Selasa, 02 Februari 2016

Syafira Rahima (Sarah Bagir): DENGARKAN JIWA




Data buku kumpulan puisi

Judul: Dengarkan Jiwa; 35 Puisi tentang Tuhan, Cinta, dan Keindahan
Penulis: Syafira Rahima (Sarah Bagir)
Penerbit: DAR! Mizan Anggota IKAPI, Bandung
Cetakan: 1, Rajab 1433 H/Juni 2012
Tebal: 64 halaman
Pengantar: Haidar Bagir dan Lubna Assagaf
Ilustrasi isi dan sampul: Nisa Nafisah
Penyunting naskah: Ahmad Mahdi
Penyunting ilustrasi: Kulniya Sally
Desain isi: Kulniya Sally dan Nisa Nafisah
Desain sampul: Kulniya Sally
Proofreader: Hetty Dimayanti


Beberapa pilihan puisi karya Sarah Bagir dalam Dengarkan Jiwa

Dengarkan Jiwa

Apakah ini suara merduku?
Kudengarkan detak jantungku
Aku berjalan pelan-pelan
Semakin mendekat
aku mendengar

Apakah ini kekasih cinta?
Apakah ini kehidupan?
Apakah kau Jiwa Yang Terbesar
yang kudengar?

Ini cuma peringatan
akan kebebasan ini

Di istana jiwa ini
kau mendengar
sebuah alunan
cintaku

Berjalan
Jiwa Terbesar
Istana
Kebebasan
Kehidupan
Kekasih

Berlayar
Apakah kau perahu istimewaku?
Kini pun aku berlayar
di tengah-tengah laut



Hening Malam

Hening malam
adakah suara-suara jangkrik
di tutupan batu yang keras
di malam ini?


Tak  Pernah Habis

Saatmu ‘tuk mendengar
Hati ini tak pernah habis
Setiap malam kau pura-pura tersenyum
Berkatalah, oooh ... berkatalah padaku ini
Ada apa di cintamu, ada apa di hatimu?
Apakah bisa kau selesaikan ini?

Kau adalah pangeran di kegelapan sunyi
Apakah di dalamnya
Kuakan mendengar suara yang jauh?


Pot Bunga Cintamu

Tak kuterima bunga cintamu
Karena
pot bunga akan layu
di atas rindumu

Lindungilah pot bungamu
Karena hujan cintaku
akan turun

Bungamu takkan ada
di sisimu lagi
Karena pot-pot bunga
akan kena hujan cintaku


Bintang

Hatiku berlari
Hatiku menari
Seribu bintang yang berpijar
Cinta ini melayang

Cahaya sinarmu menyala silau
menyambut cinta

Di langit
Arus angin berkibar kemana-mana
Langit yang gelap biru
Ditimpa warna yang cerah
Dan kini tampak indah

Bintang yang menyinari
dan suci
Kau memantau dari langit

Bintang pun jatuh
ke langit biru muda
tempat bintang lahir


Kematian

Semalam kubermimpi
Seolah kematian ada di samping
Keburukan atau kebaikan

Aku seolah hilang-sadar
Tak kutahu hatiku di mana

Sekarang hatiku hampir di surga
Kadang masuk neraka juga

Maka aku berdoa
Dan meminta ampun
Dan Allah Yang Kuasa telah
memberi keindahan
untukku


Alunan Lagu

Aku bernyanyi
di depan mata-mata yang indah

Kudengar suara yang lain
sebuah alunan lagu

Kuterlempar ke dalam cahaya

Tempat tersembunyi
yang kudengar tadi
adalah ruangan cinta


Musik

Seandainya kau mau menari
Seandainya kau keluarkan suara-merdumu
Betapa kau mendengar
Musik kicauan burung
Kau akan riang
Selalu menyanyi

Alangkah hebatnya musikmu
Kudengar saat kau bermain
Kumenikmati
Semuanya


Jernih Matamu

Sungguh jernih matamu
Hingga aku pun
beranjak
Seindah kapas

Mengalir berlinang
air mataku
di atas rindu
padamu

Adakah darah mengalir
jernih?

Kuhanya beri tahu
darahku ada di mana-mana
di hatiku

Jangan kauberi
yang palsu cintamu


Percaya Diri

Percayalah,
Semua orang punya kelebihan
punya kekurangan
Percayalah,
Orang jahat akan terus-menerus
mengenal iman yang lelah

Percayalah, Muslim!
Kiamat sudah dekat
Percayalah,
Allah Mahabesar
Dia akan tempatkan kita
Di hutan yang indah

Kau Mahabesar, Kau Maha Pengampun
atas dosa-dosa yang kami lakukan

Aku,
aku percaya pada-Mu
Aku yang mengikuti-Mu
Yang selalu setia pada-Mu


(Catatan: Saya mengetik sajak ini dengan sedikit pengubahan, yaitu pada kata “kita” (bait ketiga larik kedua) saya ubah menjadi “kami”, dan kata “padamu” (bait keempat larik kedua) saya ubah menjadi “pada-Mu”.  “Agar lebih pas,” pendapat saya. Tapi kalau pembaca lain atau penulis merasa lebih cocok dengan tanpa pengubahan, maka boleh-boleh saja, karena berbeda pendapat itu wajar-wajar saja. Barangkali juga pengubahan saya ini terkesan subjektif. AF)


Doa

Hati ini senang
Hati ini bersenandung
Cinta ini sangat riang
Kuakan bersembahyang
Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Kuberdoa dengan riang


Cinta Mati

Adakah cinta mati
yang lelah bagiku?
Di manakah cinta mati berada?

Kucari perlahan-lahan

Engkau berada di lahan-lahan bunga
Apakah aku sudi meninggalkanmu?

Cinta mati ini
tak adakah yang menerima
saran yang kuberikan?

Tapi hanya kau yang kusuka
Cintaku
kasih sayangmu untukku

Baru kusadari
cinta mati yang kuterima
dengan penuh persyaratan
penuh kesayangan

Kekasih jiwa
penuh keikhlasan
Itulah yang kucari
Apakah ketulusanmu itu melukiskan
cinta mati?

Oh ...?
Cinta mati penuh kebahagiaan
Itulah cinta matiku


Bunga

Kau selalu mengembang
Kau selalu menyinari
Bunga selalu membuka cahaya
Indahmu bagai pelangi

Seratus langit menyapamu
Apakah kamu masih bertabur?


Bermimpi

Saat ini aku bermimpi
di sela-sela kehidupan
Warna-warni jingga dan biru
Alangkah indah pelangi

Kini aku telah bermimpi
Sejuta rahasia
Sebenarnya aku cinta dia

Hei, kamu
Jangan kau bikin sial cintaku
Hei, kamu
Jangan ganggu diriku

Yang kupunya cuma bayangan dirimu
Aku bersedih
aku lelah
Jangan kau tinggalkan diriku


Darah Merah

Apa pun jenis darah
adalah cintaku
Walau darah itu merah
Tak mungkin lagi berjumpa

Aku sakit dan sesak

Apakah darah itu mengalir
di dadaku?
Ataukah darah merah akan berhenti
di dadaku?

Darah itu
sentosa hidupku


Dusta

Hatiku terasa disakiti
Terasa dipaksa
Dan kurelakan hatiku yang berbicara
Sekalipun dusta dan pembohong besar
ada hukumannnya

Semua yang kucintai telah hilang
Suasana telah sepi
Dan kuberkata, maaf
Kutakkan berdusta lagi

Kembalilah padaku
Kuakan jujur padamu
Dan semua yang kucinta
Ada dalam hatiku


Tentang Sarah Bagir
Nama lengkapnya Syarifa Rahima (berasal dari bahasa Arab, berarti “perempuan terhormat yang penuh kasih sayang”), lahir di Cinere, Depok, pada 9 Mei 1996. Anak perempuan satu-satunya, dari empat bersaudara, putri Haidar Bagir dan Lubna Assagaf. Hobinya membaca, menulis puisi, melukis, bernyanyi, mencoba-coba berbagai alat musik, juga berenang dan bulu tangkis. Tapi passion-nya yang utama adalah memasak. Untuk kelanjutan pedidikannya pasca SMP, Sarah sudah tetap hati belajar di Female Entrepreneurship School (FES, semacam SMK kewirausahaan) jurusan Tata Boga, juga di Lazuardi GIS. Cita-citanya selain menjadi guru dan pegiat seni musik, adalah menjadi wiraswasta di bidang tata boga. Untuk menunjang cita-cita itu, dengan bantuan kedua orang tuanya, Sarah terlibat dalam bisnis rintisan bidang tata boga dengan membuka counter makanan di sebuah pasar segar dan di suatu lokasi lain di Jakarta Selatan, dengan merk Sarah Kitchen. Buku puisi berjudul Dengarkan Jiwa ini, meski sudah dirintisnya sejak SD, adalah karya pertamanya.


Catatan Lain
Ini merupakan koleksi buku puisi pertama saya. Belinya di bazaar buku di Gedung Sultan Suriansyah, lupa kapan, tapi pokoknya pas itu juga diadakan pameran replika mumi Fir-aun di lokasi yang sama. Buku ini kalo nggak salah harganya Rp 9.000,-. Saya beli bareng buku Serial Fantasteen: DRIAN’O; Menggulung Komplotan Pengedar Ganja karya Fira Firdaus (lupa berapa harganya, tapi kalo nggak salah kurang dari 20.000,-). Entah kenapa penerbit Mizan begitu berani memabanting harga sampai semurah itu.

Buku ini diberi semacam pengantar yang cukup panjang dari orang tuanya Sarah. Membeberkan latar belakang penerbitan buku dan kehidupan Sarah. Menarik. Saya kutipkan beberapa bagiannya:

“Ketika masih balita dia mengalami keterlambatan-bicara (speech delay). Maka, Sarah pun dilatih dalam suatu klinik tumbuh-kembang. Bahkan, ketika kami sekeluarga tinggal di AS–umur Sarah saat itu empat tahun–sekelompok ahli secara khusus mempelajari masalahnya. Selain mungkin ada faktor perkembangan lain–ketika umurnya sudah mencapai sembilan tahun yakni, setelah tiga tahun kami  memeriksakannya ke dokter spesialis telinga, di dalam negeri, maupun di AS–kedapatan bahwa memang pendengarannya terganggu akibat kelainan yang biasa disebut pembesaran adenoid (semacam pembesaran amandel, tapi yang ini terdapat di pangkal hidung). Kelainan ini telah menyebabkan terdapat lendir yang terperangkap di gendang telinganya, sehingga mengganggu pendengarannya. Baru pada umur sembilan tahun itu, lendir yang terperangkap itu berhasil dibebaskan lewat sebuah operasi  yang mengangkat, baik adenoid maupun amandelnya. Tapi, tampaknya kemampuannnya dalam berbahasa logis-gramatikal sudah terlanjur terganggu.”

Lanjut paragraf lain:

“Boleh jadi Sarah memiliki problem bahasa, bahkan problem di bidang kecerdasan logis-matematis. Tapi, yang istimewa, Sarah memiliki banyak hobi, dan selalu bersemangat mengejar hobi-hobinya itu. Terlambat bicara dan terlambat membaca , sama sekali tak menghambat kecintaannya pada buku. Tak jarang berbagai buku dibawanya, ke mana pun dia pergi. Sampai belum lama ini, tak jarang dia membawa beberapa buku sekaligus ke WC, dan menikmati waktu-waktu panjang membaca sambil melepas hajatnya. Sarah juga amat senang pada musik sehingga mecoba mengikuti kursus vokal, piano, dan biola. Masih jauh dari bisa dibilang ahli, Sarah mampu membaca not balok, bahkan mencoba-coba mengarang lagu, baik musik maupun liriknya. Dia pun amat suka melukis, serta berolahraga. Bermain bulu tangkis dan berenang adalah dua cabang olaharga yang amat disukainya.

Karna kekurangannya di bidang logis matematis–yakni di bidang disiplin Matematika dan, yang lebih berdampak, di bidang bahasa–Sarah sering merasa bahwa dirinya berbeda dari teman-teman sekelasnya. Bukan saja kemampuan berbahasanya mengahambat kemampuannnya dalam bergaul, pada gilirannya hal ini juga berdampak pada kepercayaan dirinya. Atau setidaknya, dia sengaja memilih untuk lebih banyak bermain sendiri. Hal ini berbeda 180 derajat dengan sikapnya ketika berada di tengah-tengah keluarga besar yang menyayanginya. Tawanya lebih sering berderai. Kalau sudah begini, tak ada sedikitpun tanda-tanda yang tak biasa. Apalagi, kami harus bersyukur diakruniai anak perempuan yang sangat cantik dan tak jarang merik perhatian banyak orang di keramaian.

Tak jarang Sarah mengungkapkan perasaannya bahwa dia berbeda dari teman sebayanya. Terkadang secara lebih terus-terang dia mengatakan bahwa dia tak sepintar teman-temannya. Meski kami, juga guru-gurunya, terus berusaha menjelaskan dan membangkitkan kepercayaan dirinya, tak urung perasaan seperti ini kerap menguasainya. Kami selalu menjelaskan padanya bahwa setiap anak unik. Setiap anak punya kepintarannya sendiri, dan juga kelemahan-kelemahan yang khas. Problemnya, meski Sarah bersekolah di suatu lembaga pendidikan yang percaya pada paradigma kecerdasan majemuk, tetap saja tak selalu bisa dihapus kesan di tengah masyarakat bahwa anak pintar adalah anak yang pintar Matematika, mungkin juga Sains. Inilah kebetulan bidang-bidang yang bukan merupakan kekuatan Sarah. Kami selalu katakan padanya: boleh jadi temannya ahli Matematika, tapi mereka tak sejago Sarah dalam bermain musik, berolahraga, dan sebagainya.

Oh, iya, Sarah juga amat senang memasak. Setiap waktu senggangnya dia pakai untuk mencoba resep-resep masakan, dan makanan yang ada di buku-buku resep, yang selalu dia beli setiap kami ajak ke toko buku. Sehingga, pada umurnya yang masih sangat muda, Sarah sudah memiliki kemampuan untuk membuat aneka roti, atau berbagai jenis masakan. Tak jarang dia mengatakan, di samping menjadi guru dan pemain musik, menjadi ahli kuliner (tata boga) adalah cita-cita utamanya. Bahkan, lebih spesifik lagi, dia ingin jadi pengusaha kuliner.”

Lompat ke paragraf lain...

“Namun, yang datang sebagai sebuah kejutan adalah kemampuannya–yang baru belakangan mencuat–dalam suatu bidang yang justru merupakan kelemahannya, bahasa. Setelah dikabari tentang bakatnya yang menonjol di bidang teater–sayangnya kami belum lagi sempat mengembangkan bakatnya di bidang yang satu ini–kami tiba-tiba saja mendapati bakat istimewanya di bidang penulisan puisi.

Pengetahuan kami tentang bakat istimewanya ini datang setelah secara kebetulan saya membaca beberapa puisi yang dikarangnya. Memang, ada suatu masa, sejak Sarah masih di SD, yang didalamnya Sarah sangat getol membuat puisi. Mulanya dia ketik sendiri, tapi kemudian dituliskan dengan tangannya sendiri dalam berbagai buku tulis yang dimilikinya. Kadang juga di berbagai lembaran kertas–yang tak semuanya berhasil kami kumpulkan (belakangan, kami sadari juga bahwa Sarah tak biasa membubuhkan tanggal dalam puisi-puisi yang dituliskannya). Saya benar-benar dibuat terperanjat oleh bukan hanya daya imajinasinya, melainkan keterampilannya dalam memilih diksi dan juga kelenturan bahasa yang dikembangkannya. Memang, meski sama-sama berada di wilayah bahasa, puisi memiliki kekhasan sebagai medium untuk berekspresi–lebih longgar secara logis-gramatikal, lebih lentur, simbolik, imajinatif, ekspresif–dibandingkan dengan tulisan prosaik biasa. Kenyataan ini seolah menjadi saluran keluar kemampuan artistiknya yang satu ini.

Waktu itu, saya membaca puisi-puisinya yang berjudul “Hening Malam” (puisi pertama dalam kumpulan ini), “Apa Saja Kau Berikan”, dan “Dengarkan Jiwa” (yang diambil sebagai judul buku ini), yang diketiknya satu-satu di keyboard komputer di tengah rumah kami. Inilah “Dengarkan Jiwa” :

Apakah ini suara merduku?
Kudengarkan detak jantungku
Aku berjalan pelan-pelan
Semakin mendekat
aku mendengar

Apakah ini kekasih cinta?
Apakah ini kehidupan?
Apakah kau Jiwa Yang Terbesar
yang kudengar?

Ini cuma peringatan
akan kebebasan ini

Di istana jiwa ini
kau mendengar
sebuah alunan
cintaku

Berlayar
Apakah kau perahu istimewaku?
Kini pun aku berlayar
di tengah-tengah laut


Kemudian, sebelum bait terakhir, Sarah membuat tabel yang di dalamnya dia letakkan, mungkin, beberapa kata kunci dalam puisinya yang satu ini:

Berjalan
Jiwa Terbesar
Istana
Kebebasan
Kehidupan
Kekasih


(Dalam diskusi dengan Sarah belakangan, yang dimaksudkan dengan “Jiwa Yang Terbesar” adalah Tuhan, sedangkan kalimat “Ini cuma peringatan akan kebebasan ini,” bermakna wanti-wanti Tuhan agar kita menggunakan kebebasan yang dianugerahkan-Nya kepada kita dengan sebaik-baiknya). Segera saja, setelah itu, tanpa keraguan sedikit pun, saya seperti mendapat pencerahan dan bukti akan keyakinan kami yang sudah sampai ke tulang sumsum: yakni, bahwa setiap anak unik, setiap anak pintar, hanya kepintaran mereka yang berbeda-beda. Dan, dalam hal Sarah, kepintaran unik ini adalah dalam membuat puisi.

Maka, kami pun terus berupaya mengumpulkan berbagai puisi yang ditulisnya, yang tercecer di mana-mana. Segera juga tebersit keinginan untuk membukukan dan menerbitkannya. Tapi, saya berpikir agar sedikitnya ada tiga puluh puisi yang bisa dimasukkan dalam kumpulan karyanya. Nah, belakangan ini saya mendapat tiga puluh lima puisi, dari sejumlah lebih banyak karya Sarah, yang siap terbit dalam buku berjudul Dengarkan Jiwa. Tuhan seperti hendak membuktikan janjinya, bahwa–betapa pun mungkin tak pernah benar-benar bisa terbebas dari kelemahan dan kekurangan–setiap manusia istimewa, setiap orang unik.”

Nah, itulah beberapa kutipan yang saya salin dari sebuah pengantar yang dijuduli “Dengarkan Sarah ...”, yang ditulis oleh orang tuanya Sarah (Haidar Bagir dan Lubna Assagaf) pada tanggal 6 Mei 2012, tepat ketika Sarah menginjak hari kelahirannya yang ke-16. Saya kira pembaca dapat memetik pelajaran berharga dari kutipan ini  (^ ^).

Oh iya, buku ini selain memuat komentar Helvy Tiana Rosa di cover depan, juga memuat komentar Ayunda Nisa Chaira (penulis bestseller KKPK dan Pink Berry Club) di cover belakang.  Juga pada halaman 1 diisi oleh komentar Kurnia Effendi (penulis Kumpulan Puisi Menderas Cahaya dan buku Hee Ah-Lee) dan Yun Kusumawati (Wali kelas 9 dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Sarah).

(AHMAD FAUZY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar