Jumat, 01 Februari 2013

Sitor Situmorang: ANGIN DANAU



Data buku kumpulan puisi

Judul : Angin Danau
Penulis : Sitor Situmorang
Cetakan : I, 1982
Penerbit : Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
Tebal  : 114 Halaman (75 puisi)
Disain sampul : Hardyono
 

Angin Danau terbagi atas 4 bagian, yaitu Angin Danau (14 puisi), Si Anak Hilang (28 puisi), Laut Senja (20 puisi) dan Weimar (13 puisi)


Beberapa pilihan puisi Sitor Situmorang dalam Angin Danau

Barbara di Pinggir Sungai Holland

Tak tahu lagi sungainya:
Waal, Maas atau bernama Rijn.
Kapal barang kosong –
angan ikut mudik

ke jantung Eropanya, berpapasan kapal
sarat muatan – hatinya – bersamaku hilir
bermuara di samudra kembara
Atlantik berpadu Pasifik

hidup yang dihidupi
sejauh tualang

musim yang diselami
sedalam rindunya.


Si Anak Hilang

Seorang kaya mempunyai dua putra,
Dua remaja berlainan perangai,
Si Bapak sama-sama sayang,
Bagaimana akan memisah darah?

Putra sulung rajin lagi tekun,
Bertani, bertukang, merawat hewan,
Sepanjang hari bekerja di kebun,
Memelihara warisan nenek moyang.

Putra bungsu suka ke tempat pesta,
Pesiar di mana orang muda berkumpul,
Padi di ladang, hewan berbiak di gunung,
Menjadi haknya, tanpa kerja.

Malam pergi, pulang di pagi buta,
Kerja si Bungsu sepanjang tahun,
Tinggalkan si Sulung membanting tulang,
Kembali malam menutup kandang.


Akhirnya desa terlalu sepi,
Bagi si perlente, jagoan pasar,
Putus kata – Ia akan ke kota, pergi,
Berbekal warisan pemberian Ayah.

Kota jaya penuh warna dunia,
Membuat si Bungsu mabuk bahagia,
Makan, minum, bersenda gurau,
Dengan sahabat pandai berlagu.

Harta pun habis – Negeri dilanda lapar,
Wabah mengamuk membawa sengsara,
Teringat si Bungsu, betapa senangnya,
Andai ia pelayan saja di rumah Ayah.

Untuk hidup, si Bungsu ambil kerja,
Pelayan di rumah orang, tingkat terendah,
Kandang hewan jadi penginapan,
Untuk makan, diberi sisa makanan.

Si Bungsu lalu sadar, ia harus pulang,
(melambai kampung halaman)
Dekat Ayah di antara budak belian,
jadi pembantu si Abang

Suatu sore ia dari jauh datang,
Nampak pada Ayah di pematang,
Tempatnya tertunggu tiap sore,
Doakan si anak teringat pulang.

Si Ayah berlari menjumpai anaknya,
Dipeluknya sambil tersedu-sedu,
Si Bungsu terharu, lalu sujud:
“Ayah, aku berdosa. Aku pantas budakmu.”

Si Ayah segera memanggil kerabat,
Minta sapi-domba disiapkan korban,
Merayakan hari bahagia umat –
Anakku hilang, kembali ke pangkuan!

Dari ladang, kembali si Sulung,
Mendengar orang ramai berdendang,
Ayahku pesta, apa gerangan hal baru,
Alasan beria, di luar pengetahuanku?

Tetangga berkata: Belumkah kau tahu?
Adikmu pulang, dari perantauan,
Karenanya kita pesta, menuang madu,
Minum anggur sepuas hati.

Si Sulung berpaling, pergi menyendiri.
Di tengah ladang sedih berdiri,
Pikirkan nasib, betapa sia-sia,
Habiskan umur kerja dengan setia.

Si ayah merasa, si Ayah melihat,
Anak setia bermuram durja,
Ia datangi, membujuk penuh kasih:
Tak kau bahagia anakku sayang?
Adikmu pulang, setelah lama hilang!
Kasihku padamu. Hartaku semua
Adalah milikmu. Adikmu ini
lebih dari domba, pantas dikasihani!

Si Sulung berpaling, lalu lari ke rumah,
Menjumpai adiknya, berdiri di ambang,
Mereka berhadapan, tangan hendak membunuh,
Lunglai – membelai ubun adik tersayang.


Weimar

sejuta pohon pinus
menyebar harum bumi
di dadanya yang mulus
kucium sepenuh hati

Goethe hanya kenangan
di abad luar jangkauan
Schiller sudah tiada
tinggal musim bunga

Mengorak dari tubuhnya
sepanjang hari

menghimbau cinta
sepanjang malam hingga di pagi


San Fransisco

selusin sajak Zen
menggumpal di garis Golden Gate
di lengkung hari terbenam –
dalam samadi Pasifik


Dunia Leluhur

Hutan jadi bayang-bayang
roh leluhur
merasuki tubuh

kutanam bambu
biar hangat kampung halaman

daunnya hijau
lebih hijau kala rimbun

Ditenun angin
roh bertengger di ubunubun

mata tombak
tertancap di dataran

kurajut benang hidup
waktu yang kulalui

jejak pemburu
di pegunungan

burung
di malam berbulan

hidup dari sepi
minum dari daun ilalang

jadi jin
jadi ijuk
jadi tanah liat
jadi batu
jadi danau
jadi angin
tali dipintal
titianku ke dunia sana


Urat Bona Pasogit

sebatang beringin, tempat leluhur
di bayangnya bermusyawarah hal hidup
dan hal baka
sebuah mata air dari batu karang
sumber pelepas dahaga 7 keturunan
kali 7 keturunan, aku pun lahir
sebuah rumah asal disebut parsantian
perlambang jagat tiga tingkat
bumi atas bumi tengah bumi bawah
dari halamannya sejemput tanah keramat
kutiup nafas
bakal alas jasad bakaku tegak
di atas segala bumi leluhur
Ompu Raja Bunbunan
pengawal adat lembaga di Tanah Urat


Nama dan Pertanda

Dari anakku kuambil nama,
Dari istriku kuambil cinta,
Bagiku jadi pertanda,
Bagiku jadi manna.

Manna yang memberi hidup,
Pertanda yang menyuluh jalan,
Sepanjang malam pengembaraan,
Hidup tak menemukan tujuan.

Di padang pasir kutemukan lagi,
– Pulang dari pembuangan –
Menuju lembah – telah dijanji,
Seperti Israel menuju Kanaan.

Ke sana aku pulang segera,
Menemui sanak saudara sejati,
Lepas dari perbudakan manusia,
Menuju kebebasan kasih murni.

Telah nampak bukit dan hutan,
Negeri kerinduan di tepi langit,
Melambai dari seberang dengan tangan,
Fajar di atas air menggamit.

Pertanda telah menuntun jalanku,
Manna di gurun menuntun hidupku,
Anakku telah memberi aku manna,
Ibunya telah memberi aku cinta. 


Di Hutan Lintong

jalan setapak ini
jalan ayah, jalannya nenek
jalan nenek dari neneknya

jalan berawa berlumut
samar di dasar hutan
jalan ziarahku kini

ke pemukiman 8 generasi
kini kosong terbuka
di tengah rimba

tanpa hewan tanpa manusia
tinggal batu peti tengkorak
di benteng berbambu ciut

tinggal angin tinggal embun
degup jantungku
dikejut anggrek liar

dan kawanan rusa
di bekas ladang-ladang dulu
makan rumput muda

di malam purnama


Danau Toba

Aku rindu pada bahagia anak,
Yang menunggu bapaknya pulang,
Dari gunung membawa puput,
Sepotong bambu tumbuh di paya-paya.

Pada perahu tiba-tiba muncul sore,
Dari balik tanjung di teluk danau,
Membawa Ibu dari pekan,
Dengan oleh-oleh kue beras
bergula merah.

Aku rindu pada malam berbulan,
Kala si tua dan si anak mandi
sinar purnama,
Berkaca di permukaan danau biru –
Sebelum air mengelucak di musim kemarau

Aku rindu pada bunyi seruling gembala,
Bergema di bukit memenuhi lembah,
Pada permainan di gua-gua batu
penuh lebah,
Kala api panen mengusik hewan
di tengah sawah.

Aku rindu. Aku rindu pada tebing
hijau,
Tempat ikan emas bercengkerama,
Di antara lumut menggeliat bening,
Seperti taman zambrut dalam impian.

Aku rindu pada batu-batu besar dan hitam,
Muntahan lahar dari perut bumi,
Pada pemandangan tua ribuan tahun,
Si gembala domba, termenung
di atas batu.

Aku rindu bau-bau di musim
panen,
Gelak si tani purba membakar jerami,
Rindu pada si nelayan pulang dari
danau,
Menyandang pukat dan ikan di sore hari.

Aku rindu pada suara kakak,
Memanggil aku pulang makan,
Rindu pada resah bambu di benteng
kampung,
Melambaikan daunnya pada
angin gunung.

Aku rindu pada adikku, yang rindu padaku,
Aku rindu bunyi palu tukang perahu
Aku rindu lenguh sapi, pada bau
kerbau,
Aku rindu, rindu suara Ibu,
terkubur di pinggir danau.

Aku rindu lonceng gereja bertalu-talu,
Rindu gemanya merayap-rayap
di udara,
Menyongsong malam, mengumumkan satu-satu
Kematian,
Merayakan Perkawinan – serta Kelahiran,
Pada malam Natal, kisah tiga Raja
dari Timur,
Datang menghormati Anak Manusia,
di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku.


Cinta Luput
Cinta Sepenuh

Hari sudah sore
siap menemui ajal
depan regu tembak
ia membalas surat
seorang gadis jauh
yang belum dikenalnya

“Silakan datang, aku menunggu bahagia.
Oleholehmu kunanti.”

Ia pun tertidur
hingga lewat matahari terbenam,
menjelang hari naas
sebelum nanti kubangunkan
di pagi buta – kata koran
kata koran pula:
ia menolak berdoa
ia menolak didampingi pendeta
hanya minta sebatang rokok.

Seorang murtad
yang ikhlas?

kata hatiku –
setelah tidak diberi pengampunan
ia menolak segala pengantaraan dunia
antara dirinya
dan Tuhannya.
Amin.

1980


Topografi Danau Toba

Dari pantai Haranggaol
kutatap pulau,
danau biru, membuai perahu
nelayan Bandar Saribu
dengan lagu kasih
adat Simalungun
di tanah Purba

dari seberang ke seberang
sawang gunung
mendekap teluk
mendekap lembah
hati bunda pertiwi
air biru kedamaian
di tengah riuh dunia
hatiku yang memeluk
langitnya Ayah
di atas sawah ladang
kaumku

hari ini aku sampai di Bakara
bermalam di rumah asal
ketiduran dengan roh batu gunung
mendengarkan silsilah bintang-bintang
di tulang-belulang leluhur
terkujur di tubuh malam
lembah-lembah kecintaan
sarat beban perlambang
air kehidupan
tempat kasih berkecimpung
bersama ikan-ikan
Bersama manusia pendatang
dari balik tanjung


Pesan Ruth pada Tiap Perawan

Ke mana kau pergi, ke sana aku pergi,
Di mana kau tinggal, di sana aku tinggal
Bangsamu akan menjadi bangsaku,
Tuhanmu akan menjadi Tuhanku.

Aku daging dari dagingmu, Hidup
seia-sekata, dalam suka dan duka,
Tetap bersama kecuali ajal memisah –
Ku-iakan Tuanku, demi perintah Allah.

Hujan dan matahari, musim akan
berganti. Kasihku akan kekal.
Siang dan malam, tahun-tahun pun
berganti. Rambutku saja yang berubah.

Harta? Lihatlah burung di langit
Tak kurang suatu apa. Padanya
Tuhan tak lupa. Pandanglah bunga,
tumbuh di ladang. Demikianlah kita,
dari kasih Allah akan dapat pahala.


Catatan 1961 Tersisa

di pelataran atas gerbang istana kaisar
wu pi phu – presiden negara –
deng xiao ping – sekjen partainya –

menerima para gubernur dan
tamu-tamu dari 6 benua

langit malam diterangi kembangapi
menggelegar seperti gemuruh pedang
1000 jengis khan dari padang udara
bergema sampai jauh di lautan

tentara mongol atau lasykar han?
sejarah terbalut kaligrafi sajak
di kaki patung raksasa mao –
tak mampu aku baca artinya

di wajah tuan rumah
yang terbalut pekat malam
nampak lakon sekilas
percikan kembangapi
di langit yang bisu

siapa penakluk, siapa yang ditaklukkan?
siapa pemenang, siapa yang dimenangkan?
- kelir berganti -
dalang, penonton, pengamat
samasama terbalut langit bisu


Malioboro Yogya Pagi Hari

Sajak-hidup seharihari
tak kunjung habis,
irama arsitektur toko cina
dan atap-atap Yogya lama

mengangkat angan
melayang tinggi
hingga terantuk
puncak Merapi

menggapai langit
para resi
(obrolan supir-supir taksi
di lobby hotel
cantolan hadirku di bumi)

lakon seharihari
lakon setiap pagi

Malioboro terbangun
di luapan lagu-lagu
jalanan masa kini

berpapasan bau turis
warna dagangan dan langkah
orang desa ke kota

si mahasiswa
si penyair muda
si gelandangan

emoh mitos kuno
sibuk kencan
dengan kotanya

Yogya-ku
yang selalu tua
yang selalu muda
selamat pagi!


Kosmologi Mutakhir

air terjun
kesan luar skala
akuarel

gejolak –
bumi
terhimpit mastodon

dataran
menggelegar
sepi

hutan
beku di cakrawala
waktu

angin –
di atasnya
pohon

di bekas rimba
gubuk
berasap

kerak bumi
bertudung
rumput kering

padang
lebuh
terpencil

di atas lahar
banjir
menangis

traktor bingar
menyeringai
raksasa

tinggal angin –
hujan –
matahari –


Borobudur Sehari

mmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmm
ooommmmmmmmmmmmmm
gema gununggunung sekeliling
mantra 30000 pemahat batu
doa 4000 penata
zikir 1500 pengukir
manunggal
padu di 2 juta kubik andesit
bangunan candi
seribu tahun
ooommmmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmmmmmmm
bunyi lonceng emas
maha biksu
Gautama Sidharta
dituntun rindu
melintasi kala
jenjang 5 pelataran
di 1460 jataka
mendaki makin tinggi
di tangga langit dhukka
menanggalkan wujud
mencapai kelepasan
di 3 pelataran suwung
tahap-tahap
32 x budha
24 x budha
12 x budha
menuju gaib
di maha stupa
hadir anatta
tak warna
tak rupa


Kisah Kias Kristus

Seorang mempunyai 100 domba,
Seekor hilang, lalu ia pergi mencari,
Turun gunung, naik gunung negeri,
Domba 99 tinggal, tak punya gembala.

Di sebuah ngarai menguak domba hilang,
Terjepit di antara semak-semak berduri,
Si gembala turun, mengambil si malang,
Digendongnya, seperti menggendong bayi.

Ia pun berpesta, mengundang teman-teman,
Orang datang, tapi semua pada heran,
Bisik orang meninggalkan 99 domba,
Mencari seekor yang tak tentu rimbanya.

Berkata tuan rumah: Kamu kuundang
Bergembira di rumah saya, oleh karena
Dombaku yang hilang telah jumpa!
Tapi aku tahu, kamu semua tercengang.

Bahwa aku meninggalkan yang 99,
Mencari seekor di ladang dan hutan,
Sesungguhnyalah aku lebih bahagia,
Karena seekor ini telah jumpa,

Karena yang satu ini telah tersesat,
Sekarang bersama yang lain selamat!


Kepada Pendaki Puncak Tinggi

Di udara biru, 5000 meter di atas laut,
Pendaki tegak. Sosoknya hitam,
Bertiraikan angin dingin kelabu,
Di kakinya salju. Putih puncak terbalut.

Salamku padamu, Putra pemberani,
Dari ketinggianmu mengawang samadi,
Manusia penakluk, pewaris abadi,
Cita-cita agung, mencapai langit.

Angkasa, manusia dan bumi bergayutan,
Dalam sinar mata manusia penemu,
Siap menyelam sendiri ke dasar hati,
Timbul membumbung menjumpai matahari.

Dalam takut pasti bersarang mati,
Dalam berani subur cipta Insani,
Puncak demi puncak kau naiki,
Demi panggilan hidup yang mengabdi.

Tapi puncak tertinggi harus didaki,
Ialah derita yang mengangkat dekat
      pada kuasa Ilahi.


Dari Karya Rimbaud

Bintang kejora tampatku nginap
Milikku pribadi, bintang-bintang sepi
      melintas di langit.
Lalu terduduk di pinggir jalan kudengar
malam September, tetes demi tetes
menyuling embun pagi.


Khotbah Perkawinan

Semoga tiba harinya, bahagia sempurna
Semoga tiba harinya, impian tercapai
Wajah tercinta menyongsong tertawa
tercermin di raut muka seorang bayi

Lahir, hidup, lalu mati
Bumi, manusia dan angkasa
Semua kehidupan Insani
Tergenggam hukum Irama

Lahir, hidup, lalu mati
Apalah dari semua tersisa
Apakah barangkali cinta?
Dari derita serta mimpi?

Lahir, hidup, lalu mati
Cintamu tumbuh abadi
Dalam kelahiran baru
Dibaharui selalu oleh Ilahi.

Amin!


Tentang Sitor Situmorang
Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Samosir, 2 Oktober 1923. Bekerja sebagai wartawan, menulis esai, kritik, sajak dan cerita pendek. Ketika aksi militer II pernah ditawan Belanda di Wirogunan, Yogya. Tahun 1950 mulai berkelana ke Eropa, mula-mula Belanda, kemudian Paris. Juga sempat studi film dan drama di Amerika Serikat tahun 1956-1957. Kumpulan puisinya: Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah tak Bernama (1956), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta perjalanan (1977). Kumpulan cerpen: Pertempuran dan Salju di Paris (1956), Pangeran (1963), dan Danau Toba (1981). Kumpulan drama: Jalan Mutiara (1954).

Catatan Lain
Antologi puisi Angin Danau terbagi ke dalam 4 bagian, yaitu Angin Danau (14 puisi), bagian ini banyak memotret Tanah Kelahirannya, Si Anak Hilang (28 puisi), bagian ini bagian paling religius, banyak berbicara tentang iman kristiani, Laut Senja (20 puisi), beragam tema ada di sini, yang terbanyak adalah puisi perjalanan di dalam negeri, seperti Bali, Borobudur, Yogya, Jakarta. Bagian empat adalah Weimar (13 puisi), bicara tentang kisah perjalanan ke berbagai belahan dunia.     
            Di sampul belakang buku ada dituliskan bahwa Sitor adalah pemotret lanskap batin manusia, dan ia menulisnya dalam bait dan baris puisi lirik yang manis dan menawan. Ya, dalam kumpulan Angin Danau inilah, saya mulai menikmati Sitor Situmorang sebagai penyair (waktu membaca Dalam Sajak, perasaan itu belum muncul). Mulai jelas bagi saya untuk tidak menempatkannya di bawah bayang-bayang Chairil Anwar. Ia memiliki posisinya sendiri, dan sudah sepantasnya, tidak dibicarakan sekilas saja, seperti yang terjadi di buku-buku sekolah. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar