Senin, 06 Januari 2014

Afrizal Malna: MUSEUM PENGHANCUR DOKUMEN



Data buku kumpulan puisi

Judul : Museum Penghancur Dokumen
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, April 2013
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Tebal : 110 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-7949-01-0
Foto cover : Sartika Dian Nuraini

Beberapa pilihan puisi Afrizal Malna dalam Museum Penghancur Dokumen

daftar indeks

dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.



Antri Uang di Bank

Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku


Seminar Puisi di Selat Sunda
Untuk Goenawan Mohamad

Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok
yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah
revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal
perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah
perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung
krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata
yang menggerutu.

Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan
berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang
terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil
tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap
tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,
di pangkuan seorang perempuan.

“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian
seorang ibu.”

Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat
ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me-
nyimpan kartu pos patung liberty di saku
mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di
antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”

Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah
pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula
membenamkan akal sehat ke dalam keuangan
negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri
yang masih tertidur di sebuah kereta.

Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang
penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang
wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor majalah yang
kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang
dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan
sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau
mengubah kenangan tentang mantel yang dikena-
kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.

“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”

Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang
sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai
dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak
tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim
hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.
Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.
Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk
menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya.
Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi
tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar
di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.
Tetapi.

Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus
bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan anak-anak tangga
daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.
Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik.
Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada
setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun tentang luka yang
tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau
pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi
gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun
yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat
dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan
Yudhistira.

Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan
seperti dengan suara kertas koran yang diremas.
Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang
samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.

“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah
luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin
yang mengirim garam, menjaga musim hujan di
Utara. Di sini.


Menggoda Tujuh Kupu-kupu

Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.


Di Seberang Selembar Daun

Aku bukan seluruh daun di pohon ini. Aku hanya
selembar daun di pohon ini. Hanya pohon ini dan
hanya selembar daun. Aku hanya selembar daun
yang tumbuh di leherku. Hanya berwarna hijau sep-
erti selembar daun. Aku hanya selembar daun yang
berbicara menggunakan mulutku. Maksudku,
mulutku adalah selembar daun yang berbicara
menggunakan mulutku. Maksudku, aku hanya
selembar daun yang selembar daun. Jangan rayu aku
untuk menjadi pohon walau kau berikan tuhan kepa-
daku. Jangan rayu aku untuk menjadi seluruh daun
pada pohon ini walau kau berikan janji kematian pa-
daku. Aku bukan soal kematian dan soal tuhan. Aku
mirip, maksudku mirip dengan pertanyaan aku hidup
bukan untuk seluruh yang kau katakan setelah
kematian. Setelah kematian aku bukan hidup dan ke-
matian bukan selembar daun yang mewakili seluruh
daun di pohon ini.

Aku hanya selembar warna hijau dari pohon yang
aku tak tahu namanya. Pohon yang membuat aku
tahu aku berada di sini dan hidup di sini. Maksudku,
jangan kau takuti aku seperti kanak-kanak yang
berlari di seberang kematian. Aku mengingatnya,
waktu-waktu, dan, lihatlah di luar sana, lihatlah
orang-orang berjalan dengan kakinya, pohon-pohon
tumbuh, anak-anak bermain merasakan kebahagiaan
memiliki tawa, langit yang dibuat dari rambut
perempuan. Aku adalah selembar daun yang dijahit
pada sebatang pohon.


Proposal Politik Untuk Polisi

          “Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita
          tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen
          pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi …
          rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang-
          sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
          pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
          1900, muntjul sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
          gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di
          pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini
          semua.” (P.J.F. van Heutsz, 1904-06)

Aku dilanda kedatangan diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang di setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem dalam lubang kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling membuang. Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di sini. Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang dalam peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua saluran keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja makan. Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri bersama.

Aku memotret telapak tanganku sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih panjang dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara gesekan butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi yang kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan sejarah dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing dalam perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian, udara bersih dan lapangan
kerja.

Tuan-tuan, bisakah kegagalan dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita tertawa dan tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat gigi di tengah puing-
puing daya hidup yang terus digempur dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang menjadi mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam makan malam kita.

Tuan-tuan, bisakah kita membaca sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna. Dan mereka menciptakan
bahasa, dari setiap kegagalan, dari setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari dansa perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di sini, seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun. Tidak membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran got bersama.

Tuan-tuan. Di sana dan di sini. Musim hujan yang
telah berwarna biru di kotamu.


Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.

Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:

“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair.
Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang
sendirian dalam kisah-kisahmu.


Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin
mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam
bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan
dan melukis fotomu pada dinding musim hujan.
Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik:
kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah.
Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil
ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan
jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak
muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues
dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku
telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji
pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain
kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang
membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau
tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku
kembali bernapas setelah ribuan billboard kota
adalah mataku yang terus berputar, waktu yang
terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang
menyimpan telur ayam, mantel biru masih
menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi,
bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta
setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2
hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda
padat. Dan bir dingin di antara janji-janji.
Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam
bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai
ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam
6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang
berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum
biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.


Teknik Menghibur Penonton

Kebahagiaan peti mati mengucapkan selamat tahun baru.
Maksudku, peti mati dan tahun baru.
Kata-kata melintasinya dan jatuh seperti burung yang
ditembaki dalam mata pelajaran biologi.
Intelektualitas yang merasa bisa menjadi mediator
antara tubuh dan realitas, terjungkal dari rak buku.
Maksudku terjungkal dan rak buku.
Titik dan koma tersesat dalam perangkap titik dan koma.
Kata-kata telah ditundukkan oleh badai kamus.
Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.
Sebuah bossanoba di tengah api perpustakaan.
Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.
“Tuan penghibur,” kataku, untuk melihat rohku
di antara kumpulan harga apartemen dan tiket
pertandingan sepak bola.
Baskom dalam timbunan penduduk kota.
Tepuk tangan para pembuat parfum
dan mesin pencetak dari rumah sakit.

Thank you.
Tuan penghibur.
Thank you.


Tubuh Lublinskie di Lorong Es Hitam
Untuk gas

Musim panas berjalan-jalan di luar bajumu.
Dari seluruh warna merah yang dipadatkan.
Baju dengan jahitan tentang ketakutan
dan kesedihan. Lorong es hitam pelarian Yahudi
di Grodzka, jadi jalan turis.
Musim panas yang masih menjahit gerimis,
setiap jendela cuaca dibukan dan ditutup.
Tidak tentang yang terkunci di luar atau di dalam.
Tentang bibirmu
meninggalkan biji cengkeh di lidahku.
Membisikkan puisi-puisi Wislawa Szymborska,
dengan tas koper terus memunguti bayangan kita
di belakang. Tidak memisahkan kalimat dengan koma,
setelah masa lalu dan masa kini.
Kita meminjam sayap burung untuk tidak
berbahasa lagi seperti manusia.
Terbang.
Seperti dalam ruang di luar suhu kematian.
Seperti matahari menawarkan ilusi tentang bayangan,
dan sebuah bis yang membawa malam ke Warsawa.

Malam yang terus direnovasi dalam lampu-lampu
kota yang sedih.
Menggeser musim panas ke tangga menuju
kastil-kastil kesunyian,
kafe-kafe yang menyembunyikan teriakan
dari tenggorokan terluka.
Mata lelaki dalam kantong plastik
mulai berkerumun di taman kota.
Pelayan kafe membawa menu sejarah,
secangkir kopi dan ice cream tentang kita.
Lukisan sejarah perang dan kunci besi
di Museum Lublinskie.
Kita berjalan di sebuah kota yang telah menjadi
selembar menu makanan.

Deru pesawat dan kereta masih merenovasi pelukan
kita, antara passport, peta perjalanan dan gereja-
gereja tua. Aku tidak tahu lagi bedanya antara
memeluk dan bersujud memuja kesedihanmu.
Di tas koperku masih peti mati yang meminta visa
untuk kebebasan bernapas.

Sayangku, tidur tidak bisa mengecat mimpi kita.
Lublin telah menjadi piano kesunyian di luar malam.


Workshop 5: Tawanan Aku

gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
dari suaranya
berdiri melingkar
di depan bulatan penuh perangkap waktu
jari-jari yang menggenggam tikus
dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
seperti bayangan yang meninggalkan bentuknya
memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
dimuntahkan kembali dari ketakutannya
cermin yang menjadi buta ketika melihat
dinding di dalamnya
dan selembar rambut di atas koran pagi
air yang menyeberang di atas jembatan
melintasi sungai
melintasi tetesannya
tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
menyimpan gema dari

hutannya


Jembatan Rempah-Rempah

Adas manis · Akar wangi · Andaliman · Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle · Bawang bombay · Bunga la-
wang · Bawang merah · Bawang putih · Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar · Daun bawang · Daun pandan
· Daun salam · Jembatan dari bumbu dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir · Jahe · Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi · Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur · Kesumba · Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada · Jembatan dari parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco · Laurel · Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica · Mustar · Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai · Suji · Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci · Temu lawak · Temu mang-
ga · Temu putih · Temu putri · Temu rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis · Akar wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis · Bangle · Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe · Cengkeh · Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen · Jembatan dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah Ternate · Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan · Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit · Lada · Jembatan api
yang terus mengirim kapal ke arsip-arsipmu.


Tentang Afrizal Malna
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun, Afrizal Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).


Hal Lain
Ini kata-kata yang terdapat di sampul belakang buku: “Kumpulan buku puisi Afrizal Malna ini terdiri dari 3 bagian. Puisi yang tertunda-tunda untuk diterbitkan. Afrizal sendiri merasa ragu untuk menerbitkannya. Ia menganggap banyak kekosongan di dalamnya, sesuatu yang berjatuhan, kehilangan pengikatnya. Tetapi akhirnya diterbitkan. Judul Museum Penghancur Dokumen, juga sebenarnya lebih sebagai reaksi terhadap puisi-puisinya sendiri.”
            Maka tugas saya melengkapinya: 3 bagian yang dimaksud adalah Di Bawah Penggaris Kata (10 puisi), Bayangan Arsip (24 puisi), dan Suara yang Berjalan di Atas Kaca (19 puisi). Jadi total ada 53 puisi. Lalu ada esai penutup di bawah judul “Catatan di Bawah Bayangan”. Dalam tulisan itu Afrizal berkata: “Hujan merupakan personifikasi saya dalam menulis, personifikasi aku-natur melalui sebuah tabrakan dalam aku-kultur.” Bla bla bla dan penjelasan lain yang tidak semua orang sanggup menangkapnya. Bagi saya sendiri, barangkali, hanya paragraf terakhir dari tulisan itu yang nampak terang, tidak njlimet, tidak mengerutkan kening, sebuah antiklimaks yang indah: “Beberapa kali saya berpapasan dengan orang-orang yang saya kenal, teman-teman, di pesawat atau di tempat lain, saya berusaha menyembunyikan wajah saya agar tidak dikenali. Menghindar dari terjadinya pertemuan. Saya seperti terus berjalan mundur menjadi seorang “pendiam”. Masuk ke lubang internal saya. Sebuah gudang di mana bayangan kesunyian terasa pekat. Mengusir setiap kehendak mengalami diri saya sebagai seseorang. Mencoba mengalami lagi rasa sendiri, sedih. Melakukan sesuatu untuk mengosongkan, bukan untuk mengisinya. Begitu terus-menerus, seperti membersihkan kaca yang sudah bersih.” Nah, barangkali inilah yang menjadikan kumpulan puisi ini memiliki banyak kekosongan, berjatuhan dan kehilangan pengikat. Sebuah kumpulan puisi yang disusun dan diterbitkan dalam mood seseorang yang mundur menjadi “pendiam”.
            Buku punya Hajri ini tergolong buku yang baru di rak Hajri. Tak ada keterangan harga atau catatan kapan dan di mana belinya.   

2 komentar:

  1. saya juga menikmati puisi-puisi Afrizal Malna, Berlin Proposal karya beliau juga saya suka.
    sila berkunjung ke http://willy-akhdes.blogspot.com untuk melihat kumpulan puisi saya.

    BalasHapus