Data buku kumpulan puisi
Judul : Kebun di Belakang Rumah
Penulis : Maman S. Tawie
Cetakan : I, 1995
Penerbit : Pusat Pengkajian Masalah-masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA),
Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan
Tebal : 51 halaman (38 puisi)
Gambar kulit : Maman S. Tawie
Prolog : Drs. Tarman Effendi Tarsyad
Beberapa pilihan puisi Maman S. Tawie dalam Kebun di Belakang Rumah
Kesuma
Sampai di sini kita, Kesuma
Tiang layar patah dan tumbang
Sampai di sini kita
Di atas bulan tenggelam
Putus semua
Kita bentang lagi temali
Dengarlah, Kesuma
Kecup gelombang sunyi
Di atas bulan lantunkan lagu
Dengarlah, Kesuma
Matahari muram di atas bayang-bayang kita
Sampai di sini kita, Kesuma
Wahai, yang berlalu itu bulan
Di ujung jalan
malam hitam
1975
Hujan
turun tiba-tiba di atas rumahku
dan gemerciknya bagai lagu
menyirat di wajahku
yang sendu
turun tiba-tiba di atas rumahku
dalam jam kosong
dan gemerciknya bagai lagu
mengusir kebosanan
hujan yang tiba-tiba
turun di atas rumahku
kubuka jendela
di balik wajahku
hujan mereda
1975
Kebun di Belakang Rumah
Aku teringat lagi
bidang tanah dan pagar bambu
pohon-pohon buah:
jambu, pisang, nangka dan kesturi
semuanya diam menghadap nasibnya
Dan aku teringat
Itah kecil tersedu-sedu
Di balik rimbun belukar
aku masih bisa sembunyi
dengan aman dan tenteram
kala musuh-musuh sepermainan
mengendap-endap dan mencari-cari
dalam lakon peperangan
Namun udara tidak seperti dulu lagi di sini
aku pun terlalu lelah
Hanya lewat secangkir teh
dan beberapa teguk lahang
kujumpai selembar kehidupan
yang sabar dan sederhana
Kebun di belakang rumah
kebun masa lalu
Itah kecil tersedu-sedu
bening telaga di matanya
Bergetar tanganku
menggapai bidang kehidupan
yang terlantar pada wajahnya
Ilalang tak kenal henti bergelombang
menghempas jiwaku
ke padang-padang impian
1975
Ibu Tua
Di sudut kota malam-malam bergetar
seorang ibu tua
memijat urat dan tulang
rebah lunglai
betapa remuk isi dada
mendekam tajam
Nyeri di tilam dan tambal bantal
datang anak menyeret erangan lapar
bermohon pada Tuhan agar suami kembali
kering air mata ibu tua
Malam makin tua kukuh mengintai
batuk kering mengerikan
di balik dinding retak lapuk
lubang atap mengiris hati
masih terdengar batuk berkepanjangan
sangat lelah
malam terisak
sunyi menjerit
1975
Kampungku
Gubuk-gubuk menggeletak malang
sawah dan ladang rimbun ilalang
aku menatap wajah-wajah resah
yang tinggal lengang
Sahabat-sahabat perambah rimba
sahabat-sahabat pendaki bukit
mengayuh bekal harap
terseok-seok langkah penuh haru
merasuk dalam kalbuku
1975
Kasih di Seberang Sana
O, malam. Kau di depan jendela
Kasihku di seberang sana
Suaranya dalam nyala hatiku
O, pulau jauh
membayang di cermin tua
Kasihku di seberang sana
mengadu sendu
jiwaku hampa
Wahai, kasihku di seberang sana
aku mengembara
mendengar nyanyian gemintang
antara waktu dan mauku
Mengapa sedumu bertanya dalam kalbuku?
Mendung, biarkan aku, tanpa cium
Kasihku di seberang sana
bisu tanpa tanya
Garis-garis langit, tersirat
dan bibir ini, kasih
mengucap salam duka
dalam kegaiban cinta
Di hutan belantara, gunung, lautan
dan lembah, berlagu
dalam gaung
cerminku retak
di malam putih
Musim bersanding
di telaga biru yang dingin
dan kau di depan jendela, kasihku
memejam mata
Mendung, biarkan aku, tanpa cium
sebelum panas menjalar
senyum di kaki langit pijar
melukai mimpi
yang sembunyi dalam hening mawar
Dalam hujan, guruh , petir
dan badai
kekasihku
kau pandang muka lukaku
dengan sayang
O, di seberang sana
kau singkap tirai
bersatu kita
dalam fana menggapai bumi ini
kukawini sepi
O, malam. Kau di depan jendela
ia datang merasuki dada
Kasih di seberang sana
mengetuk lagu dan ciumku
Kasih di seberang sana
terpisah sudah
1975
Fajarlah
Fajarlah engkau
o, matahari
meski jam yang lamban
menimpa kantukku yang berat
Fajarlah engkau
wahai matahari
dalam kantukku yang berat
Fajarlah
dalam kantukku yang berat
1975
Dalam Cermin
Dalam cermin
ada duka dan kesenduan
yang tak terpisahkan
Dalam cermin
ada wajahku pada wajahmu
dan abadi
1975
Tanah Merah
Jalan di sana
menguak waktu
pada saat aku
berkemas
tak ada nafsu
hanya kasih
Tanah merah itu
menyimpan wajah gelap, terenda
tiada bising berseri
lenyap kembali
dari mana engkau
mengerti lagi
Seribu satu rasa
menambah gejolak suara
Saat aku berlari
menyongsong
hanya satu pualam
menjerit aku
padamu
dan pada semesta
1974
Jauh di Sana Tempatku Luka
Jauh di sana tempatku luka
Terbaring bisu setia akan tiba
Berlingkar pudar bayang sekilas
Harap terkatup di ambang jenjang
Menjelma hembusan tepi-tepi mega
Beriak laut memercik bunga ke batas jauh
Jauh di sana tempatku luka
O, terkuak harap berjurai jeriji tembok
Terhampar terserak beku alam mimpi
Begini menghias turus-turus yang terbahak
Rindu
Di teras menyapa senyum angan sudah
Berkatalah dan berkediplah matamu
Tak pernah kutahu wahai mega
Wahai, topan samudera menjelajah sudut kota
Di bawah dahagaku masih terdengar
Hembusan semilir meradang arus sampai
Jauh di sana tempatku luka
Meratap doa buat seelus kabut
Terjulur liku genta bertalu-talu
Semarak desir menerpa landai nyanyi
Tutur sendu bayang senandung pilu
Sampai waktu menyusur hampa berganti
1974
Tentang Maman S. Tawie
Maman S. Tawie lahir 25 September 1957 di dusun Sei Tirik, Desa Lokpaikat, Kabupaten Tapin , Kalimantan Selatan. Mulai menekuni penciptaan puisi sejak 1974 dan penulisan esai sejak 1980. Tulisannya tersebar di media massa lokal dan nasional seperti Berita Buana, Pelita, dan Horison. Kumpulan puisinya antara lain: Jam (bersama Drs. Radius Ardanias, 1981), Sajak-sajak Dahaga (1982), Dinding Kaca (1983), dan Tonil (1990).
Catatan Lain
Buku kumpulan puisi Di Kebun Belakang Rumah ini saya temukan di deretan buku milik Alm. Eza Thabry Husano. Menurut Drs. Tarman Effendi Tarsyad, yang menulis pengantar, kumpulan ini merupakan puisi-puisi yang lahir di awal kepenyairan Maman, sekitar 1974-1975, saat ia berusia antara 17 – 18 tahun! Jadi banyak mengungkapkan permasalahan kehidupan yang “merah jambu”. Kata TET lagi: di sini Maman telah dapat menangkap dan membedakan simbol-simbol serta ungkapan-ungkapan estetik dalam penciptaan karya sastra puisi, kendati emosi-emosi yang dilontarkan masih belum begitu terkendali. TET mengungkapkan juga bahwa Maman di kumpulan ini lebih dominan berbicara tentang suasana alam yang diangkat dari kesunyian-kesunyian sekitarnya.
Maman S. Tawie, di Kalimantan Selatan, dikenal sebagai dokumentator sastra yang lumayan lengkap, atau apalah namanya. Menurut Y.S. Agus Suseno, Maman S. Tawie itu adalah nama pena dari Juru Darmansyah. Dia termasuk sastrawan yang jarang terlihat (atau justru saya sendiri yang kada gaul. Hehehe..). Sejak mulai berkenalan dengan dunia sastra Kalsel sejak 2005, beliau baru dapat saya lihat wajahnya tahun 2011, kalau tidak salah. Saat Raudal Tanjung Banua datang ke Taman Budaya Kalsel. Selesai acara, bersama dengan Arief Rahman Heriansyah kami mengobrol sambil berdiri di halaman gedung Karantika. Beliau bercerita sedang kami berdua mendengarkan sebagai pendengar yang baik sambil sesekali menyela untuk bertanya atau berkomentar. Sayang, saya sedang terburu-buru, jadi tidak banyak kesan yang saya dapat.
Oya, ada satu puisi yang menurut saya agak aneh. Bait kedua dari puisi Tanah Merah (hlm. 11) berbunyi seperti ini Tanah merah itu/menyimpan wajah gelap, tertenda. Kata tertenda itulah. Terdengar agak janggal. Apa ini kesalahan cetak atau memang begitu adanya. Jadi dalam puisi di postingan ini saya ganti saja menjadi terenda. Semoga nanti bisa terkonfirmasi.
Inalillahi waina lillahi rojiun, om Maman/Darmansyah/Maman.S.Tawie meninggal.Pukul.06.30WITA. dikediaman Komplek DPR Gg. 6.
BalasHapusMudahan dosa-dosa sidin diampuni, amal ibadah diterima, menghadap-Nya dengan penuh kemurnian, dan yang ditinggalkan diberikan ketabahan... Amin.
Hapus