Selasa, 27 Februari 2024

J.J. Slauerhoff: KUBUR TERHORMAT BAGI PELAUT

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Kubur Terhormat bagi Pelaut
Penulis: J.J. Slauerhoff
Penerjemah: Hartojo Andangdjaja
Diterjemahkan dari Een Eerlijk Zeemansgraf dan sebagian dari Verzamelde Gedichten
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Bandung.
Hasil usaha penterjemahan sastra dunia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta, 1976
Cetakan: I, 1977
Edisi elektronik: 2020
Tebal: 98 halaman (38 puisi)
Gambar jilid: A. Wakidjan
ISBN: 978-623-221-728-7
 
Sepilihan puisi J.J. Slauerhoff dalam Kubur Terhormat bagi Pelaut
 
KESELATAN
 
Tanah-tanah lama tinggal di belakang.
Gugusan-gugusan bintang
Timbul dari tepi laut dan malam:
Bunga-bunga perak, kemewahan yang luas bercabang-cabang
Yang menyemarakkan lazuardi kelewat lembut mengesan
Seperti belum pernah alam berbagi keindahan sedemikian rupa
Dengan kami yang fana, dari keturunan yang dina,
Tercipta ketika dewa-dewa bosan,
Tetapi kini buat pertama kali berbahagia – ini malam.
 
 
KAPAL TERKUTUK
 
Esok, sebelum fajar, aku akan pelan terbenam.
Kini, di awal malam, kunyanyikan ratap kematian
Atas mereka yang hidup, yang kini kubawa dalam pelayaran,
Yang dalam tidur kini, mereka pun tak mengira akan tenggelam.
 
Betapa jauh pun mereka pergi dari pantai semula,
Hidup mereka ada di darat, di mana di bawah pohonan,
Depan rumah, seorang isteri tinggal berdiri memimpikannya.
Pelayaran yang jauh membayang indah bagai dongengan.
 
Ruh mereka nanti akan timbul dari dalam gelombang,
Di mana dulu tubuh mereka yang berat meluncur turun,
Dan bagai burung tersesat, sebentar tertegun,
Kemudian ke kota-kota semula, mereka pun kembali pulang.
 
Di sana, tak terlihat, lewat rindang taman,
Mereka akan melayang-layang, dan kadang hampir terdengar mengerang
Malam-malam, bila topan membangkitkan debu tertua dan
Membuat dasar-dasar bangunan yang kokoh bergegar terguncang.
 
Pada diriku, nasib yang lebih besar berlaku:
Terlucut dari ombak-ombak kecil, angin lepas,
Laut akan memeluk dan merembesi tubuhku,
Mabuk mendesak daku hingga ke tubir-tubirnya yang luas.
 
Bila jasad mereka naik meninggalkan tubuhku,
Kurasa diriku ringan dan akhirnya bersih suci,
Ruangku yang kosong, temaliku yang tak bertuju mengigil selalu;
Kemudian kurasa haru dari sunyi yang abadi,
 
Yang hanya bertahta di tubir lautan,
Di mana tak ada gelombang dengan lekuk lengkungnya
Maupun cahaya dengan remang-samarnya mampu menembus ke sana;
Dunia tinggal kelam seperti di Awal Penciptaan.
 
 
TANAH PESISIR
 
Terkapar sebuah tanah pesisir,
Kecil dan terpencil seurut laut,
Di mana nelayan-nelayan tua, tak lagi ke laut,
Setelah berlayar terakhir, menghela perahu mereka yang rapuh
Naik ke pantai pasir,
Di atas garis pasang yang paling jauh.
Mereka balikkan perahu
Yang dulu membawa mereka menempuh ombak,
Maka terhantar tak berdaya perahu itu.
Mereka buat pada dinding-dindingnya yang melunak
Jendela-jendela tempat memandang yang penghabisan ke arah laut:
Dari perahu rusak,
Yang dulu membawa mereka menempuh ombak,
Dan kini menyimpan hidup mereka yang sunyi, selalu menanti,
Jadilah perahu itu peti mati yang dihuni.
 
Kami, yang masih suka mengelana,
Kami, yang masih lama akan mencari
Sesudah tiap pendaratan
Bertolak lagi karena lain godaan,
Akankah baik, setelah berhenti
Segala pengembaraan angan kami,
Membina dari kegelisahan kami
Sejenak kehidupan, di mana kami tak bergerak lagi,
Tak berbentuk, bagai binatang lunak pertama,
Menunggu ajal kami yang akan tiba?
 
 
KAPAL EREBOS
 
Dia menempuh arah yang tak dikenalnya
Di laut yang tak bergelombang tak berbuih
Dia berharap, sekali memintas selubung kelam berpijaran
Akan sampai di wilayah malam.
 
Seekor burung hitam masih juga mencoba
Mengikuti kapal sunyi ini dalam pelayaran
Dan kadang bergegas mendahuluinya
Tapi kemudian tinggal juga di belakang buritan.
 
Maka dia pun mencapai wilayah malam
Di mana awan-awan mengelamkan gugusan bimasakti dan
Bintang-bintang bersinanr membayangkan perputaran
Tanpa tujuan.
 
 
TUKANG KEREK
 
Pernah juga dalam hidupku ku cinta seorang perempuan.
Itu terjadi ketika aku berlayar di kapal Malaya.
Lama kami demi kasih Tuhan semata terapung-apung dihanyutkan,
Namun akhirnya sampai juga di Singapura.
 
Kapal kami hampir tinggal di Selat itu juga,
Tak lagi mengikuti arah tujuannya,
Ditentukan ke Bombay, telah lama tertunda,
Dan di Singapura tidak siapa pun mengharapkannya.
 
Di sana telah berlabuh kapal-kapal putih serba mewah semuanya;
Kami pun merasa betapa telanjang dan papa.
Seakan dengan cerobong-cerobongnya bersiul mereka:
“Mau apa kau datang di Singapura yang begini kaya?”
 
Dua bulan lamanya kami berada di galangan.
Banyak kaum bapa dengan pelacur merasa suka.
Mereka ngendon bersama dengan nyaman
Di rumah buruk di Singapura Cina.
 
Aku tinggal sendiri, berjalan keliling tiap senja,
Biasa hidup tanpa santapan cinta;
Kuliat orang-orang kaya naik kereta,
Ya, segala apa yang menyubur di Singapura.
 
Tapi akhirnya ku biarkan diriku terpesona
Pada jelita Jepang di lantai putih bercahya,
Lebih pucat, lebih lampai dia dari jelita Cina.
Tak layak pula dia di Singapura yang begitu membinasa.
 
Padanya ku abdikan nasib hidupku.
Betapa aku begitu lama tanpa umpan, bagiku pun jelas:
Tak pernah ku punya waktu lebih dari tiga hari dulu,
Tapi kini tiga bulan, di Singapura yang panas mencekik napas!
 
Kereta pun siap, kami mesti berangkat lagi,
Tak ada seorang yang setia bersumpah selamanya:
“Ya, putih dan berwarna tak usah saling benci,
Selamat tinggal gadis manis di Singapura jelita.”
 
 
PENJAGA MERCU SUAR DI OCKSEU
 
(Laut Cina Selatan)
 
Zum sehen geboren,
Zum schauen bestellt,
Gefä-Ilt mir die welt.
(Fa Schiller & Goethe)
 
Aku enam puluh tahun ketika itu, bosan dalam pelayaran,
Dengan geram kembali ke darat,
Tinggal terkatung-katung di kota pelabuhan,
Dengan anak-anak tak pernah ada minat.
Dari larut senja hingga pagi buta
Kerjaku minum-minum dari kedai ke kedai senantiasa
Dan setiap siang ku rasakan kebosanan.
Demikian di darat aku pun akan binasa akhirnya.
 
Maka kembali aku mencatatkan diri berlayar.
Ketika aku ikkut pula menarik jangkar,
Pada setiap helaan berdebaran hati tuaku:
Yang penghabisan, yang terakhir,
Jalan air, punggung bukit-bukit pasir,
Ke sana semua menuju, tak lagi akan kembali aku.
 
Itu kapal bertiang tiga yang menuju ke Pantai Cina.
Mula-mula anak kapal membiarkan aku tinggal dengan senang juga,
Tapi ku dapat jatah makan yang paling hambar.
Ku bawalah tukang masak Negro ke luar,
Dan berkelahi mesti; dan dengan baut
Dipukulnya belakang kepalaku. Knock-out!
 
Maka semua orang pun ketika itu merasa diri gagah:
Kuteri paling buruk, kerja paling rendah
Bagi pak tua yang terkalahkan ini cukup sudah.
Minggatlah aku, di Shanghai tiba,
Jadi pencoleng di pelabuhan, tidur di sana
Dan kepada kapal, terkadang rindu juga kurasa;
Kemudian, setengah mati kelaparan, dari jalan aku pun diangkat
Dirawat konsulat.
 
Siapa tak lagi berguna di laut dan di darat.
Jadi penjaga mercu di Ockseu pun masih dapat.
Daratan dan kapal sama jauhnya dari sini,
Dan bintang kelihatan lebih dekat lagi
Terbit di sebelah puncak bukit,
Maka kunyalakan pula lampuku alit.
 
Sekali sebulan seorang Cina mengantarkan
Padaku jatah roti, daging dan minuman.
Sampan pergi, aku pun tinggal sendiri
Dilingkung dinding bulatan besi.
Aku melihat kapal-kapal yang sayup
Berlayar pulang-pergi dari Pantai Cina Selatan.
Di mercuku ini akhirnya ku dapat juga kedamaian
Dan selesai pula urusanku dengan hidup.
 
 
PANTAI GUINEA
 
Sepanjang dinding kapal lembut berdesau busa,
Sepanjang tepi langit berpancaran tak putusnya kerdipan cahaya.
Kopra bertangas di luasan raya,
Kapten makin lama makin gemuk juga.
 
Bintang-bintang mendaki angkasa,
Tinggi di atas tiang – O, andai aku di sana!
Di kursi-kursi panjang mengelai busa
Dari orang-orang di geladak, kebanyakan setengah mabuk mereka.
 
Laut begitu baik dan begitu besar,
Tetapi kapal begitu sesak dan begitu kecil,
Dan hidup menjemukan dan bakhil.
 
Lebih bisa kita di Noordwijk, Deauville
Di kursi pantai menikmati tamasa laut raya
Tinimbang mesti pula jadi pelaut nyata.
 
 
PRIOK
 
Kapal hitam perlahan-lahan disorongkan ke dalam
Galangan yang dalam di antara los-los panjang
Pelabuhan-pelabuhan yang kaku memiliki segala yang beku
Dari kubur-kubur kota besar yang bertambah padat selalu.
 
 
PANTAI SPANYOL
 
Kapal telah membawaku keliling dunia.
Berlayar siang dan malam tidak putusnya,
Ditariknya garis tegang sepanjang luasan bundar,
Miring desau yang senantiasa datar terdengar.
Kulihat pulau-pulau, rendah dan kecil nian
Hingga adalah bagai taman-taman yang terbuang dihanyutkan
Dengan pasirnya yang merah dan pohon-pohon bakau yang
gemalai bergoyang,
Dan malam ku lihat bintang biduk di bawah membayang
 
Siang kulihat tarian yang mengembang dari dalam lautan;
Sosok-sosok tubuh gelombang membuat aku tertawan,
Tak ada kapal, tak ada karang memutus barisan mereka
Samapai kemudian selunjur pantai menyembulkan kepalanya,
Tambatan yang menenteramkan bagai padangku yang merenung
hampa.
Ku lihat kembali gunung-gunung, gelombang-gelombang yang
berkakuan
Dari kerajaan batu karang yang tinggi di jauhan,
Ku lihat sisi-sisinya yang curam, lubang-lubangnya yang penuh
bayang,
Puncak-puncaknya yang dilumas surya kuning cemerlang,
Sementara hempasan ombak bergejolak di bawahnya,
Dengan deru menggemuruh hingga ke relung-relungnya.
Dari jauh, semungil burung layang-layang, tartana-tartana lampai
Dengan layar-layar runcing menyusuri kelok-kelok pantai,
Sentosa dengan perlengkapannya di atas kedalaman perairan.
 
Di atas sana merah senja yang bernyala bersimbah darah
Tewas si puncak-puncak bersalju dengan gagah.
Benteng-benteng bergayut di lereng-lereng yang menggamangkan,
Kota-kota putih yang runtuh melandai
Sampai tepi laut, menuruni pantai.
Di atas tanjung karang awan bersibak menyingkapkan
Tiang mercu yang sunyi sendiri di tanjungnya,
Di sinar surya dalam tidurnya yang tak bercahaya,
Tapi bersama senja yang mengelabukan segalanya,
Ia pun memancarkan sinarnya, yang meregang makin jauh senantiasa,
Bagai cahaya kilat yang beraturan di waktu malam.
 
Maka adalah kini lautan dan malam
Di mana segala sosok dan bayangan terbenam:
Lautan, unsur tunggal yang perkasa
Yang membenam dan membungkam segalanya;
Malam, yang mengangkat kesadaran penuh kelancangan
Ke dalam lupa penuh kebaikan.
 
 
DIALOGUE MYSTIQUE
 
“O marinere,
En esta fonda”
 
“O calon kelasi,
Apa kaucari
Di kedai ini?”
 
Aku di sudut
Mereguk gelasku,
Malam tak suka aku
Baring di rumput.
 
“Tidak, tidak, kelasi
Di kapal kau punya
cukup minuman pasti!”
 
Tengah tiga tahun aku
Berburu paus  di laut,
Pada kesunyian yang kelu
Aku takut.
 
“Tapi di galangan sana
Ribut pun bermula
Sejak pagi buta!”
 
Tidak, aku lebih senang
Mendengar musik sumbang;
Mesin kerek yang berderak
Membuatku muak.
 
“Tidak, tidak, kelasi,
Tak kaudengar sama sekali
Darahmu nyanyikan selalu
Lagu lain bagimu.”
 
O ya, benar juga memang,
Karena kau aku datang.
Tiga tahun sudah
Tak ku lihat perempuan Eropah.
 
Kucari kau dengan kulitmu,
Rambutmu dan selebihnya lagi padamu
Di kedai ini selalu.
 
“Kelasi, bagus itu,
Boroskan hartamu,
Aku cukup bagimu.
 
“Kau ingin,
Rabalah kaki,
Boy, cotne here
One bottle champaign
 
“Bungkukkan saja badanmu
Menaung dadaku.
Susupkan tangan bila ingin.
Two bottle champaign.
 
“Kau ingin lebih dari ini,
Kita ke atas, mari,
Aku bisa berbuat lebih banyak lagi
Dari hanya berjanji.”
 
Tidak, tidak, Dolly,
Itu tidak kucari –
Dari kedai ke kedai selama ini.
 
Itu tak ingin aku.
“Lalu apa kaumau?”
Aku tak tahu.
 
“Kelasi, kelasi,
Kau bukan laki.
Tidak minuman, tidak pun perempuan,
Lalu apa kau inginkan?”
 
Aku tak tahu,
Juga di kedai ini
Tak ada itu.
 
Tak apa pun ku mau,
Kalau ada inginku,
Pasti bukanlah itu.
 
“Kau pahlawan
Tapi tidak di antara pelacur.
Beri aku bayaran,
Waktuku banyak terhambur.”
 
Ini, semua saja, pungut,
Aku  kembali ke laut
Hatiku retak masih
Karena geram dan pedih.
 
 
SI JANGGUT HITAM
 
Suara-suara: Bye-bye, Blackbeard
 
Hidup tak se-shilling pun berharga;
Kita tak menunggu dengan sabar sampai ajal tiba,
Tapi kita tegakkan sendiri di bumi neraka jahanam.
Ai, ai Si Janggut Hitam!
Ambil periuk berisi lotek dan jerang,
Tutup pintu dan jendela, benam dalam asap seluruh ruang.
Ai, ai, Si Janggut Hitam!
Perempuan-perempuan kita temukan dengan meraba-raba
Dan mereka pun tak tahu siapa menodai mereka
Bila asap, pun sirna.
 
Tak ada kemesuman yang layak mereka sesalkan.
Maka jangan hematkan siksaan,
Wejang si Janggut Hitam.
Kita beri orang lain di dunia ini sebagian
Apa yang bakal kita terima di neraka kemudian.
Kikir memang si Janggut Hitam.
Siapa temukan ragam baru dalam siksaan
Dinyatakan dalam sidang kehormatan
Sebagai Rekan si Janggut Hitam.
 
Kami bersumpah, mengelilinginya dalam lingkaran,
Kaki di atas Kitab, tangan di atas pedang,
Setia pada Si Janggut Hitam.
Apa yang ia lakukan penuh kebaikan,
Penguasa, pembangkit gentar di lautan
Hidup, Si Janggut Hitam!
Negro ditinjunya hingga berdarah,
Kulit putih ditembaknya dalam amarah,
Mereka mati, baru dia pun tenteram.
 
Kami istirah, selepas berlayar panjang,
Di pulau Si Kuda Hitam,
Daerah Kerajaan Si Janggut Hitam.
Kami berpesta pora di teluk pohon palma.
Sehari penuh, dia tinggal di kapal senantiasa,
Membenci daratan;
Malam dia mengundang kami di kabin dan
Memberi kami yang berkartu buruk
Sebanyak-banyak minuman sampai mabuk.
 
Perempuan, yang sekali pernah berpapasan dengan dia,
Akan senantiasa – dan karena itu cemar seumur hidupnya –
Tinggal setia pada Si Janggut Hitam.
Dicintainya seorang biarawati putih sepenuh hatinya,
Segera hitamlah perempuan ini karena dosa,
Bersumpah demi Si Janggut Hitam.
Dari biarawati jadilah dia kini
Mutiara lanun dalam kawanan kami,
Sepantasnya kami pujikan.
 
Kadang laut menyemburkan api dan kutuk
Maka Setan pun datang menjenguk
Sang Kawan, Si Janggut Hitam.
Kami tak melihat, tapi mencium baunya
Dan mendengar jerit suaranya
Di mana dia berkeliaran.
Malam dia berbiola di temali kapal dengan lagu kelam
Bersama kecemasan penghabisan para korban,
Kapal kami berdawai lembut dan rentan.
 
Terakhir di Teluk Hari Para Suci
– Sungguhpun gagak malapetaka telah lama mengitari
Dan mengikuti kami sampai jauh –
Kami terjaga di tengah sepasukan armada,
Mabuk dalam amarah yang menghela
Melulur kami sampai jauh.
Tapi kami dapat kemukakan diri kami semua;
Banyak yang mencari anggota tubuhnya,
Si Janggut Hitam hanya kehilangan janggutnya
Dan sebelah matanya.
 
Mengejek bertanya perempuan kesayangannnya
Bernama siapa dia selanjutnya Tanpa Janggut hitam:
Cyclop, Si Mata Satu atau Si Botak Kepala?
Perempuan itu siap membaptiskan dengan bejana di tangan
Di atas Si Janggut Hitam.
Tapi kawanan yang menderita cedera menderu serentak
Melihat darah yang mengalir di seluruh geladak,
Hingga Janggut yang terbakar hilang pun tumbuh pula
Pada Si Janggut Hitam terutama.
“Kami akan tetap kehilangan kaki dan tangan,
Namun bendera hitam tak akan pernah kami turunkan:
Si Janggut Hitam tetap … Si Janggut Hitam!”
 
 
SANG PENEMU
 
Dia mencintai negeri yang ditujunya dalam pelayaran,
Indah, bagai perempuan mencintai yang bakal datang dan masih
tersimpan.
Tenggelam merenungkannya dia berdiri berangan mimpi
Di luar di geladak depan dan bila haluan mengangkat diri
 
Dirasanya negeri itu telah bergerak-gerak
Di bawah kaki langit dalam tidur samar sejenak,
Sementara kapal, penuh busa di perbatasan dua daerah arus yang
ditempuhnya,
Melancar ke arah kelahiran yang bakal tiba.
 
Tetapi ketika negeri itu tersingkap, kiranya terjadi khianat.
Tak ada tali sunyi yang gaib mengikat mereka berdua.
Ingin dia merahasiakannya kembali – telah terlambat:
Semua telah melihatnya. Dan dia pun tak tahu apa hendak
dilakukannya
Selain berlayar terus, tak bertuju, sendiri dan larat
Dan tanpa gairah – kosong, melalui laut-laut yang kosong pula.
 
 
SUEZ
 
Langit bergetar seakan karena nyanyian duka
oleh perempuan-perempuan yang ketagihan dikembangkan
Di bawah anyaman rambut mereka
Sebagai kesucian yang penghabisan.
 
Pohon-pohon palma yang ditanam dalam taman
Melambaikan daun-daunnya di tas tepi
Jambangan-jambangan persegi:
Gedung-gedung batu pualam.
 
Laut mencium tepi-tepinya, penuh busa,
Dan membiarkan bulu-bulu kulitnya bercahaya;
Ombak-ombaknya yang paling remaja berguling-guling riang
Di atas, lapangan-lapangan yang luas menggelombang.
 
Perahu-perahu Arab yang gemuk
Dengan layar Latin kecil, seperti
Telah bertekad pasti
Meluncur masuk teluk.
 
Tapi tiap kali haluan yang tumpul
Membentur menembus gelombang
Badan perahu pun berat terjatuh
Dan tenggelam dengan tenang.
 
Camar-camar yang hapal berlayar jauh,
Berbalik dan meluncur sendirinya,
Tahu dari abad-abad yang jauh,
Lancang-lancang selampai angsa,
 
Ialah ruh-ruh kapal karam,
Bertatahkan batu-batu mutiara,
Bermunculan ke permukaan
Menghirup napas dan cahaya.
 
Laut dalam ialah makam kehormatan yang besar
Dan ruh-ruh tahu jalan ke luar
Dan jalan masuk ke dalam ajal, dan kadang
Mereka pun tiba-tiba menghilang
 
 
Tentang J.J. Slauerhoff
Jan Jacob Slauerhoff lahir di Leeuwarden 15 September 1898 dan meninggal 5 Oktober 1936. Merupakan penyair kelana Belanda. Sebagai dokter kapal ia telah mengarungi berbagai samudra dan mengembara ke berbagai negeri dan benua. Selain menulis puisi dan prosa, ia juga menerjemahkan puisi-puisi Perancis, Cina, Spanyol dan Portugis. Kumpulan puisinya antara lain Archipel (1923), Mir Obscur (1926), Oost-Azie (1928), Fleurs de Marcecage (1928), Saturnus (1930), Soleares (1933) dan Een Eerlijk Zeemausgraf (1936). Adapun prosanya: Het Lente Eiland (1930), Schuhn en Asch (1930), Het Verboden Rijk (1932) dan Het Loven op Aarde (1934).
 
 
Catatan Lain
          Hartojo Andangdjaja, sebagai penerjemah, menulis pengantar (halaman 7-26) yang dijudulinya: Beberapa Faset Tematis dalam Karya Puisi Slauerhoff. Ada dituliskan bahwa Slauerhoff telah menulis 11 kumpulan sajak yang terdiri atas 486 sajak seluruhnya, termasuk beberapa sajak yang ditulis dalam bahasa Perancis dan beberapa sajak asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
            Beberapa fakta lain: 1. Slauerhoff disebut sebagai pengelana yang romantis (halaman 11), 2. Maut adalah tema yang merangkum segalanya dalam sajak-sajak Slauerhoff (halaman 24). Oya, pertama kali membaca buku ini seingatku, sekitar tahun 2005 atau 2006. Waktu itu masih tinggal di rumah dinas Rumah Sakit Jiwa Tamban, pal 4. Awal-awal bekerja. Oleh penyair Eza Thabri Husano, disarankan untuk mengunjungi salah seorang temannya, seorang penyair juga, Ibramsyah Amandit, yang tinggal di sekitar pal 7 atau 8, Tamban. Rumahnya tepat berada di belakang sebuah SMP. Nah, buku Slauerhoff milik penyair Ibramsyah Amandit itulah yang pernah kupinjam buat dibaca. Jadi ketika ada di ipusnas, seperti bernostalgia lagi dengan puisi-puisinya Slauerhoff.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar