Kamis, 01 Januari 2015

Multatuli: MAX HAVELAAR



  
Data buku

Judul : Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
Penulis : Multatuli (adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker 1820-1887, yang bermakna = aku telah banyak menderita)
Tahun terbit buku : 1860
Penerjemah: H.B. Jassin (langsung dari Bahasa Belanda)
Penerbit : Djambatan, Jakarta.
Cetakan : IX, 2005 (Cet. I: 1972)
Percetakan : Ikrar Mandiriabadi
Tebal : xxi + 359 halaman
ISBN : 979-428-586-2
Pendahuluan dan Anotasi : Dr. Gerard Termorshuizen

“Ya, aku bakal dibaca!//Jikalau tujuan itu tercapai, maka puaslah aku. Sebab aku bukan hendak menulis baik,… aku hendak menulis begitu rupa, sehingga didengar, dan seperti orang yang berteriak :’tangkap maling itu!’ tidak perduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan kepada publik itu, maka akupun tidak perduli bagaimana orang menanggapi cara aku meneriakkan: ‘tangkap maling itu!’.// Buku itu isinya aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian;…tidak ada bakat, tidak ada metode…. //Baik, baik,… semuanya itu benar,… tapi orang Jawa dianiaya!//Sebab, orang tidak bisa membantah maksud utama karyaku.”
(Multatuli, hlm 347)

Puisi-puisi dalam buku Max Havelaar karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker

Kembalikan Dulu Ibuku Padaku

      Ibu, jauh memang tempat ku lahir,
Negeri tempat kulihat cahaya mentari,
Airmataku berlinang pertama kali,
      Kau besarkan aku dalam bimbingan;
      Jiwa sang anak kau isi dan kau pimpin
Penuh kasih sayang seorang ibu
Setia kau mendampingiku
      Kau angkat jika ku jatuh; –
Nasib kejam memutus hubungan kita
      Tapi hanya lahirnya saja…
Sendiri aku berdiri di pantai asing
      Seorang diri,… dan Tuhan…

Namun, ibu, apapun menggelisahkan hati,
      Yang menyenangkan maupun menyedihkan
Janganlah ragu cintanya beta
      Cinta puteramu di dalam hati!

Belum ada empat tahun yang silam
      Aku berdiri penghabisan kali nun di sana
      Tanpa kata di tepi pantai
Menatap jauh ke masa depan;
      Kubayangkan segala yang indah
Yang menunggu di masa depan,
Kelecehkan masa kini dengan berani
      Kuciptakan surga firdausi;
      Hatiku tak gentar menempuh jalan
      Melanda segala hambatan,
Yang melintang di depan mata,
Ku rasa dunia bahagia semata…


      Tapi masa itu, sejak pertemuan penghabisan kali
Betapa cepat hilang menjauh,
      Seperti kilat tidak terperi.
Seperti bayangan melintas lalu…
      Namun alangkah dalam, alangkah dalam
      Bekasnya yang tinggal!
      Aku merasa girang dan sedih sekali datang,
Aku berpikir, dan aku berjuang,
Aku bersorak, dan aku mendoa…
      Ku rasa berabad-abad menghilang lalu!
      Aku mengejar kebahagiaan hidup,
Aku menemukan dan aku kehilangan,
Masa kanak kujalani cepat
      Bertahun-tahun rasa sesaat…

Namun percayalah bundaku sayang
      Demi langit yang melihat kita
Percayalah ibu percayalah…
      Puteramu tidak melupakanmu!

Aku cintakan seorang gadis. Seluruh
      Hidup ku rasa indah karena cintaku;
      Ku lihat dirinya laksana mahkota
Ganjaran akhir cita-citaku
Yang diberikan Tuhan sebagai tujuan; –
      Bahagia menerima karunia
Yang ditentukannya untuk diriku
      Yang dikaruniakannya kepadaku
Akupun bersyukur dengan airmata berlinang…
      Cinta dan agama adalah satu.
Dan jiwaku bahagia membubung tinggi
Mengucap syukur kepada Yang Mahatinggi
      Mengucap syukur dan mendoa untuknya sendiri…

Susah hatiku karena cintaku,
      Hatiku resah gelisah,
      Tiada tertahan rasanya dukacitaku
Mengiris melukai hatiku lemah;
      Hanya takut dan derita yang ku dapat
Bukannya nikmat yang ku harap,
Selamat bahagia yang ku cari,
      Racun dan petaka datang mendekat…

Aku senang dalam derita tanpa kata!
      Aku tabah penuh pengharapan; –
Untung malang menambah gairahku,…
      Untuknya biar ku pikul beban derita!
Tiada ku hirau pukulan malapetaka,
      Sukacita aku dalam dukacitaku,
Aku rela, aku rela memikul segala…
      Asalkan nasib jangan merenggutnya dari padaku!

Gambaran wajahnya, yang terindah bagiku di atas bumi,
      Ku bawa di dalam hati,
      Laksana barang tiada bernilai,
Ku simpan setia dalam hatiku!
Tiba-tiba asing ia bagiku!
      Walau cintaku bertahan
Sampai tarikan nafas penghabisan
      Akhirnya mengembalikannya padaku
Di tanah air nan lebih indah,…
Aku mulai mencintainya!

      Apakah cinta yang baru mulai,
Dibanding cinta bersama hidup
Dimasukkan Tuhan dalam hati si anak,
      Sebelum pandai ia bicara?...
      Tatkala ia di dada ibunya,
Baru saja meninggalkan kandungan,
      Menemukan susu pertama pemuas dahaga,
Cahaya pertama di mata Bunda?...

      Tidak, tiada ikatan yang lebih erat
Lebih kuat memadu hati.
Dari ikatan Tuhan ciptakan
      Antara si anak dan hati ibunda!

Dan hati yang begitu terpaut
      Pada keindahan sesaat berkilau;
      Yang memberiku duri semata,
Dia tiada menjalin satupun kembang,…
      Apakah hati itu, hati itu juga
Lupakan kesetiaan hati ibunda; –
      Dan cinta wanita
Yang menerima dalam hatinya gundah
      Teriakanku pertama sebagai bayi, –
Yang membujuk daku jika menangis,
Mencium kering airmata dari pipiku,…
      Yang memberi ku makan dengan darahnya?...

Bunda janganlah percaya,
      Demi Tuhan yang melihat kita.
Bunda janganlah percaya,
      Tidak, anakmu tiadalah lupa!

Di sini aku jauh dari kehidupan
Yang di sana penuh kemanisan dan keindahan;
      Kenikmatan masa pertama
Sering dipuji dan disanjung tinggi,
Di sini bukan bagianku
      Di tempatku yang sepi dan suram, –
Curam dan penuh duri jalanku,
      Untung malang menekan jiwaku,
Beban ku pikul memberat pundakku
      Dan menghimpit hatiku; –

Biarlah airmataku menjadi saksi
      Bila kepalaku terkulai pilu
      Di saat-saat tanpa harapan
Di tengah alam yang luas;…
      Sering bila harapan tiada lagi,
Hampir-hampir lepaslah keluhan:
“Tuhan, berilah daku di alam barzah,
      “Apa yang di dunia tidak kau berikan! –
“Tuhan, berilah daku di dunia sana,
      “Bila maut menyentuh bibirku, –
“Tuhan, berilah daku di dunia sana
      “Apa yang di sini tidak ku kecap …
                                                ketenangan!”

Tapi, terbenam dalam bibirku,
      Doaku tak sampai kepada Tuhan,…
      Memang aku berlutut, –
Memang keluhan lepas dari bibirku, –
      Tapi ucapanku: “Jangan dulu, ya Tuhan
      “Kembalikan dulu ibuku padaku!”

(Aslinya puisi ini tanpa judul, ada di Bab III, hlm. 23-27, merupakan sajak yang dideklamasikan Frits di rumah keluarga Rosemeijer- pedagang gula, yang diambil dari bungkusan milik Sjaalman yang dititipkan kepada Batavus Droogstoppel. Inti dari sajak ini adalah tentang seorang muda yang menulis kepada ibunya bahwa ia jatuh cinta dan bahwa gadisnya kawin dengan orang lain)


Cintaku, buat Hatiku

Di atas sayap laguku, ku bawakan terbang cintaku,
Cintaku, buat hatiku

Ke sana, ke padang datar sungai Gangga
Di sana ku tahu tempat yang indah;

Di sana ada taman bersemarak kembang merah
Bermandi cahaya rembulan
Seroja rindukan adiknya sayang
Kembang violeta pacaran terkekeh-kekeh
Memandang ke atas ke bintang-bintang
Bunga mawar saling membisik
Dongeng-dongeng yang harum wangi

Rusa-rusa yang saleh, rusa-rusa yang cerdik,
Melompat-lompat mendekat memasang telinga
Dan nun di sana menderau air sungai yang suci
Di sana kita menyelam di bawah naungan palma
Menghirup ketenangan serta asmara
Mimpikan impian yang serba bahagia.

(Aslinya puisi ini tanpa judul, terjemahannya dihadirkan dalam lampiran II, hlm. 351. Merupakan sajak yang dideklamasikan oleh Stern kepada seorang gadis yang merajut di dalam suite. Dari keterangan di buku (hlm. 147), sajak ini ditulis oleh Kitsch Heine dan diulas oleh Batavus Droogstoppel bait per bait hanya untuk membuktikan bahwa sajak-sajak selalu berisi kebohongan-kebohongan dan penyair hanya sekumpulan penipu. Sajak ini dihadirkan dalam bahasa Belanda di hlm. 148-149)


Legenda tentang Dosa Pertama yang Menenggelamkan Pulau yang Dahulu Melindungi Pelabuhan Natal

Anda bertanya mengapa gerangan
Samudera di pelabuhan Natal,
Di mana-mana patuh dan ramah,
Namun ganas bergelora di pelabuhan Natal,
Senantiasa menggelegak dan bergolak?

Anda bertanya, dan si anak nelayan
Yang papa mendengar pertanyaan anda,
Berkedip matanya hitam,
Ia menunjuk arah ke Barat nun jauh di sana
Di bawah langit melengkung luas.

Dialihkannya pandang dari mata yang legam,
Dan ia memandang arah ke Barat,
Ke manapun anda memandang,
Hanya air, air semata,
Dan laut, laut di mana-mana.

Itulah sebabnya Samudera di sini
Menggeser keras pasir di pantai;
Sekitar anda laut semata,
Dan air, air, tiada lain,
Sampai-sampai ke pantai Madagaskar.

Dan banyak korban disampaikan
Sebagai pampasan kepada Samudera
Dan banyak jeritan terbenam di air,
Tiada yang mendengar, isteri, anak maupun keluarga
Yang tahu hanyalah Tuhan.

Tangan menggapai penghabisan kali,
Menggapai-gapai di atas air,
Meraba-raba, mencekau, mencepuk-cepuk
      berputar-putar,…
Mencari-cari tempat bertumpu,…
Lalu tenggelam selama-lamanya
Selanjutnya aku tak tahu lagi…

(Aslinya puisi ini tanpa judul, hadir di hlm. 165-166. Merupakan sajak yang dibuat oleh Max Havelaar saat memeriksa kebun-kebun lada yang terletak di Teluk-Balai, di sebelah utara Natal. Karena terletak di pantai, maka Max berperahu dengan seorang Datuk dan anak gadisnya, 13 tahun, yang sibuk menguntai manik. Adapun judulnya, merupakan kalimat yang saya temukan di bawah sajak)


Yang Utama ialah Hidup, Sekalipun Hidup Melarat

Dua puluh gulden, alangkah banyak!
Selamat tinggal sastra,
Selamat tinggal Kopiist!
Nasibku malang, aku mati kelaparan,
Hatiku sedih, kesal dan geram,…
Dua puluh gulden dua bulan makan
Kalau aku punya sekian… ku pakai sepatu bagus
Ku makan makanan enak, lebih indah tempatku tinggal
Aku kan hidup senang…
Yang utama ialah hidup, sekalipun hidup melarat
Kejahatan memalukan, bukan kemiskinan

*) De Kopiist : nama majalah yang terbit di Betawi tahun 1842.
(Merupakan “sajak” yang memprotes kemiskinannya sendiri - Max Havelaar -, yang ditulis di belakang kwitansi. Kwitansi seharga 20 gulden itu merupakan harga berlangganan majalah “De Kopiist” – yang  dilindungi pemerintah, di mana wang langganannya dibayarkan kepada kas negeri. Sajak berbahasa Belandanya hadir di halaman 185, terjemahannya ada di lampiran III, hlm. 352. Juga tanpa ada judul. )


Aku tak Tahu di Mana Aku kan Mati

            Aku tak tahu di mana aku kan mati
Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang ke sana
                                    dengan ayahku, untuk membuat garam;
Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku di lempar ke air dalam,
                                                            ikan hiu berebutan datang;
Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya: “siapa antara kita
                        akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air?”
            Aku tak akan mendengarnya.

            Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
                                                                        ia mata gelap;
Bila ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan
                                    kayu berpijar jatuh menimpa mayatku;
Dan di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan
                                                            air pemadam api, –
            Aku takkan mendengarnya.

            Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik
                                                            kelapa untuk ibunya;
Bila aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,
                                                di dalam semak, seperti Si Unah;
Maka ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi
                        orang lain akan berseru: “Lihat Saijah di sana!”
                                                            dengan suara keras; –
            Aku takkan mendengarnya.

            Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab
                                                            rambutnya sudah putih;
Bila aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap
                                                                        sekeliling mayatku;
Dan mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-
      perempuan menangisi mayat Pak Lisu; dan juga cucu-cucunya
                                                            akan menangis, keras sekali; –
            Aku takkan mendengarnya

            Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Banyak orang mati kulihat di Badur. Mereka dikafani, dan
                                                            ditanam di dalam tanah;
Bila aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa, arah
            ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi;
Maka Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan
                                                mengingsut mendesir rumput,…
            Aku akan mendengarnya.

(Sajak ini ada di hlm. 283-284, tak memiliki judul. Juga hadir di sampul belakang buku, tentu dengan pemenggalan kalimat yang berbeda. Di roman ini, sajak dibuat oleh Saijah).


Lihatlah Bajing

Lihatlah betapa bajing mencari makan
Di pohon kelapa, ia naik ia turun, ia mengeracak kiri
dan kanan
Ia berlari (mengitari pohon), melompat, jauh,
memanjat dan jatuh lagi
Sayap ia tak punya namun ia cergas seperti burung
      Selamatlah bajingku, selamatlah
Pasti kau menemukan makan yang kau cari, …
Tapi aku seorang diri duduk di hutan jati
Menunggu makanan bagi hatiku.
      Sudah lama bajingku kenyang
Sudah lama ia kembali ke sarang
Tapi masih juga jiwaku
Dan hatiku sangat berdukacita … Adinda!

Lihatlah nun rama-rama keliling mengepak sayap
Sayapnya berkilau laksana kembang aneka warna
Hatinya cinta berahikan bunga kenari
Pastilah ia mencari, mencari kekasih yang harum wangi.
Selamatlah ramaku, selamatlah
Pastilah kau menemu apa dicari
Tapi aku duduk seorang diri di hutan jati
Menunggu kekasih idaman hati
      Sudah lama rama-rama mengecup
Kembang kenari yang sangat ia cintai
Tapi masih jiwaku
Dan hatiku alangkah berdukacita … Adinda!

Lihatlah betapa matahari bersinar nun di atas
Jauh di atas bukit Waringi
Terlalu panas ia merasa dan ingin turun ke bumi
Tidur di dasar laut seperti rangkulan seorang suami.
      Selamatlah o matahari, selamatlah
Pasti kau menemu apa dicari
Tapi aku seorang diri di hutan jati
Menunggu hatiku menjadi tenang
      Sudah lama nanti matahari turun
Dan tidur di dalam laut, jika segala telah kelam
Tapi masih jiwaku
Dan hatiku alangkah berdukacita … Adinda

Jika tiada lagi rama-rama terbang keliling mengepak sayap
Jika bintang tiada lagi berkilauan
Jika melati tiada lagi harum baunya
Jika tiada lagi hati berduka
Tiada lagi binatang liar di dalam hutan
Jika matahari kesasar jalan
Dan bulan lupa mana Timur mana Barat
Jika waktu itu belum juga datang Adinda
Maka turunlah malaikat dengan sayap kemilau
Ke atas bumi mencari apa yang tinggal
Maka mayatku terkapar di sini di bawah ketapang
Jiwaku alangkah berdukacita,… Adinda!

Maka malaikat melihat mayatku
Diberitahunya saudara-saudaranya, ditunjuknya
mayatku dengan jarinya
“Lihatlah, nun di sana ada seorang manusia mati terlupa
Mulutnya kejang mencium kembang melati
Marilah, kita angkat dia kita bawa ke surga
Orang yang menunggu Adinda sampai mati
Sungguh, ia tak boleh tinggal sendiri
Orang yang hatinya keras mencinta”
      Maka sekali lagi mulutku kejang akan membuka
Untuk memanggil Adinda yang kucinta
Sekali lagi kukecup melati
Yang dia berikan … Adinda … Adinda!

(Sajak ini muncul di hlm. 291-294. Sajak “Lihatlah Bajing” dalam bahasa Melayu, yang ditulis oleh Multatuli sendiri, kemudian ditemukan kembali oleh E. Du Perron dan dimuat ke dalam bukunya sendiri. Sajak berbahasa Melayu ini dimunculkan di Lampiran V, hlm. 358-359: begini sajaknya……)

Liat Lah Bajing

Liat lah bajing cari pangidupan
Naik turon klappa, main kiri kanan
Putar melompat, jato, naik, turon,
Sebabnya tida cepat kai burong.
Ontong terlalu, bajingku slamat,
Pasti nyang cari pangidupan dapat!
Saiya sendiripun di hutan jati
Duduk, bernanti pangidupan hati.
Sudahlah perutnya bajingku kenyang –
Sudahlah lama masok di sarang,
Tapi slamanya jiwanya saiya,
Hatiku paiya – Upi Adinda!

Liatlah kupu-kupu kuliling,
Kaya kembang waru saiyab gemilang
Hatinya cinta bunga kenari
Pasti kasaiyangan harum dicari
Ontong terlalu, kupuku slamat
Apa nyang cari, tantuken dapat!
Saiya sendiripun di hutan jati
Duduk bernanti kasaiyangan hati.
Sudahlah lama cium kupu-kupu
Bunga kenari cinta terlalu
Tapi selamanya jiwanya saiya
Hatiku paiya – Upi Adinda!

Liat mathari cahaiya tingie,
Tingie di atas bukit waringin.
Pannas terlalu turun diminta
Tidor di lahut kaiya bini dicinta
Ontong terlalu mathari slamat,
Apa nyang cari tantuken dapat!
Saiya sendiripun di hutan jati
Duduk bernanti diamlah hati
Sudahlah lama turun mathari
Tidor di lahut – trang sudah lari
Tapi slamanya jiwanya saiya
Hatiku paiya – Upi Adinda!

Kalu tralagie kupu kuliling
Kalu tralagie bintang gemilang
Kalu tralagie harum melati
Kalu tralagie kerasahan hati
Kalu di hutan tralagie binatang,
Kalu Andinda belom lagie datang, –
(Dua baris yang ada dalam bahasa
Belanda, tidak ada di sini)
Nanti bidari saiyabnya gellang
Turon di bumi cari nyang korang –
Nanti ketinggalan badannya saiya
Hatiku paiya – Upi Adinda!

Nanti bangkehku diliat bidari,
Pada sudarah menunjuk jari.
Liat dilupa seorang mati,
Mulutnya kaku cium bunga melati,
“Mari kit ‘angkat ia di saorga,

“Nyang sampeh matti nanti Adinda
“Janganlah sungoh tinggal di situ
“Nyang punya hati cinta begitu” –
Dan lagi sekali mulut buka
Panggil Adinda nyang hatinya suka;
Cium lagi sekali melati bunga
Dia nyang kassi – Upi Adinda!


Anakku, Jam Sembilan Sekarang

a)   “Anakku, jam sembilan sekarang, dengarlah!
      Angin malam mendesir dan udara jadi sejuk
      Terlalu dingin mungkin bagimu, jidatmu hangat
      Kau main begitu lasak sehari-harian
      Kau tentulah letih, mari, tikarmu menunggu –”

      “Ah, Bunda, biarkan daku sebentar lagi
      Enak tiduran di sini – dan di sana,
      Di dalam sana di atas tikarku, aku segera tertidur,
      Dan tidakpun tahu apa mimpiku, – tapi di sini,
      Di sini segera ku dapat cerita apa mimpiku,
      Dan tanyakan apa artinya – dengarlah,
      Apakah itu?”

                  – “Itu kepala yang jatuh ke tanah.” ­–
– “Sakitkah rasanya ia jatuh?”

                                                      – Ku kira tidak,
Orang bilang buah dan batu tak punya perasaan.” –

– “Tapi kembang, tak merasakan juga?” –
                                                                  – “Tidak,
Orang bilang tak ada perasaannya.”

                                                      – Kalau begitu,
Mengapa Bunda, waktu kemarin ku bawa pukul ampat
Bunda berkata aku sakiti dia?” –

– “Anakku, si pukul ampat amat cantiknya,
Kau tarik daunnya halus sehingga koyak
Sedih aku melihat kembang itu.
Sekalipun ia sendiri tidak merasa,
Aku merasakan untuknya, karena ia begitu cantiknya.” –

– “Tapi Bundaku sayang, kau pun cantikkah juga?”
                                                      – “Tidak, anakku,
Ku kira tidak.” –
                              – “Tapi Bunda punya perasaan?” –

b)   – “Ya, orang punya perasaan, tapi tidak semuanya sama” –
     
      – “Dan dapatkah sesuatu menyakitimu?
                                                            Sakitkah itu kau rasa
      Jika kepalaku berat terhantar di pangkuanmu?” –
     
      – “Tidak, itu tidak sakit ku rasa!” –
                                                                        – “Dan Bunda,
      Apakah aku punya perasaan?” –
     
                                                            – “Tentu, ingatkah kau
      Waktu jatuh kesandung batu, tanganmu luka dan kau menangis,
      Kau pun menangis waktu Saudin menceritakan padamu
      Anak domba di bukit sana
      Jatuh ke dalam jurang lalu mati;
      Lama kau menangis, – itulah perasaan!” –
     
      – “Tapi Bunda, kalau begitu, perasaan
                                                            samakah dengan kesedihan?” –
                                                            – “Ya, seringkali demikian,
      Tapi tidak selalu, – kadang-kadang tidak! Kau tahu
      Kalau adikmu kecil mencekau rambutmu,
      Dan memekik riang menarik mukamu ke mukanya
      Kaupun tertawa girang, itu pun perasaan.” –
     
      – “Dan adikku kecil – dia menangis begitu sering
      Karena sakitkah? – Apakah dia berperasaan juga?” –
     
      – “Mungkin, anakku, tapi kita tidak tahu,
      Karena dia masih kecil dan tak dapat mengatakannya.” –
     
      – “Tapi Bunda … dengarlah, apakah itu?” –
     
                                                            – “Seekor rusa
      Yang kemalaman dalam hutan dan kini
      Berlari pulang melepas lelah
      Bersama rusa yang lain, rusa-russa kesayangannya.” –                            
     
                                                                        – “Bunda,
c)   Rusa itu, adakah adiknya kecil seperti aku
      Dan adakah Bundanya juga?” –
                                                            – “Entahlah, anakku.” –
      – “Kalau tidak, alangkah sayang!
      Tapi, Bunda, lihatlah – apa yang berkelip-kelip
                                                            di sana di dalam semak,
      Lihatlah bagaimana ia melompat-lompat dan menari-nari,
                                                            apakah itu bunga api?” –
     
      – “Itu adalah kunang-kunang” –
                                                            – “Bolehlah ku tangkap?” –
     
      “Boleh, tapi serangga itu begitu halus
      Kau pasti menyakitinya dan begitu
      Kau sentuh ia agak kasar dengan jarimu,
      Ia sakit dan mati dan tiada bercahaya lagi.”
     
      – “Itu sungguh menyedihkan – tidak, aku takkan
                                                                        menangkapnya, –
      Lihat dia menghilang – tidak, dia datang kemari, –
      Tapi aku takkan menangkapnya – dia terbang lagi,
      Gembira karena aku tak menangkapnya, –
      Itu dia terbang – tinggi – nun di atas – apa itu?
      Apakah itu pun kunang-kunang, nun di sana?” –
     
                                                                        – “Itu adalah
      Bintang-bintang.” –
                        – “Satu dan dua dan sepuluh dan seribu!
      Berapakah semuanya?” –
     
                                                                        – “Entahlah;
      Belum ada orang menghitung berapa jumlah bintang semua!” –
     
      – “Tapi coba katakan Bunda,
      Dia pun pernahkah tidak menghitung?” –

      – “Tidak sayang. Dia pun tidak.” –
     
                                                                        – “Jauhkah itu
      Nun di atas di mana ada bintang-bintang?” –
                                                                        – “Amat jauh” –
     
      – Tapi apakah mereka berperasaan juga, bintang-bintang itu?
      Dan bila kupegang dengan tangan,
      Segera sakit dan kehilangan cahaya
      Seperti kunang-kunang tadi? – Lihatlah, masih ia melayang –
      Katakanlah, apakah bintang juga merasa sakit?”
     
                                                                                    – “Tidak,
      Bintang tidakkan sakit kau pegang – tapi ia terlalu jauh
      Terlalu tinggi, tak dapat dicapai tanganmu kecil.” –
     
      – “Dapatkah Dia menangkap bintang dengan tangannya?” –

      – “Dia pun tidak, tak ada orang yang dapat menangkap.
                                                                                    – “Sayang,
      Aku ingin memberimu satu – tapi tunggu aku besar
      Nanti ku cintai kau, begitu besar cintaku sampai ku bisa.”
     
      Si anakpun tidur dan mimpikan “perasaan”
      Mimpikan bintang-bintang yang dicapainya dengan tangan –
Si Bunda lama baru tertidur pula.
                                                            Tapi dia pun bermimpi
      teringat kepada mereka yang jauh –

Cassel, Januari 1859
* Pukul empat – kembang yang membuka kelopaknya jam empat
* Saudin – penjaga anak
(Puisi ini juga tanpa judul, dihadirkan dalam bahasa aslinya di hlm. 230-233 dan terjemahan bahasa Indonesianya ada di bagian lampiran IV, hlm. 353-357)


Tentang Multatuli
Multatuli adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, lahir 1820 di Amsterdam. Dibesarkan dalam keluarga protestan sederhana. Ia memiliki watak yang gelisah dan ‘sukar’. Umur 18 tahun berlayar menuju Hindia Belanda dan bekerja pada pemerintah di  Dewan Pengawas Keuangan di Betawi, sebagai amtenar. Tahun 1841, ia berpindah ke Katolik karena gadis yang dicintainya, Caroline Versteegh. Tapi lamarannya ditolak oleh ayah si gadis dan ia mengalami goncangan batin hebat. Tahun 1842 ia minta dipindahkan ke Sumatra Barat. Bulan Juli 1842, Doewes Dekker ditempatkan sebagai kontelir di Natal, di mana untuk pertama kalinya ia berhadapan dengan penderitaan penduduk. Bulan Juli 1843, dia dipecat/dibebastugaskan dari jabatan, dan setelah itu ia berpindah-pindah tugas ke Padang, Betawi (1844), Krawang, Bagelan, Menado dan tahun 1851 ia menjadi asisten residen di Ambon, namun tak lama karena jatuh sakit. Menikah dengan Everdine Huberte van Wijnbergen, yaitu Tine dalam Max Havelaar. Tahun 1852, setelah 14 tahun tinggal di Khatulistiwa, bersama isteri menjalani perlop di negeri Belanda, hingga lahir anak pertama (si Max kecil).
Bulan Mei 1855 bersama keluarga kembali ke Betawi. Dan tanggal 4 Januari 1856 diangkat menjadi asisten residen Lebak, dalam wilayah keresidenan Banten. Residensi adalah penyebutan bagi suatu wilayah yang terbagi atas tiga, empat atau lima kabupaten. Kepalai oleh asisten residen. Dan diangkat pula seorang kepala dari bumiputera dengan gelar Bupati, untuk mendampingi asisten residen. Bupati kebanyakan dari kalangan bangsawan tinggi dan digaji. Tanggal 21 Januari 1856 tiba dengan keluarga di Rangkas Betung, ibukota Lebak, dan pada hari itu juga ia mengucapkan sumpah jabatan. Sepertinya Dekker segera berhadapan dengan situasi-situasi buruk karena hubungannya dengan Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Nata Nagara dan menantunya, Demang Parangkujang, Raden Wira Kusuma, tidak terlalu akur. Dekker menuding Bupati (dan penguasa-penguasa pribumi di bawahnya) telah menyalahgunakan kekuasaannya sehingga menyengsarakan rakyat. Dan itu dilaporkan ke Residen Banten (24 Februari 1856), dan dilanjutkan ke Gubernur Jenderal (29 Februari 1856). Tanggal 28 Maret  1856 datang keputusan Gebernemen bahwa tindak tanduknya tidak dibenarkan dan bahwa ia akan dipindahkan. Kecewa dan marah, Dekker minta berhenti dari jabatannya dan itu diluluskan tanggal 4 April 1856. Ia dan keluarga kembali ke Betawi.
Bulan April 1857, Dekker berangkat ke Eropa, anak isteri ditinggalkan pada keluarga. Ia pun hidup ssebagai bohemian yang mengembara dan selalu dalam kemiskinan. Bulan Januari 1858 ia tiba di Brussel, di mana ia berusaha keras untuk direhabilitasi dan diangkat kembali dalam jabatan pemerintah jajahan. Tapi sia-sia. Tahun 1859, anak isterinya kembali ke Belanda dan menumpang pula pada keluarga. Dalam situasi keuangan yang buruk, ia menulis buku Max Havelaar di sebuah kamar loteng sebuah Losmen di Belgia, dalam musim gugur 1859, diselesaikan dalam waktu satu bulan saja. Tujuannya ada dua, yaitu: Kehormatannya (diwakili oleh sosok Max Havelaar) harus dipulihkan dan pemerasan terhadap orang Jawa harus diakhiri. Karya Dekker yang lain, Minnerbrieven (Surat-surat Cinta), Woutertje Pieterse, dan Ideen (1862-1877). Pada akhirnya, Dekker menjadi asing dengan keluarganya sendiri. Si isteri berangkat ke Itali, setelah mendapat sumbangan dari kawan-kawannya dan meninggal di sana pada 1874. Tahun-tahun terakhir Dekker dihabiskan di di Nieder-Ingelheim, Jerman, di mana pengagumnya membelikan dia sebuah rumah. Tanggal 19 Februari 1887 ia meninggal di sana. (Baca bagian pendahuluan oleh Dr. Gerard Termorshuizen, hlm. vii-xviii).


Catatan Lain
Buku Max Havelaar dikatakan oleh Dr. Gerard Termorshuizen, inti ceritanya banyak mengandung unsur Oto-biografis. Namun tentu saja pengarang ada juga melakukan beberapa kebebasan. Roman Max Havelaar seolah ditulis oleh tiga orang, yaitu oleh makelar kopi Amsterdam, Batavus Droogstoppel, kemudian ada Stern, seorang pemuda Jerman, dan Multatuli sendiri. Waktu pertama kali terbit pada bulan Mei 1860, Dekker menyerahkannya pada pengarang Jacob van Lennep yang sedang cemerlang bintangnya. Takut akan mengguncang, Van Lennep mengganti semua nama tempat dan angka tahun dengan titik-titik supaya buku itu kehilangan daya bukti. Baru pada cetakan keempat, di mana pengarang sendiri yang menyelenggarakannya, dipulihkan seperti semula.
            Salah satu bagian yang termasyur dari buku ini adalah kisah cinta Saijah dan Adinda. Sejak masih kanak-kanak Saijah menyaksikan kerbau ayahnya dirampas oleh kepala Distrik Parang-kujang. Ayahnya menjual keris pusaka dan beli kerbau lagi. Saat itu Saijah berumur 7 tahun. Ia cepat akrab dengan kerbaunya. Kebetulan sawahnya bertetangga dengan sawah ayah Adinda, jadi saat membajak sawah itulah momen-momen awalnya. Saat umur Saijah 9 tahun (adinda 6 tahun), kerbaunya dirampas lagi. Saijah kecil menangis dan lama ia tak dapat makan. Ayah Saijah menjual dua pengait kelambu dan beli seekor kerbau lagi. Dengan kerbau yang satu ini, Saijah bahkan diselamatkan oleh Kerbaunya dari Macan yang lapar. Kerbaunya hanya kehilangan sedikit daging pada leher kena cakar oleh macan, sedang si macan terkapar dengan perut terbuka. Namun, lagi-lagi kerbaunya dirampas. Saat itu umur Saijah 12 tahun dan Adinda dikatakan sudah pandai menenun sarung dan mencanting.
            Ayah Saijah tak punya pusaka lagi untuk dijual. Dan ia pun harus membayar pajak tanah. Beberapa tahun ia masih bertahan dengan kerbau sewaan. Tapi itu pun tidak memadai. Ibu Saijah bahkan meninggal karena dukacita. Ayah Saijah pergi ke Bogor cari kerjaan, tapi dihukum dera karena meninggalkan Lebak tanpa pas jalan dan dibawa kembali oleh Polisi ke Badur. Ia masuk penjara karena dianggap gila dan tak lama kemudian meninggal dunia.
            Saijah umur 15 tahun dan ia berencana pergi ke Batawi. Ia berjanji kepada Adinda dalam waktu 3 tahun akan kembali dan menikahinya: “Buatlah garis pada lesungmu pada tiap bulan baru. Sesudah cukup tiga kali dua belas garis, sehari sesudah itu aku akan datang di bawah ketapang;… berjanjilah bahwa kau akan menunggu di sana.” Adinda berjanji: “Ya, Saijah, aku akan menunggu di bawah ketapang di hutan jati jika kau kembali.” Kemudian Saijah menyobek secarik dari ikat kepalanya yang biru dan diberikan kepada Adinda sebagai petaruh.        
            Saijah sukses di Betawi. Hampir 3 tahun bekerja sebagai jongos, ia membawa pulang 30 mata wang Spanyol, yang cukup untuk membeli 3 ekor kerbau. Belum lagi keris, pending dari emas, ikat pinggang dari rantai perak, dll. Tapi apa yang didapat setiba di kampung halaman. Impiannya sirna. Ayah Adinda pun dirampas kerbau-kerbaunya oleh kepala Distrik Parangkujang. Ia membawa keluarganya yang tersisa (termasuk Adinda, ibu Adinda dan adik bungsu Adinda meninggal) bersembunyi di hutan di Cilangkahan, distrik Lebak yang berbatasan dengan lautan dan bersama-sama segelintir yang lain merampas perahu dan berlayar hingga ke Lampung. Saijah menyusul ke Lampung. Dan saat itu Lampung sedang bergolak dengan pemberontakan. Ia bergabung dengan orang Banten, bukan untuk bertempur tapi untuk mencari Adinda. Suatu hari ia masuk ke desa di mana desa tersebut baru direbut dari tangan pemberontak. Saijah berkeliling dari rumah ke rumah. Dan di desa itu ia menemukan mayat ayah Adinda, ketiga saudara Adinda, pemuda-pemuda, anak-anak dan Adinda sendiri, dalam kondisi yang teraniaya dan mengerikan. Sepotong kecil kain biru masuk ke dalam luka yang terbuka di dadanya. Dengan impian yang hancur, Saijah lalu menyongsong serdadu yang dengan bedil terkokang masih memburu sisa-sisa pemberontak. Ia pun mati juga, dengan bayonet tertumbuk pada dadanya. Kira-kira begitu ringkasannya (Kisah Saijah dan Adinda ada di Bab XVII hlm. 274-302).
            Oya, ini catatan bagi penerjemah Max Havelaar, yaitu H.B. Jassin. Atas hasil kerjanya ini, ia berkesempatan untuk mengunjungi dan tinggal di negeri Belanda selama lebih kurang setahun. Dan beliaupun dianugerahi Hadiah Martinus Nijhof pada tahun 1973, yang diberikan oleh Prins Bernhard Founds.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar