Minggu, 05 April 2015

Korrie Layun Rampan: SUARA KESUNYIAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Suara Kesunyian
Penulis : Korrie Layun Rampan
Cetakan : I, 1981
Penerbitan khusus : Budaya Jaya & Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta
Dicetak : Mitra Srangenge, Bandung
Tebal : 92 halaman (75 judul puisi)
Gambar jilid : Nana Banna

Suara Kesunyian terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu Lagu Impian (29 puisi), Lagu Bathin (16) puisi dan Wajah Puisi (30 puisi).

Beberapa pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Suara Kesunyian

Bertahan Kita dalam Ayunan Waktu

Terayun kita dalam saat, dalam terban hari
Dingin pun memekat, membasuh jasmani
Sejuta makna terlepas dari jari, raib
Menghunjam khayalmu ke wilayah ajaib

Pekik gema pun menampar ruang, rintih yang sedih
Tikaman mata belati, sayap-sayap Kasih
Engkau membayang di hati, pijaran Kata-Kata salih
Menyadarkan kita dari mimpi tidur yang letih

Bertahan kita dalam ayunan Waktu, menganyam duka Kasih
Berjalan dalam luka hari. Dalam kibaran dendam rindu

(1975)



Sawan

Aku terkurung dalam lautan gelagah yang terbakar
Memburu tujuh matahari yang menyulut kota jadi puing dan debu
Di mana-mana kebakaran, huma, hutan dan tanah datar
Terik-Mu tangis darah, sejuta laskar yang menyerbu!

Siang menjadi merah penuh raung gagak-gagak keji
Yang membunuh kebeliaan kudus, menyungkurnya ke bumi
Kegemilangan mengarak jenazah sepanjang hari-hari mati
Perih kita melekapkan muka pada nyala derita abad ini

Kesilauan padang api menyala di atas kuburan-kuburan raksasa
Sungai membanjir darah, menyapu seluruh kota yang kalah
Kita bagai debu kembali kepada duli
Kepala menjunjung langit, kaki membenam dasar bumi

Udara yang busuk memintal hari-hari hitam
Memangkas pohon-pohon Kebesaran
Kata-Mu: ”Telah kuhirup mersik darah bumi
Darah langit dan kehidupan untuk harga Kematianmu yang belia!”

Aku terus terkurung dalam lautan api yang berkobar
Menjeritkan kekosongan: ”Hari ini telah kugenapkan Firman
Dan seluruh ayat-ayat Kitab Keabadian!” Tertawa Kau mengucap kelakar
Memahat nisan jiwa dari sisa nafas yang berangkat perlahan-lahan.

(1975)


Diri

Apakah yang masih tertinggal dari percakapan
Busa telah mengental di dasar gelas, pohon-pohon limbung
Sementara kelasi menghabisi sisa maboknya

Alam murni tiba-tiba melepaskan isyarat ke arah kita
yang terperas tuntas. Angka-angka telah sampai pada kewujudan
tentang mula Penciptaan, sepi yang dalam

Lama aku jadi fasik, lilih-letih mengeja Firman
Kutinggalkan lembah yang membuai musik mati. Kuraih Aku
Diri yang telanjang di depan mata-Nya sendu

(1975)


Pantun

Segamang-Mu kah lagu
Tergantung di cakrawala merah
Serawan-Mu kah ujung sedu
Pecah di hati melayah

Singgah di manakah Sukma
Istirah menuju Keabadian
Meludah wajah bumi tua
Memadam bakaran Zaman

Tinggal keasingan purba
Karib mengukur diri
Rawan-Mu menyalib Kata
Membaca 1000 ayat para Nabi

(1976)


Rahasia

Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar di luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar

Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
Jantung kita

Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu

Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
Jiwa kita

(1973)


Kutulis

Kutulis dalam senyum
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membaun sukma kehidupan

Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja

Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara

(1973)


Serenade Hampir Penghabisan

Dari pantai itu masih terdengar ujung siul
Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul

Adalah taman dan bulan mengeras pada padas
Dan sepotong sajak dari bait terlepas

Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun

(1973)


Doa Seorang Bocah Tuna

Berikan padaku pagi
Cahaya dan kebun bunga
Sungai yang membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca

Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua hitam dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau

Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku tua
Kaca rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah

(1973)


Momento Mori

Irama nyanyian mengangkat sayap-sayap burung ke angkasa
Ai, wanginya angin kemerdekaan, wanginya taman Kekasih
Cinta mekar di padang-padang tanah janjian
Mengelus dada insan, menerobos dinding Kerajaan Tuhan

Menderap kuda putihku dalam angin, memacu waktu
Ai, wanginya mawar batu, wanginya padang rindu
Kudaku memintas padang cahaya, melagu jerit langit
Meraih kodrat yang meluncur menunjam dataran benua

Kucium tanganmu di luar jamah, wahai Junjunganku
Ai, wanginya belantara telanjang, wanginya jiwa yang basah
Berperang dalam sepi, berbenah di bilik Waktu
Memanjat ke Tuhan, ke Hati yang Indah!

(1976)


Satu April 1976

yogya? masih juga emha dan linus
dan angin malioboro yang terpendam
tiang-tiang malam dan pergulatan kita yang dulu juga

ke mana lagi hari? umbu sudah jenuh
psk terlantar dan warno menyurukkan mimpi ke tengah kelam
bayi-bayi lahir di antara duri di sekitar hutan larangan

dinding-dinding kota ini masih juga bersaput debu
dulu kaugosokkan puisi-puisimu segairah sunyi merapi
tak terasa hari lenyap dan kita tersaruk-saruk kefanaan

yogya? masih juga kosong dalam keajaiban semula
membentangkan padang-padang terkukur. Di sini lengang
daerah perpuisian, perjalanan baja
gairah sejuta kaki bianglala!

(1976)


Siang Bening

Siang bening dalam bayang abad
Terkaca gurat-gurat wajah, luka dunia
Ada puing sejarah, reruntuk kota-kota Asia
Seorang raja Jawa dan derap pasukan-pasukan berkuda

Dalam kidung orang-orang menyanyi cinta
Derita puteri puri gunung
Kulihat wajahku yang asing terlelap di tengah kota
Aku mandi. Ciumlah aku, o, Pelindung!

(1977)


Paradise Lost

Aku berjalan di sepanjang goa-goa tanah mati
Memandang Kemegahan: o, bukit-bukit purba
Derita-Mu Kota, Kesunyian yang tegak di seantero pintu
Menyekap dingin memuruk, rindu berkabut ke pucuk-pucuk

Buah-buah di lembah menyala bagai kunang-kunang
O, jiwa yang Agung, bersua kita di ruang Niskala
Di sini Tangan Raksasa membelah hari dan puncak gunung
Menghumbalang sungai, dan Kau tiba-tiba tersedu di depan
            ranjang mati

Api membakar tepi-tepi malam yang garang
Kaukah itu selubung Rahasia, o, Kekasih yang berduka
Percakapan ini tinggal suara, ayat-ayat warna Bianglala
Dan Kau terus tersedu membenam muka ke ufuk yang hilang

Tangan-Tangan Waktu terus gemetar menuding padaku
Menyerahkan darah dan beribu nyawa para Habil
Tuhanku, begini memerih elegi sepanjang Abad Kami
Sejuta sayatan torehan Wajah: beku dan Mati!

Aku berjalan di sepanjang goa-goa ufuk rembang petang
Memandang Telaga Kemegahan: o, Diri yang hilang
Terlindas rahasia-Mu yang dingin dan Sunyi
Yang terus menjajar angka-angka Nasib dalam rabun Kaca Misteri!

(1976)


Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu

Kita berpisah dalam kuyup Waktu
Menapak lengang Sejarah, menyadap resah tempat demi tempat
Membongkar padang akal di tengah hiruk-pikuk dunia
Yang penuh tawa dan tangis dan usungan keranda

Para relaki meninggalkan jejak membekas pada beranda
Langit Tuhan yang purba meneteskan sejumlah rahasia
Pada Nasib pada sampan pada lanting dan pada Kata
Mengembalikan bayang kepada bayang dan diri kepada Diri

Tak kukenal lagi keindahan rawan ini
Apakah kasar atau lembut. Sukma kotaku telah mati
Dari gairah nyanyian
Wajahnya asing dalam sisa gemuruh Keabadian

Kita berpisah dalam kuyup Waktu
Bocah-bocah menyanyikan senandung tak bernama
Tentang kampung halaman, tentang derita sebuah tempat
Aku terhenyak mengusap debu pada pelupuk, meneguk kelelahan
pahit liur dan asin keringat!

(1976)


Puisi

Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang garang sepanjang kulminasi

Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih

Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah

(1973)


Dari A ke Z

Lengan-lengan yang capai
Suara gaib itu
Pohon-pohon kedasai
Berjajar membisiki waktu

Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah

Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki

(1973)


Terapung-apung Aku di Laut-Mu

Terapung-apung aku di laut-Mu. Menyelam tak teraba ke dalam
Beginilah karam Hidup. Bagai Tiram
Menganga dan mengatup. Sedang cambuk waktu-Mu di pundakku
            tak bosan
Melecut!

Siapa dapat mengambil hara. Dunia atau Tangan-Tangan Raksasa?
Ia kah Peramal itu. Yang tak kuyup dalam basah hari. Tak lekang
dalam kemarau panjang. Hei! menghadaplah padaku wahai Seteru!
Mari kita perpanjang jalan! Mari...
Mari kita menanam pohon-pohon Khuldi yang Baru!

(1974)


Tentang Korrie Layun Rampan
Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Selama kuliah di Yogyakarta, sempat bergabung di Persada Studi Klub. Novelnya Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1976 dan 1998. Juga menulis cerpen, esai dan kritik sastra, cerita anak, cerita film, resensi buku, dan karya jurnalistik. Kumpulan puisinya yang lain: Matahari Pingsan di Ubun-ubun, Cermin Sang Waktu, Alibi, Mata, Sawan, Mata Kekasih dan Upacara Bulan    


Catatan lain
Di sampul belakang buku ada tertulis seperti ini: SUARA KESUNYIAN ini merupakan nyanyian jiwa dalam berbagai nuansa kehidupan. Nyanyian tentang sepi, keterasingan, dambaan kekasih, cinta asrama, lagu alam, lagu derita, lagu harapan dan spirit keimanan. Semuanya dilantun dalam getaran nyanyian jiwa lewat lirk-lirik yang memuji Sang Kekasih. Sang Maha Sukma. Yang adalah Dia di Singgasana Keabadian. Sajak-sajak ini boleh dikata semuanya berangkat dari keterpesonaan atas eksistensi manusia terhadap Dia Sang Maha Tinggi.  
            Halaman persembahan berisi ungkapan berikut: “Kepada wanita yang paling terkasih, bundaku:/Martha Renihay dan ayahku Paulus Rampan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar