Jumat, 04 Mei 2012

Sapardi Djoko Damono: MATA PISAU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Mata Pisau
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : I, 1982
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 66 halaman (51 judul puisi)
Perancang Sampul : Hanung Sunarmono SD

Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam Mata Pisau

Telor

Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
        Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan
        melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang
        kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore
        tadi.
Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
        isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.


Taman Jepang, Honolulu

inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:
jalan setapak yang berbelit, matahari
yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap jawaban tertunda


Percakapan Malam Hujan

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung
        berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
        kujaga malam.”

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
        desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan
        menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”



Narsisus

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskan aku kalau nanti air hening kembali
cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi


Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
       di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
       di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
       yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
       kami yang harus berjalan di depan


Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago

“Siapakah namamu?” barangkali aku setengah tertidur waktu
       kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,     
       beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:
       siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,
       bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku,
       sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa
      sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang
      pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar
      anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras
      denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa
      menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan
      sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita
      namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang per-
      tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter-  
      jaga.

Seandainya -


Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.


Pada Suatu Pagi Hari

     Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
     Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi. 


Ketika Berhenti di Sini

ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun


Hujan dalam Komposisi 1
  
       “Apakah yang kautangkap dari swara hujan,
dari daun-daun bugenvil basah yang teratur
mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap
dari bau tanah, dari ricik air
yang turun di selokan?”

       Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah
dan hujan, membayangkan rahasia daun basah
serta ketukan yang berulang.

       “Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri
yang di balik pintu memimpikan ketukan itu,
memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan
bisik yang membersit dari titik air
menggelincir dari daun dekat jendela itu.
Atau memimpikan semacam suku kata
yang akan mengantarmu tidur.”

       Barangkali sudah terlalu sering ia
mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.


Hujan dalam Komposisi, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula
ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu
mengkristal dalam dingin; kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa
pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
rumah, dan kembali ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di
jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge-
lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,
menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di
        lautan. Selamat malam.


Hujan dalam Komposisi, 3

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya:
terpisah dari hujan



Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. buku puisinya antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api, Arloji, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002) dan Kolam (2009).

Catatan Lain
Mata Pisau terdiri dari 2 bagian, yaitu Mata Pisau (menghimpun sajak-sajak tahun 1969-1971, 27 puisi) dan Akuarium (menghimpun sajak tahun 1972-1973, 24 puisi). Buku ini koleksi alm. Eza Thabry Husano, yang saya usik dari raknya yang berdebu. Beberapa tahun yang lalu saya pernah meminjam buku ini (sekitar tahun 2005/2006/2007), ini menjadi perkenalan pertama saya dengan puisi-puisi SDD. Sewaktu di sekolah formal, paling hanya tahu puisi Sonet X, Di Kebon Binatang, dan Mata Pisau.
            Dalam kata pengantar dari Penerbit, dikatakan bahwa SDD dianggap mempertahankan tradisi lirik kepenyairan Amir Hamzah. Lebih jauh, SDD dianggap sebagai penyair imajis yang mampu merangsang fantasi-fantasi pembaca. Dalam kata-kata SDD sendiri: Di dalam puisi, kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan pendukung pembaca dengan dunia intuisi penyair, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji.
            Kata penerbit lagi, kelebihan Sapardi ialah kepekaannya menangkap hal-hal yang kecil, dari mana dia berangkat menanyajak. Hal-hal yang tampaknya remeh ini kemudian berhasil diangkat menjadi hal-hal yang mengesankan, yang mempesona. Apa yang sebelumnya tak berarti, di tangannya menjadi berarti.  
             

5 komentar:

  1. apakah buku ini masih beredar di pasaran?
    mohon infonya karena saya ingin mendapatkan buku ini
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga tak tahu. Ini buku terbit 32 tahun yang lalu, sudah cukup lama. Mungkin di lapak-lapak buku masih ada atau barangkali masih tersisa di kios buku "Bengkel Deklamasi" milik Jose Rizal Manua, di sudut Graha Shaba TIM. Kios buku ini menjadi tempat alternatif bagi pencari buku-buku yang sudah tidak beredar lagi di toko. Bila tidak ada, tanya penyairnya langsung :D

      Hapus
  2. saya suka puisi2 sdd, tp kali ini kita bahas yang puisi telor sj, puisi ini menjelaskan tentang do'a yang di sampaikan anaknya atau istrinya atau ibunya intiny puisi telor ini adalah do'a

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebuah tafsir yang mengejutkan saya, ga mikir sampai ke sana. tapi jika ada ulasan tentang puisi sdd yang saya sukai, maka itu adalah ulasan hasan aspahani dalam blog sejuta puisinya.

      Hapus