Minggu, 05 April 2015

Karno Kartadibrata: PICNIC




Data buku kumpulan puisi

Judul : Picnic
Penulis : Karno Kartadibrata
Cetakan : I, Muharram 1430 H/Januari 2009
Penerbit : PT Kiblat Buku Utama, Bandung.
Bekerjasama dengan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PP-SS)
Tebal : 42 halaman (27 puisi)
Nomor : 289/KBU-U/2008
Gambar kulit muka : The Language of Birds karya Feeroozeh Golmohammadi

Beberapa pilihan puisi Karno Kartadibrata dalam Picnic

Corat-Coret di Tembok Kusam

“kau akan mati
di hutan sendirian
ditemani suara burung di kejauhan”

2007


Lagu Sesal

saudaraku yang sekarang tinggal nisan
kita semua tutup usia
hanya berbekal penasaran
angin membisu
surat tidak berbalas

2003



Picnic

I
Kau duduk di ruang bawah
gerabah lantai jerami
“Ke mana kita pergi,” tanyaku
kau tak menjawab
di luar angin menderu
sebentar kapal terantuk-antuk

perjalanan jauh ke negeri asing
pulau-pulau terlewati
kebun agave
nenas
kelapa sawit
kadang-kadang pinang

buruh kebun berlarian
melambai-lambai
giginya putih
wajahnya coklat terbakar matahari

kau ingat Louis de Camoes
Vasco da Gama
keruntuhan Peru?

tiba-tiba kau berdiri
tanganmu memberi isyarat
masuk ke ruang dalam
menuruni tangga ke bawah
gelap dan samar

Di sana kau duduk
tergelar tikar daun rumbia
tasbih dan kendi
buku tulis terbuka

apa yang kaubaca
Bhagawad Gita?
Gandhi?
Khrisnamurti?
Ibnu  Arabi?

kau tidak menjawab

II
aku tertidur di geladak
bulan terhalang awan
pikiran melayang
Odyssey
Purnama Alam?

kita meniti tangga
seribu kali lebih tajam dari pedang
sekali jatuh
kembali ke dunia hewan

tapi dari mana ketangguhan
agar bisa terus melaju
tidak terganggu keraguan
yakin setiap langkah memang benar?

III
aku terbangun
hanya sepi

laut tenang tidak berombak
awan hitam di langit
sedikit mabuk
hampir muntah

aku melihat ke sekeliling
kau tidak ada
senyap hanya riak-riak
pamustunganana ngahurun balung
salila neangan wetan kulon deui kulon deui…”*)

2003
*) baris-baris danding Penghulu H. Hasan Mustapa


Aku Berjalan Mengikuti Suara Hati dari Lorong ke Lorong

Sampai di Jl. Bosscha masuk ke gang-gang
Teringat gadis paling manis dulu Neng Enong
Ah, di manakah dia sekarang?
Jl. Panaitan penuh teduh pohon
Dan Jl. Balonggede malam
Sesak hatiku terhimpit suara mereka yang tidak berdaya
Anak muda jual gitar butuh ongkos malam tahun baru
Ah, di manakah dia teman keponakanku tidur tanpa
     memakai baju dan pagi hari menghilang?
Di manakah dia anak muda yang paling cemerlang dan
     paling diharapkan keluarga sekarang?
Apakah kerja di pelabuhan dan puntang panting dari
     pelabuhan ke bandara
Dari Batam ke Serawak? Dari Pontianak ke Palembang?

Embun di daun bunga bakung habis hujan
Di manakah siswa-siswa yang penuh mimpi
Di manakah mereka jiwa muda penuh harapan
Menantang bahaya di jurang kehidupan?

Dan kemarin ketika aku keluar dari toko buku di Jl. Braga
Terlihat seorang gadis membaca buku kumpulan puisi
     berwarna ungu
Cahaya putih menyembur billboard lux Bella Shafira

2007


Surat

(dari aquarius untuk sagitarius)

bagaimana keadaanmu di New York?

mungkin sore ini
kau baru mandi
pakai daster merah muda
kau menggeraikan rambutmu melihat dari kaca jendela
cahaya melimpah dari kubah Times Squares

bagaimana kuliahmu di Santa Cruz
menyelesaikan disertasimu tentang Khrisnamurti
syukurlah
bila kau baik saja

aku seperti biasa
murung
mabuk dan jemu
meski di tengah kelimpahan cahaya matahari

liburan kemarin
aku menyusur laut Sangir Talaud
di Menado menunggumu di kebun vanili
terus ke Maluku
dan mengeringkan badan
waktu sore di Cisurupan, Garut
terus ke Cilauteureun Pameungpeuk
jadi, bagaimana keadaanmu
ibumu yang sakit di Michigan, apa sudah sembuh?
hidupku belum pasti apa terus hidup menyendiri atau
suatu ketika
menikah…

(balasan dari sagitarius untuk aquarius)

“aquarius yang malang
aku sudah kenal watakmu
kau tetap kanak-kanak
mengejar kunang-kungan
kesukaanmu pindah dari satu tempat ke tempat lain
membaca buku belum tamat yang satu pindah ke buku lain
begitu pula kau cepat memuja
siapa yang percaya pada sifatmu suka berubah
tapi aku suka pada keterusteranganmu
tidak apa suatu ketika kau akan tenang
di depan tungku perapian
ketika halaman-halaman naskah satu-satu kau bakar
tidak apa suatu ketika kau tidur di kursi merasa
tidur di geladak kapal berlayar ke tepi kutub
tenanglah dan tetaplah pada kesukaanmu itu
sekuat dirimu teruslah hidup menyendiri
akhirnya kau akan bosan juga sampai akhirnya
memilih…”

2004


Ibu di Kursi Beroda

Ibu di kursi beroda
dari jendela datangnya
ketika sore sendiri
menulis di meja kayu jati

Berjatuhan cahaya-cahaya
dari kerudung, kain dan selopnya
“Kau tetap melihat jam
sampai ukuran-ukuran yang dalam
sampai ke dentang-dentang?
Masihkah kau membaca
mengusap huruf-huruf
di saat tidur
kau tetap mendengar suara laut?”

Bandung, 1971


Siang Hari Kapan Kau Datang

siang hari betapa jemu
orang belanja di mall
dan aku
seperti biasa
tak acuh atas semua
– bergegas
naik turun lift
menenteng tas
dasi berseliweran

di meja restoran
pisau mengerkah udang
lobster dan kerang

pelan melangkah ke ruang pakaian
kain satin
korduroy
brukat
nafsu memanggil-manggil dari dalam

pikiranku pucat
memandang kosong ke depan
bayi kembali ke janin

tersentak
ketawa pelayanan cekikikan
tas
topi tergeletak

ah, kapan kau datang
biar hanya sebentar
berlarian dari tengah hujan
“apa kabar?”

2005


Rakaat Sembahyang Tengah Malam

Rakaat sembahyang tengah malam
kubawa dalam pelukan
Ah, apa yang dapat dicapai dengan tangan
ketika berlari-larian
apa yang dapat dikejar
apa yang dapat sekarang?

Dari tengah kota telah ubanan
tahang-tahang air di pinggir jalan
seorang tua datang
– dengan wajah putus asa –
bawa linggis menggali lubang
“Kami besok semua binasa
rumah sakit itu
ranjang dan ranjang”

Dan daun gugur
dibawa angin
dari pulau ke pulau
“Masih adakah harapanmu pada benih
terkubur jauh di bawah palung
bayi memejam di kegelapan kandang
cahaya jatuh dari daun
ke daun bakung?
Tahu kau, besok kota akan binasa
datang angin dan banjir?”

Sudah dibawa burung
kematian ada di lidah
darah di tahang-tahang.

Rakaat sembahyang tengah malam
gemetar dalam pelukan.

Bandung,1970


Kepada Marry Mangunsong

Gadis cemerlang!
Sore ini aku akan datang jam lima
sekarang jam 15.00, 16.30 dan hampir jam 17.00
Sudahlah betulkan ikatan rambutmu
mari lewat kebun bunga poppy
lewat jembatan kayu
pegang, pegang
dalam keributan tawamu.

Singgah di gedung-gedung tua
duduk di teras batu-bata merah
lewat halaman berkerikil
sambil tertawa-tawa kecil
Berenang? Kau bertanya
Ya, bawa scooter-mu
ke pemandian. Di sana dengan bunga
bougenville dan air membersit di gunung-gunung kecil
menyelam hingga lupa
kalungmu, gelangmu, cincinmu.

Lupakan juntaian kaki
dan kantuk datang di siang hari
biar tertinggal termos, remah-remah roti
saputangan, bungkus gula-gula, jejak-jejak kaki.

1973


Hongkong

Kelam di luar restoran
terdengar suling
dan aliran sungai
bisikan dalam tongkang

Gadis yang malang!
mengayuh di tengah hujan
ikut arus
terbawa malam

Nanti impian akan tiba juga
kelipan bintang
menaburi restoran.

Alangkah lama! Katamu yang menggigil kedinginan
Ya, alangkah lama …

1978


Tenggelam

Tidakkah hatimu runtuh
mengalir sungai di tengah kota
jembatan tenggelam setengahnya
dan toko rubuh
dan bank rubuh.
Bata demi bata tenggelam
dan paling akhir jam.
Diangkat setelah terbenam
masih bernafas
masih berdendang:
di manakah orang yang suka lalu lalang itu?


Datanglah Kegelapan

Akhirnya hanya kau yang setia
datang menghibur derita
perjalanan panjang
abad demi abad

duduklah,
kita cerita
kalah dan kematian
sebelum malam
makin pekat
dan mendekat

2005


Tentang Karno Kartadibrata
Karno Kartadibrata lahir di Garut, 10 Februari 1945. Menyelesaikan kuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, jurusan Bahasa Daerah (SUnda) di IKIP Bandung (sekarang UPI). Bekerja sebagai wartawan sejak 1965 di koran Harapan Rakyat. Terakhir bkerja sebagai redaktur di majalah Mangle. Kumpulan sajaknya: Lipstick (1981), Parfum (1997) dan Dunungan Geura Jol Sumping (bahasa Sunda).


Catatan Lain
Tak ada pengantar di buku ini, hanya ucapan terima kasih kepada Jacob Sumardjo, Pesu Aftaruddin, Teddy Kharsadi, Rum Aly, Hasrul Muhtar dan Purwoto Handoko karena memberitahu bahkan mendokumentasikan puisi-puisi penyair dari berbagai media seperti di Majalah Horison, Basis, dll. Ucapan terima kasih hanya 1 (satu) paragraf. Biografi penyair ada di sampul belakang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar