Sabtu, 05 Maret 2016

Agustina Thamrin: MEMBELAH DADA BANJARBARU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Membelah Dada Banjarbaru
Penulis : Agustina Thamrin
Cetakan : I, Januari 2016
Penerbit : LeutikaPrio, Yogyakarta.
Tebal : vi + 66 halaman (57 puisi)
ISBN : 978-602-371-154-3
Pemerhati aksara : Mash
Desain sampul : Cynthia
Tata letak : Adjie
Prolog : Heru Mugiarso

Beberapa pilihan puisi Agustina Thamrin dalam Membelah Dada Banjarbaru

Bukit Cinta

Aku ingin kembali menjadi
bayi menyusu rindu pada puting abadi
seperti angin lalu pada setiap musim
kukirimkan serumpun cengkeh cinta ke dalam rahimmu

Wahai kekasih abadiku
sepenuh waktu aku berdoa dan
mengaji di celah-celah malam paling sunyi

Kubiarkan bintang-bintang berlayar
mendayung perahu menuju muara tak bertepi
kulintasi api dan cahaya mendaki rindu di bukit cinta.

Martapura, 13 Nov 2015


Perjalanan

Perjalanan bersamamu
melintasi keluasan pandang
meniti titian air mata
menempuh bergurun daratan
sampai harapan menggelepar dalam kata-kata

Akulah titian air mata, Ibu
membendung jelaga di ujung tidurmu
sampai aku mengigau,
sampai rindu terpukau pada kasih sayangmu
yang meneteskan cahaya

Bagi kita, Ibu
usia tak pernah tua
meski waktu menggergaji perjalanan ini
tangan kita tak pernah surut menyatukan semangat
membentuk sebuah kekuatan

Perjalanan ini semakin jauh
semakin hening diiringi gemericik biji tasbih
di tangan ayat-ayat sunyi kubuat jadi suci bagimu Ibu,
jiwa bagi seluruh tubuhku.

Bjb, 2015



Senja

Senja mengajakku bermain api
Dengan cahaya matahari
Yang malu-malu kucing
Lalu sosokmu datang
Membawa sekeranjang rindu
Dan mengguyurkan langsung
ke tubuhku.

Bjb, 2015


Beranda Rumahku
(bagi Helwatin Najwa)

Kau menyimpan kelembutan
pada tatapanmu yang dingin
kau adalah beranda
yang penuh wangi bunga
Candamu sering menutup lukaku
aku kadang rindu oleh sapaanmu
yang selalu membangkitkan keterpurukanku
mendongakkan wajahku ketika aku tertunduk
Wajahmu penyemangat. Aku rindu
kau mutiara dalam gerimis
tak ada orang tahu kalau cahaya itu
adalah percikan dari senyummu yang mawar
Kau di mana, Hel?
beranda rumahku cuma tinggal jejakmu
berkunjunglah di dalam kesepianku.

Bjb, Mei 2015


Agustine Menulis untuk Dirinya Sendiri

Gustine, engkau burung camar yang rajin menghitung
tiang layar melarung di atas gelombang dengan rambut
gerimis menari ritmis
Gustine, menarilah sepanjang pantai ramaikan debur
ombak dengan kepak sayapmu dunia ini akan terbenam
ke dalam jarum waktu di tanganmu
Gustine, usiamu lapisan mawar suaramu dengung tujuh
sayap bidadari berbahagialah berlayar dengannya laskar
surga yang diturunkan Allah
Jangan berhenti mengepak  jangan berhenti menyalak anak
laut berdayung gelombang
Gustine, tubuh kita satu berjantung satu tapi lihat tangan
kita adalah dahan bagi matahari rambut kita adalah
malam tempat bersemayam rembulan
Gustine, jiwa kita sejarah kata-kata.

Bjb, 28 Agustus 2015 (Ultahku)


Diam

Senja menukik
pelangi seperti alismu
melengkung melingkari
bayangan kita
yang gemetar dalam lingkar asmara
Senja menajam
kegelapan muncul di wajah kita
Kita diam
diam seperti angin
tertahan di rimbun daun.

Bjb, 2015


Benang Air Mata

Kukatakan kepadamu
bahwa angin adalah benang air mata langit
luruh bersama doa yang kau benihkan

Musim tak setia menjamu bumi
kita tetap bersulang kata di beranda
Di musim panas debu beterjunan
di daun-daun merancu dalam cuaca yang membara

Kita bicara atas nama rindu
yang tersisa di denyut malam
air mata adalah mendung yang disandera angin
menetes dari laut
sedang kerlip bintang merajam
diam-diam.

Bjb, 2015


Mengukir Wajahmu

Sudah kuukir wajahmu
di antara dua kutub, cerah dan mendung
Biar dalam segala cuaca wajahmu hadir menjelma
Sudah kutulis namamu
di antara dua waktu, malam dan siang
dan kulantunkan mantra-mantra pusaka
lewat lidah dupa harapan
Sudah kularungkan hati ini
bersamamu melalui rangkaian bayu,
dengan bunga tujuh rupa
ke nirwana terindah sebagai perjamuan menuju
kebahagiaan
Begitulah getar sukmaku padamu
segala menghantui, rupa menjejal lelap
hingga lelah merangkul rasa
sampai pada akhirnya
aku diam di garis pasrah.

Bjb, April 2015


Kesaksian Malam

Malam larut ketenangan terjaga
gejolak menggemericik, lalu
merajam dalam selupa ingatan

Tiada henti berkabar tentang hidupku
padamu merindu malam
terang merindu siang cerlang cemerlang

Yaa Rabb
Setelah menapak bukit menuju arah selatan
kutemukan sawah ladang pematang nenek moyang
dalam rimbun bahagia berumah di dangau

Yaa Rabb
sampai juga tangan ini
memetik bunga di taman-Mu sekian waktu
serasa memanas kini aku sejuk dalam hening-Mu.

Banjarmasin, 2012


Mencari Ibu

Mencari ibu dalam remang cuaca
Sampai pagi kembali pagi
Sampai matahari berganti rembulan
Sampai padi menguning dan bersemi
Tafakur di taman kasih abadi

Ibu, aku mencarimu
Sampai memanjat warna pelangi
Menerobos sunyi waktu
Yang paling sepi.

Bjb, Mei 2015


Bukit Suara

Tangga bumi menuju langit itu
sudah kutempuh
dan kini aku berada di atas awan
Lihatlah, telah kulewati semak berduri
kerikil sunyi, tebing runcing
sekadar meletakkan getar ini
di jiwamu yang mawar
Lihatlah, sudah kutancapkan akar puisi
di ubun-ubun bukit, di gunung
yang menyeruak ke langit
sekadar menyembunyikan nada
jiwa padamu
Aku bersuara dalam rimbun pohon
bergumam di antara gema batu di sungai
Lihat, lihatlah wahai pesan jiwa
aku telah sampai di ujung penantian dan bukalah
cakrawala itu.

Bjb, April 2015


Pada Sekilas Bayang

Terdetak tentang engkau
Pada lirik jingga
Biasanya ada secarik pesan  di antara cahaya
Petang ini sunyi dan hanya
Gemerisik dedaunan
Berhamburan di pinggir jalan,
Di jejak tangga masjid kutunggui
Sekilas bayang
Bayanganmu bergayut pada
Lorong pikir
Dan engkau sedang
Menyeruput air kelapa
Membasahi buyarkan dahaga
Malam engkau hadir dalam
Selembar mimpi
Namun hanya diam bersungut
Kecil lalu pergi.

Bjb, Juni 2015


Hakikat Kehidupan

Dalam rahim kasih sayang
terlahir nuansa kehidupan perjanjian batin
Di perjalanan musim yang mengiringi perjuangan jiwa
makin teruji dalam kesendirian
Aku harus seperti matahari
berani menjunjung panas bumi dalam hidup,
dalam perjuangan sekalipun tertatih menyusur bumi
Aku tegar dalam tawakal,
dalam doa dan pasrah dalam skenario Tuhan paling indah
Dalam sisa detik di nadiku
Aku tafakur
Aku bermunajat.

Banjarmasin, 2012


Sepuluh Tahun Lalu

Kaki rumah ini terasa lengkap
tegap tak doyong ke kiri atau ke kanan
Namun di sepuluh tahun ke sini
jangankan rumah, diriku pun terasa timpang

Kepergianmu ke rumah abadi
telah meninggalkan serbuk kenangan pasir pantai
yang dulu dipijak terasa lembut
kini di kakiku terasa berduri
Kini engkau adalah angin yang menyentuhku
aku selalu merasa dingin dan sendu.

Bjb, 2015


Jantung Gelombang

Aku turunkan sebuah perahu
dari dalam hatiku yang bergelombang
naik dan dayunglah ke seluas samudra

Jika di tengah lautan kau bimbang
menepilah kembali ke pantai
lebih tenang mana gelombang
di dalam jiwaku dengan gelombang di tengah lautan?

Aku adalah gelombang yang tak berpasir
lihatlah jejakku di tepi laut ini
selalu kuhadirkan agar mudah engkau temukan
meski telah berkali kali ombak menghapusnya

Lelakiku, kita anak laut
yang menyimpan rindu di dalam lokan
sudah kusimpan rindu di dalam  napasku
di dalam jantung gelombang jiwaku

Laut, rumah segala gelombang
namun berpalinglah pada lautku
yang kerap menuntun
perahumu berlayar tenang.

Bjb, Sept 2015


Entah Siapa Dirimu

Entah siapa dirimu datang sebagai tembang yang
kusadap dari seberang
Dirimu seperti percikan bintang tersebar dari langit
pikiranku seperti napasmu mengalir di nadiku
Entah siapa dirimu tapi izinkan aku menyimpul benang
rinduku pada manik matamu biar aku tak sukar
merindumu
Entah siapa dirimu menyenandungkan denting jiwa di
tengah malam mengirim seribu kunang-kunang yang
dipenuhi kalimat syahdu pada sayap-sayapnya
Sehingga seraya saat sepi engkau hadir, saat sunyi engkau
memanggil, memberi jembatan agar aku tak tersesat
mengunjungimu

Bjb, April 2015


Ketika Rimba Menggugat

Betapa garangnya api melahap hutanku
menampar kenyamanan peradaban
menampar mukaku dan menampar harga diri

Bumi menggugat pada pucuk-pucuk huma yang terbakar
dendang anak-anak rimba yang menggelantung di pucuk-
pucuk pohon kerontang
ketika tanah bersatu dengan api dan melebur dengan
jasad

Hutan-hutan Borneo yang gagah dan jantan
kini tertunduk layu menyimpan segala kedukaannya pada
batang ulin yang kokoh
dan tegar
Aku tersedu di bawah pohon randu
memunguti debu dari otak aitak dunia yang durjana
biarkan aku menangkap isyarat kukang yang saling
mendekap
sebagai tanda setianya pada hutan hutan borneo
Apakah kita-kita selalu mengunyah duka kemanusiaan
pada jejak-jejak yang
terbakar?

Daun-daun bercermin pada cahaya kehidupan yang tak
pernah selesai untuk
melindungi hutan hutan kita
Apakah anak-anak rimba harus meminum air dari buah
kelapa yang hangus??
Tak terasa air mata ini sampai berbuih karena mendidih
Bantulah aku melindungi hutan-hutanku.

Bjb, Okt 2015
(catatan: saya mencoba-coba menerka makna kata yang saya birukan itu “aitak” tapi tak ketemu juga, jadi saya biarkan apa adanya)


Sungai yang Menangis

Sederet armada, berhias umbul-umbul wanara sakti,
melintas di kemegahan Sungai Martapura yang meliuk
melingkari kota Banjarmasin
Pangeran Suriansyah dan Patih Masih setiap pagi
menginfeksi, menyapa rakyat di kota seribu sungai
iring-iringan Sang Raja Banjar seolah sebuah wewangian
yang ditiup angin terendus oleh para penduduk yang
berniaga di samping sungai
Sungai Martapura adalah urat nadi kehidupan di mana
di sekitarnya berdiri pasar rakyat, masjid, bangunan
bersejarah yang menggambarkan keseimbangan duniawi
ukhrowi warga Banua Banjar
Tapi itu dulu, sekian tahun lalu kini sungai itu merintih
sedih karena ruang geraknya dipersempit oleh bangunan-
bangunan megah yang memperlihatkan kepongahan
sebuah kota
Keserakahan badani telah menikam jantung sungai,
menggugurkan harkat kota seribu sungai
Akankah filosof budaya sungai akan tenggelam oleh
modernisasi. Sehingga lebih menampakkan arogansinya
sebuah keserakahan duniawi semata
Jika itu yang terjadi, semoga sungai-sungai yang
dikerdilkan, sungai-sungai yang dianaktirikan, tidak
memamah bahkan melahap bangunan-bangunan megah
dan menghanyutkan banua yang semena-mena pada
yang bernama sungai
Oh, Martapura, sungaiku yang berabad-abad
mengantarkan generasi Banjar menjadi pemimpin
terkemuka di berbagai bidang kehidupan
Kini aku hanya bisa meratapi nasibmu dari atas jukung
tiung yang merayapi ragamu dengan hati pilu meratapi
keelokanmu yang sirna.

Bjb, Sept 2015


Tentang Agustina Thamrin
Agustina Thamrin adalah nama pena dari Gustine Bujanadi, lahir di Banjarbaru, 28 Agustus 1967. Dibimbing sang ayah, H.A. Thamrin, menggeluti dunia seni suara sejak umur 5 tahun. Pernah beberapa kali juara bintang radio televisi remaja dan dewasa untuk jenis seriosa wanita tingkat provinsi Kalimantan Selatan. Aktivitasnya kini adalah instruktur paduan suara. Puisinya termuat di beberapa media massa dan antologi puisi bersama.


Catatan lain
Heru Mugiarso menulis prolog sebanyak 4 halaman. Saya suka dengan pembukanya, ia mengutip Seno Gumira Ajidarma, kira-kira begini: “Kita harus merayakan setiap kali muncul penulis puisi yang baru karena kalaupun dia tidak mampu menyelamatkan orang lain, dia telah menyelematkan dirinya dari kematian budaya.”  (hlm. 1). Begitu.
            Oya, kalo ditanyakan, adakah puisi yang berjudul “Membelah Dada Banjarbaru”? Kujawab, tak ada.  Sehingga agak heran juga, ketika mendapati sampul buku memiliki tema dengan lanskap laut. Banjarbaru tidak identik dengan laut, tidak juga dengan sungai. Ia lebih identik dengan ke-heterogen-an, pendidikan, pemerintahan, atau sejenis itu. Bukan dengan hal-hal terkait bentang alam. Meskipun banyak sajak menyinggung pantai, laut atawa gelombang. Tapi tak apalah, itu hak penyair dan penerbit.

1 komentar:

  1. Puisi adalah nyanyian jiwa. Harapan baru. VisiEdiMaszudi.blogspot.com

    BalasHapus