Kamis, 01 Januari 2015

Dharmadi: AKU MENGUNYAH CAHAYA BULAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Aku Mengunyah Cahaya Bulan, 56 Puisi Pilihan (1974-2004)
Penulis : Dharmadi
Penerbit : bukulaela, Yogyakarta.
Cetakan : I, November 2004
Tebal : 103 halaman (56 puisi)
ISBN : 979-96590-26-4
Editor : Abdul Wachid B.S. (sekaligus menulis Epilog)
Prolog : Yudiono KS
Lukisan Sampul : Hadi Wijaya
Rancang sampul : Hief

Beberapa pilihan puisi Dharmadi dalam Aku Mengunyah Cahaya Bulan

Di Sisi Jenazah di Bibir Liang Kubur

diukur-ukur, direntang-rentang
dipotong-potong, selembar kain kafan
aku bayangkan; membungkus ragaku
dimandikan dengan ramuan wewangian

masihkan bisa menghapus dosa-dosa?

ruh telah pergi tak mau berpaling lagi
sendiri, tak lagi mau kembali
aku bayangkan; tentang jarak perjalanan
jauhnya, tak lagi terduga

di pundak pelayat jasad ditinggikan sesaat
di liang kubur jasad dikembalikan ke asal-usul

sepotong kayu atau selempeng batu
sebagai nisan hanya pertanda

di sini ada yang dikembalikan
ke balik bumi

aku pun kembali ke jalan sendiri
mencari hakekat hidup sehari-hari

sebelum mati

1995


Diri Kembali ke Asal

masihkan perlu percakapan
kalau hanya celoteh
dan keinginan-keinginan

saatnya kembali pada diam
sambil belajar membaca
gerak alam

sujud ilalang pada tiupan angin
hijau dan kering rumput setia pada
irama cuaca

tak ada rasa sakit dan direndahkan

wajah tuhan di kanvas kehidupan
wajah tuhan di kanvas jiwa yang
putih pualam

tak perlu lagi menyusun anak tangga
demi meniti puncak dan berbahak

menatap diri kembali
ke asal

1995


Aku Mengunyah Cahaya Bulan

kukekalkan sebutir embun kehidupan
pada selembar daun hatiku kurambatkan
fantasi lewat rentang kawat telepon
dan pucuk tiang-tiangnya mengantarkan
ke langit dalam malamku

bulan memainkan cahaya
lewat serpihan kabut
menggugurkan suara gaduh
perjalananku

ada yang menimang resah hatiku di sana

betapa nikmat meneguk kedamaian meski sesaat
biarkan aku diam dalam mengunyah cahaya bulan
yang terlempar di sana

1995


Sujud

dari surat ke surat meniti ayat-ayat
kalbu mengeja abjad-abjad, tanda-tanda-mu bercahaya
kemudian hadir bayangan sungai-sungai dalam sujud
membasahi sajadah-mu menjadi telaga merendam kalbu

ada desir sabit memagas rumputan dalam hening sunyi
siur angin dari kepak merpati menyibak permukaan
            telaga
ada riak-riak kecil langit pun mencipta pelangi

jiwa diam dalam samadi

1997


Mencari Bintang di Langit Tersedu

seperti takut pada jejak sendiri
begitu menapak menatap sesaat
kembali ke malam dalam kabut
seperti burung hantu liar mata
mematuk-matuk sunyi

serasa sebatangkara
mencari bintang di langit tersedu

berlari lewat abad bergerak terburu
semakin kehilangan nafas panjang
kupatah-patah waktu
ke dalam terminal-terminal
terlepas dari abad yang lalu

aku semakin banyak kehilangan

telah jauh dari awal
dihadapkan pada berjenis jalan

dan sering kita bertemu
aku gelisah;

tanpa sepatah kata pun
engkau selalu menunggu di ujung
patahan waktu

dalam malam berkabut
aku berkeringat terus-menerus
meminum asinnya

mencari bintang di langit tersedu
aku hilang dalam semesta

2003


Bulan Bulat di Ranjang

bulan bulat di ranjang
ke kamar lewat lubang angin
jatuh di tengah ranjang
sprei berbunga-bunga
yang tidur menggeliat pelan

sorot biru mata kucing
di atas lemari pakaian
menghunjam memeta wilayah
terkaman

1994


Cahaya Hari

hari, taburkan di sini
di pilar-pilar cuaca
cahaya hari
yang serbuk-serbuknya
di kantung langit

1974


Sajak Jarum Jam

dalam gerak jarum jam
di tembok

aku melihat-mu

ingin menangkap mendekap
dalam gigil tubuhku

kautegakkan tubuh
seperti menghindar
dalam rinduku

jarum jam mengejekku
jarum jam menyindirku
jarum jam menyimpan waktuku
jarum jam meloncati sukmaku
jarum jam meluruskan sukmaku
jarum jam menyimpan-mu

kapan sepenuh-penuh menjadi milikku

1993


Di Hati Perempuan

ada yang ingin kubangun dan kemudian kurengkuh
dalam keabadian di kota ini meski bukan kota kelahiran,
tetapi masih luput dari kesetiaan;
ada yang selalu berbisik lewat pori dada menyusup dalam
            rasa,
mengajak mengembara, selalu aku tak berdaya menolak.
pergi mengembara dengan segudang impian,
kota-kota kenangan mengeram di kepala
: kalau sudah seperti itu ingin istirah sambil
            menggambar
daun waru di hati perempuanmu.
tetapi aku bukan lelaki jantan yang berani berlama
            memainkan
kuas khayalan
kembali cepat angkat kaki menghapus cat kenangan
mengembara dengan luka demi luka yang tersisa.

2001


Di Dalam Sepetak Kamar

ia pun masih membiarkan daun jendela terbuka;
malam makin merapat. memandang jauh hanya
bayang pepohonan sesekali bergoyang
di bawah sisa-sisa cahaya bulan
luput dari perangkap awan yang mencoba
mengurung dalam laut kelam.

sambil mendulang waktu ia pun merasakan
beda rasa udara; “malam menua,” gumamnya.
angin terus mengalir membuka tabir riwayat
tersimpan pada dingin dinding kamar
bau udara masa lalu tak bisa juga terhapus
dengan warna cat baru yang secerah apa pun.

kolong ranjang perkawinan menjelma lautan
kelambu mewujud layar kafan
kapuk kasur tak pernah lagi muai dalam jemuran
mengeras membatu menjadi perahu
dan terdampar pada suatu pantai tak bernama
: ia pun sadar benar
tentang waktu yang terus menggiring ke ajal

ia lupakan keperkasaan

2001


Akhirnya Kini Kita Tinggal Berdua

akhirnya kini kita tinggal berdua;

anak-anak sepertinya baru kemarin
menjadi bagian diri kita
satu persatu pergi
menyusuri jaman
mencari nasibnya

kita sendiri terus di jalan
usia menuju tua

dan akhirnya kita tinggal berdua;

mengurangi dialog dalam bahasa kata
dengan cahaya hati dan bahasa rasa
menuliskan huruf-abjad pada syaraf
menjelma bahasa belaian
sesekali terucapkan; siapa yang pergi duluan
di antara kita, saling berebut merasa
paling banyak salah dan dosa
: kalau sudah begitu sesaat berpandangan
kemudian berangkulan seolah tak ingin perpisahan

sambil saling menyeka airmata

2001-2002


Aku Mencari Kata dalam Sajak Kehidupanku

apalagi yang bisa ditafsirkan
dari beribu kata yang berhamburan
dari busa mulut tanpa pekarasa

apalagi yang bisa dimaknakan
dari beribu kata yang berletusan
bagai mercon yang disulut di bulan puasa
menjelang lebaran

beribu kata bersilangan di udara
bagai kembang api warna-warna cahaya
membentuk berbagai rupa
kita pun dibikin terlena
oleh pesona

aku semakin rindu untuk kembali pada
kata dalam sajak kehidupanku;
tanpa suara, hening dari bunyian,
tanpa gerak yang sia-sia
diam batu dalam olah rasa

menyimpan daya

1995


Dalam Kemarau

demi hujan langit setia menjerat awan yang digiring angin
sambil mengingat bumi

2000


Sehabis Hujan

sehabis hujan dideraskan badai
tinggal engahan daun-daun
urat pohon meregang dalam dingin
tinggal riwis di teritis

sungai wajahnya dalam muram

langit masih diam
aku dalam diam
ada yang memandangku
diam-diam

1998


Sajak Dua Belasku

(1)
jejakku berkabut; mencari arah
ke sebuah benua lain
yang tak mengenal pengkhianatan

(2)
di sebuah rawa; terjerat akar bakau
sebuah biduk seperti titik terapung-apung dalam
gelora gelombang
aku dalam kosong; siapa yang membawaku jauh ke sana?

(3)
aku-kau bagai pengantin ratu
jangan dipisahkan oleh ruang dan waktu

(4)
jadikan aku kakitangan-mu
dalam gerak kehendak-mu

(5)
kenapa mesti harus berpisah
kalau hanya disebabkan sesuatu yang tak tentu

(6)
kalau ini memang kepastianmu
terimalah garis keberadaanku

(7)
dengan apa adanya
aku ingin cintamu yang sebenarnya

(8)
bacalah isi hatiku betapa merindukanmu
di mana kau bersembunyi, kucari-cari hatimu
untuk kucium dan kuajak bercumbu
dalam percintaan sejati

(9)
aku tak lagi peduli dengan basah tubuhku
dalam hujan yang bertubi-tubi diruntuhkan langit
sebab hangat hatimu telah menyelimuti dingin hatiku

(10)
apakah masih perlu menyebut dengan kata kekasih
kalau ternyata tanpa sebutan itu kau tetap mengasihiku
lalu, cukupkah dengan selalu merindukanmu

(11)
jangan lepas pada dunia ketidakpastian
jemput aku pasangan hatiku
kembalikan ke bumi bunda

(12)
dan suatu ketika sampai juga ke titik akhir
jarum jam jantungku menunjuk waktu
tak lagi ada detak itu
kurapatkan ke dada telepon genggamku
khawatir tak mendengar suaramu
siapa tahu tiba-tiba engkau memanggil
sewaktu-waktu
aku tak ingin kehilangan suaramu
sampai detak terakhir jam di jantungku

2002


Tentang Dharmadi
Dharmadi lahir di Semarang, 30 September 1948. Sejak 1968 menetap di Purwokerto, menjalani profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pernah tercatat sebagai pengurus Dewan Kesenian Daerah Banyumas. Menulis puisi sejak 1970, puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Antologi puisi tunggalnya: Kembali ke Asal (1999), Dalam Kemarau (2000).


Catatan Lain
Ada beberapa penulis yang ikut berkomentar di dalam buku ini, al. Badruddin Emce, Gunoto Sapari, Medy Loekito, Eka Budianta, Piek Ardijanto Soeprijadi, dll. Nah, di bagian ini saya ingin mengutip komentar Mas’ut SH, seorang budayawan Banyumas: “Ada yang bergeser pada puisi Dharmadi. Pada dekade tujuh puluhan sampai delapan puluhan, puisi sosialnya begitu menggelitik. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, usia dan pengembaraan sprituralnya, mulai dekade sembilan puluhan, puisi Dharmadi sarat dengan perenungan yang mendalam tentang alam dan Sang Maha Penyair.”
            Ada yang menarik saat membolak-balik buku ini, yaitu saat mata terhenti di halaman persembahan. Lengkapnya halaman persembahan sebagai berikut: kupersembahkan kumpulan sajakku ini buat: yani (istriku yang telah mendahului sowan sang gusti)/anakku pembarep, dini puspitasari/anakku lanang, fajar sasongko/anakku wuragil, dianita pandansari/yang mau mengerti tentang jiwa bapaknya yang mengembara. Awalnya shock, karena sebelum ke halaman persembahan ini, baru saja membaca puisi “Akhirnya Kini Kita Tinggal Berdua”. Ibarat kata, baru saja menghayati sesuatu yang romantik, tiba-tiba saja dibekap oleh bayangan sang maut. Sejenak terhenti. Sebelum kemudian tertumbuk pada satu nama. Sebuah nama yang sepertinya kukenal. Berusaha mengingat. Sebuah sosok samar perlahan menjadi jelas. Mungkinkah dia? Atau hanya kesamaan nama? Si wuragil, Dianita Pandansari itu seperti nama adik angkatanku di psikologi. Dia di bawah setingkat, angkatan 99. Iseng membuka buku wisuda, siapa tahu ada. Wah ternyata dugaanku benar, ada. Kami barengan wisuda, pada November 2003. (Barangkali tak perlu kurahasiakan bahwa aku baru lulus setelah 5 tahun. Jadi pada dibalap sama angkatan-angkatan bawah. Hehe). Yang memastikan, karena di buku Wisuda itu juga ditulis nama orangtua dan alamat. Dan nama orangtuanya adalah nama penyair ini: Dharmadi. Tinggalpun sama, di Purwokerto. Dan tahu kalian apa judul skripsinya dan nama pembimbingnya? Hubungan antara lama mendalami Tari Jawa dengan Kestabilan Emosi, dan pembimbingnya Prof. Dr. JE. Prawitasari.
            Lalu ini tentang Abdul Wachid B.S., yang menyumbang tulisan di buku ini. barangkali sudah kuceritakan dulu sekali. Suatu sore ada orang kesasar mencari sebuah alamat, hingga sampai di alamat kosku di karangmalang D.29, di ujung, dekat lembah UGM. Ya, dia tentu bertanya dengan santai. Yang kaget tentu saya, karena wajahnya familiar. Dia sering nongol dalam acara-acara sastra. Dia Abdul Wahid B.S. Tapi kusimpan saja dalam hati. Setelah kutunjukkan alamat yang dicari, dia pergi. Setelah pergi, aku ngomong sama Amri: “Ri, tahu gak, dia itu penyair?” Gitu doang. Hehe.    

2 komentar:

  1. seniman itu unik, seperti karya2nya yang kadang tak semua orang memahami maknanya :)

    BalasHapus