Rabu, 19 Januari 2011

Ibramsyah Amandit: BADAI GURUN DALAM DARAH


Data buku kumpulan puisi

Judul  : Badai Guruh dalam Darah
Penulis : Ibramsyah Amandit
Cetakan : I, Februari 2009
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xvi + 140 halaman (107 puisi)
ISBN : 978-602-84140-6-7
Prolog : Abdul Hadi WM
Epilog : Burhanuddin Soebely & Micky Hidayat
Editor : Y.S. Agus Suseno
Penyantun : Ir. H. M. Said
Ilustrasi cover  : Sketsa oleh D. Zawawi Imron

Beberapa pilihan puisi Ibramsyah Amandit

Stempel

Rendahkan suaramu;
setara dingin angin reda
wahai yang akan pulang
pejalan redup kunang-kunang

Rendahkan suaramu; wahai
pengukir cincin dengan tangisan
yang menulis kata-kata rawan:
- Aku pulang ...

Senja-senja susut menghilang
batu – membatu bagai tapak Ibrahim
dipahatnya isyarat kalbu
kerabat dan keluargamu

Dan pada waktu ketetapannya
malam bagai didera sabda
Suara yaasin dan doa
bersanding sayap-sayap cahaya
keluar rumah  --  jasadnya


2008



Pintu Puisi

Karena jalan Tuhan begitu lembut
kita pun sedia tidur di pintalan rambut Zuleha
agar impian menjelmakan wajah Yusuf

Biarlah nafas Nabi rupawan ini
mengharumi kertas puisi
dan cahaya matanya meminyaki
kebeningan zaitun tanah sorgawi

Nanti rajawali akan terbang di wajah kau
sayapnya adalah kepak puisi yang kemilau


2006


Nafkah

Menemani istri menggoreng pisang, Tuhanku
Indonesiaku tergugah
Aku makin perasa, semenjak Bung Karno tiada
semenjak ke tanah kusir semayam Hatta

Air kali coklat
warna sungai sia-sia mengalir di tubuhku
Ada serba tanda darurat?

Suam darah entah krosine entah amis sampah
Jangan heran; engkau juga menyimpan 1000 pikiran
Hanya Tuhan lebih tahu isi otakku
Segumpal bilik syaraf berkotak-kotak;
-          ada pasar, ada dapur
-          ada nasionalisme, ada lumpur
-          ada bicara fakir-fakir terlempar
-          ada gaib-Mu!

Sel-sel otakku hidup dari sari makanan papahnya Ling Ling
dari gaji bulanan Mr. Sanbach, dari premi Jief Carothers
sebulan dua dari Tuan Yamato. Terakhir dibayar oleh Chao Sung Tae

Dapurku republik kecil dalam republik!

Tuhan, ampuni kami;
Lamakah tungku lain memanggang Negara?

1981


Tanya, 2

Bila diam lebih baik
angin mati tempatku

Bila gerak lebih baik
mendekat itu jalanku

Bila diam atau gerak makna yang baik
adakah pada-Mu sampai tujuanku?

1982




Milik

Punyalah
rumah berbilik-bilik
halaman molek
pekarangan dan kolam ikan

Punyalah
istri setia
anak manis mainan mata
tetangga
senyum dan gelak tawa

Rumah berbilik-bilik
serambi cahaya
iman dan bahagia
milik kita

Tuhan bersandar
sebelah dalam pagar
di halaman

Tamban, 1973


Ya, Tuhan

Ya, Tuhan; jika Engkau pergi
benarkah aku sendiri?

Kelopak mawar mekar
aku tetap gentar

Tikungan dua bumi
memberi rasa nyeri

Selagi duduk di terminal
akulah kereta yang tinggal

Berteduh di taman
kursi di hatiku lebih nyaman

Di ruang-ruang tunggu
ke bilik-Mu jua aku bertamu

Ke mana pun lariku
di napas-Mu dadaku

Apa pun obrolanku
bibir-Mu bercumbu lidahku

Jika aku lelap tertidur
ajaklah mimpiku berlibur

Ya, Tuhan; bila aku mayat
Engkau yang pertama melayat

Tamban, 8 April 1993


Maklumat

Badai gurun dalam darah
Ia petir terbuang yang bertasbih
bukan mimpi:
Keinginannya mendobrak benteng syahadat
bukan sekedar milik keyakinan

Ia ingin lebih
ingin luluh
lebur dalam unsur
punah dalam La ilaha illa Allah
Muhammad Rasul Allah

Tamban, 15 April 1993


Hasrat, 1

Meski aku tidak ulama
mau juga mewaris Nabi

Minum sari susu agama
yang diperah Muhammad sendiri
dari Tuhannya

Tamban, 1980


Mata Gergaji

Mata gergaji itu
naik turun
pada hidup luka menahun

Tamban, 17 Juni 2006


Takdir

Bila Dia kehendaki;
kita siap sirna
tanpa keluh tanpa duka

Sebelum Tuhan menarik hak-Nya; Dia permisi
mematah garis ikhtiar manusia
tanpa kau sadari
kita sungguh tak kehilangan apa-apa
menurut cara-Nya

Tamban, Juli 1980


Kaidah-kaidah

Roh-roh orang mati bicara
tentang Ibu Pantas
dan tebusan sirham – sirr hamba

Tapi bagaimana bisa;
ia pemabuk gila
lagi pula tak kau bahas soal batas
tepian cinta wilayah napas
batas ombak dengan lautan lepas

jadi di mana garis ketetapan itu
pemisah dia dengan Tuhannya?

Tamban, 14 April 1993


Fakir

Jangan ikuti aku
yang tak punya rumus
atribut dan kepangkatan
karena jalanku kuburan adat
mematah kebiasaan

Aku hidup di tangan anugerah
hatiku angin Sulaiman
yang membaca keadaan
juga aku tongkat Daud
yang kau lihat kerajaannya bertahan
padahal tongkat ditopang mayat

Bila telapak tangan membalik
di situ lahanku
gerak rodaku tanpa daya
karena makan disuapi Tuhan

Bila beduk surau berbunyi
atau lonceng gereja
jemaat buru-buru pergi
aku tak ke mana
karena dahiku di gerbang-Nya

Ketika fajar
orang-orang berebut pasar
mengapa si fakir harus bangkit
bila celenganku di pintu langit

Tamban, 16 Juni 2006


Petani

Menapak jejak Adam dan Hawa
hidup lebih mendekat; asalnya!
minus sejengkal atas tanah

Memetiki biji buah lumpur
dengan diri debu tanah rawa
lena sisi halaman sorga

Melangkah ia di padang purba
merobohkan hutan kelelahan
lalu makan di tangan Tuhan

Di tanah rawa, di tanah rawa ...
disemainya damai dunia
akar sorga merasuk jiwa

Tamban, Oktober 1996


 Tentang Ibramsyah Amandit
Lahir di Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta, sampai tingkat Sarjana Muda, 1971. Esai dan puisi tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Tinggal di Desa Sidorejo Kilometer 7 RT V Nomor 129, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.


Catatan Lain
Buku Badai Gurun Dalam Darah ini, yang memuat puisi dalam rentang 1973-2008, dikirim oleh Kai Janggut Naga lewat pos ke Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Gambut. Terima kasih, Kai ai...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar