Data buku kumpulan puisi
Judul : Cari Muatan
Penulis : Ajip Rosidi
Cetakan :
II, 1975 (cet. I, 1959)
Penerbit :
PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal :
88 halaman (31 puisi)
Gambar kulit :
Oesman Effendi
Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Cari Muatan
inilah penyair dengan darah
di matanya
inilah penyair dengan bulan
di tangannya
ia melihat kepadaku
jalan dan kota yang pengap
terbayang
ia merenungi kaca jernih
malam terus menyala
penuh duka
hujan turun gerimis
lidah api menari
jadi kikis
Jante Arkidam
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir
embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
‘Mantri
polisi lihat ke mari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Berpandangan wedana dan mantri polisi
Jante, Jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadean malam tadi
Dan kini ia menari’
Jante, Jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadean malam tadi
Dan kini ia menari’
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat ruji besi’
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat ruji besi’
Diam ketakutan seluruh
kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
‘Mengapa
kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup
kembali
penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantri polisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Mantri polisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua
belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantri polisi di dasar kali
Terbenam tubuh mantri polisi di dasar kali
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di
dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak
ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?’
Hingga tak keluar menemui kami?’
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante
berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata ke belakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu
kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante? Tak
kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata
dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
Tanah Air
Ada hijau pegunungan
Ada biru lautan
Ada hijau
Ada biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Ada pucuk
Ada tatapan
Ada pucuk senapan
Mengarah ke dadaku
Hijau pegunungan biru lautan
Bukannya harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Bukanlah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah musnah jalan terbuka
Bunga merah bunga biru
Kembang wĕra kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam mati
Dari Jakarta
kesadaran tumbuh di Jakarta
kalau tiada Jakarta hidup betapa hitamnya
karena panggilan tinggal terpendam
(sedang darah menyala-nyala: derap kuda
berpacuan di dalam rongga)
kemesraan paling dalam dikumur dalam dada
karena cinta bergalau kemualan
oleh kesudian paling terkutuk
Surat Wasiat Penyair Komeng
Komarudin
Ada segenggam sajak yang hidup di nadimu
Bersamamu ia lahir dan mengisap madu dari
bunga
Bersamamu ia hidup dan memeluk cinta dengan
percaya
Lama sebelum segala sajak yang lahir dari duka
Menigas cahya yang disinarkan tawa sehari-hari
Ada sejumput kata kehilangan makna
Dan tidak lagi yakin akan hal yang sendiri
kuucapkan
Karena hianat dan hidup siksa
Karena kacapi dan carita pantun
Yang pernah kudengar kala malam mulai turun
Ada setapak tanah berwarna hijau di mana kau
Kan menyelesaikan nyawa dalam cinta
(seperti aku pun pernah sia-sia)
Pula kan kubangunkan suatu mimpi buat mereka
Yang sedesah senapas denganmu
Dan mencoba bisa percaya
Pada kepastian makna tiap kata
Istri tak Setia
Cinta. Pulanglah pada suami sepi menunggu
Sebelum pagi pecah sebelum malam lalu
Sebelum ia sampai tahu
Biar busah darah masih berlonjakan
Biar mata bersitatapan di maniknya hitam
Besok pun menjanjikan pula malam
Kelam dan kita kan bersarang padanya
Pulang istri tak setia
Waktu fajar menjelang tiba
Sebelum ambang rumah ia pijak
Dan sebelum pintu daunnya terkuak
Tertancap mata suami
Membuatnya terpukau berdiri
Sebelum ke luar kata barang sepatah
Dan sebelum debar dada tenang kembali
Tertancap hulu belati
Di jantung melumurkan darah
Istri tak setia berdarah air kali
Mengalir di lekuk liku jemari
Betapa ia memandang tanpa bicara
Dan beku di lorong tubuhnya
Wasil
I
api merah malam terang karenanya
menjilat habis rumah dan suaminya saluki
wasil ingat anaknya lelap di kamar
tinggal abu dan puing-puing api
wasil kehilangan semua
berangkat – kapan kembali dan ke mana
II
kota! hidupnya melingkar-lingkar di satu
pusaran
ada teman karib tetangga sedesa sinah dan
wasti
wasil duduk-duduk di warung datang lelaki
padanya
‘orang baru matanya begitu bening
dan tubuh segar dadanya keras dan besar’
wasil dilandanya dan ia mengalah saja
o, saluki suami pertama cintanya
dia telah berangkat mati dia lelaki kecintaan
kenangan wasil rumah kebun sawah mereka
dan anaknya seorang terbakar di kamar
III
kota! banyak lelaki dan begitu ganas
mereka pergi mengucap ‘haram jadah!’
dengan rel dingin di pantatnya wasil menunggu
buram malam dan gerimis pun turun
masih dingin rel dan besi kereta api
masih dingin dadanya belum dibuka
habislah hidupnya dan ke mana ia menyuruk
tubuh reot dan lelaki tak mau lagi padanya
habislah hidupnya dan akan ke mana ia
terlempar
wasil kehilangan pasaran dan ia mengalah saja
---------
ia bertengger pada dahan
alam lepas burung terbang
ia tersenyum pada bulan
langit biru mengerdip bintang
segala mendengar pada nyanyinya
segala senyap segala tenang
ia pun dahan ia pun burung
merpati mengepak dalam sarang
Burak Siluman
Seorang jejeka alangkah tampan
Hanya kakinya telapok kuda
‘Bunda, apa nasib menimpa ananda
Kakiku bukan kaki manusia’
‘Anakku seorang hanya!
Ayah bertahta di Kerajaan Siluman
Anakku seorang hanya!
Bundamu dikutuknya, bundamu terlunta’
‘Mengapa ayah tak pernah datang
Mengapa tak menjenguk anaknya seorang?’
‘Kita terusir dari halaman istana
Karena bunda ingkar pada janji
Lewat tengah malam bunda belum pulang
Ke Kerajaan ayahmu Negara Siluman
Mengayuh subuh bunda terkenang
Kan pulang sebelum tengah malam
Lewat dinari bunda pulang
Tapi jalan kehilangan arah
Kan kembali ke kampung orang
Bunda lenyap di mata manusia
Dua belas bulan kau bunda kandung
Lahirmu matahari tertutup mendung
Tangismu diantar guruh mengguntur
Malamnya pada bangkit mahluk kubur’
Seorang jaka alangkah tampan
Tapi lahir beralaskan daun bakung
‘Kauwarisi paras ayahanda, tampan
Dan wasiatnya yang bunda dengar dalam mimpi:
Adalah menjadi mangsamu perawan
Yang tengah hari sendirian turun ke pancuran’
Seorang jaka alangkah gagah
Tapi kakinya telapok kuda
Ulang Tahun dalam Penjara
Kepada Saikin dan Alibasah
I
Telah setahun yang lalu
Depan dan belakang putih bisu
Tapi suaramu jernih riang
Telah setahun yang lalu
Harapan dan impian hanya dinding
Tapi matamu menyorotkan kepastian
II
Sebuah rangka rumah
Hitam menjadi arang
Asap putih membubung tinggi
Sebuah danau hijau
Kecipak perahu di dayung
Gelombang lemah di dasar hati
III
Jalan berkelok dan mendaki
Terjal tanah berbatu
Dari rumah menuju pancuran
Jalan berkelok dan mendaki
Licin tanah berlumpur
Hidup kini menuju hari depan
IV
Alangkah tenangnya hutan
Kicau burung menyongsong pagi
Alangkah hijaunya hutan
Kicau burung menyongsong hari
Alangkah megahnya hari depan
Kita daki gunung tinggi
Alangkah megahnya kebanggaan
Menunjuk ke dada sendiri
V
Sebuah gunung hijau
Kini gundul saja
Kampung-kampung lumat, hutan tinggal abu
Api merah, darah pun merah
Sebuah lembah subur
Kini gersang, riak-riak siang hari
Ternak musnah, rumah musnah
Kolam ikan retak-retak dasarnya
VI
Ingatkah kau kepada tawa dan teriak anak-anak
Yang mengacungkan tangan serentak, “Hurip!”
Ingatkah kau kepada sorot mata meminta
perlindungan
Yang menadahkan tapak tangan, “Kasihan …?”
Meski menadahkan tangan, percuma saja
Sia-sia mereka meratap, “Kasihan …”
Tiada lagi yang tertawa, tiada teriakan
Tiada lagi yang mengacungkan tangan, “Hurip!”
VII
Kadang-kadang kecewa dan putus asa
Kurangkul bumi hitam yang kucintai
Memeluk bencana yang mengintip usia
Degupan tresna mendebar keras
Mendera tubuhku bangkit kembali
Kadang-kadang kecewa dan putus asa
Kuteriakkan sesak dada padat nestapa
Melengking ke ujung lembah
Menggaung ke punggung gunung
Yang menyeringai, menista
Kadang-kadang kecewa dan putus asa
Kulari ke keamanan rumah
Namun sesak terasa
Kudengar rintih anak-anak diterkam srigala
Memanggil daku, ayahnya
VIII
Kadang-kadang masih kusangsi
Jalan yang telah kutempuh menuju Matahari
Namun impian menyadarkan daku dari impian
Kadang-kadang masih kusangsi
Telah kususun batu-batu pendiri hari depan
lebih baik
Namun kenyataan menyadarkan daku melihat
kenyataan
IX
Kalau kamarmu gelap dan depek
Udara mengganggang angin mati
Kalau jendelamu sempit dan bulat
Dirimu terpanggang, kecewa pun menjadi
Kalau kau teraling dinding tinggi
Langkah terhambat, pandangan terhambat
Kalau pintumu hitam dan berat
Dirimu terasing, dendam pun bangkit
X
Meski duniaku hijau dan terang
Dedaunan berdesir, angin menyilir
Dinding lebih tinggi dari segala dinding
Menghadang langkahku, mematikan suaraku
Setiap sepuluh langkah ke depan
Dan sepuluh langkah ke samping
Setiap sepuluh kata kuucapkan
Berdiri sebuah dinding
XI
Telah setahun yang lalu
Depan dan belakang putih bisu
Tapi suaramu jernih riang
Telah setahun yang lalu
Harapan dan impian hanya dinding
Tapi langkahmu menandakan keyakinan
Tentang Ajip Rosidi
Ajib Rosidi lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia
menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955).
Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda;
Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri
penerbit Pustaka Jaya (1971); Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian
Jakarta (1972-1981). Ajip yang
tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya itu pernah
menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung
(1967); Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981); Guru
Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku,
Kyoto (1983-1996). Saat meraih
gelar Doktor Honoris Causa dari Unpad, Ajip Rosidi berujar, "Memajukan
Kebudayaan Sunda Bukan Provinsialistis". Untuk melihat daftar karya-karyanya, silakan baca postingan “Pantun
Anak Ayam”. J
Catatan
Lain
Buku
kumpulan puisi Cari Muatan terdiri
dari 4 bagian yaitu Cari Muatan (10
puisi), Kota demi Kota (7 puisi),
yang tak satu pun diberi judul, hanya di daftar isi ditulis menurut penggalan
baris pertama, seperti dalam puisi pertama di blog ini: dijuduli Inilah Penyair, Surat Wasiat Penyair Komeng Komarudin (7 puisi) dan Di Puncak Gunung Paling Tinggi (7
puisi).
Di
perpustakaan dan arsip daerah Prov Kalsel, saya juga menemukan cetakan ketiga
dari Cari Muatan, bertahun 1998. Tapi
saya tetap ngambil buku ini, karena tentu saja ia lebih klasik. Bahkan kalau
ketemu yang cetakan I tahun 1959 barangkali saya akan lebih memilih itu.
Meskipun pakai ejaan lama.
Dalam
kata pengantar, Ajib Rosidi bercerita tentang pengalamannya pertama kali
menginjakkan kaki di Jakarta dari Jatiwangi, tahun 1951. “Hari sudah malam dan
hujan gerimis tatkala saya menginjakkan kaki yang telanjang di atas tanah
Jakarta. Ketika itu saya belum lagi mengenal sepatu,” tulis Ajib. Dari sana
cerita berkembang. Merembet ke mana-mana hingga menyinggung kebudayaan daerah.
Tulis Ajib: “Kekayaan kebudayaan daerah belum lagi cukup digali dan diungkap
dalam kesusastraan Indonesia. Dalam mencari keindonesiaan, kebanyakan para
seniman dan sastrawan banyak menangguk dari kajanah kebudayaan dunia, tetapi
sedikit sekali yang ingat kepada kebudayaan daerah sendiri.”
Jangan
sampai, tulis Ajib, kebudayaan daerah dibiarkan menjadi obyek ilmiah yang mati,
tapi mesti dihidupkan kembali. Ajib juga mengenang masa kanak di mana ia sering
mendengarkan juru pantun bercerita dalam bahasanya yang prosa liris dengan
diiringi kacapi. Apa yang oleh Ajib
disebut sebagai carita pantun itu
banyak mengisahkan balada percintaaan, keperwiraan, kesaktian, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar