Data buku kumpulan puisi
Judul : Anak Laut Anak Angin
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan :
-
Penerbit :
-
Tebal :
137 halaman (106 judul puisi)
Tata rupa dan grafiti : Mochtar Apin
Beberapa pilihan puisi Abdul Hadi W. M. dalam Anak Laut Anak Angin
Sajak Samar
Ada yang memisah kita, jam dinding ini
ada yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini
ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum
pergi
tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri
1967
Madura
Angin pelan-pelan
bertiup di pelabuhan kecil itu
ketika tiba, dengan
langit, pohon, terik, kapal
dan sampan yang
tenggelam di pintu cakrawala
Selamat pagi tanah
kelahiran
Sebab aku tak
menghitung untuk ke berapa kali
Kapan saat menebal
pada waktu
Sebab aku tahu yang
paling berat adalah rindu
Sangsi selalu
melagukan hasrat dan impian-impian
Dan adakah yang
lebih nikmat daripada bersahabat
dengan alam, dengan
tanah kelahiran, dan
dengan kerja serta
dengan kehidupan?
Aku akan
mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan hatiku
membuang pikiran dangkal
yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran Adam
sedang sesudah mengembara
baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun puisi
bahwa aku selalu asyik mencari
keteduhan mimpi
kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan sajakku
dan terasa hidup makin kekal
sesudah memusnah rindu
bertemu segala milik dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu di bersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam sayup
kepada pantai yang berbatas pasir
dan langit yang mulai redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang
adalah kedangkalan hatiku
menimbang hidup terlalu gamang
dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengan kesempurnaan
dengan sesuatu yang bukan hak
dengan kejemuan
tetapi sekali saat tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang
bertaut sepanjang sungai
dengan belukar dan kembang-kembang
sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir datang
sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang berasal dari suatu daerah pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan
adalah kerendahan hatiku
menerima nasib dalam kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang kelahiran
dan bertakut menjadi tua
karena ancaman kematian
Keramahan Bukit Payudan
adalah keramahan sajakku
untuk mengerti kepastian
yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana mengembara
kemudian muncul kembali di tanah kesayangan
dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang
tak seorang menanti pulang
tak seorang menerima lapang
atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu kusesali
sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan
adalah keterpencilan hatiku
sebelum memulai perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini
telah mengembalikan cintaku
tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti
dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia
sekali aku minta istirah mengembara
berhenti membuat puisi yang mendera
dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir berhentinya
mengaliri nadinya
1967
Fragmen
Belumkah ada lindap sebelum
kau kembali ke kamar
yang suram dan kutandai musik beku?
Bayangan itu jadi gerimis
dan meleleh di kebon rumah yang gelap
Aku jadi garang pada malam seperti itu
dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin
seperti juga hujan di padang-padang
dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit
Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu
sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti
pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan
hingga pada suatu hari nanti
aku tak lagi bermimpi
tentang gua di rimba perburuan itu
1971
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
kini aku nyala
dalam lampu padammu
1976
Sajak Putih
Kita telah menjadi sekedar kenangan
lembaran asing pada buku harian
seperti tak pernah kautuliskan
peristiwa itu
Bunga-bunga sudah
berguguran
tangkai dan
kelopaknya
Pohon-pohon kering
Dan jendela jadi
kusam
Seperti senja bakal
tenggelam
Dan Titi telah semakin tua
meninggalkan masa kanak-kanaknya
Seakan cairan lilin
yang mengental
jadi malam
Dan masa-masa
cintamu
hanyalah onggokan
puntung rokok
di lantai
yang dingin
Dan dengan pot-pot bunga
betapa asingnya
Kita
1971
Exodus
Menyandang beban sunyi ini di sini
Menyandang beban salib ini di sini
Menyandang kehilangan
Yang seakan
Genderang mainan dipukul ombak
Di antara teluk dan pasir pantai
Serta senja yang menutup dinding laut ini
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal
Menyandang sepi ini di sini
Menyandang kesal pikiran dan kekacauan ini
Menyandang mainan
Yang diberai ombak, senja, teluk dan pasir
hitam
Seakan pecahan batu karang pada pantai yang
legam
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi pelaut
Burung-burung pantai pergi, senja pergi
Tinggal genderang mainan ini
Berbunyi dan berbunyi juga
Dan betapa dekatnya sekarang
Hari haus dan lapar kita
Betapa dekatnya
1970
Meditasi
Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin
dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam
kuil
(daun-daun salam berguguran dan di beranda
masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia
menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu
dan di mataku terasa hembusan angin yang
merabunkan
(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat
sepi
di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati
dalam pertempuran merebut kota dari desa)
Angin
berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan
perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan
di atas gapura yin-yang yang mulai memuat
lumut
dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca
sudah
(langit adalah bayang-bayang, kau menyesal
telah memimpikannya; dan di sebelahnya
berdiri gedung, beribu sungai dan tebing
gunung
yang terbuat dari batu, anggur dan lempung
yang kini menampakkan bintang kemukus yang
panjang)
Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke
arahmu
memandang dinding dan bertelanjang di sofa,
tapi tak mengerti
(ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar
mulai
membangun kota di langit) dan beribu mantra
memenuhi telinganya yang tuli
1972
Angin: Mendesir Lagi
Angin; mendesir lagi
Hampir mengantuk
Ada sepi
Berbisik di dahan-dahan pohon
Lagi tahu, gerimis turun
Di luar kamar yang tembaga
Di luar rongga kata
Engkau gemetar karena musim
Cemas dalam kata
Dan tahu: ada yang tiada
Bangkit di jendela
Dan mungkin: senja
1968
Bahkan
Bahkan jarum jam pun hanya mengulang
andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap
keluh bumi seperti anak yang tak habis
berharap
dan mata kecilnya yang gelisah
memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan
Bayang-bayangmu juga
yang susut karena lampu di pelupukmu padam
Lebih menjemukan dari rembang petang
Tapi berangkatlah!
Di seberang gelombang mungkin udara terang
1976
Anak
Anak ingin menangkap gelombang
rambutnya memutih seketika
Ia mengerti laut dalam
tapi tak tahu di mana suaranya terpendam
Ketika angin berhembus
bahkan dahan-dahan pun diam
Ketika air surut
bahkan pasang pun tak karam
Ketika tidur merenggut
di langit tak sebutir bintang
1975
Gnoti Seauton
Manusia bebas, ruhnya bagai
firman Tuhan, embun dalam cuaca putih
mencucinya
Manusia bebas, ruhnya berjalan
ke tempat-tempat jauh dan menemui para nabi
dan orang suci
Di muka laut,
ditemuinya batu karang
dan awan buruk
Manusia bebas, ruhnya bagai
rantai emas yang dibelenggu matahari dan waktu
Di tengah alam yang
sempit: Nasib
menyesak jantung dan
tenggorokan
dan menimbulkan batuk
dan dahak kotor
di tengah alam yang
sempit: Kita
mencari puncak
kenikmatan
Manusia bebas, ruhnya mencari
bayang-bayang Tuhan
gambar binatang
perwujudan
dewa-dewa
yang
putus asa
Di gerbang kuil besar:
Ruh
terbang dan tidak kembali
1969
In Memoriam Amir Hamzah
Keranjang itu masih menatap. Tahun mau
berbunga
Tapi langit berangkat kemarau di jendela
Tanganmu: Mulut yang mengucapkan kebenaran
ombak
Tapi pendayung-pendayung datang terlambat
Kita jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam
Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus
sampai senja
lain
tiba.
1976
Batimurung I
Tubuhmu membuat air di jeram ini berterjunan
lagi
lebih gemuruh kini melemparkan rusukku
ke tebing-tebing gunung
Aku terbangun
seperti kupu dari pompongnya
Perih
karena kelahiran
Tapi sumber-sumber yang kutemukan
dari sanalah kata memancurkan sajak dan mantra
Ladang-ladang yang kau gemburkan
kutanam di sana segala jenis padi dan
buah-buahan
Penat kini kupikul hasil panennya
berupa rindu dan cinta
berupa gelisah dan luka
Seperti lama dulu
kupapar lagi jiwaku dalam madu di atas bara
1977
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W. M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke
fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Meditasi (Balai Pustaka), kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di
harian Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka.
Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris
terkemuka di Indonesia
Catatan
Lain
Kumpulan puisi Anak Laut Anak Angin merupakan sehimpun
sajak dari kumpulan-kumpulan puisi Abdul Hadi yang pernah terbit, yaitu Laut belum Pasang (Litera, Jakarta,
1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung
Pantai Sanur (Pustaka Jaya, Jakarta, 1975), Cermin (Budaya Jaya, Jakarta, 1975), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, Jakarta, 1977) dan beberapa
sajak yang tersebar.
Buku ini sebenarnya agak aneh,
karena saya tak melihat siapa penerbitnya dan cetakan yang ke berapa. Yang ada
malah keterangan siapa yang membikin tata rupa dan graffiti. Di sampul depan
buku hanya ada sebuah symbol huruf H, kemudian di bawahnya ada angka tahun
1949, dan di bawahnya lagi ada tulisan kecil: Didirikan oleh Jusuf Panigoro.
Inisial W.M. kalau tak salah ingat
adalah kependekan dari Widji Muthari, tapi secara berseloroh, Ibramsyah
Amandit, pernah mengatakan kalau WM itu Wong Meduro. Ya, penyair senior Kalsel
ini pernah selorong bertetangga sewaktu kos di Blimbing Sari, Yogyakarta
sekitar tahun 1970-an. Abdul Hadi waktu itu kuliah di Filsafat UGM dan kai
janggut naga kuliah di fakultas keguruan ilmu sosial IKIP. Dan cerita yang
selalu dia ulang-ulang, ia pernah menyodorkan puisi-puisinya kepada Abdul Hadi
W.M. dan dikomentari sebagai puisi “bungkus kacang”!. Ia selalu mengenang
cerita itu dengan perasaan gembira. Sekian lama tak memiliki kontak, lewat jasa
seseorang yang kuduga adalah Hudan Nur, kai dapat kembali menyambung
silaturahmi. Mula-mula Abdul Hadi W.M. diminta memberi prolog dalam kumpulan
puisi kai yang berjudul Badai Gurun dalam
Darah, hingga muncullah tulisan Abdul Hadi W.M. Nada Keras dan Garang Sajak-sajak Ibramsyah. Selanjutnya, mereka
kopi darat, caranya lewat momen Aruh Sastra Kalsel. Abdul Hadi W.M. didaulat
menjadi pemakalah dalam acara yang digelar tahunan itu, waktu itu tempatnya di
Marabahan, Kab. Barito Kuala. Kloplah.
Adapun tentang buku ini, adalah
koleksi dari almarhum Eza Thabry Husano. Ada tanda tangan yang bersangkutan dan
tanggalnya, yaitu 30-VII-87. Kemudian ada cap Kilang Sastra Batu Karaha dan cap
toko buku M. Joenoes.
kereeen abiis (y)
BalasHapusLuar biasa..
BalasHapusnice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn