Jumat, 04 Mei 2012

Hanna Fransisca: KONDE PENYAIR HAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Konde Penyair Han
Penulis : Hanna Fransisca
Cetakan : I, April 2010
Penerbit : KataKita, Depok.
Tebal : 141 halaman (66 puisi)
ISBN : 978-979-3778-61-7
Editor : Sitok Srengenge
Perancang sampul : Iksana Banu
Penata Letak : Cyprianus Jaya Napiun
Epilog : Sapardi Djoko Damono

Beberapa pilihan puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han

Pasar Beringin

ingat bertahun lalu, nenekku bersanggul debu
menukar sepotong baju dengan sekerat daging
penuh luka

tiga kali bibirnya bergetar pucat
mengunci hentakan dadanya yang mencuat
menjaga martabat

“ada dewa dan leluhur di vihara
mengendap-endap dan mengambil keriput mataku
menjadi batu di surga,” begitu kau berkata

anak-anak tak boleh melihat
rahasia jahanam
dari ribuan mulut pasar saling melontar
riang terbang berkata: “ia pergi bersama lalat-lalat lapar!”

nenek dan surga berdiri dalam bayang ikan
subur telur menyerbu mata yang kabur
sayur dan bumbu
meledak dalam karung beras yang berhambur
menjadi hujan

ini bukan nyanyian nelayan
tapi pelayaran panjang
kolam liur yang berenang menjelajahi lidah

bulan-bulan lalu pergi
tahun-tahun telah lenyap
nenekku bersanggul debu telah hanyut
dalam sejarah asinan asam maram
serta kecut belacan yang diubahnya jadi daging
sehari-hari
dalam teduh mimpi, tempat bertumbuh
anak-anak kelak
yang akan berdoa
dengan mata sejernih
mutiara

“kulitnya menyusut, meninggalkan daging
dan membungkus bajunya kembali
pada asal ia dilahirkan.”

Jakarta, Januari 2010



Puisi Kacang Hijau
: ibu

Tubuh berdenting
jatuh
di air bening
dahaga menderas
merebus hati
di dasar belanga

Dalam gelombang panas
Ibu menambah kuah gula dan kelapa
bersarung merah daster tembaga
ia titipkan matanya
dalam liuk api
yang mententeramkan cinta

Hijau kulitmu
biru api nasibmu
pecah biji kacang
satu persatu

Hingga senja tiba
menunggu usia binasa
Ibu menungkan seluruh dirinya
ke dalam mangkuk, lalu menitipkan anak-anaknya
pada hidup yang akan menjadikannya
dewasa

“Ini kacang hijau
atau hatimukah,
yang kami makan hari ini,
bersama Tuhan yang selalu
kauajak
bicara.”

Jakarta, Desember 2009


Hari Kue Bulan

Anak Perempuanku:

Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam

Atas segala yang dinamakan kasih,
Engkau memintal bayangan tepung,
dalam apung biji teratai,
manis gula, dan kacang merah tembaga
Untuk segala pesta meriah:
“Aroma pandan harum di taman,
jemputlah cerlang cahaya bersama malam!”

Kita ini tengah membagi cinta,
dalam kenangan airmata, yang jatuh
di gugur daun terakhir, di bulan purnama
hari kelima belas
Mengenang sembilan matahari
yang jatuh dipanah Hou Yi
Mengenang cinta abadi Chang Er
yang menyeru ke puncak bukit Kunlun
Mengenang Peng Meng
yang menelusup di peraduan Chang Er
--- Peng Meng pencuri
obat sakti hidup abadi

Maka Chang Er lembut berkata:
“Demi cintaku pada Hou Yi,
dan obat yang hendak kaucuri
aku minum sendiri penawar hidup abadi,
biar ragaku terbang menuju bulan,
tapi cintaku menerang
sepanjang zaman.”

Menyulut dupa di atas altar Dewa
kue bulan dan semangka,
Dewi Bulan di bawah malam
Anak-anak bergelak-tawa
di tali kasih antar saudara,
kami berdoa untuk keabadian keluarga

Rumah Lelakiku:

Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam

Engkau yang mengapung dalam amarah tepung
di atas tebaran biji teratai merah, kuning telur
yang pecah dalam belanga
Udara didih tungku, menguap aroma pandan
kue bulan mengeras dibelah empat penjuru
dimakan dalam hidang aroma dupa
mengambang engkau di bawah malam
meminta doa Dewa-Dewi:

“Perih hatiku di cerlang bulan,
Jangan biarkan nisanku dijejak perempuan.”

Minum arak di bawah bulan. Berjudi antar lelaki,
Tertawa untuk kerabat, gembira selamat untuk semua,
Sejahtera kita! berkah rezeki kita! umur abadi kita!

Aku membayangkan lelakiku telah menjadi Hou Yi
yang menikam jantung dengan sembilan panah.
Jika Hou Yi abadi menerbangkan raga pada matahari
dan membentangkan jembatan setia menuju bulan
dengan cahaya sepanjang malam;
maka aku biar berkata:
“Engkau yang menemu Chang Er pada hari kelima belas
di bulan delapan saat daun terakhir gugur!
Lihatlah sembilan panahmu,
telah tertancap di jantung perempuan.”

 Aku menghormatimu, Dewi Bulan
Tapi di rumah hatiku tiada harum
Tiada gandum yang berubah jadi tepung,
adonan kue keramat,
yang kelak diarak kerabat menuju altar.

Lihatlah didih tungku
yang mengembangkan kacang merah
menjadi tembaga,
leleh manis gula, mengental pada mata,
bulat kuning telur telah dibelah empat penjuru,
bersama semangka yang mengalirkan darahku:
hingga menyeru ke puncak bulanmu

Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam

Jakarta, september 2009

Catatan: Hou Yi dan Chang Er adalah suami isteri yang bernasib tragis dalam legenda kue bulan. Mereka merupakan simbol keutuhan keluarga etnis tionghoa. Hari Kue Bulan dirayakan pada bulan delapan tanggal lima belas dalam kalender Lunar, tepat di malam bulan purnama. 


Konde

Penyair Han
menyanggul sajak
dengan bunga Padma:

"Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,
menggunting urat hasrat dari nafasmu,
dan Tuhanku mengajari menyimak,
mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”


Kapuas

Air Kapuas menyapu dedaunan
kering di lidah hitam berkerak
menjulur panjang. Aku mencari jejak perawanku
yang diterbangkan gagak menuju hulu
Riuh sepanjang tepian tempat leluhurku mengajari mandi
sebelum tiba umur berahi

Air mengalir. Air mengalir
Kotoran ngambang, cerlang cahaya siang, peri dan mambang
yang mencuci pipiku
pagi dan petang.

Kini di genap umurku, kucari kembali
bulu dan rambut yang ngalir bersama gurauan lelaki
di seberang kali. Dadaku tumbuh setiap hari
Para gadis yang malu-malu, melumuri kulit
agar terang purnama

Bunga bakung daun kecubung,
Mimpi yang nyangkut di bunga kastuba
Ibuku bilang jika gadis tiba matang,
Pergilah ke laut mencari pandang

Bebek-bebek. Kayu dan ranting. Tepian air.
Air mengalir. Air mengalir. Kubangun jembatan
dari perih nafasku, asin ludah pahit daki moyangku
mengalir lurus menuju laut, mencari tanah baru
tempat kekasih melabuhkan cinta. Menemu daratan rindu
tempat membuang segala sendu.

Aku berdenyar dalam sedih dermaga kayu
Aku bersijingkat pada pilu bayang perahu
Aku mengadu di atas sahdu rindang perdu
Dalam gelap bulan sinting aku bilang:
besok aku pergi
dan kembali
menjelma bidadari

Sungai yang beku, ataukah waktu kejam melaju
menuju hulu? Bau lumpur lantaran jejak ibuku ataukah
gelap bajuku karena rindu?

Air mengalir. Air mengalir.
Kapuas menjelma hantu seperti dulu
Hitam nasibku, hitam nasibmu, menderas angin
menuju samudera biru.

Kalimantan Barat, Januari 2010


Sang Naga
: Abdurrahman Wahid

Di hari lain aku menghela khilin
mengiring barongsai lincah menari
sementara angin berkibar melaju
mengibas-ngibas kedua telingaku

Aku kian berjalan menyeberangi naga
yang engkau bentangkan,
kali ini aku di samudera luas
dengan segala ombak menyisir arus
kadang harus tenggelam
kadang muncul ke permukaan

Jiwaku terombang-ambing tarian gelombang
melambungkan aku di tinggi awang
hingga aku lelah bertanya,
“Siapa aku sesungguhnya?”

“Engkau.
Engkau adalah putriku,
naga yang ditolak separuh badan,
untuk dimakan separuh yang lain,
Tapi kini datanglah! Kau aman
di pelukan hatiku.”

Jakarta, Januari 2010


Surat Buat Pahlawan
: Bebek Peking

Berjuanglah kekasih, di rentang tali
sepanjang sungai mengalir
yang mengikat lehermu, dalam tali simpul mati
agar rentang sayang dan kakimu bebas menari

Lepaskan lemak, lepas peluh dalam tubuh
Surga menanti di pintu yang teduh!


Arus deras yang mengalir di bawah kakimu, jangan takut
Tak akan hanyut badan ke muara,
tak kan putus rentang tali di simpul mati.
Maka bergeraklah wahai kekasih,
kepak sayapmu, rentang tubuhmu hingga hilang
lemah dan apak, yang kelak jadi bukti bahwa engkau
benar lelaki.

Adalah tugas lelaki,
menyiapkan cinta dalam kuali


Baiklah kukatakan ini: Jikalau ada pacar sempat mampir
dalam semalam, pamitlah sebelum tiba fajar.
Sebab tajam pisau di lehermu nanti,
akan menjadi doa terakhir bagi betinamu yang khawatir,
Katakan padanya, "Tak perlu khawatir.
Bukankah telah kutanam benih di rahim subur,
dan tugasmu adalah merawat telur?
Aku cinta padamu, di surga kita bertemu."

Tahukah engkau nasib anjing belum genap umur
sebelum diracik bumbu dapur?
Dibekap mulut dalam karung,
dibentur batu
agar darah tetap beku. Sebab kelezatan darah beku,
mengalahkan rasa malu dari kalbu. Mau kamu begitu?
Tahukah engkau nasib babi panggang
yang ditikam besi panjang sebelum maut
benar menjemput?

Sebagai kekasih, tugasmu ringan sekali
sebab meski leher diikat tali panjang sepanjang malam,
engkau masih bisa terus bernyanyi.
Tak kan ada makanan di perutmu,
sebab perut kenyang selalu menghalang kesempurnaan.
Deras sungai akan mengalirkan kasih,
dingin malam begitu indah.
Bernyanyilah.
Asal kaki selalu berjejak rindu,
mengepak semua bulu di riak menderu.

Bernyanyilah.
Kutunggu nasibmu di fajar subuh:
laparmu hilang, dagingmu kesat,
dan apak tubuhmu lenyap begitu cepat.
Begitulah kewajiban dan seluruh kebahagiaan dimulai,
hingga jasadmu terbaring
di dasar kuali

Jika tajam pisau membuatmu ngeri,
sesendok cuka di perut kosongmu segera membuatmu lupa.
Percayalah, jika cuka masam dituang
sebelum mata pisau membenam,
seluruh bulumu akan merinding berdiri.
Urat-urat perutmu memang terkoyak,
mengejang sebentar
dalam gelepar,
lalu meradang mengaburkan pandang.
Untuk itulah bulumu terpaksa berdiri.
Jangan takut sebab matamu pasti buta.
Tak perlu gentar jika telinga tak lagi mendengar.
Pisau tajam akan menolongmu
untuk mati.

Apakah itu sakit?
Dengarkan: sakit yang melampaui batas sakit
akan menghilangkan rasa sakit.
Sebab engkau memang tengah sekarat.
Tapi hal terpenting dari semua pelajaran: adalah bakti
dari seluruh bulumu sepenuh hati.

Bagaimana kelak kulitmu licin seperti bayi,
jika kau sembunyikan urat akarmu di balik bulu?
Bukankah setiap makhluk selalu ingin kembali
seperti bayi?

Orang-orang sungguh mencintaimu, kekasih.
Terimalah, segenap pujian hanya untukmu.
Hanya untukmu saja. Bila kelak
mereka bicara, "Daging ini sedap sungguh.
Tak lengket di lidah.
Licin tak ada bulu. Tandas tak ada bau."
Semua itu semata demi nama baikmu.
Engkau boleh tersenyum tentu.
Di alam tempat segala kebaikan.
Di mana Tuhan
selalu bersemayam.

Semoga engkau berbahagia.
Amin.


Taiwan di Kolam Mataku
: Singkawang

Debur Natuna mengais asin Laut Kuala
Ke hulu Roban amis tubuh melayarkan perahu
Teringat Vihara Ci Kung, gunung-gunung
menghuyung, buih terombang-ambing,
mencari arwah angin
dari Bengkayang.

Di muara Sungai Singkawang
ribuan amoi memandang Laut Cina Selatan
Mencari gelombang biru,
dalam indah pecah matahari,
hangat cinta yang terus menunggu

Pohon-pohon selalu tumbuh di sini
pacarku: subur mengirim sejuk
ranting-ranting lampion
menusuk mata kalbu

Riak air riak kolam mata ibu
mengalir lurus ke jantung hati.

Ke Singapura kalian menuju
di Teluk Taiwan kalian tertawan
Mengapung beribu, Si Anak Gadis
dipinang diburu: “Cari, di sinilah cari,
sayangku. Mata sipit untuk setubuh Tuan,
dan sekaligus sanggup berpeluh. Pekerja keras
tak kenal mundur. Telapak keras,
garis tangan hidup. Singkawang
surga pelancong, Tuan. Carilah jodoh,
ajak gadismu melintas seberang.
Jadikan pacar Si Mata Sipit
untuk berkencan bukan semalam,
jadikan saja istri untuk bekerja.”

Samudera biru, lautan luas nyanyi
sendu. Kolam air mata ibu,
mengalir lurus ke jantung hati

Di Taman Bougenville Si Jangkung
kelopak melayang murung.
Udara tuba pelataran Vihara,
dupa ibu doa bagi yang menderita.
Arwah leluhur melayang
dari Bengkayang, menuju Laut Natuna
ke Cina Selatan.

Di Kuil Surga Neraka
aku berpulang ke kampung halaman
Jejakku kini
lunas kutuliskan

Singkawang, Agustus 2009


Di Depan Kubur Keluarga
: di Hari Perayaan Hantu

Aku datang padamu dengan sepasang lilin putih
agar hidupku terang bercahaya

Tiga jenis buah, agar aku sehat senantiasa
Kua apam merah besar, agar jaya makmur sejahtera
Tak lupa seekor ayam jantan rebus
yang amat kausuka waktu di dunia
kupersembahkan semata demi berkahmu

Lihat aku bersimpuh, memberi hormat padamu
sepenuh hati, serendah-rendah derajat diri
lewat nyala tiga batang hio:
semoga namaku kelak seharum aroma dupa

Demi kehormatan keluarga, kubakarkan kau sedikit uang
yang kudapat susah payah dan kusimpan
hati-hati. Begitulah uang sedikit memang harus
disimpan teliti.
Kini aku bakar tanpa ragu, satu per satu,
di depan kemuliaan namamu:
agar kau sudi menukarnya bagiku, di alam nyata,
dengan kelipatan tak terhingga

Demi Dewa Chai Shen
yang berkeliaran pada malam imlek
Edan! Aku benar-benar edan!
Demi segala Dewa pemberi rezeki
yang berkeliaran sepanjang tahun
Lupa! Aku benar-benar lupa!
Baik kuakui aku hewan melata
yang pantas dimaafkan.
Di hadapan kuburan keramat
yang wajib dipuja, aku tak malu mengaku:
“Dulu, selagi kau hidup tak kurawat sedemikian rupa.
Dulu kau tiada berharta, sehingga kami pantas lupa …”

Tapi kini engkau lihat aku sungguh menangis
Kau telah mati di pelukan Tuh Thi Pak Kung,
Dewa Bumi dan Dewa Segala Rezeki,
Engkau terlihat begitu Berjaya.
Penuh ilmu ghaib
dan jampi-jampi:
bisa membuat kaya

Dengan nyala sepasang lilin putih
semoga hidupku bercahaya!
Dengan tiga jenis buah agar diriku sehat senantiasa!
Dengan merah apam besar agar diriku makmur sejahtera!
Aku berterus terang tanpa malu:
meminta segala yang kaupunya,
menjadi kaya

Tiga batang hio ke dua telah kubakar untukmu,
semoga namaku kelak semerbak seperti dupa

Nisan tegak
Nyala lilin cahaya berdetak
Dupa asap hio dan mantra
Debu asap uang menabur udara
Dari tembok pusara
Hingga pelataran gapura
Menjadi mantra

“Duhai arwah yang bersemayam dalam pusara,
Saudara kami penuh cinta. Terakhir kini kuminta.
Di luar nasib dan rezeki, bukankah ada nomor-nomor jitu,
angka angka meja judi, yang bisa engkau bisikkan
atas restu dari kemurahan para Dewa?”

“Engkau arwah yang dijauhkan dari duka lara,
kami telah datang memenuhi kewajiban,
memuliakan kubur yang jaya,
dengan syarat dan pinta,
menyenangkanmu semata.”

Bukakah hati kami pada ajaibnya angka-angka,
yang membuat kami kelak,
tidak perlu lagi bekerja.

Amin. Amin. Amin.
Sadhu. Sadhu. Sadhu.

Jakarta, September 2009


Tentang Kita, 1
: pendamping hidupku, chin miauw fuk

Bulan berlabuh di samping dipan
Angin memang dingin, selalu menggigilkan tulang.
Di langit ada udara, ada bara,
tempat mendidihkan titik uap di tubuhmu.
Engkau terkapar sejak dijenguk panas dingin
yang enggan pulang.
Malam, siang, berganti dengan aneh dan selalu sama.
Gairah hidup memeras peluh.
Engkau tetap mendekap erat, bulan yang kini berkarat.
Aku melihatmu, engkau melihatku, kita saling pandang.
Duhai, apa yang sedang bergumul di depan mata?
Andai kubisa, ingin terjun dan tenggelam
dalam kubangan sakitmu.
Jika kau lihat bulan yang kini meluncur di langit,
di sana telah kusimpan derita seumur hidupku.
Untuk dirimu.
Sendiri.

Jakarta, 10 Juni 2009


Tentang Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia)
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Menulis puisi dan prosa. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Malang Pos, dll. Kumpulan puisinya ini masuk shortlist nominasi KLA tahun, kalau tak salah 2010. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai di www.andaluarbiasa.com.

Catatan Lain
Buku koleksi Hajriansyah ini dicetak dengan hard cover. Ada dua hal yang membuat posisi Hanna unik, dan ini bisa dimaknai sebagai sebuah tragedi namun bisa juga anugerah. Tak banyak penyair Indonesia yang memilikinya. Pertama ia seorang perempuan. Kedua, ia berasal dari etnis minoritas tionghoa. Kedua hal itu dimanfaatkannya benar-benar dalam sajak-sajaknya. Dan ini bisa membuatnya disayangi banyak orang/penyair. Sakit dan perasaan tertindas yang mungkin muncul dari kondisi tersebut akan mudah menciptakan kesedihan kolektif. Jika saya menulis sajak-sajak seperti Hanna, mungkin tak terlalu beroleh perhatian. Pertama karena saya lelaki, kedua karena saya “bukan keturunan”. Saya juga membayangkan betapa repotnya memiliki dua nama seperti Hanna. Maka saya katakan, Hanna punya posisi yang unik.
Satu lagi, jarang-jarang ada penyair yang menulis puisi “persembahan” sampai tiga kali. Puisi Chairil Anwar untuk Sri Ajati, Basuki Resobowo, Penyair Bohang, Ida, Dien, Tamaela, masing-masing cuma sekali. Pada Hanna, ada tiga puisi untuk Abdurrahman Wahid, yaitu pada puisi Air Mata Tanah Air, Sang Naga, dan Lilin Negeri, 2. Mengalahkan jumlah puisi untuk suaminya sendiri, chin miauw fuk. Barangkali, ini menandakan bahwa sajak-sajaknya lebih memancarkan aura politis ketimbang berkubang dalam persoalan-persoalan pribadi. Sebagai manusia politik, Hanna ingin bersuara. Menyuarakan nasibnya sebagai perempuan dan sebagai etnis minoritas. Entahlah.
Yang jelas, diakhir kata pengantarnya Hanna menulis ini: “Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan tercerai-berai. Inilah bunga padma, bunga suci yang tetap indah meski tumbuh di rawa-rawa. Inilah Konde Penyair Han, yang menyanggul sajak dengan bunga padma seperti menyanggul rambut tanah air yang permai. Semoga catatan kegetiran, keindahan, dan kegalauan pergolakan pemikiran dalam puisi ini bisa menjadi catatan kenangan tentang seseorang yang mencintai negeri: Indonesia.”
Oya, satu lagi yang bikin saya tercengang. Orang ini benar-benar “ibu”, jarang perempuan sekarang yang mau repot mengurus enam anak. Maka dideretkanlah buah hatinya tercinta di halaman persembahan: Cindy Oktavia, Bunardi Chandra, Fenrick Finnegan, Meiyen Finnegan, Nisa Finnegan, dan Meisy Finnegan. Di Kalsel, sastrawan yang punya banyak anak cuma Hajri, ada lima, coy! Tapi Hajri laki-laki, tentu yang lebih repot istrinya. Juga ada disebut beberapa orang banua di buku ini, yaitu Kang Daud Pamungkas, Zulfaisal Putera, Ersis Warmansyah Abbas, dan Erwin D. Nugroho. Demikianlah sekelumit cerita. Trims.  
       

1 komentar: