Minggu, 03 Juli 2016

Khrisna Pabichara: POHON DUKA TUMBUH DI MATAMU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Pohon Duka Tumbuh di Matamu, Sehimpun Sajak Rindu
Penulis : Khrisna Pabichara
Cetakan : I, 2014
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta.
Tebal  : 240 Halaman (120 puisi)
ISBN : 978-602-3090-28-0
Penyelaras akhir : Mataharitimoer, Utami Utar, Amaliana Widya Utami
Tata letak : Irwan Bajang
Ilustrasi dalam : Prajna Dewantara
Desain sampul : Ega Fansuri, Irwan Bajang

Pohon Duka Tumbuh di Matamu terdiri atas 5 bagian, Tentang Rindu yang Menabahkan dan Menubuhkan Kasihku (26 puisi), Tentang Luka dan Segala yang Suka Kubaca Diam-diam (21 puisi), Tentang Seseorang dan Sesuatu yang Menetap di Kepalaku (32 puisi), Tentang Kopi dan Pahit Harapan yang Kerap Kita Sesap Bersamaan (17 puisi) dan Tentang Doa dan Gerutu Doa yang Tak Habis-habis Kulafalkan (24 puisi).

Beberapa pilihan puisi Khrisna Pabichara dalam Pohon Duka Tumbuh di Matamu

Lebaran, Kenangan, dan Keluarga Tanpa Bapak di Sebuah Kaleng Khong Guan

Masih ingatkah kau pada percakapan kita
ihwal keluarga tanpa Bapak di sebuah kaleng
Khong Guan baru sehari selepas Lebaran?

Waktu itu, mati-matian kau bantah aku
perihal si bapak yang tak ke mana-mana
lantaran dialah yang memotret anak-istrinya

Alih-alih memotret, katamu, si bapak
sedang berangkat perang dan sendirian
merayakan Lebaran di kaleng wafer lain

Lalu, harapan kita sepakat: mudah-mudahan
anak-anak kita, kelak, tidak mengalami luka
nasib bak anak-anak di kaleng penganan itu

Tetapi, bukan itu yang hendak kuingatkan
Ada masa-masa kita rebutan wafer pertama dan rindu kita berceceran
setelahnya.

Tiba-tiba kita teringat cerpen Hamsad. Duh,
masih maukah kamu menghapus bekas wafer
di bibirku dengan bibirmu yang oh?

Juli 2014


Semesta Cinta

Sebut saja hatimu telah ditumbuhi cinta
dari yang lain, merinduimu sering kali
lebih membahagiakan dibanding memilikimu.

lalu apa yang kamu namai rindu, sebenarnya,
hanyalah hampa di semesta cinta

kamu semacam kopi, seberapa pahit pun
akan selalu kucari

Juli 2011



Ziarah ke Makam Pantun

Aku ingin berlari ke puncak sajak. Melipat
jalan setapak di matamu yang berkabung.
Merentang telaga lengang agar ikan-ikan
dan nestapa bebas berenang. Menanti datangnya
perempuan berambut kabut, yang dulu selalu
berselisih dengan waktu, yang berusaha menemu
bahasa suasana paling bisu: kamu. Kita pernah
jadi nelayan di laut ini. Memukat kata:
kelak kita sebut sebagai puisi.

Ayo, perempuanku, kita ziarah ke makam pantun.
Mata kita basah menghidu aroma hujan. Lihatlah,
kayu nisan, huruf-huruf, dan nyeri makin biru.
Sudah lama kita ingin memanggil masa-masa haru
dan tersengal-sengal menahan pilu. Sungguh,
Perempuanku, tak perlu ada satu keluh lagi.

Januari 2005


Belantara Rindu

Di hutan ini, semua pohon kunamai rindu.

Segala rindu semata ingatan, segala luka
semata kenangan. Cinta ada di antaranya.

Di hutan ini, rindu penuh berpohon-pohon
daun mahaluka berguguran ke atas tanah.
Wahai kenangan dan luka, membusuklah!

Maret 2004


Hujan yang Sendirian di Halaman
– kepada Adi Purwanto dan Utami Utar

Pernahkah kautanya perasaan kopi
yang kaubiarkan mendingin di gelas
sedang mata ingatan berpedih-pedih
menanggung perih masa lampaumu?

Di lengang halaman, Hujan gemetaran.
Sedari sore ia bertahan, sendiri di sana.
Kucoba mengajaknya ke perapian, tapi
Hujan malas menghangatkan kenangan.

Kubawakan segelas kopi, Hujan suka
dan menyesapnya tergesa-gesa. Seolah
pada tiap teguk ia kubur pahit merindu,
dan aku berlama-lama memandanginya.

Aku senang sekali memandangi Hujan,
membayangkan ia bak setangkal kelapa
tiap senja melepas lepuh pelepah derita,
begitu khidmat dan aku lupa pada kopi.

Pernahkah kautanya perasaan Hujan
yang kaubiarkan sendirian di halaman,
sedang mata ingatan berpayah-payah
menampung kenangan di gelas kopi?

Maret 2011


Seseduh Kopi Sesedih Sepi

1
Hujan sedang bermain musik di atap
rumahku. Nadanya tak beraturan, persis
perasaanku. Di hadapanku, kopi dingin.

2
Sebab kamu yang saban dinihari dirindui
embun doaku, lebih dari sekadar
pengampuh puisi. Dari pahit kopi, asalmu.

3
Andai kesedihan sembuh dari insomnia
akan kusediakan ranjang lapang di dadaku
bia ia tidur dan lelap di sana, selamanya.

4
Barangkali kamu suka secangkir kopi
beraroma duka. Kuseduh dari sedap
kenangan. Dan, sedak masa silam.

Juni, 2011


Catatan Rindu yang Tak Selesai

Begitu caramu menguras sunyi: menyesali diri
membasuh wajah dengan air mata, mengutuki
kebodohan. Tetapi kenangan selalu merambat,
memanjang, menjuluri segala yang tak sempat
kaubayangkan. Penyesalan mengepung, tumbuh
di kepala seperti rambut. Mengakar, mengurat.

Begini caraku menghibur diri: merancang mimpi,
menatap masa-masa yang telah lewat, menduga-
duga kamu sedang apa, dan memanjangkan angan
agar terjangkau apa saja yang tidak mungkin.
Kecemasan mengalir dari hilir, tenggelamkan tiap-
tiap harapan, tempat aku mula-mula belajar
menghibur diri. Masa depan selalu ketidakpastian
mengucur dari matamu – yang basah tanpa sebab.

Inilah catatan rindu kita di seserat linang sepi.
Catatan yang cacat, tak selesai, dan mustahil mau
kaudatangi. Lagi.

Maret 2010


Lelaki yang Membaringkan Rindunya di Aspal Basah

Di aspal basah, lelaki itu membaringkan rindunya.
Kau kenal lelaki itu. Kenal baik. Dulu, dulu sekali,
di hadapanmu ia racah harapan-harapan yang baik.

“Dadaku sudah bersih dari kamu dan masalalu,”
gerutu lelaki itu. Tetapi, hujan terlalu sering tiba
mengembalikan kamu ke dalam kelam dadanya.

Lelaki yang membaringkan rindunya di aspal
yang basah itu sedang menunggu ditekuk hujan,
dan kamu – racahan harapan-harapan baik itu.

Hanya saja, kamu – sebagaimana orang-orang
yang meninggalkan – lupa jalan kembali, dan
hujan di atas aspal basah tak kunjung pergi.

“Dadaku selalu tegar menampung masalalu,”
raung lelaki itu lagi, “juga kamu yang tekun
menumpang di kesuburan ketabahannya.”

Bila sudah seperti itu, rindu segera menggeliat
bangkit, melompat ke dada lelaki itu, merebak
dan merabukkan sisa-sisa mantra ketabahan.

Kamu kenal lelaki itu. Kenal baik. Dulu sekali,
di hadapanmu, ia racah harapan-harapan baik
yang-pernah maupun yang-akan-kau-janjikan.

November 2013


Hujan yang Tumpah Sesekali

Betapa sabar daun-daun bertahan
menanggung beban embun. Sedang aku,
tak kunjung tabah memanggul pedih.

Kau bagi kisah-kisah ketabahan
pada banyak orang, sampai-sampai
lupa kausisakan satu saja buatku.

Hujan, yang tumpah sesekali, berbaik hati
mempertemukan aku dengan bayangmu
di senyap ingatan.

Adalah kamu yang menyelinap di genting
rumahku, bersekutu dengan hujan,
membocorkan genting masalaluku.

Sebelum kamu pergi, aku lupa menanyakan
cara tercepat melupakanmu.

September 2006


Persepaduan Air dan Kopi

Bila masih penasaran kenapa aku setia
dan kukuh menunggumu, cari tahulah
mengapa banyak yang mencintai Kopi
dan menunggui ampasnya yang pahit.

Begitu lama aku berguru kepada Kopi
seberapa mengerikan dan menjerikan
cecap penghabisan. Sayang, aku lalai
kamu jauh lebih pahit dibanding Kopi.

Telah kuserap hikayat Air: mengalir,
meresap ke tanah, menghidupi Kopi,
dan memenuhi perigi. Kelak, di gelas,
Air dan Kopi bersatu membunuh sepi.

Maka, sudah kubereskan rasa sakit
yang kautinggalkan di jantungku.

April 2010


Pohon Duka Tumbuh di Matamu

Sebatang duka tumbuh di matamu. Akarnya
mencengkam jantung dan menghentikan
detaknya. Lalu menjalar, merambat ke mataku.

Bermandi cahaya matahari pagi, pohon duka
itu bertunas. Daunnya aneh, berwarna kelabu,
subur. Fotosintesa dari air mata, mungkin.

Bergelinang merah senja, ranting-ranting
dan bakal bunganya disuburkan kenangan.
Semacam benalu, mengisap sari ketabahanmu.

“Aku tak suka ada pohon duka di mataku,”
jeritmu. “Masalalu, barangkali,” hiburku.
Kelopak bunga pohon duka itu bermekaran.

Aku ingin berjalan-jalan di matamu. Berteduh
di bawah rindang pohon duka itu. Kemudian,
mencangkokkan rinduku di cabang-cabangnya.

“Jangan cintai pohon duka ini,” cegahmu, “daun
dan bunganya tak pernah dilapukkan musim.”
Tetapi, cinta suka merawat takdirnya sendiri.

Di matamu, pohon duka itu makin rindang.
Daun-daunnya menetak jantung musim. Dan,
buahnya pahit. Sari air mata.

“Ayah kita petani,” desisku, “tak pernah berani
menanam pohon duka.” Matamu basah. Berair.
Tiap butirnya jadi buah pohon duka itu.

Sebelum malam datang memelukmu, keluhmu
merangkulku erat sekali. Memang, Cinta, duka itu
pohon tak kenal musim. Tumbuh sesukanya di dada.

Agustus 2013


Seorang Ibu Berdiri di Pintu Rindu

Dari pintu-rindu kaulah itu yang kutunggu!

Meski belasan tahun kau tak berkabar,
tetap Ibu tata di atas meja penantian
penganan kesukaanmu: dengung dongeng
negeri perih, pelaut-pelaut yang lupa pulang,
kambing-kambing riang di padang lengang,
dan perih yang kutanak dari tungku menanti.
Engkau pasti masih ingat sebatang mangga
di belakang rumah yang diringkus kemarau.
Mangga itu kini jadi pelimbahan air mata.

Dari pintu-rindu, kaukah itu yang datang?

Bau keringatmu, ah, sangat lekat di kepala.
Aku di sini, Nak, di alamat yang tak boleh
engkau lupa barang sehari. Masih merdukah
suaramu menggumamkan sajak-sajak luka?
Aku rindu suaramu bersajak di tengah malam
mengusik lelap tidur orang-orang sekampung
dan kota, suatu ketika, akan tega meledakkan
kepalamu dengan tagihan-tagihan utang dan
warna-warni kepedihan pada tiap akhir bulan.

Dari pintu-rindu, kaulah itu yang kutunggu!

Juni 2012


Perempuan yang Bukan Perempuan Biasa
– kepada Marsinah

1
Dia bukan alumnus perguruan tinggi. Perempuan biasa,
berdiri paling depan manakala matahari tiga-mei-
sembilan-tiga belum cukup sedepa. Delapan belas buruh
menolak bekerja, berjajar menahan amarah:
“Naikkan gaji kami!”

2
Dia bukan sesiapa, perempuan biasa. Berdiri di depan
para pekerja tatkala matahari empat-mei-sembilan-tiga
belum lagi setinggi depa. Lima ratus pekerja bergerak
laksana kemeletuk busa menanggung sesak ombak:
“Naikkan gaji kami!”

Sang Tuan dengan angkuh bertelekan tangan. Mukanya
ruah arogan. Segera dia undang sepasukan tentara.
“Kalian digaji untuk bekerja.
Bukan untuk membangkang.
Apalagi melawan!”

Perempuan mendorong barikade tentara bayaran:
“Beri kami jalan.
Kami menuntut hak, kenapa dilarang!”

3
Matahari lima-mei berangkat menuju senja.
Para pekerja diseret paksa. Sidoarjo meneraka.
Perempuan biasa, yang bukan sesiapa itu, menggeram:
“Jika tuntutan kami diabaikan, tak ada pekerja!
Kenapa buruh-buruh yang berjuang dituding
sebagai kumpulan para pembangkang?”

4
Perempuan itu hilang. Lenyap. Tiba-tiba tubuhnya
mengapung di selokan, dengan luka mengenaskan.
Tim dokter yang ketakutan menemukan keganjilan.
Para pekerja menciut ke sudut warung-warung kopi.

“Tubuhnya dipenuhi luka mengerikan.”
“Dinding perut dan rongga kemaluannya robek.”
“Tulang pinggul hancur.”
“Ini bukan pekerjaan manusia.”
“Binatang!”
“Siapa begitu biadab?”
“Mana bisa kita melawan uang!”

5
Perempuan itu hilang. Lenyap. Kau pasti tahu namanya.

Juni 1995


Riwayat Luka

1
Kita sepakat meninggalkan masasilam.
Tetapi, kita suka diam-diam mengunjunginya.
Lewat hujan, lewat ingatan. Kesedihan kita
biarkan berumah di mata, sekulum senyum
yang disamarkan oleh jarak dan pelukan.

Luka adalah puisi, rimbun di kebun masalalu:
sebagai kita.

2
Kita sepasang merpati, dengan rindu memusim,
sedang menggugurkan kenangan – yang hujan
di dada.

Seperti angan, angin musim penghujan ditakdirkan
sebagai pemutar kenangan. Dan kita, sepasang merpati
bersayap luka, terisak ditampar-tampar badai nasib,
mengutuk malam dan hujan yang tak membiarkan kita
tertidur sebelum pagi tiba.

3
Aku bisa saja meninggalkan dan menanggalkan
kenangan. Tetapi, aku senang menunggalkan kamu
dalam ingatan.

Aku mencarimu di sela-sela jari hujan, yang kudapati
sepampang kenangan. Rindu memang rumah segala
kesedihan, barangkali. Meski begitu, aku terus
bernyanyi, menidurkan kamu di dalam mimpi.

Di sana, tubuhmu terbuka mengundang pagi:
membawa cahaya dan embun pembasuh luka.
Jendela angan terbuka, matahari tiba lebih pagi.
Kubiarkan rindu menghangat. Berlarian,
berlarian, berlarian sebagai kenangan.

4
Semenjak luka kunamai doa, aku tahu
kehilangan tak lagi butuh air mata.

Oktober 2010


Hujan, Tuhan, dan Sajak-sajak Tak Beraturan

1
Hujan yang kau rindu adalah hening
yang kutakutkan. Padanya, duka
Mengeram lebih lama.

Berkali-kali tumpah,
menyeret kamu dan masalalu
ke ceruk senyap paling mencekam.

Di luar, hujan mulai reda.
Di lengang kalbu, rindu makin lebat.

2
Aku suka rindu. Ia bisa kapan saja
melesakkan dan melesapkan kamu
ke jantung anganku.

Seperti burung, rinduku tak kenal sendu
selalu tahu jalan pulang, tak peduli senja
muram beterbangan ke dada letihku.

Ya, aku suka gerimis rindu, lebat tiba-tiba,
dan seisi kampung pulas di pipimu. Rindu,
ini linang sepi, boleh jadi lengang pinta.

3
Jika Tuhanmu bisa mengabulkan harapan,
maukah kaukenalkan Dia kepadaku?

November 2011


Mimpi
– kepada Aurora Masyitoh

Ingin sekali kurumahkan rindu ini.
Di hatimu. Sebab hatimu satu-satunya
alamat yang paling gigih kutuju.

Agustus 2013


Garing

“Di negeri ini, segala adalah lelucon
terjadi untuk ditertawai.
Kecuali kamu, tercipta semata-mata
untuk diairmatai.”

Oktober 2006


Makrifat
– kepada Lia Kristy

Tiba-tiba aku sangat rindu:
bertunas dari kesunyian dan kejauhan
pasrah pada keterpisahan dan kehilangan
berpilin di pucuk senandung mazmur dan
pada puncak hening aku bertamu pada-
Mu.

Januari 2011


Sajak Penutup Kitab

Kamu, hujan yang tumpah tengah malam
basah kuyuplah ini kepala yang telanjang,
mengurapi anganku dengan dingin cemas.
Makin asinglah aku pada uap dan kantuk.

Aku, Sawerigading yang meneguk buncah
amarah saat We Tenriabeng menukil luka,
mengusapi wajah dengan rabuk ketabahan.
Makin deraslah hujan dan sajak kenangan.

Perkara merindu, sesekali kuharap Tuhan
sudi turut campur. Setidaknya, biar engkau
tahu ada seseorang yang setia menunggu,
setabah Sulaiman menantikan Ratu Balqis.

Akankah dalam urusan sesepele rindu pun
aku harus melibatkan Tuhan? Adam saja
mati-matian menemu jalan-jalan pertemuan.
Ya, kenangan punya rumus dan peta sendiri.

Kamu, jalanan basah yang disisakan hujan.
Tiada lagi jejak yang-datang dan yang-pergi
– kedatangan dan kepergian kilatan belaka
– pucat pasi rupaku menunggu pertemuan.

Maret 2009


Tentang Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara lahir di Borongtammatea, Jeneponto, Sulawesi Selatan, 10 November 1975. Bekerja sebagai penyunting lepas. Kumpulan cerpennya Mengawini Ibu dan Gadis Pakarena. Novelnya Sepatu Dahlan dan Surat Dahlan. Kumpulan puisinya, Di Matamu (Tak) Ada Luka dan Pohon Duka Tumbuh di Matamu (2014).


Catatan Lain
Di kumpulan puisi ini, kita akan juga menemukan halaman-halaman berlatar hitam dengan tulisan berwarna putih. Atau halaman berlatar abu-abu, tulisannya hitam. Yang terakhir ini agak menyusahkan mata saya J 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar