Minggu, 03 Juli 2016

Fahmi Wahid: SUARA ORANG PEDALAMAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Suara Orang Pedalaman
Penulis : Fahmi Wahid
Cetakan : I, 2016
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : viii + 64 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-8414-31-9
Penyelia akhir : Hajriansyah
Tata letak dan desain : Ibnu T. W

Beberapa pilihan puisi Fahmi Wahid dalam Suara Orang Pedalaman

SUARA ORANG PEDALAMAN

“batang tajunjung, batang sasangga
daunnya maharing langit, di langit bajunjung kaca
turunan segenap leluhur di kukus manyan”

dari hutan-hutan bertumbangan
gunung dan bukit yang runtuh
kami orang-orang pedalaman
menjerit ke setiap penjuru kesaksian
meneriakkan perampasan dan perebutan
penggusuran dan pembongkaran

gaungan mesin menggetarkan balai-balai
dan menumbangkan tiang-tiang campan
harapan anak cucu orang pedalaman

lalaya tak bergerisik
sedangkan bau kemenyan merebak
mengirimkan jeritan orang pedalaman
ke setiap hati pembantai dan penjarah belantara

semalam suntuk berterang rembulan dan bersuluh damar
orang-orang pedalaman batandik menapaki rampatai
mengusir amuk sangkala

simbah keringat membasuh malam
mengusir bala dan marabahaya
segenap hajat ditunaikan seiring harapan
orang-orang pedalaman terus bersuara
menyuarakan perampasan rahim tanah ulayat

Balangan, 2015



BERAPA SAJAK LAGI KITA TULIS

berapa sajak lagi kita tulis dalam setumpuk antologi
tentang bencana, kasih sayang, lingkungan dan kemanusiaan
bila seluruh kata-kata tak memberi makna arti pada jiwa
untuk memikul reruntuhan bangunan-bangunan kota
hingga mengusung mayat-mayat saudara
yang kelak diagungkan waktu

berapa sajak lagi kita tulis
kalau hanya gerakan lisan di atas panggung kuasa
demi mendapatkan pengakuan
yang tak sesuai dengan pengadilan jejak kakimu

berapa sajak lagi kutulis
lalu turun dari mimbar kesia-siaan
kalau segalanya tinggal air mata tangisan

Balangan, 2014


LADANG API DI TAHUN KEMARIN

Separuh bulan yang bunting terombang-ambing di pangkuan sungai
dibiarkannya uluran tangan tepian dan belulang rerantingan jelaga
menyisakan cerita kemarau yang terbahak di akhir tahun kemarin
begitu dahsyatnya menghentakkan derita ke humus-humus tanah
dan kulit ari batang setanggi tercabik berai dicakari taring waktu

Lalu daun-daun para berbisik ke telinga angin perihal bau belerang
dari erangan gunung-gunung berbuncahan memercikkan kobaran api
menganak sungai sampai bermuara pada sepasang kaki kita berdiri
menatapi saudara-saudara yang moksa semesta ke poros matahari

Balangan, 10 Januri 2016


ZIARAH TANAH LELUHUR

Belajarlah menanam jejak sejarah pada tanah kubur moyangmu
agar mewarisi kemahiran bapakmu memetik senar panting
dan ritmis gerak lenggok baksa kambang bundamu
yang kini tak dapat lagi kunikmati senandungnya
di bantaran sepanjang sungai antara debur luka-luka hari
yang terus mengurai kebusukan kota
Lepaskanlah terompah telapakmu, lalu susuri tiap relief riwayatmu
yang diranggasi semak tagah ilalang dan pertapaan batu berlumut
di kelabat cendawan dan rumputan,
singkaplah rimbun cabang dedaunan itu
mungkin sepasang telapak leluhurmu masih tertatah
ditumbuhi kembang parwangi
menyebarkan harum di ladang huma nan sarunai

Ingatlah,
anak-cucuku berdarah Banjar
di tanah hulu aku kembali,
di sungai kuala aku menderas menjelma sejarah
yang diseret ganas temali serapah!

Balangan, 2015


MEDITASI HUJAN

bagai mengoyak kesunyian di kulit gamelan
ketika kita mengulurkan isyarat dengan kepahitan
sementara diriku terbengkalai dalam meditasi hujan
merangkumkan abjad-abjad yang pernah tertulis
di hempasan batu yang menindih tubuhku

diamnya hujan nan membasuh panorama duka
bersama kicauan burung-burung yang tak wajar
menghinggapi sesak renda dada
lalu hujan lepas dari genggamanku

berbaur ribu bahasa anak panah diracuni kematian
tapi kita tetap menyembunyikan wajah di pelarian ini
setelah jalan yang lama membentang kini berdebu kembali
cukup kita sudahi semuanya dalam meditasi hujan

Barabai, 2012


BAAYUN JURIYAT

di separuh malam bersuluh kandil damar
dan ceracau burung di pucukan pohon kariwaya
menyapa piduduk dan semerbak bau dupa
empat puluh satu wadai siap terhidang
antara setampik ketan, dodol, wajik, apam
dan tetes air kelapa muda
benang hitam dan seludang mayang
tetuha khusuk merapal do’a

malam ini dikami menunaikan kahandak
ma ayun juriat bubuhan anak cucu
talinya haduk, kainnya tapung tatah naga
wan cucur burung baurai kambang lilihi
anak-cucu babuat di paayunan
kami dundangakan sandika wan syair bahari
sakira anak-cucu babakti mambuang samuaan
nang marigati hati diri
berkat
laailaa ha illallah
Muhammad Rasullullah

empat rapun manisan dititi
berjerat benang hitam
diiringi bacaan shalawat nabi
beserta riuh anak-anak berebut wadai terhidang
baayun juriat di bulan penuh berkah dan puah
warisan purba di tanah nini datu
tunailah sudah baayun juriat
meninggalkan jejak petuah wan amanat

Balangan, 2013


NYANYIAN ORANG LADANG

aku mendengar bunyi beburing pipit menyambut pagi
menyebarkan embun pada pucukan daun
dan basah batu-batu sungai
di setiap galangan ladang
penuh runduk padi menguning
setelah sekian bulan memandu cuaca
yang kadang tak tentu lagi turunnya
kadang hujan menderas, sedikit gerimis
lalu panas kembali menggantang
dilalui dengan segenap pengharapan
dari anjung rumah sampai ke tanah sawah
memikul tutujah dan tajak
sampai pada harit dan ranggaman
bergulat dengan lumpur dan matahari
setiap peluh yang ditanamakan telah berisi
berbuah menguning

di atas pondok rampa
di tengah belukar
orang-orang ladang lirih bersenandung

kuning-kuning banihku lantur manguning amas dikatam diirik
dilabang…
hanyar diurai si banih hanyar himung lihum musim katam banyak
bapakulih…
jangan kulumpanan basyukur… sakira tahun dihadap babarkah
pulang…”

orang-orang ladang bersyair
meminta berkat sesuai harapan
sekaligus mengucapkan rasa syukur
agar terusir hama dan bala bencana,
hidup makmur di tanah subur banua

Balangan, 2015


NYANYIAN AIR MATA

aku ingin mengatakan
bahwa terlambat sudah daun-daun itu gugur
sementara kau pergi mengantar mimpi
aku berlari di antara hamparan kepedihan
bersama kembang-kembang luka dan awan temaram
selalu saja nyanyian air mata melantun di tiap penghujung tidurku
lantas apakah salah bila aku menadah rindu?

kita masih dalam satu balutan daun
yang tak tahu ke mana arah angin membawa jatuhnya kita
lalu hujan kita pecah
lewat perahu-perahu kertas di bawah hujan
kita titipkan paragraf-paragraf kata dan dialog
sebagaimana pena merekam memori pada lembaran jejak diari
meski hanya tentangmu, dan kepenatan
senyap

kita tak pernah lupa dengan aroma air mata itu
di seloki hujan terisi penuh
ketika segala kenang terancam punah di penyembelihan akar hati
lantas kita bergumam tanpa aturan
maaf, hanya igau wajahmu kuingat terselip di saku kemejaku
ketika membagi gerimis di sepertiga malam

Barabai, 2012


PISAU PRASANGKA

jangan tudingkan mata pisau
pada sekuntum bunga
sebelum kita membedah akarnya
runcingnya pisau merontokkan kuntum
dan menikam penatah bunga

Balangan, 2014


DARAH PEJUANG

kudekap tanah leluhur ini
seperti aku mencintai
tulang belulang para mendiang
pahlawan tanpa kenangan

Paringin, 2013


HIKAYAT PERAHU

Aku berdiri di punggung laut, karena aku anak perahu
menatapi pendar-pendar buih dihempas ketegaran karang
mengukirkan ketegaran pada pasir-pasir di tepi pantai
aku menyeka asin keringat kehidupan sebagai nelayan
di lautan ke-Maha-LuasanNya

Di ujung Bandar matahari menyelinap di punggung pantai
sebelum malam merebut hakikat perahu dan hikayat sampan
sebab selalu ada gelombang membuncah dan muara mengarus
pada setiap perjalanan dan pengarungan melayari samudra
Maha DalamNya

Balangan, Januari 2016


HAKIKAT TUBUH

kulayari hujan di garis wajahmu
saat membaca hakikat tubuh terluka
meronta menelanjangi diri
dan berjalan dengan topeng badut di tangan
kulepas semua orkestra hidup di sini
pada gelak tawa di sepasang bola mata

ambilkan aku pisau dari kepalamu
untuk mengupas punggungku
yang tak tahan dengan rindumu
dan kutuliskan nama kita di keningmu
biar setiap kali kau bercermin dapat mengeja jiwaku
aku tak pernah habis menyusuri tubuhmu

Barabai, 2012


DI BATAS TANJUNG DEWA
– kerinduan terdalam kepada Tercinta—

sepanjang tanjung inilah yang menjadi sajadahku
menadaruskan ayat-ayat ombak
mengamini tiap doa-doa bunga karang
deburnya menjelma dzikir kerinduanku
tak habis-habis memuja namaMu

samar-samar di lambai dedaunan nyiur
merahnya cahaya senja di ufuk
membasuh perahu-perahu tua kesepianku
penuh sarat muatan tanggungan hidup
melaju ke riak hulu muaraMu

di batas Tanjung Dewa
kulepaskan kasidah airmata
di tetabuhan cangkang-cangkang kerang
tak berpenghuni
menyampaikan gaduh kerinduan
menggarami segala kegenapan kita

Balangan, 2012


BERTAHAN DI TANAH KUBANGAN

Kita seperti pohon-pohon karet
setia berjejer pada tanah kubangan
memberi arti
pada setiap tetes getah darah di tempurung kehidupan generasi
dari tubuh kita yang penuh gurat luka pisau toreh
mari kita tetap berjaga pada batas terakhir
setiap jengkal tanah pada cadas batu-batu
dan deras alir sungai
sampai pada sehelai daun yang jatuh sekalipun

Kini
banyak terasa lain
kian tahun berulang
burung dan embun
enggan lagi bertandang
gunung dan lembah telah habis runtuh
tumbang
tanah tempat kita berpijak
terus dikeruk
mesin yang menggaung
batu bara diangkut,
belantara ulin dan rimba damar
ditebang
kita harus terus berteriak
meski suara sudah sumbang
akan selalu bertahan
meski diserang,
diusir
dan dibuang
dalam segala daya usaha
upaya yang dibungkam
hingga nyawa hilang

Dangsanak
kita bertahan di tanah kubangan
sampai batas akhir
nanar air mata leluhur menatap tanah kelahiran
di hunjuran gunung
yang membongkar keperawanan hutan
dan lembah meratus
jejak kanjar dan babangsai terhumbalang
pada balai-balai yang luka
ruap asap dupa menghantarkan
tangisan anak anak balian pada leluhur
agar kita tetap bertahan di tanah kubangun

Balangan, 2015


KENANGAN DI ARUS HULU SUNGAI TENGAH
(untuk bumi murakata tanah kelahiran)

tanah kelahiran ini
setangkai anggrek merpati
di bahu jalan
masih menguarkan harum kenangan masa lalu
menyambut jejakku kembali pada pangkuan ibu

di taman kota dan lapangan Dwi Warna
kudengar roda-roda motor berbaur ramai
dengan gelak tawa dan candu rayu pasangan
sepenti mengundang langkahku
kembali pada masa silam

patung burung enggang termangu
menatap hutan di lereng Meratus
yang tertinggal ranting-ranting kariwaya
dan ulin tumbang
menyisakan gelondongan batang rimba
yang hangus
pematang dan lanting lanting yang kian tergerus
pada sungai Benawa
yang kehilangan arus
legenda Raden Penganten

di bumi Murakata
masih kudengar
ratap teriakan pejuang yang mulai dilupakan
tanpa taburan aneka bunga kenangan
yang dahulu melawan penjajah
dengan segenap simbah darah
demi merebut Banua
mempertaruhkan harga diri rakyat banua

Di sinilah senandung panting kudengar
mengalunkan nasib budaya
dan warisan leluhur
yang semakin tersingkir
pada kenyataan dan harapan
yang tertoreh
pada keperihan sayatan pohon kareat
tapi kejayaanmu
selalu terukir di prasasti dada anak Banua
sebagai Parisj VanBorneo

Balangan, 2005


Tentang Fahmi Wahid
Fahmi Wahid lahir di Barabai 03 Agustus 1964. Menamatkan SD, MTSN dan PGAN di kota kelahirannya, lalu melanjutkan studinya ke Fakultas Syariah IAIN Antasari dan Program Pasca Sarjana STIM IMNI Jakarta konsentrasi Teknologi Pembelajaran (2006). Ia aktif menulis dan membaca puisi, menulis naskah drama mulai tahun 1986.. Setumpuk karyanya tergabung dalam antologi bersama, antara lain: Bertahan di Bukit Akhir (2008), Antologi Puisi Aruh Sastra Kalsel ke-III, ke-V, ke-VI, ke-VII, ke-IX, ke-X dan ke-XI di Tapin. Juga Solo dalam Puisi (Festival Sastra Solo, 2014), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2014), Duka Gaza Duka Kita ( 2014), Ada Malam Bertabur Bintang (2015), Tifa Nusantara 2 (2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (2015), dan Memo Wakil Rakyat (2015). Karya-karyanya juga pernah terbit di koran lokal Media Kalimantan dan Radar Banjarmasin. Menghadiri Pertemuan Sastrawan 3 Negara (Malaysia, Singapura, dan Indonesia) di Cilegon, Banten 2014. Semenjak 2014 mendirikan Sanggar Mamang di Balangan. Karena prestasi dan dedikasinya dalam berkesenian ia pun menerima Hadiah Seni (bidang sastra) dari Gubernur Kalimantan Selatan (2011). Sekarang beralamat di Perumahan Batu Piring Permai Gang Tinjau RT. 14 No. 15, Paringin Selatan, Balangan, Kalimantan Selatan.


Catatan lain
Ada dua penyair yang memberi kesaksian di sampul belakang buku, yaitu Ali Syamsudin Arsi dan Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara. Kemudian hadir pula pengantar penerbit, yang kemungkinan besarnya, menilik gaya tulisannya, ditulis oleh Hajri. Di sana dapat kita peroleh informasi bahwa kumpulan ini menghimpun 4 tahun terakhir perjalanan puisi si penyair, yaitu 2012-2016.
Sesungguhnyalah, saya lebih mengingat penyair ini lewat sebuah puisinya di antologi Bertahan di Bukit Akhir (antologi puisi penyair hulu sungai tengah, 2008). Puisi ini tak ada di Suara Orang Pedalaman. Puisi yang bisa bikin saya senyum-senyum sendiri. Puisi itu berjudul Nipis tapi Kanyul. Nah lho. Hehe.

NIPIS TAPI KANYUL

Tuhuk aku bakunyuk ka banua urang
Ka udik, ka hilir, ka muhara
Lacit ka buncu banua
Asa lilip pang sudah
Balai-mambalai, warung, pasar
Bungas,
Langkar anggit urang

Ku itihi pulang nang kalunyuran urangnya
Ku tingau sapanjangan banua
Silau mataku, saling tarangan
Mahindau banuanya nang taharagu

Lawas jua aku madam, dandaman banua saurang
Sapanjanak aku singgah di warung
Bamacam wadai nang kulihat
Ku jumput jua wadai bulat habang wan putih
Ai, nipis, kanyul, mambari kapingin
Apam sakalinya

Mandibar jantungku
Taganang banua saurang
Kur sumangat
Bulik, bulik jua aku wayahini

Limbah sampai di banua saurang
Tacagal aku
Kada pinandu lagi
Memburinjing burit tundun
Mandisap bulu mambu
Tacangangi 99 ngaran Tuhan
Bajijir
Babaris
Malangir
Manarang
Di suluh kaca
Kada kalah wan banua urang

Limbah talihat nitu
Mandibar kahandak diri
Amun kawa maandak 99 ngaran Tuhan
Nang bajijir di pinggir jalan
Jakanya kawa jua kita maandak ka hati
Mudahan kawa maniru,
Kawa ma amalakan
Kawa mahuluakan kakanakan nang masih uji,
Nang batingkaung, nang sakulah
Tamasuk abah-abah, mama-mama sabarataan
Mudahan ba iman,
Tahu di adat,
Barasih banua
Barasih awak
Sampai ka hati


            Pernah juga saya baca tulisan Jamal T. Suryanata di Media Kalimantan yang membahas kumpulan puisi ini. Di akhir tulisan, JTS menemukan ada satu puisi FW yang mirip dengan puisi Ajamuddin Tifani. Mungkin semacam plesetan atau entah apa namanya. Saya sendiri belum mengecek puisi AT karena tidak punya bukunya. Berikut puisi tersebut:

KAPAL KERTAS (versi Fahmi Wahid)

kapal kertas yang membelah perut laut
adalah kapal cintaku
yang senantiasa berlabuh
ke arahMu

menyisir ke tepi
menghalau gurat duka
menyongsong ke laut
membedah bahana bahari
yang selalu terjaga
di setiap waktu
dalam nyanyian kehidupan

aku tak akan larut ke dalam arus
bersama kapal kertasku
walau karam di laut
atau terkapar di pantai
bila rimbun harapan belum kugapai
aku tetap tegar di kesendirian
bersepi di rumahMu

Barabai, 2012




KAPAL KERTAS (Ajamuddin Tifani)

(kapal kertas, kapal kertas
kulipat engkau dalam kehidupan
kapal kertas, kapal kertas
mengatas sunyiku berkepanjangan)

            kapal kertas yang mengguris badai laut
            adalah kapal cintaku
            yang senatiasa berkayuh
            ke arahmu

            kapal kertas yang tengah diburu gelombang
            adalah kapal jiwa-ragaku
            Yang merindukan kekaramannya
            di lautmu

            kapal kertas
            dirancu angin limbubu
            deru yang bergema ke daratan kelam
            hanya gema
hanya kelam

(kapal kertas, kapal kertas
kulipat engkau dalam kekenangan
kapal kertas, kapal kertas
kulayarkan engkau dalam iman)

(dari Tanah Perjanjian, AjamuddinTifani, hlm. 113)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar