Data buku kumpulan puisi
Judul : Badai Guruh dalam Darah
Penulis : Ibramsyah Amandit
Cetakan : I, Februari 2009
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xvi + 140 halaman (107 puisi)
ISBN : 978-602-84140-6-7
Prolog : Abdul Hadi WM
Epilog : Burhanuddin Soebely & Micky Hidayat
Editor : Y.S. Agus Suseno
Penyantun : Ir. H. M. Said
Ilustrasi cover : Sketsa oleh D. Zawawi Imron
Beberapa pilihan puisi Ibramsyah Amandit
Stempel
Rendahkan suaramu;
setara dingin angin reda
wahai yang akan pulang
pejalan redup kunang-kunang
Rendahkan suaramu; wahai
pengukir cincin dengan tangisan
yang menulis kata-kata rawan:
- Aku pulang ...
Senja-senja susut menghilang
batu – membatu bagai tapak Ibrahim
dipahatnya isyarat kalbu
kerabat dan keluargamu
Dan pada waktu ketetapannya
malam bagai didera sabda
Suara yaasin dan doa
bersanding sayap-sayap cahaya
keluar rumah -- jasadnya
2008
Pintu Puisi
Karena jalan Tuhan begitu lembut
kita pun sedia tidur di pintalan rambut Zuleha
agar impian menjelmakan wajah Yusuf
Biarlah nafas Nabi rupawan ini
mengharumi kertas puisi
dan cahaya matanya meminyaki
kebeningan zaitun tanah sorgawi
Nanti rajawali akan terbang di wajah kau
sayapnya adalah kepak puisi yang kemilau
2006
Nafkah
Menemani istri menggoreng pisang, Tuhanku
Indonesiaku tergugah
Aku makin perasa, semenjak Bung Karno tiada
semenjak ke tanah kusir semayam Hatta
Air kali coklat
warna sungai sia-sia mengalir di tubuhku
Ada serba tanda darurat?
Suam darah entah krosine entah amis sampah
Jangan heran; engkau juga menyimpan 1000 pikiran
Hanya Tuhan lebih tahu isi otakku
Segumpal bilik syaraf berkotak-kotak;
- ada pasar, ada dapur
- ada nasionalisme, ada lumpur
- ada bicara fakir-fakir terlempar
- ada gaib-Mu!
Sel-sel otakku hidup dari sari makanan papahnya Ling Ling
dari gaji bulanan Mr. Sanbach, dari premi Jief Carothers
sebulan dua dari Tuan Yamato. Terakhir dibayar oleh Chao Sung Tae
Dapurku republik kecil dalam republik!
Tuhan, ampuni kami;
Lamakah tungku lain memanggang Negara?
1981
Milik
Punyalah
rumah
berbilik-bilik
halaman
molek
pekarangan
dan kolam ikan
Punyalah
istri
setia
anak
manis mainan mata
tetangga
senyum
dan gelak tawa
Rumah
berbilik-bilik
serambi
cahaya
iman
dan bahagia
milik
kita
Tuhan
bersandar
sebelah
dalam pagar
di
halaman
Tamban, 1973
Ya, Tuhan
Ya, Tuhan;
jika Engkau pergi
benarkah aku
sendiri?
Kelopak mawar
mekar
aku tetap
gentar
Tikungan dua
bumi
memberi rasa
nyeri
Selagi duduk
di terminal
akulah kereta
yang tinggal
Berteduh di
taman
kursi di
hatiku lebih nyaman
Di ruang-ruang
tunggu
ke bilik-Mu
jua aku bertamu
Ke mana
pun lariku
di napas-Mu
dadaku
Apa pun
obrolanku
bibir-Mu
bercumbu lidahku
Jika aku
lelap tertidur
ajaklah mimpiku
berlibur
Ya, Tuhan;
bila aku mayat
Engkau yang
pertama melayat
Tamban, 8 April 1993
Maklumat
Badai gurun
dalam darah
Ia petir
terbuang yang bertasbih
bukan mimpi:
Keinginannya
mendobrak benteng syahadat
bukan sekedar
milik keyakinan
Ia ingin
lebih
ingin luluh
lebur dalam
unsur
punah dalam
La ilaha illa Allah
Muhammad
Rasul Allah
Tamban, 15 April 1993
Hasrat, 1
Meski aku
tidak ulama
mau juga
mewaris Nabi
Minum sari
susu agama
yang diperah
Muhammad sendiri
dari Tuhannya
Tamban, 1980
Mata Gergaji
Mata gergaji
itu
naik turun
pada hidup
luka menahun
Tamban, 17 Juni 2006
Takdir
Bila Dia
kehendaki;
kita siap
sirna
tanpa keluh
tanpa duka
Sebelum Tuhan
menarik hak-Nya; Dia permisi
mematah garis
ikhtiar manusia
tanpa kau
sadari
kita sungguh
tak kehilangan apa-apa
menurut cara-Nya
Tamban, Juli 1980
Kaidah-kaidah
Roh-roh
orang mati bicara
tentang Ibu
Pantas
dan tebusan
sirham – sirr hamba
Tapi bagaimana
bisa;
ia pemabuk
gila
lagi pula
tak kau bahas soal batas
tepian cinta
wilayah napas
batas ombak
dengan lautan lepas
jadi di mana
garis ketetapan itu
pemisah dia
dengan Tuhannya?
Tamban, 14 April 1993
Fakir
Jangan ikuti
aku
yang tak
punya rumus
atribut dan
kepangkatan
karena jalanku
kuburan adat
mematah kebiasaan
Aku hidup
di tangan anugerah
hatiku angin
Sulaiman
yang membaca
keadaan
juga aku
tongkat Daud
yang kau
lihat kerajaannya bertahan
padahal tongkat
ditopang mayat
Bila telapak
tangan membalik
di situ
lahanku
gerak rodaku
tanpa daya
karena makan
disuapi Tuhan
Bila beduk
surau berbunyi
atau lonceng
gereja
jemaat buru-buru
pergi
aku tak ke
mana
karena dahiku
di gerbang-Nya
Ketika fajar
orang-orang
berebut pasar
mengapa si
fakir harus bangkit
bila celenganku
di pintu langit
Tamban, 16 Juni 2006
Petani
Menapak jejak
Adam dan Hawa
hidup lebih
mendekat; asalnya!
minus sejengkal
atas tanah
Memetiki biji
buah lumpur
dengan diri
debu tanah rawa
lena sisi
halaman sorga
Melangkah ia
di padang purba
merobohkan
hutan kelelahan
lalu makan
di tangan Tuhan
Di tanah
rawa, di tanah rawa ...
disemainya
damai dunia
akar sorga
merasuk jiwa
Tamban, Oktober 1996
Lahir di Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta, sampai tingkat Sarjana Muda, 1971. Esai dan puisi tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Tinggal di Desa Sidorejo Kilometer 7 RT V Nomor 129, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.
Catatan Lain
Buku Badai Gurun Dalam Darah ini, yang memuat puisi dalam rentang 1973-2008, dikirim oleh Kai Janggut Naga lewat pos ke Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Gambut. Terima kasih, Kai ai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar