tak pernah berakhir
ditulis darah penyair
rahasia abadi
menuntun hati
bijaklah dititi tak perlu menepi

Denpasar, 2001


Barong dan Rangda

di bumi
di alam semesta
di setiap tubuh
di setiap impian
di setiap pertikaian
kebenaran dan “kebenaran”
Barong dan rangda
sesuatu menjadi abadi
tak pernah berhenti
menanti dan menanti
mengalir
abadi
sebelum tiba dinanti

Denpasar, 2003


Menatap Waktu

mata langit di jantung melati
kutatap waktu terpisah waktu
cinta hamba dibalut perjalanan
tak menentu;

rindu dibalik rindu ternyata
kecemburuan berkhiananat lalu kudekap
noda dibingkai hati suci;
lupakan saja; ikhlas berpisah
di depan kehangatan mengulum
mata lirih seperti aku;

berpisah sebelum pertemuan
karena asmara di dunia tak terduga
sekilas sampai; menatap kekasih setiap
hari; cukupkan!
akhir waktu hanya berita

Denpasar, 2002


Penari Keris

yang menikam diri sendiri
penuh arti

Denpasar, 2003


Pura Ulu Watu

Seorang pelancong bergumam
Ulu Watu
berkah di daun batu
ombak memukul dinding bumi
berseru di antara keangkuhan peradaban
keheningan tak kembali

Sang Wiku mengakhiri perjalanan
membuat sejarah; hidup
berakhir
menempuh lautan kehidupan
suka-duka, bahagia-sengsara, jaya-runtuh
Dan segala nestapa
Berjalanlah! Melangkah mendekati bintang
tertinggi di langit jauh

Seorang Wiku memercikkan doanya
Menjadi sejarah di bumi
Memandang laut; lautan noda
dan derita
Ulu Watu bisu sesepi pagi
Batu sepi tak pernah kehilangan
misteri
memanggil pelancong membawa berkah
Sang Wiku termenung memandangi ombak
bisu dalam doa hening memuja Hyang Widhi

Denpasar, 2003


Sungai Semesta

sungai sunyi airnya sepi
di batang pohon hening
pembasuh luka dan duka
debu derita
haus dahaga dipuaskan kata
lapar dilupa
perburuan tak sia-sia

sungai itu, dicari-cari
nil atau missisipi di bumi
sungai di semua sungai jiwa
mengalir sendiri tanpa tepi
terlalu dekat di hati

di mana itu
gemerciknya
berdenyut di nadi
kasih tak tertahan
mengalirkan sejuk pegunungan
terlalu dekat di hati

Denpasar, 2001


Roh

Berkerumun siapakah itu?
manusia
api tak mati
hidupnya hidup
matinya mati
tak luka darahnya
pengembara
kemiskinan
keadilan
pasar
tanah
samudara bijak?
Mayat
sia-sia palsu menipu diri
bebas

Denpasar, 1999


Batur - Kintamani

senyap kabut
bias matahari di antara remang
kokok ayam sayup
serangga menabuh lengang
margasatwa dingin tak tertahan
berciap
antara gegas berselimut kumal
danau sampan menyibak
kepul asap dicumbu angin sepoi

gemawan termangu sendiri
bergumul nyanyi gaungnya sunyi
digubah lembah hijau
siul air beriak kemilau
bukit gunung berliku
lereng di tepi danau

pohon tua dikabut lembut
persembahan redup
menggali umbi menuai kopi
canda bocah di antara sinar pagi

di sini tempat bermain
pulang dan istirahat panjang
tanah subur kedamaian
sengketa selesai ibu pulang
menjadi dewasa
bersahabat alam
tanah kehidupan berlangsung
kerja ada makmur
persahabatan perdamaian
kasih sayang kemanusiaan
kurnia, manusia dan alam permai

seruling bernyanyi
kerinduan burung
gong ditabuh musik dedaunan
berkelana mencari cintanya
gunung kabut sutera kelabu
kemarin ibu berdoa
antara kabut gunung dan lembah
bila meninggalkan persahabatan
kutuk, dosa dengan sengketa
ke manakah lagi mengadu?

dengarlah sayang
lembut sorgawi bidadari turun
menari-nari di pucuk meru
rambutnya panjang terurai
dibalut sutera merah melambai
digerai cinta perkasa

penyanyi itu telah lama
menunggu di antara danau ngarai
membasuh mimpi demi mimpi
mendengungkan doa-doa abadi
memperciki luka-luka di hati
sembahkan bunga sujud melati
nyanyi abadi
tersembunyi gemanya

gamelan ditabuh
ayam pun disabung darah mengucur
arena jadi gemuruh, sorak-sorai membaur
orang datang termangu
telah dikorbankan darah bunga
pepohonan gemulai bernyanyi

damai
tanah subur ramah hatinya
kasihnya abadi tanpa tepi
tembang petani
lagukan keringat pemberani
gaung tabah nurani

kasihnya bunga warna-warni
harumnya menembus dinding sukma
kopi bernas siap dipetik
kentang sayur-mayur siap diikat
ikan danau di jaring nelayannya
dibelai temaram senja
adakah kasih sayang sia-sia
tanah ramah yang lempung

Bali, Kintamani 1980


Angin di Atas Pantai Sanur

malam menari
sinar-Nya purnama sunyi
Angin di atas pantai Sanur
hening, dicumbui angin timur
membelai derai
bunga luruh helai demi helai
kepada-Nya

Pelancong tak kembali
sudah lebur tak peduli
terjerat cinta
dilumat pantai
malam itu

Berserakan pesta rindu
sisa upacara
Seruling sudah usai ditiupnya
gamelan senyap memanggilnya
dibasuh cinta
lengang tengah malam
Bertemu damai hatinya

Apakah engkau cari, tuan
bidadari pergi sejak itu
cemburu mengiriskan sembilu
tak tertahan rindu

Angin tertidur sampai pagi
sesaat dibacanya mantram, blur
Melasti darah ditabur
Dibasuh laut: terkubur

Laut membasuh duka
bagi setiap tapa
basuh musuh; amarah
nafsu, serakah dan sampah

Diusungnya ke tepi setiap hari
memandangi kehidupan
kesetiaan kebajikan

Angin pemukul gendrang sunyi
rindu abadi tak bertepi
bidadari menari-nari
di taman damai, berbunga permai
Bertemukah sesudah ini?

Nelayan melaut tertelan cakrawala
menjaring impian tertidur lelap
Menenggelamkan kekalahan ke pusar,
lautnya pantai Sanur

Apakah engkau cari, tuan
bencana pagi ini berhamburan
manis kasih
perih luka
sudah lama diberitakan orang
Borgol kebencian melumuri keterikatan
beriak ombak bersedu-sedan
– membuahkan air mata beracun ­–
membakar kesumat, alangkah sayang
Belajar merenungi angin
menengadah mengenang kesetiaan-Nya

Angin di atas pantai Sanur
Kuil kencana rumah Tuhan abadi
Pura, gereja, mesjid, maupun vihara
bangunlah cintanya
tanah dan cinta milik-Nya

Laut membasuh derita
matahari pagi rindu terjelang
melambai pulang

Denpasar, 2000


Tentang Ngurah Parsua
Ngurah Parsua memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Parsua, lahir di Bondalem, Singaraja, Buleleng. Sempat menjadi guru, dosen, kepala sekolah. Namun Pensiun sebagai Widyaiswara pada UPTD Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah, Provinsi Bali. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama, seperti  Antologi Penyair ASEAN (1983), Tonggak 3 (1987). Kumpulan puisi tunggalnya: Matahari (1970), Setelah Angin Senja Berhembus (1973), Sajak-sajak Dukana (1982), Pemburu (1987), Sajak-sajak Langit (1994), Duka Air Mata Bangsa (1998), Ketika Penyair Bernyanyi (2002), dan rencananya akan didaur ulang dan disatukan menjadi buku "Setelah Angin Senja Berhembus".


Catatan Lain
            Putu Arya Tirtawirya, di bagian epilog, ada membincangkan pembagian puisi yang terbagi atas Puisi Transparan, Puisi Prismatis dan Puisi Abstrak. Nah, penyair Ngurah Parsua diletakkannya di bagian puisi transparan plus setengah prismatis bersama Taufik Ismail, Ayip Rosidi, Rendra, Diah Hadaning, Dinullah Rayes, Piek Ardiyanto Supriyadi.

4 komentar:

  1. suka angka 99 nya :)

    puisinya panjang2 jga hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. panjang atau pendek, yang penting bagus, Mas... :)

      Hapus
  2. Terimakasih atas komentarnya. Memang benar, bagi saya itu tergantung pada kwalitasnya.Panjang mungkin ingin berkomunikasi lebih variatif dengan bahasa yang terjaga tidak apa, kan? Asal punya kemampuan untuk menggunakan bahasa figuratif, bukan sekedar komunikasi biasa. Tolong ikuti pula puisi-puisi lainnya. Seperti ''Setelah Angin Senja Berhembus'', ''Potret Pohon Air Mata'',''Air Mengalir'' Atau ''Mendengar Nyanyian Langit'' dan mungkin ada dinamisasi. Terimakasih. Ngurah Parsua.

    BalasHapus
  3. Lebih jelasnya pandangan saya terhadap puisi, mohon dibaca juga
    esa-esai sastra saya berjudul: ''KITA DAN PENDIDIKAN SASTRA''. SEMOGA DAPAT MEMBERI MASUKAN UNTUK DAPAT MEMPERKAYA DIRI SAYA TERHADAP PUISI.
    TERIMAKASIH. NGURAH PARSUA

    BalasHapus