Minggu, 03 Juli 2016

Taufik Ikram Jamil: TERSEBAB AKU MELAYU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Tersebab Aku Melayu, Buku Sajak Penggal Kedua
Penulis : Taufik Ikram Jamil
Cetakan : Juni, 2010
Penerbit : Yayasan Pusaka Riau, Riau
Penyalur : Nalar Multimedia, Jakarta
Tebal : x + 114 halaman (59 puisi)
ISBN : 979-3757-76-0
Perwajahan/cover : Katon S/Furqon LW

Beberapa pilihan puisi Taufik Ikram Jamil dalam Tersebab Aku Melayu

temu

aku mencarimu lewat sajak
tak mungkin kau bersembunyi dalam kata-kata

aku mengejarmu lewat bunyi
tak mungkin kau lari ke dalam sajak

aku menguasaimu dalam sepi
tak mungkin kau meronta dalam bunyi

aku mengasihimu dalam kesenyapan
tak mungkin kau membenci dalam sepi

aku memilikimu dalam aina
tak mungkin kau membuang dalam kesenyapan

aku mencumbuimu dalam ketiadaan
tak mungkin kau cacat dalam aina

aku meniadakanmu dalam ada
tak mungkin kau menyembul dalam ketiadaan

aku membangunkanmu dalam simbol
tak mungkin kau rubuh dalam ada

aku merangkaimu dalam huruf-huruf
tak mungkin kau berai dalam simbol

aku meletakkanmu dalam benda
tak mungkin kau jatuh dalam huruf-huruf

aku memaknaimu dalam kata-kata
tak mungkin kau rancu dalam benda

aku mencarimu dalam sajak
tak mungkin kau bersembunyi dalam kata-kata



orang asing rupanya aku

tak ke kualalumpur datangku menjadi hampir
antara pudu raya dan sepang hanya ada lengang
orang-orang bergegas pulang
melayang kenangan setelah petang

dalam taksi yang dihasak sepi
yang melarikan dirinya sendiri
aku coba menyapa angin
kepada debu-debu sebelum berlalu
bendang pepohonan yang tersembunyi
mungkin juga pada kelambatan sangsi
dengan muka yang setengah memberi
pikat yang menyerahkan mata
peduli dengan pandangan sekali

alamat yang berselirat tiba-tiba mengumpat
dalam kamar hotel tak bersahabat
tapi aku coba melupakan diam
membaringkan diri bagai jalan
mataku adalah marka
kesenyapan hidungku membuat arah
tempat sesat melipatkan salah
pada pengembara yang memahami kisah

tapi di ruang tamu aku ditunggu pilu
kursi melunjurkan kakinya penat
lampu-lampu bagai kilat
konter berpura-pura ramah
bagi pintu yang enggan membuka
lalu orang-orang keluar masuk
ke diri sendiri bertanding untung

mataku singgah di pohon-pohon palma
mengharapkan serat di dinding kaca
tapi pelepah yang baru saja patah
hantarkan bergalah-galah gundah
juga gorden berwarna biru
merahap sendu yang tua bangka
sejuk dari ekon menderu
meluru sampai ke batas-batas rasa

di restoran aku pesan semangkok jiwaku
berkuah dengan catatan-catatan sejarah
aku mencangkung mengokang nasib
airku sunyi yang ditinggal pergi
tapi cawan yang minum dari mulutku
pun penganan yang meradak usus
berjela-jela memburaikan sedih
kebulurkan perutku dari risau yang terpilih

kereta angkat dengan tangan terketar
tak sanggup membawa tubuhku seberat mimpi
maka aku pun merayap di tangga
dengan seribu anaknya menjulang sayup
semput nafasku tersampuk pada dinding
membuat peta resah berbingkai runsing
letoi bertelagah pegang
dengan letih membuang sayang

aku menghumban diri dalam bilik
membanting pertemuan di atas katil
gebar hanya mampu menutup singkap
namun lemari yang membongkar isinya
menyamar benci berpakaian ragu
membalunkan koyak-moyak berkoper perih
sebaliknya kloset menderas
menceburkan amarah ke lubang tandas

orang asing rupanya aku
tapi negara di manakah negaraku kini
tanpa ic tanpa ktp
tanpa tanda pada isyarat
niat yang sudah lama menunda kenal
bertarak dengan sepihak jarak
bersama parporku yang berupa kasih
itu pun sudah rabak
seperti tak sanggup untuk berbagi
bahkan kepada diriku sendiri


surat von de wall kepada raja ali haji

dengan kesedihan bulan sepenggal
aku tulis surat ini
tanpa berharap sampai ke tanganmu
yang sejak lama berlinang sunyi

aduhai kawan yang memberiku kata
setiap suratmu adalah utang
kini berbunga dari bunganya
tinggi mencekau awan

maka izinkan aku mati di batavia
hingga tulang-belulangku selalu ingat
kepada tanah yang memberiku tempat
dan isabella yang kita cintai
akan kekal sebagai remaja

sementara ini aku kehilangan kegembiraan
yang pelan-pelan menjadi musuh
setiap saat dikebatnya kata hatiku
sebagai tawanan tanpa perlawanan

tak kuasa lagi aku
tak kuasa lagi aku mengenang semua kejadian
yang disimbahi duka cita purba

dengan kesedihan bulan sepenggal
aku tulis surat ini
tanpa berharap sampai ke tanganmu
yang sejak lama berlinang sunyi


di maulidin nabi

bus-bus antarkota
selalu mengangkut kerinduanku
tapi pintu rumahmu rapat terkunci
mengurung kasihku pada deritamu
hingga hampir tak mungkin
kutinggalkan engkau sendiri
dalam hiruk-pikuk pasar gaza

di samping rumah kelahiranmu
masih juga kuharap kau menyeruak
segera saja tembok-tembok yang beku
menyampaikan pesan kedatangan
dingin angin menebarkan baumu
membumbung cepat ke jabal nur

lantas kuintip wajahmu
di antara lubang pendingin
pada pipa-pipa air menjulur
kusalurkan doa-doaku
bahkan pada buku pustaka terkatup
yang membaca dirimu sepanjang hari
kutuliskan namaku paling depan

tapi senyummu yang kecil
tersembul di balik pasir
kemudian bayanganmu menyelinap
di tengah arus lalu lintas
yang tak dapat kutangkap
dengan kesabaran sejengkal

cuma lewat penjaja syiwak dan inai
masih sempat kau kirimkan pesan
tunggu aku di riau
negeri yang dilanda risau
karena pecundang dari harapan


saat tidur

aku hanya terhibur saat tidur
menemui kegembiraan dalam mimpi
jagaku adalah nyanyi:
tudung periuk pandai menari
menari lagu putra mahkota
kain yang buruk berikan kami
buat penghapus si air mata


di sungai siak

tak peduli aku siapa pun engkau
sebab telah kubenamkan jiwamu
di dasar sungai siak
yang menyedot kisah kasih
tempat cerita timbul tenggelam
berkecipak di antara kedalaman idam

matamu akan menjelma jadi daun rengas
tekun menatap arus waktu
hilir mudik nasib yang mengapung
sebelum kiambang bertaup
dilewati tongkang berdayung loba
begitulah akhirnya engkau pun tahu
bagai air pasang
betapa deritaku tak pernah surut

akan kaujulurkan kakimu panjang
bersangga pada tebing ketika petang
lalu udang yang berkulit bimbang
setelah diburu merkuri dan zat besi
menganggap tungkaimu sebagai pancang
di situ tertambat selaksa sayang
harapan yang kuyup oleh kenang

rambutmu hitam menjurai
akan ditiup angin sampai menderai
engkau pun mengepangnya dalam syair
mengebatnya beriring dendang
yang di telinga nelayan
di pendengaran penduduk bertubuh sangsai
menjadi dodoi beratus tahun menghilir
ketika mantra dan pantun
justeru tercemar kata-kata
dalam gilingan pabrik tercabik-cabik

engkau ingin telanjang
dalam cium sejarah yang kalah
tapi hidup bukanlah sekedar keikhlasan
sebaliknya seperti asin dan tawar
membancuh rasa sepanjang alur
singgah di lidahmu terkecap payau
hiba yang tiba-tiba beriak
dipukul gelombang yang diciptakan sampah

tak peduli aku siapa pun engkau
sebab telah kubenamkan jiwamu
di dasar sungai siak
yang menyedot kisah kasih
tempat cerita timbul tenggelam
berkecipak di antara kedalaman idam
sekedar engkau paham
aku tak pernah merasa sia-sia


kisah di masjidil haram 1

masjidil haram yang luas
di manakah tempatnya
di hatiku sempit
sementara di pelataranmu melepak
aku mabuk dalam kasih berka’bah

maka aku sembunyikan harapanku
pada lawang hajarul aswad
tapi menaramu yang jangkung
menghempaskan semua pintaku
terinjak oleh kaki-kaki penziarah
sebelum tersangkut di multazam
dengan mulut hitam terkunci
di balik kiswah

aku mundur bagai abrahah
tapi seratus pintumu terkunci
babusalam merapatkan tangannya
di tangga ma’la
izrail menghentakkan tongkat
sia-sia kugapai zamzam
karena sumur purba itu
lebih dulu menenggelamkan hasratku
ke dasarnya yang dalam
tak dengkat

aku pun tersedot lewat kran
masuk kerongkongan orang-orang miskin
yang memuntahkannya sebagai dahak
tapi matahari mengangkatku
ke tapak ibrahim
cuma tak kulihat jejaknya
yang hilang bersama thawaf
bahkan di hijir ismail
aku dilapah kain lap askar
dan membuangnya
ke tong-tong sampah

muhammad muhammad ke mana engkau
tetapi hajar menghampiriku
dan menyuapi doa-doa ke mulutku
yang dikikisnya
dari kaki-kaki keledai berkurap
kau b ukan siapa-siapa
nyahlah kata pasir


thawaf perpisahan

tak akan aku ucapkan
selamat tinggal kepadamu
karena aku tak akan pergi
walau setapak dari janji

kita akan saling merindu
karena air mataku
akan memcuci dukamu
di sudut-sudut tubuhmu
kutempelkan riuh riaku
yang lebih besar
dari masjidil haram

kita akan saling merindu
karena tafakurmu
menjadi sitawar sidingin
pada hari-hariku yang pendek
ketegaranmu dari hujan dan panas
menjadi kitab harianku
yang lebih lengkap
dari ensiklopedi kehidupan

maka benamkanlah aku ke dadamu
sambil terus kau ucapkan
selamat datang
hingga aku menjadi datang
dan setiap melangkah
aku hanya menujumu
menujumu


kalau

kalau kau dermaga
aku tak akan melemparkan sauh
karena aku seribu pelabuhan

kalau kau kembang
aku tak akan menghisap madu
karena aku semerbak bunga

kalau kau puncak
aku tak akan mendakimu
karena aku sepalingan atas

kalau kau awal
aku tak akan mengakhirimu
karena aku selingkaran punca

kalau kau akhir
akau tak akan menamatkanmu
karena aku pepat penghabisan

kalau kau pelangi
aku tak akan melukiskanmu
karena aku pancaran warna

aku adam
yang tak terayu olehmu sebagai hawa
untuk makan buah khuldi
dan membiakkan kesalahan
dalam pusaran waktu


merantau kasih

aku merantau dalam kasihmu memulau
dalam perjalanan pulang merisaukan sepi
alamat yang menapak pada tanda
juga persimpangan menyimpan diam

(pada sepantun rindu aku tak jarak
pada setarik seru aku tak pijak
dan angin dan awan tak beranjak-ranjak)

aku menyanyi dalam cintamu bernada
dalam pencarian rumah melodikan sunyi
cengkok yang menggeliat pada lirik
juga rentak menghentak senyap

(untuk sebait kenang aku tak rancak
untuk sebaris tanya aku tak tampak
dan desir dan bunyi tak bercorak-corak)

maka kutebat hasratku pada hutan bakau
mengepung hatimu dalam engah kelelahan
hingga berhektar-hektar suka cita
tumbuh dalam ingatan

maka kubendung niatku pada suara
mengurung hatimu dalam tarikan nafas
sampai beroktaf-oktaf riuh ria
melengking dalam lagu

tapi hatimu jauh beribu jauh
tinggi menjadi mimpi
rendah membuat gundah
dipancang jadi panjang
diregang jadi kembang


catatan terakhir oleh raffles

kembali teringat singapura dari suatu tempat
pada suatu ruang yang malahan tak terjangkau sunyi
aku merasa ingin pergi
sebab masa laluku alih-alih dipulaukan
terbentang pelabuhan-pelabuhan jauh
menyaksikan bahasa riang berenang
menatap pendawatan kitab di setiap tanjung
bersapa dengan teluk yang memeluk pantun
atau ombak berjanji sampai
dihantar mimpi laut tentang keabadian
cakrawala yang penuh bertatah marwah

di selat philip yang memecah ombak
telah kulabuhkan keteguhan british
karena harus kubayar bengkulu dengan lunas
seribu cina asal pinang musti disuap
tipu daya adalah modal meranggaskan yang hak
pecah belah menjadi senjata tak bingkas
setelah kematian megat sri rama yang tangkas

abdullah munsyi cergas menaburkan sakit
pada otak dan hati setiap pesinggah
bahkan bagi dirinya sendiri yang kupagari iri
selebihnya kutukar sedu-sedan dengan judi
membiarkan kampung dikungkung malang
bumi putera bahkan harus dipasung
sebaliknya pendatang musti dijunjung
kedua pihak bagaimanapun harus bertembung
memang perjuangan adalah persoalan sampai hati
dan aku menerjemahkannya sebagai godam bakti

dan begitulah di badannya seribu untung mengotot
jari-jemarinya penuh gedung pencakar ketinggian
kapal-kapal datang dan pergi dari perutnya
meninggalkan lemak berlapis seluruh
dialasi nafsu-nafsi dunia di uratnya mengalir
akal hanya mengarah pada bagaimana mengeruk laba
sedangkan jantung adalah kecurigaan yang dipompa takut
sebab hidup adalah satu-satunya pilihan
tak ada yang lain

raffles dari british aku bukan lanun bukan bajak
makanya coba kugali tasik rindu di dadanya yang petak
sehingga orang bisa kembali saat hari berdetak
tapi apa dayaku setelah engku hamidah menemplak
regalia penobatan sultan dicekak
di pulau penyengat sirih emas tetap tercagak
tak dapat kupujuk dengan 50.000 perak
sampai belanda merenggutnya dalam rompak
sultan hussein dari riau juga terpaksa ditetak
traktat london 1824 dicetak pembuat jarak
apalagi setelah tengku abdurrahman merajuk
membuat lee kuan yew menyentak terbahak-bahak

tak juga riau risau apalagi tersilau
malah mengepuk diri dengan buku-buku
membuat pelabuhan-pelabuhan sampai jauh
merenangkan bahasa dengan riang
mendawati kitab-kitab di setiap tanjung
teluk yang memeluk kearifan pantun
atau ombak bersumpah tiba
menghantarkan niat laut tentang keabadian
marwah yang senantiasa mencakrawala

oh umur yang sial berbalut geram
inikah padah semuanya hingga aku terlempar
peristiwa selat menyalinkan dirinya pada nasibku
justeru di negeri sendiri peruntungan tercuri
sekeping roti yang kuminta tak pernah hampir
seteguk anggur malah memuaikan dahaga
dingin tak bisa kulerai panas tak dapat kuusai
rumah adalah sorga yang tak terbayangkan
di depan maut aku terlonta-lonta

maka hari-hariku yang tak lagi terbilang waktu
di tempat yang malahan tak terjangkau sunyi
adalah sesal adalah pilu adalah hampa
yang ujung dan pangkalnya dibelenggu siksa


kalau roboh kota melaka

kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera melebat di dalam dongeng
tak buat teduh cinta kami kepadanya
bahkan kayu-kayuan
yang membesar di tengah cerita
menutup kisah untuk bersama

kalau roboh kota melaka
papan di jawa kami tegakkan
tapi hutan-hutan
yang segera membuncah di dalam ingatan
tak bentangkan sayang kami kepadanya
bahkan lahan-lahan
yang meluas di tengah kenangan
menolak impian untuk bersama

kini kami tegakkan papan itu di awan
pada gerak yang tak lagi dianggap berkhianat
setidak-tidaknya kami selalu waspada
bahwa perubahanlah yang paling abadi
menghantar semesta ke batas-batas langit
bergumpal dengan kesejukan meninggi
menderukan hujan di tengah panas

kaki kami akan terpacak di lembah-lembah
dengan langkah membesar ke bukit-bukit
mata kami melautkan gelora sukma
melantunkan doa-doa sayap
pada setiap jasad yang mengucap ungkap

rupanya kita hanya bisa saling memandang
itu pun kami ragukan mata kalian yang membayang
usia telah mengaburkan penglihatan
jauh dan dekat kehilangan sasaran


kita akan menjadi berkitab bijak

di riangku duapuluh kurang satu
bersangga sedih pada tahun batu
hampir dekat dengan safak
engkau merasa tercampak
tapi di wajahmu merah pekat
aku tahu engkau telah terpikat
seperti tun sri lanang mendekat
bak raja ali haji merapat

maka duduklah bersamaku
sehamparan angka sebentangan huruf
merenda kata-kata sepanjang usia
menyulam kalimat di pusat waktu
hingga benda-benda menabung nyawa
menghidupi masa tiada terkira
sementara telah kita rekat makna
pada keluasan ucapan dan tulisan
dawat dan lidah yang tak bersanggah
sebab dan akibat tanpa menyalah

lalu engkau pun berkata setelah usai
inilah pakaian yang tak habis di badan
tapi juga merahab seluruh tubuh
memakaikan tersurat dengan tersirat
memadankan kawan dengan sahabat
menggenakan benar dengan betul
mematutkan angan-angan dengan cita-cita
aku sendiri larut dalam bustanulkatibin
sedangkan bugahayat al-ani fi hurufi al-maani
sulalatus salatin dan tufhat al-nafis
jadi belakang yang mendapat depan

pasti kita akan menjadi berkitab bijak
memaklumi zaman sepanjang karangan
kita catat nafsu-nafsi di lain tempat
kabur oleh hati yang tak jujur
dan kita akan saling memiliki
karena tak mungkin berlain tuan


lahir (nadim)

terlahir kembali engkau
bersama sujud berbalut syukur
ketuban yang memecahkan dirinya sendiri
meraup doa-doa di punca isya

lewat malam berwarna putih
kau perlihatkan dua matamu meriah
kedua kaki dan tanganmu seketika memanjang
tapi pada hidungmu julang mencacak
kamu simpan bau mawar dari tangan rummi
hingga aku tiba-tiba saja ingin mendengar
perjanjian suara dari telingamu bundar

bangkitlah wahai tubuh yang terpilih
tataplah aku yang membentang perih
kemudian kepadamu kuserahkan dalih
antara pagi dan petang yang tak beralih
juga di antara senja yang memungut subuh
di jantungmu semuanya bisa tersisih

sesungguhnya engkau bukanlah diriku
yang aku tak bisa menerima dan memberi
tapi aku juga bukan dirimu
yang kepadaku engkau tak bisa berperi

cuma mungkin kita sama-sama terkepung
dalam haru-biru yang menggenang
hingga setiap kali kita mengenang
kita akan teringat pada menang
setelah musim yang timpang
haram sekali tak jadi peluang


datang lagi ke bengkalis

datang lagi ke bengkalis
nafasku menyembur di antara mulut-mulut tembakul
yang mencipta subur bagi bakau
tempat udang dan ketam mengenal sayang
pantai mengikat janji setia
terhadap tebing berlumpur cinta

tapi kau inginkan aku menjadi terubuk
padahal puteri puyu-puyu telah menolakku
di kayu pulai harap terbengkalai
tasik padang menampung geram
pulau-pulau hanya menjadi jaring
lupa akan nasib air
yang selalu ingin menjemput pulang
bagi kepergian jelang menjelang

mustahil pula aku menyeru dedap
dalam kasih kusut melindap
insyaf mengendap
pada rahim bunda yang tak lengkap
lalu ayah adalah nestapa
menggantungkan amarah pada mempelam
sagu dan api-api
menyimpan dendam pada pucuk resam

menjadi sakai aku tak pandai
sebab airmataku telah kerontang
sebelum minyak bumi usai disulingkan
akit dan hutan hanya sepi
membagi diri setengah hati
manteraku adalah sunyi
jarak yang ditinggalkan dekat
kepada jauh anjak bersubahat

datang lagi ke bengkalis
mimpiku padamu sekuat ombak tanjungjati
tapi tidurku telah hilang
bersama air surut sepanjang musim
tanker yang lalu lalang
menenggelamkan riang di pinggir malam
dan aku tinggal sebagai pancang
menduda dari kasih sayang
mendekap sejuk dalam gelombang

datuk laksamana tak mengenal aku
hanya karena aku tobir tanpa sesal
ali dan abas adalah keruh di tanganku
dengan awang mahmuda penyongsang arus
mengajangi perih dan senyap asin lautan

datang lagi ke bengkalis
akankan berarti aku pergi
ke dalam selat diriku bertanggung malam


runsing

sekelabat pilu melintasi petangku yang tua
tapi aku tak boleh berhenti
sebab besok pagi adalah kepastian
ditumpangi harapan sarat bertimbun
bak lalu lintas silang bersilang
berpacu dalam keramaian untung

maka sukmaku pun meluruh
sementara airmata melayang
bersama debu tanpa dapat kuusap
lalu parit menyapa
dengan bahasa longkang dan selokan
lupa kepada keramahan air
yang mengalir dari belokan riang

di rumah
raung menunggu dengan garang
tapi aku ingin tidur di pinggir hari tidak bernama
berbantalkan angan-angan ketika sampai
dengan rindu kenangan sebagai tilam
selimutku adalah janji
lelap menghalau setiap bising
hingga fajar lebih cepat datang
walau hanya dalam mimpi


gurindam bukit siguntang

bukit siguntang dekat palembang
kupandang dikau dalam sebuah petang
pada huruf palawa mengembang
di antara dua sungai bujurkan kata-kata
ketika tubuhmu kian menunduk
karena beban sejarah sejuk berpeluk
dimamah usia terus melapuk
cuma aku bukan demang lebar daun
karena sang sapurba pun entah siapa
hingga tak ada sumpah dipapah
melayu tak musti layu mengalah
raja zalim harus disanggah

tak aku wan sundari
mengorak kasih dalam rahasia perawan
pun tak wan empuk wan malini aku
setelah malam yang keramat
berhampiran dengan dini hari bertambat
jam-jam penuh bulan menyabit
saat lembu muntahkan tiga perjaga
dalam rindu dendam segenap jagat
iskandar zulkarnain yang agung melaung

pada parameswara aku pernah berpaham
pindah bukan berarti kalah
seperti dari muaratakus langkah tak goyah
sungai musi menghanyutkan janji
di bintan dan inderagiri sekali lagi diuji
menyambut catatan it-sing dan mas’ud berpalut
tersalin kabur di kediri dan kedu  
cuma bukan darmapala bukan satyakirti aku
pun bukan di antara seribu pendeta aku
menyukat mahayana di universitas nalanda
pustaka membukakan dirinya cepat
melintasi sunda nyeberangi melaka
sampai ke cina saling terpikat

lalu bulan-bulan penuh bala
tiba juga bersama rajendra
seperti pesan yang dikirim dari tanjore
panah vidhyadharatorana mengamuk
sampai ke hulu hati peradaban
bukan saja intan berlian dan tentara bergajah
bahkan paduka sangrama vijayottunggawarman
ditawan dalam dendam
setelah itu airlangga
memungut serpih di pinggir jawa
tak pula pasai lengah
melangkah segera ke tengah kalah
untuk menang menaikkan marwah

bukit siguntang dekat palembang
kutengok dikau dalam sebuah petang
ketika syailendra tak tahu jalan pulang
perginya pun ke rantau ambang
hingga masing-masing abad tersesat
tapi juga tak saling ingat
cari dan mendapat hanya lewat
berabad-abad bergulat debat

bukit siguntang dekat palembang
kutatap dikau dalam sebuah petang
karena memang tak banyak yang dapat kulihat
tak candi atau sebarang bangunan
bukan penyatuan kefanaan dan keabadian
hingga aku bebas membayangkan
tentang kesetiaan dan pengkhianatan


Tentang Taufik Ikram Jamil
Taufik Ikram Jamil lahir di Telukbelitung, Riau, 19 September 1963. Tamat dari Universitas Riau tahun 1987. Selama 19 tahun menjadi wartawan, terakhir di harian Kompas. Pekerja seni dan berhidmat sebagai pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau. Kumpulan sajaknya Tersebab Haku Melayu, buku sajak penggal pertama. Kumpulan Cerpen: Sandiwara Hang Tuah, Membaca Hang Jebat, dan Hikayat Batu-batu. Novelnya: Hempasan Gelombang dan Gelombang Sunyi.


Catatan lain
Disampul belakang buku, ada lima nama yang memberi testimony: Sutardji Calzoum Bachri, A. Samad Said, Suratman Markasan, Tan Lioe Ie, Jan van de Putten. Kata Sutardji: “…Bagi Ikram, sejarah kemelayuan bagaikan tongkat Musa. Lewat berkah bakat puisinya, dari tongkat itu ia ciptakan ular yang melahap nestapa, perih trauma, luka derita, dan membuka jalan sejarah baru yang segar dan mencerahkan.” Kata A. Samad Said: “Gugusan puisi Taufik Ikram Jamil membuktikan bahwa magis kata dan luhur batin Melayu masih harum bernafas. Antologi puisinya yang wajar membuat kita menjerit bangga.” Demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar