Selasa, 02 Februari 2016

Agit Yogi Subandi: SEBAIT PANTUN BUJANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sebait Pantun Bujang
Penulis : Agit Yogi Subandi
Cetakan : I, Desember 2010
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung.
Tebal : 48 halaman (24 puisi)
Penyunting : Ari Pahala Hutabarat
Penata letak dan sampul : Arya Winanda
Ilustrasi sampul digubah dari : www.google.co.id

Beberapa pilihan puisi Agit Yogi Subandi dalam Sebait Pantun Bujang

SEBAIT PANTUN BUJANG

akasia hijau tersepuh
bunganya cemara kering rapuh
mengapa bunga tak kunjung jatuh
hingga angan berubah keluh.

Bandarlampung, 2010


MELANKOLIA KOTA

pernahkah engkau kusyuk pada pertemuan?

sementara telingamu dijejali sejuta lagu luka,
tubuhmu diselimuti lampu gemerlap fana.

orang-orang menerka-nerka rencana,
tapi kota terlalu sesak untuk menyimpan pertemuan.

perpisahan seperti bangsal yang menyimpan kematian
apa yang mesti kita simpan, kecuali kenangan?

ayolah rencanakan pertemuan di kebun binatang
agar kita tentram dengan kicau burung di pangkal pepohonan

di sanalah kita dapat kembali mengingat ringkik kuda
yang kesepian ditinggal pengunjung,

auman harimau yang pura-pura menakutimu
juga lutung yang hendak menggapai pundakmu.

lalu kaudiam. tapi helai-helai daun di batang akasia pinggir jalan
bergoyang-goyang lantaran digoda angin nakal tak mau diam.

suara-suara tak mau menepi sedikitpun
tak ada rumput yang merunduk:

tempatku biasa memalingkan pandang
dari sesuatu yang berjejal.

siapa yang akan mencatat pertemuan?
bahkan kota lupa nama kita

pernahkah engkau kusyuk pada pertemuan?

ah, aku sungkan padamu:
karena kautak mendengarkanku.

Tanjungkarang/Kedaton, 2008



MUSIM GUGUR

musim gugur,
ada di dada dan jemarimu:

dadamu, adalah batang yang tak lagi
mengalirkan resapan air kepadaku.

jemarimu, adalah reranting yang melepas
pipih tubuhku yang hijau;

seperti pertama kali aku tumbuh
di tanganmu

2009


BERLAYAR

yang berlayar,
hingga kini
belum juga sampai
ke tepian.

bunga-bunga
telah gugur
dan bersemi kembali
untuk yang kesekian kalinya

di ujung senja
gubuk-gubuk
mulai pucat
dadaku mulai padat

tak ada wajahmu
di tiap-tiap perahu
dan semuanya
datang lalu membuyar.

2010


SOLILOKUI HAMPARAN GURUN

akulah tubuh yang berdiam di dalam kemarau
dan setiap orang hanya melintas kemudian berlalu.

hujan hanya sekelumit
sepertiga daratan semesta, aku yang mengapit.

aku penyerap panas matahari
yang bersinar dengan benci.

aku juga penghisap dingin rembulan
yang redup dari keterasingan.

di dalam tubuhku, terdapat daratan garam
kulitku, adalah pasir dan batu curam.

angin-angin bertiup kencang
menerbangkan pasir dan menggeser batu garang.

di kulitku, ada ratusan playa kering: pecah.
dan orang-orang akan mengeruk dan membangun rumah

rambutku adalah kaktus saguaro
tempat makhluk mengendurkan ikat pinggangnya.

burung-burung bersarang dan beranak,
kalajengking menumpuk makanan dan merebus bisanya.

kelaminku adalah oase hijau.
di situlah para musafir berkerumun:

berbincang dan mengisi botol air minum.

Tanjungkarang, 2009-2010


PETANI KATA

berkali-kali ia berjalan dengan hujaman tombak-tombak matahari di
punggungnya, hingga legam lehernya menjadi semakin tebal dan kebal. di
dalam perjalanan itulah ia mengumpulkan bibit-bibit tanamannya. bibit-
bibit yang kerap menyusun dirinya menjadi serangkaian tumbuhan yang
berubah-ubah di dalam keranjangnya. sering juga bibit-bibit itu menjalar
ke kepalanya: meliliti dan menyusup ke dalam kepalanya. dan betapa
takzimnya bibit-bibit itu di dalam kepalanya—setelah menyusup dalam ke
liang-liang otaknya. dan petani itu lebih memilih diam ketimbang
mencabutnya dari liang kepala. petani itu lebih memilih bersabar
ketimbang tergesa-gesa mengembalikannya menjadi bibit yang semula
diam. ya, ia tak ingin bibit-bibit itu mati dalam keranjangnya, maka ia
biarkan hidup di dalam kepalanya.

setelah ia lepas sebentang petang di ketinggian—menengadahkan
pandangannya ke matahari yang berwarna mirip tembaga—ia pulang
dengan sekeranjang bibit yang menjalar dan menyusup di kepalanya. angin-
angin berpusaran di dekat tubuhnya. perjalanan pulang seperti memasuki
pintu-pintu yang seperti tak memiliki ruang. ruang-ruang menjadi bening,
namun tak dapat melihat ruang yang lain setelah memasuki pintu-pintu
itu. tapi apabila ia tak memasuki pintu-pintu yang separuh ilusi itu, ia tak
akan menemukan jalan pulang. dan petani itu mencoba untuk menjarah
seluruh ruang-ruang bening itu untuk menjadikan kebun kemudian
menanamkan bibit-bibit itu. kebun yang hening, tanpa suara burung dan
suara angin. petani itupun bisu.

ya, petani itu tak pernah mengharapkan apa yang akan tumbuh. tapi ia
hanya menanamkannya di ruang-ruang itu, di kebun-kebun itu. ia tak
pernah menamai kebunnya dengan kebun padma, atau kebun magnolia.
sebab kata atau nama, harus memiliki tanda. sedangkan tanda di kebunnya
kerap berubah-ubah, dan ia mulai menanamkan bibit-bibit itu. ia cabut
bibit-bibit yang menyusup di kepalanya. darah-darah keluar, tangan-
tangan penuh darah. kebun ditetesi darah: tanam—sambil membayangkan
gelak tawa orang-orang di perjalanannya, gerimis yang malas, batu-batu
yang menyerpih di jalanan, rumah-rumah berpintu bengis, jendela-jendela
yang licik, beranda yang sedih, dan waktu yang memiliki ruangnya sendiri-
sendiri, juga angin yang menembusi tubuhnya, desir angan untuk bekal
tanaman-tanaman itu. setelah menanam, ia pun diam. dan ia tak tak ingin
menjelaskan isi kebun itu untuk seseorang yang lewat. harapannya, ada
yang memetik apapun yang tumbuh di kebunnya: kalaupun buah, maka
seseorang itu akan mengunyahnya sendiri, dengan giginya yang tajam.
kalaupun bunga, ia akan mencium dan memetiknya untuk di simpan di
lubuk dadanya.

Tanjungkarang, 2009


LABIRIN

aku di dalam labirin berdinding tanaman rambat, gemanya bagai di dalam
balairung sepi. taka da papan penunjuk arah. dibiarkannya aku melarat
menempuh tikungan-tikungan curam dan jalan buntu tanpa bekal kompas
atau peta buta sekalipun. tak ada yang bisa dipahami dari permainan ini,
sebab aku tak bisa kembali ke jalan yang telah dilalui. setiap ingin
kembali, aku berada di tempat lain.

setiap daun memiliki nama. salah satunya adalah namamu. dan setiap
daun berkaitan dengan daun yang lain. mereka bersekongkol dan pura-
pura acuh. dirambatkanlah batang dan daunnya yang bernama itu ke kaki,
tangan, dan lehermu. jangan katakan tidak kepada mereka, cukup
lepaskan rambatannya, maka mereka akan mengerti: kau tak mau terikat
olehnya. kau akan sering menyesuaikan tubuhmu kepada daun itu:
mengecil dan masuk ke dalamnya. tapi jangan berlebihan menanggapi,
sebab daun itu, sesungguhnya seperti dirimu juga: di dalam labirin dan
menemui daun-daun pula.

pada saat kau menemuinya, ia adalah daun, tapi pada saat itu pula ketika
ia menemuimu, kau sebagai daun. kalian tidak saling mengetahui, sebab
kau hanya menebak dari apa yang terlihat; daun-daun yang menunas,
dinding retak, kegelapan, bahkan daun-daun yang terlepas dari
batangnya—memasuki sebuah pintu yang tak pernah dikunci oleh
siapapun dan mengakhiri petualanganmu—semuanya seolah telah
diketahui dan membuatnya menjadi pasti. kau mulai mengasah rasa
takutmu. tanpa kau ketahui, dan betapa mengagetkan, semua peristiwa,
berjalinan denganmu.

daun-daun itulah yang perlahan menghantar dan memperkenalkanmu
kepada daun-daun lain. kau tinggal memilih, masuk ke dalam atau berdiri
memandang kemudian pergi: memastikan yang belum pasti di bawah
terik matahari dan memastikan bentuk benda-benda di bawah redup
cahaya bulan juga bintang-bintang. dan kejujuran, adalah milik kematian.
batu-batu, benda-benda di sekelilingmu, bahkan tubuhmu berpijaran dan
pijaran itu kemudian meninggalkan semuanya menuju angkasa,
menembus atmosfer bagai bola-bola cahaya yang kemudian pecah
menjadi jutaan keping. di dalam labirin ini, aku seperti pencari. pencari
pintu keluarku sendiri. tapi sesungguhnya aku mencarikan pintu
keluarmu, dan kau mencarikan pintu keluarku.

suatu ketika, kususuri pasir-pasir coklat muda yang ditumbuhi rumput.
kudengar rintihan dari balik puing. ada wewangian yang perlahan
menghisap tubuhku ke dalam pusaran di daun-daun yang memiliki ruang
lain lagi, labirin yang lain: cahaya kelam, dinding yang lebih puing,
tumbuhan rambat yang lebih rambat, bahkan rintih yang lebih rintih lagi.
dan tumbuhan itu melenguh bagai nafas harimau terluka. aku mulai
merapuh dalam cahaya itu. berahi-berahi bergegas menyusun dirinya di
dadaku. mencari lagi musim yang menghilang di bilik jantungku, hingga
mengeram, kemudian memecutkan tangannya yang seperti ranting
kering dan melukai lagi dinding di bilik jantungku.

rongga dadaku digenangi darah yang menghitam. kebencian-kebencian
mengkristal di dalamnya, berhamburan, beterbangan, dan masuk lagi ke
dalam daging, resap ke dalam pembuluh darah seraya mengintai lubang-
lubang di tubuhku. mereka berpesta dalam kejemuan, dalam dahaga yang
mendorong perkiraan dan dugaanku terhadap ruang. kemudian kristal-
kristal itu meleleh, keluar lewat lubang hidungku. seketika semuanya
menjadi bersih. tak bersudut dengan sebentang kabut di kejauhan dan
dibayang-bayangi pohon-pohon hitam samar.

aku seperti tengah kembali pada permulaan: bukan menjadi anak kecil,
tapi aku kembali bisa melihat; pohon-pohon melambai-lambai, rumput,
langit biru, serangga-serangga beterbangan mengintari setiap tumbuhan:
seperti di dalam akuarium jernih yang ditunggangi tebaran dari segaris
cahaya lampu neon warna-warni. ketika gelap, hanya ada cahaya samar di
belakang kabut itu. pohon-pohon bersiluet, dan cahaya kunang-kunang
beterbangan bagai punggung langit malam. saat aku melangkah, semuanya
menjadi putih. seputih pijaran pada benda-benda dan tubuhmu yang
kemudian meluncur dan lesap ke langit kemudian pecah.

kini, aku berada di labirin yang lain lagi. jalan samar: seperti bayang-
bayang. tapi adakah yang kokoh bertahan pada jalannya sendiri.

dinding-dinding muncul inci demi inci.

Tanjungkarang, Juli, 2009


BERSAMAMU

apa yang menyebabkan kita berjalan bersama, hingga para malaikat
berterbangan di belakang kita. debu-debu berhenti sejenak,
seolah bersujud melihat malaikat-malaikat itu. kita pun bersih
dari pandangan benci. hisaplah udara yang seperti sehabis hujan ini,
dan matamu akan memandang dengan sangat terang ke arah
rerumputan hijau dan siring yang dialiri air jernih.
tapi mengapa tak satu bunga pun yang tumbuh,
bukankah dedaunan begitu hijau; sehijau teratai di kolam-kolam.

barangkali, sejak berjalan bersamamu, aku menemukan kembali
rumahku, rumah dengan bilik-bilik yang lebih luas
dengan jendela-jendela kaca yang lebar. mungkin itulah
mengapa aku tetap bersamamu.
dan segala yang kita tangkap hendaknya kita terima, bagaikan
sebuah mainan yang lepas dari tangan seorang bayi,
ketika dia tidur dalam damai di pangkuan Tuhan1.
kutemukan pula jam tangan yang hilang,
kalung tali dengan hiasan matahari yang sedang tersenyum
ke setiap pandangan, juga suaraku yang bijak, dan senyumku
yang seperti rekah angsoka di pekarangan para dermawan.
ya, sayang, aku hanya bisa menduga mengapa aku berjalan
bersamamu.

aku seperti menemukan sebentang jalan tanah. tanah yang terukir
oleh butir-butir hujan. jalan yang berjanggut hijau: menjuntai.
aku seperti berada di sabana yang menyala: hijau, peristirahatan
para ular. ular-ular yang sedang tertidur pulas di kaki cahaya.
dan aku masih ingin bersamamu: memungut sesuatu
yang telah lama tak terlihat. tapi benarkah
sesuatu di alam semesta ini dapat hilang. aku tak meyakininya.
sebab hilang, adalah sesuatu yang lenyap dari pandangan.
tapi adakah yang benar-benar lenyap. sebab benda-benda atau apa saja,
kuyakini tak hilang, melainkan menjauh, berpindah tempat.
dan segala sesuatunya begitu tenang seperti malam, menghindar
dari semua pandangan mata2.

dan kini, semakin aku memikirkanmu, semakin banyak pula
yang harus aku pelajari tentangmu: padang pasir di wajahmu,
rimbun peristiwa di dadaku, juga oase di matamu.
kita memang tak pernah mengetahui alasannya,
tapi yang pasti kita tak seharusnya sendiri.
tak ada yang pasti, sayang, tak ada.

tapi tugas kitalah: berpikir dan mencoba memastikannya.

Bandarlampung, 2010
------------
1) Mengutip dari penyair Persia dalam tradisi sufi, Hafiz (1325-1389) yang berjudul “Kesementaraan”, yang diambil dari buku Jiwa Yang Dimabuk Cinta, yang diedit dan diberi pengantar oleh Deepak Chopra, Pohon Sukma, Jogyakarta, 2004. Hlm. 55.
2) Mengutip dari penyair modern terbesar di India, Tagore (1861-1941) yang berjudul “Sang Pengelana”, Op. Cit., hlm. 112.


TANJUNGKARANG

di dadamu, kudengar nyanyian dari sumurmu yang hitam.

1
dada yang bidang, terlalu lebar untuk kurawat sendiri: setiap inci kulit di
dadamu adalah tanah dengan sumur-sumur hitam kering: diserap kemarau.
para pendusta berumah di putingmu: mengasapi, membakari rambut-
rambut yang menjuntai. dicangkulnya tanah-tanah gunduk. dagingmu,
berdenyut: menghimpun magma: siap membuncah. aku tumbuh di
dadamu: berdegup, mengejang di sudut-sudutnya. di gedung-gedung
berdinding kulit buaya. rumah-rumah berjendela persis mata ular sipit,
bengis memandang yang datang.

orang-orang: diam. tubuhnya bergetar, berdarah. setiap sapaan
berterbangan dan melayang-layang. seperti sekibas kipas siluman licik
yang menerbangkan pendopo, surau, dan pepohonan. aku melihat mata
mereka memandang jauh, mulut mereka berkatup-katup—namun tak ada
kata yang meletup—mobil-mobil melintas dan berlalu. dan langkah
burung-burung, anjing-anjing: tanpa suara. dan para peri, migrasi ke
dadamu; menarik segenap sekutunya untuk membangun rumah, menggali
harta para raja yang terkubur dan disimpan dalam peti kemudian dikubur
lagi. lantas di mana aku harus membangun rumah? sementara setiap malam
kau menggodaku dengan menyajikan gemerlap lampu di teras-teras yang
redup-terang. dan cahaya kecil warna-warni di pintu-pintu.

tubuh peminta-minta menggigil di sudutnya yang paling dekil. ada pula
yang merawat lukanya hingga borok, bernanah. bila ia berjalan, jalanan
bebercak: mengering, berkerak dan amis.

subuh lepuh. matahari bagai serpihan kaca yang terlontar dari langit. di
jalan, kusaksikan dada yang menggelembung kuning, meletup pada terik,
sentuhan pertama. pun begitu seterusnya.

2
dulu, teluk betung adalah ibu sekaligus bapak baginya. dan ia seperti lahan
luas yang ditumbuhi ilalang. dan peri agung, akan membuat
kota-kota baru, yang nanti akan aku sebut anakmu dan
ia menyebutnya cucu.

3
di dadamu, kukaitkan segenap malam yang tumbuh di sekitar tubuhku.
lampu-lampu menerangi denyut nadi yang sembunyi di balik dagingmu.
tapi aku, tak benar-benar bisa memasrahkan pipiku di dadamu. aroma
tanah menguar, bau karat tiang-tiang besi lampu menyebar—menjadi
satu—melawan segar tunas bunga-bunga, menolak kejernihan di hidung
para penghisap keheningan dari baris-baris kesedihan langit. aku
mengembara di dadamu, tapi tak pernah kucuri kalung yang menjuntai dari
leher hingga dadamu: kotaku.

aku dituduh siluman. sebab menginginkan sayap. aku dituduh membunuh,
sebab merawat badik yang tersepuh. kalian datang seperti serombongan
sapi-sapi liar. dan aku memberikan keagungan yang aku buat: nemui-nyimah1
dan keagungan yang kusematkan kepadamu, tumbuh seperti rumah-
rumah yang terus bermunculan di sebuah lapangan. dan kau, telah
membuat anak-anakku malu akan bahasaku sendiri. dan siapa yang telah
menghancurkan nengah-nyampor2?

4
rumah-rumah, gedung-gedung tersusun di balik dada, melekat di jantung.
rumah-rumah gempa. tanpa gemuruh. satu denyut jantung, berjarak satu
tahun. aku menyusuri sisa pecahan gempa, melewati persimpangan,
mencari diriku dan menanam dirimu, (di antara puing) dengan biji jagung:
tunaslah!

tanah-tanah kering, keras. kubangun rumah, kugali sumur, mengharap air
tapi yang keluar darah: menyembur. dan sumur ini, menggali dirinya
sendiri. semakin dalam. aku terperangah. dasarnya semakin hitam! kubuat
undakan di dindingnya dengan tanganku. maut mempesona,
memperkenalkan dirinya. aku mengeruk mengeruk dan mengeruk lagi,
hingga bau amis menyeruak, kuku lepas: berdarah dan terkulai di bibir
sumur.

5
tanjungkarang, aku telah tertidur di pinggir sumurmu selama delapan
tahun. delapan gempa. tanpa gemuruh. aku tidur di antara denyut
yang telah meruntuhkan gedung-gedung. puingnya semakin meremah.
angin melintas di ujung. dan sumur itu, kini bernyanyi. suara
pertama. aku bangkit. berjalan.

jagung-jagung, api hijau yang menyambar-nyambar tanganku. gedung-
gedung: remah roti kering dalam toples. orang-orang berkemeja biru muda.
dibibirnya ada ular dengan sayap kupu-kupu. mereka membangun
swalayan, membangun ruko-ruko. makam-makam dipindahkan. tanah
lembab. tapi mereka tak menggali sumur untuk mereka sendiri.

sumur di dadamu terkubur puing-puing yang meremah. remaja-remaja
berpasangan dan saling meminang di antara puing-puing. mereka tak
perduli. sebab mereka hanya iri. aku terus berjalan. mengumpulkan aksara
yang hampir dikubur semesta.

6
aku bertemu gadis berpinggul purnama. matahari meredupkan pandangan.
perempuan itu, mengumpulkan setiap biji mata laki-laki di pinggulnya.
aku melewatinya. mengacuhkannya. bertahan. bukan.

seorang gadis bermata malam yang tertukar warna. angin meniupi-niupi
tubuhnya. perempuan itu, mengumpulkan rupa laki-laki di dalam matanya.
aku melewatinya. mengacuhkannya. bertahan. bukan.

gadis bertelinga sayap kelelawar yang menyimpan getar langkah para lelaki
yang mendekat. aku menjauh. mengacuhkannya. bertahan. BUKAN!

berjalan lagi. dadaku persimpangan padat.

7
aku kembali ke rumahku. sumur menunggu. sumur yang menghitam.
bernyanyi. nyanyiannya adalah lantunan para putri duyung yang terdampar
di pulau terbuang. kubuatkan tali. kutimba. BENING!

8
kembali kususuri dadamu. menebas debu-debu.

Tanjungkarang, 2008-2009
-------------
1) Nemui-Nyimah: saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu.
2) Nengah-Nyampor: aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis.


TERSESAT

siapa yang telah tersesat di dalam tubuhku
membawa arloji tanpa angka-angka, hanya sebuah garis.
garis yang menyekap angka yang juga tersesat di dalamnya.
angka yang sulit menemukan dirinya sebagai penunjuk waktu.

mengapa tubuhku yang kau beri kegelisahan.
kegelisahan yang berpusar dengan ritme yang tak sederhana.
dirimu, adalah sesuatu yang muskil untuk kudekap
namun tubuhku, adalah tempat yang mudah untuk melesap.

matahari yang lain turut meringkuk di dalamnya: berpendar, silau
dan pelan-pelan menyembul dari balik dadaku: kau
menyemburkan kehangatan yang sentosa bagi tanah lembab.
namun kau terlalu lama tersesat: segalanya menjadi begitu kering.

pun lubuk jantungku memendam sepi yang begitu sering.

Bandarlampung, 2010


Tentang Agit Yogi Subandi
Lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Menamatkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Lampung (2009). Karyanya termuat di Koran Lampung Post, Suara Pembaharuan, Suara Merdeka, Koran Tempo, Majalah Horison dan Kompas. Saat ini menetap di Bandarlampung.


Catatan Lain
Ada tiga nama di sampul belakang buku, yaitu Triyanto Tiwikromo, Oka Rusmini dan Acep Zamzam Noor. Kata Oka Rusmini: “Membaca puisi-puisi ini kita seperti diingatkan kembali pada keindahan alam yang romantik. Kesunyian, juga hal-hal yang menyentuh dan mengingatkan kita, betapa selama ini kita sudah hampir kehilangan ‘identitas manusia’ kita. Tenang dan hampir tanpa persoalan hiruk pikuk kekerasan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar