Selasa, 02 Februari 2016

Dahta Gautama: ULAR KUNING




Data buku kumpulan puisi

Judul : Ular Kuning
Penulis : Dahta Gautama
Cetakan : I, Juli 2011
Penerbit : Pijar Media, Bandar Lampung.
Tebal : xii + 91 halaman (80 puisi)
ISBN : 978-979-15833-6-6
Desain cover dan tata letak : Abdul Hamid
Lukisan sampul : Mukhtar Haris

Beberapa pilihan puisi Dahta Gautama dalam Ular Kuning

Bau Kenanga yang Aneh

Kenanga mulai berbunga
ciuman pertama di musim basah menjadi kembang
tetapi engkau masih saja tidak percaya
bahwa besok ada bulan yang bangun kesiangan
sepotong kuning di langit ungu.
iya, kan! engkau masih tidak percaya
setelah ungu, langit berubah hitam, merah jambu
kemudian merah darah.
engkau tidak akan pernah mempercayai
kehadiran Tuhan
dalam tidurmu.
engkau cuma manusia biasa, yang cukup sampai
pada hakekat orang.
padahal Tuhan tidak perlu nama
Ia bisa diajak bercakap-cakap atau berdiam-diaman
tanpa bentuk, tanpa gerak.
Tuhan cukup memanggilmu
dengan cara meniup angin di ubun-ubunmu.
kemudian hidungmu mencium-Nya.
Bau kenanga di halaman rumah

2001


Surat-surat Mengabarkan Luka

menerima suratmu.
tiba-tiba aku lupa, harus apa dan bagaimana
di mataku semua abu-abu
jalan-jalan buntu. sementara malam berjelaga
orang-orang mulai sanksi, berubah menjadi
tetangga yang curiga.
bila sudah begini, impian terkurung di dunia kecil.
aku tersaruk dan sakit-sakitan
nasib terulang dalam lingkaran pendek
putus asa dan rindu pulang.
padahal di seberang sana, nun jauh di kedalaman batin
aku mengerang, gapai bayang cahaya
tenggelam di rimbunan gelap.
aku lupa, mesti apa dan bagaimana
surat-surat yang kuterima
semua mengabar luka

2000



Catatan Harian Halaman: 2008, Habis

kumulai hari ini dengan bangun pagi
sikat gigi dan nyanyi di kamar mandi.
ketika ingin menulis puisi
istriku dari kamar berteriak:
beras di kaleng, tinggal setengah
terasi dan ikan kering, habis!
pada selembar terakhir buku harian
aku tulis kata-kata serupa doa:
Tuhan, mengapa Engkau ciptakan banyak tikus
bersarang di loteng rumahku
bila malam, tikus-tikus itu turun dan mencuri banyak makanan.
Tuhan, tiga bulan terakhir
aku mandi di sumur tetangga
dan menahan malu.
setiap pagi disindir dengan kata-kata: iya, sekarang
tarip listik naik?
tetapi yang membuatku terbunuh
aku tak diizinkan lagi menulis puisi oleh istriku
ia bilang, cukup satu orang saja yang menjadi penyair
yaitu: manusia
Tuhan, aku mohon kepadamu sekali lagi.
beri aku beras, sayuran, ikan kering dan air di sumur
makanan untuk sebulan
dan jadikan aku manusia

2008


Kutanami Cahaya-Nya

Ia memberiku kumparan angin
untuk kuempaskan ke langit
Ia memberiku badai
kemudian kurajut menjadi renda-renda cahaya
Ia memberiku cahaya
untuk kupintal menjadi pelangi
Ia memberiku pelangi
mengilhami mataku. aku menggambar warna-warna
mengaji arah angin
Ia menganugerahi wangian tanah
untuk kutanami
maka tumbuhlah bunga-bunga
di pucuk-pucuk tangkai melati
yang menerbitkan cahaya keputih-putihan

1999-2009


Menjelma Ular

Engkau tenggelam dalam tumpukan kartu nama
aku tak pernah mengenalimu lagi
semenjak kau rambah kota-kota
dan menaburkan darah di sana

Betapa sulit untuk sekadar menyebut namamu
sungguh aku lupa.
dirimu terlempar dari percakapan
serupa helai daun yang tertiup angin barat.

Barangkali, cuma dalam mimpi
kita dapat bersapa dan engkau saat itu
telah menjelma sebagai ular berkepala hitam.

2005


Lelaki Sunyi

Buku harian ternyata tidak bisa merekam
sejarah. aku terluka sebagai orang sunyi.
ibu menangis dan aku masih saja bersembunyi
di balik pintu.
Ibu, kumamah sunyi ini. sejarahku mungkin
akan digerus masa depan.
dan aku akan terlunta-lunta sebagai manusia
yang kehilangan waktu untuk mengenang.
Apa artinya, jadi manusia yang tidak memiliki
masa untuk mengenang?
kata-kata yang pernah diucapkan seorang kawan bahwa
hidup cuma sekali, sulit kupahami.

Ibu, aku akan tidur di ranjangmu
agar bertemu mimpi tentang dirimu yang mengarungi
lembah dan sunyi dan kabut-kabut.

2001


Doa Penyair

Tuhan. beri aku hari esok, lusa
selama satu minggu
Tuhan. beri aku angin
untuk sebulan penuh
Tuhan. beri aku malam
untuk tahun-tahun, nanti.
Tuhan. beri aku tidur
untuk mimpi sepanjang hayat.
amin

2010


Amsal Penyair

Maka aku pun seperti halnya engkau
menjadi lebih mengerti, sekarang.
bahwa esok atau lusa
adalah hari yang sama saja
berputar-putar di sana
insomnia, menulis sajak
dan tidur sepanjang siang.
Bintang pun berpendar di matamu
sedang malam atau bulan, sahabat kesayangan.
Inilah kisah hidup sepanjang masa
kita mabuk selamanya.

1999-2010


Amsal Penyair (2)

serupa angin berputar
di pucuk alang-alang.
maka begitulah, ia
jalani hidup yang api.
di mana-mana
ada sejumlah orang
bermunculan dari masa silam
menuai angin.
tinggal ia sendiri
lalu ditulisnya
sebagai perih

2010


Amsal Penyair (3)

aku menjelma angin dan badai
menghancurkan perkampungan
di kaki bukit.
setelah itu, aku tidak ingin menjadi apa-apa
sebab puisi yang kutulis
menjelma mata angin

2010


Orang-orang yang Ingin Pulang

Angin ini basi baunya.
mimpi-mimpi menjelma gelap
tak ada tanaman hijau di kebun melati
tanah lapang tanpa rumputan
kemudian hujan turun di aspal.
Ada bunyi radio di kejauhan
telpon berdering berkali-kali
suara orang ngobrol di warung kopi
Ada yang bertanya-tanya di sepanjang gang:
ini hari apa?
dan mau ke mana kita?
Ketika tiba di ujung jalan
orang-orang merasa sepi dan jalan
yang lurus ke depan
ditaburi kabut sisa gerimis basah.
alap-alap terbang rendah
hinggap di atas tanggul kayu
dekat pohon kamboja

2001


Rumah di Kebun Bambu

Rumah itu dibangun di pinggir kali
di sebuah kampung. Semenjak merasa ujur
diputuskannya untuk tinggal di situ.
pekarangan ditanaminya bambu
ada juga bunga-bunga, bonsai dan lima batang kelapa gading.
Karena anak-anaknya sudah pada dewasa
satu-satu menikah, tinggallah ia seorang diri.
sang istri, baginya cerita usang
ketika masih bawahan. Istrinya lari dengan tetangga baru.
seorang berduit pula.
Selepas subuh ia suka keliling kampung.
mampir di warung kopi, ngobrol dan ngakak.
Suatu hari ia terima sepucuk surat dari si sulung.
entah apa bunyinya. Tapi setelah itu ia banyak berubah.
tak pernah lagi orang-orang kampung melihatnya keluar subuh
ngobrol di warung kopi atau mancing di kali.
hanya sesekali, nampak lari-lari di halaman
rumahnya yang luas
dan kelihatan jompo

Rumah di kebun bambu
setelah di tua mati, si sulung menggusurnya.

2002


Saya Mempersunting Perempuan Irlandia

nama perempuan itu, Jane. penyair Heaney mengenalkan kepada
saya
di sebuah kafe.
saya harus mengawininya. karena entah mengapa
saya mengagumi bintik-bintik kemerahan di pipinya.
saya pun tiba-tiba menjelma lelaki yang selalu kasmaran, menulis
banyak puisi.
Heaney, menemui saya di kafe
“kirim puisi-puisimu di koran minggu,” katanya.
nama perempuan itu, Jane. saya telah mempersuntingnya
dan Heaney membabtis saya sebagai penyair.

2001


Anakku Memelihara Angsa

“Apa yang kau sembunyikan di dekapanmu, anakku?”
“Bukan, apa-apa ayah. cuma kupu-kupu besar. ia memiliki sayap
berwarna putih, matanya ungu dan bisa terbang. Bibi, memintaku
memeliharanya di halaman belakang rumah kita. kata bibi, dua bulan
lagi kupu-kupu ini akan menetas. menjadi besar, mempunyai ekor
yang bisa bergerak-gerak. kalau sudah besar kupu-kupu itu akan
menjelma angsa. aku ingin melihat angsa besar terbang, ayah. pasti
dia seperti kupu-kupu raksasa. hinggap di dahan-dahan pohon besar.
kemudian terbang menyusuri pematang sawah. aku kemudian
mengejarnya, ayah. seperti aku mengejar layang-layang yang putus
dari benangnya.”

Anakku semakin besar, ia berlari begitu jauh. menyusuri hidup ini.
dan aku tak bisa mengejarnya lagi.

2004


Catatan dalam Hujan

sepucuk surat
kuterima dalam hujan
dipelihara angin dan petir
dan burung pelatuk
di pohon beringin.

Tidurlah, dik
ketika hujan menjelma gerimis
tatap mata menjadi gelap
barangkali apa yang didamba:
kesunyian.
berlalu dari subuh yang mengeluarkan
gonggong anjing

Bila hujan menjelma badai
maka sepucuk suratmu
kubalas dengan tinta darah

2008


Jam Loncat dan Engkau Membunuh Waktu

bersama angin, aku menyusuri
gerimis petang.
jam-jam loncat
tetapi basah ini tak pernah
sudi memahami duka.

aku menulis sajak tentang
burung gereja. yang tertembak
senapan anak-anak.

ah. sepanjang malam aku mesti
mengurung diri di runtuhan
sisa hujan. sambil menggambar
warna gerimis, senapan dan burung gereja

2005


Metamorfosis Mimpi

seperti apakah keindahan kematian?
aku selalu berobsesi
sebelum tidur melukis hutan, alang-alang, ular
dan dahan-dahan sonokeling.
sengaja aku gambar pohon berukuran besar
karena di bawahnya ada gundukan tanah
dengan bunga-bunga melati di atasnya
lalu tidur.
dalam tidur aku mimpi rebahan
di atas gundukan tanah.
sungguh, aku tak merasakan apa-apa
bayangan pohonan
membentuk gumpalan-gumpalan hitam
memanjang
hutan semak belukar menjadi sarang ular tanah berwarna coklat
ular yang genit. setiap matanya bertemu mataku, pasti berkedip
aku terbangun karena lelah dikejar ular genit itu, katanya, ingin
bercumbu denganku.
paginya, aku ceritakan mimpi kepada tetangga.
mereka bilang, akan ada yang menjadi tamu dalam hidupku.

sebelum tidur
aku hanya melukis sebidang tanaman sedap malam
wanginya getir.
seorang perempuan muda berkain abu-abu
membelai pundak, membawaku pergi ke dalam ruang berpijar
anehnya, aku tidak sedang mimpi
dan sungguh, aku tidak merasakan apa-apa

1996-2004


Biografi Waktu yang Terhempas oleh Angin

Hati serupa cakrawala yang gerhana
karena malam yang ditiadakan.
duka ini adalah duka langit yang menangis
duka hutan-hutan gersang.
Air menjelma api. api diperbudak sebagai wabah.
wabah api yang menghanguskan.
daun-daun hutan yang berjatuhan, diembus badai ke laut
di laut orang-orang mengembalakan nasib.
daun-daun diterpa angin kemudian berinkarnasi menjadi ikan
semua orang meninggalkan laut menuju hutan.
hangus. tak ada musim apa-apa.
selain udara panas, api dan kegelisahan sekawanan belibis.
rupanya orang-orang cukup peka membaca gejala.
nasib dan kegelisahan didampingkan
lahir dari persenyawaan itu pribadi-pribadi pelarian.
Pada ruang hampa pikiran
pribadi-pribadi pelarian mencari kawan sejati
maka sejak itu
orang-orang tak pernah berhenti mencari

2000


Aku Sunyi, Dik

Tunggu aku di persimpangan ini. meski aku pergi
tetapi tak pernah secara sungguh-sungguh.
Kota kita sudah tua, dik
orang-orang yang kujumpai di trotoar
wajahnya penuh kerutan dan selalu berjalan tergesa-gesa.
Matahari juga sudah tenggelam dua jam lalu
malam penuh kilatan lampu taman.

Tunggu aku di persimpangan ini, dik
aku pergi sebentar saja
ke ujung jalan
memetik sunyi

2004


Kampung Halaman

kampung halaman menyimpan bahasa kangen
masa kanak-kanak.
kampung halaman mengembalikan
dunia kota ke dalam aroma tanah basah.
setelah bertahun kutinggalkan
aku rindu pada seraut wajah ibu

ibu, betapa beku hidup ini
kuseberangi lautan wajahmu
mengoyak angka-angka kalender.
temaram lampu jalan di taman
menjilat kesepian ini

ibu, kumamah sunyi
rinduku pada kampung halaman
kuterjemahkan dengan air mata

2005


Tentang Dahta Gautama
Dahta Gautama lahir di Hajimena, Lampung Selatan, 24 Oktober 1974. Belajar sastra secara otodidak sejak 1993. Publikasi puisinya di berbagai media cetak daerah dan nasional serta beberapa antologi puisi bersama.


Catatan Lain
“Saya tak pernah berpikir lebar,” kata Dahta Gautama dalam kata pengantar, “ketika kali pertama menulis puisi. Yang saya ingat, menulis puisi sebagai upaya menarik diri dari ketidakmampuan dalam tatacara bergaul. Sungguh, ketertarikan pada sastra telah menarik saya masuk dalam perkara sunyi, mudah tersinggung, rendah diri dan insomnia. Perkara itu,  menempatkan saya sebagai anak lelaki yang aneh. Suka jalan tergesa-gesa, pandangan jatuh ke tanah dan berkeringat dingin. Ketika duduk di bangku SMP Negeri, Natar, Lampung Selatan tahun 1986-1989, sebanyak 600 orang murid di sekolah itu, mungkin tak lebih dari lima orang yang mengenal saya, sisanya menganggap saya aneh atau mungkin anak lelaki yang kurang ajar. Karena tak pandai tersenyum, suka membuang muka dan memilih duduk di bangku bagian belakang.” (halaman iii).
            “Prilaku serupa masih saya alami ketika sudah bersekolah di tingkat SMA. Entah mengapa sulit untuk berprilaku wajar, runuh dan renyah. Alhasil, di SMA Dewi Sartika, Bandarlampung, saya dijuluki ‘si kurus yang aneh’. Kebiasaan suka membolos dan menyusuri rel kereta api dan nongkrong di Pasar Tengah, Tanjungkarang, menempatkan saya sebagai siswa bengal. Kepala sekolah hampir memecat saya dari sekolah itu, jika tidak dibantu oleh Mila Savitri, ketua kelas, yang tak bosan menasehati agar saya mengurangi kebiasaan membolos.” (hal. iv).
               Rupa-rupa pengalaman hidup penyair banyak ceritakan di pengantar 5 halaman itu, dari menjadi pengayuh becak, berkebun jagung di kawasan transmigrasi di Bengkulu, hingga kisah terlunta-luntanya dia di Jakarta. Saya kira, tak banyak penyair yang mau repot menuliskan pengalaman hidupnya yang tidak mengenakkan di buku kumpulan puisinya. Pengantarnya sendiri diberi judul ‘Kemiskinan dan Keseimbangan Rasa’.
            Dan begini kesaksian penyair terhadap bukunya sendiri. Bagian ini ada di sampul belakang, dan bukan penggalan dari kata pengantarnya: “Ular kuning merupakan replika hidup yang sangat biasa saja, sebenarnya. Ia bukan ular berbisa yang mampu membunuh dalam satu kali pagutan. Ia hanya tanda cinta yang teraniaya, nasib, takdir, kegagalan, percintaan yang mesum, kebodohan, kekuatan kekuasaan, dan kedasyatan Tuhan. Saya merepresentasikan dunia ini sebagai hewan melata ular yang kerap bersembunyi di semak, mungkin di halaman rumah kita yang jorok itu.” 
            Meskipun dikatakan oleh penulis bahwa tahun penulisan 2000 hingga 2010 (lihat hal. vi), namun jika melihat beberapa puisi, ada yang ditulis seperti ini: 1996-2004 atau 1997-2001 atau 1999-2009. Dan itu ditemukan ada beberapa. Susunan puisi, kayaknya disusun kronologis berdasarkan tahun, sejak 2000 hingga 2010. Untuk puisi berkode ganda, misal 1996-2004, maka dimasukkan ke dalam tahun 2004. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar