Data buku kumpulan puisi
Judul : Daging Akar, Sajak-sajak 1996 - 2000
Penulis : Gus tf
Cetakan : I, Oktober 2005
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tebal : xiv + 70 halaman (38 puisi)
ISBN : 979-709-225-9
Desain Sampul & Ilustrasi : A.N.
Rahmawanta
Penata letak : Chris Verdiansyah
Catatan pembaca : Sapardi Djoko Damono
Daging
Akar terdiri atas 2 bagian, yaitu Daging (19 puisi, 1997-1998) dan Akar (19 puisi, 1996-2000)
Beberapa pilihan puisi Gus tf
dalam Daging Akar
Daging Akar
akhirnya, siapa kausebut kini: Si serat
dingin
ataukah daging yang
terjanji? Seperti takdir, sosoknya
rebah membuntuti.
Hanya pada waktu ketika bergerigi,
akan bisa kutangkap
ia: Saat mengerut dalam diri.
akhirnya, siapa kautangkap kini: Si
serabut mati
ataukah sel yang
berjalin? Seperti lilin, nyalanya lirih
terpantul cermin.
Hanya di pedih-akar ketika terpilin,
akan bisa kuraih ia:
Jawaban lain untuk dunia lain.
Johor Bahru, 1999
Pendatang
Nanti, ketika aku pergi, akan tiba
pendatang lain
dengan kalimat lain.
Mungkin mereka jelaskan, segenap
misteri kehidupan;
tetapi tidak tentang mereka sendiri. Selalu,
kata mereka, “Ada
lampu. Tapi bukan buat disuluh dalam diri.”
Namun, karena bertetangga, kau
senantiasa terus tergoda
untuk tahu tentang
mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih sering
kau saling suruh
berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu ketika
mereka berkata, “Ada
mitos. Tapi semua cuma dongeng tak berguna.”
Besoknya, terkejut, kausaksikan semua:
puing-puing hangus,
tubuh-tubuh gosong,
rumah-rumah rata. Di tengah sangit udara, kau
tiba-tiba ingat
kejadian semalam, dan berkata, “Lampu itu! Ada nyala
di dada mereka!”
semua pun lalu menangis. Menangis, sejadi-jadinya.
Payakumbuh, 1999
Gagak
Putih
Jangan terlalu percaya pada mata.
Mungkin materi
yang membentuk
realitas ini cuma gelombang suara. Dengarlah.
Seseorang menyebut
sayap, padahal ia bukan burung. Seorang
menyeru cahaya,
padahal ia tidak buta. Di depannya,
ia bisa melihat
gagak, mendengar koak, dan bulu yang hitam.
“Tapi aku ingin gagak putih,” katanya.
Dan ia pun
mulai mengembara.
Dari satu kota ke lain kota, dari satu masa
ke lain masa. Tapi
apakah kota? Tetapi apakah masa? Hanya khayal,
tempat orang memotong
diri untuk kemudian menyusunnya. Mungkin
antara usus dan
lidah. Mungkin antara bokong dan tulang kepala.
Pernahkah kaulihat
makhluk yang tidur telentang dengan dua muka?
“Tapi aku ingin gagak putih!”
teriaknya. Tetapi aku
bisa pula tuli karena
gelombang suara. Makhluk dua muka itu.
Ia bangkit, dan
melolong seperti serigala. Ia mendecis
seperti binatang buas
di depan mangsa. Tidakkah
engkau yang
memasukkan
lolong dan decis itu
ke mulutnya? Ah.
Kututup telinga.
Tanpa gagak putih, aku terus, dan terus berubah.
Padang – Payakumbuh,
1997
Mitologi
Saat kanak-kanak, ia gemar melihat
dirinya dalam cermin
di kamar Ibu. “Itulah
kamu,” kata si Ibu seraya melepaskan seekor
burung di dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya
merah muda. “Sebagai
teman, tentu, bila Ibu tak ada.”
Saat ia mulai remaja, cermin itu
dipindahkan Ibu
ke kamarnya. Setiap
berkaca, burung itu berkicau berputar
putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya? Adakah
yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, ia merasa
burung itu kesepian;
dan tentu menderita.
Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja,
ia mulai
jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa,
jarang pula tampak
olehnya. Bertahun-tahun,
berpuluh-puluh tahun,
mereka bagai bukan bagian
dari bersama. Tapi
suatu ketika, dalam usia separo baya, ia
melihatnya. Burung
jelek, kusam, tak ubahnya kelebat muram
dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?
Kini ia telah tua. Di depan cermin,
pedih,
ia sering
merindukannya. Burung itu – burung itu,
memang, sebenarnya
tak pernah ada.
Payakumbuh, 1997
Setiap
Terjaga
Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,
kenapa aku terbangun
di tubuh yang sama?”
Tapi tidak. Setiap
tidur, sel dalam dagingmu
menggeliat mengupas
rupa. Selalu ia merasa
ada yang lekat
seperti lendir, membelit,
dan terus membelitnya
Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,
kenapa aku terbangun
di zaman yang sama?”
Tapi tidak. Setiap
tidur, waktu dalam dirimu
berderak memangkas
dunia. Selalu ia merasa
ada waktu lain bagai
gelambir, menjerat,
menjerat, tak henti
mengepungnya.
Payakumbuh, 1998
Bukan
Bagian
Suatu ketika – entah bila –
aku bukan bagian dari alam raya.
Tentang apakah manusia,
tentang apakah dunia,
bagiku semua kosong saja. Tak ada pikiran
tentang hidup karena
aku tak bakal berurusan dengan mati. Tak ada
apa pun kata dalam
bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.
Suatu ketika – entah bila –
aku bukan bagian dari alam raya. Anda
melihat bintang,
aku belum ada dalam
kerlipnya. Anda melihat laut, aku belum ada
dalam ombaknya.
Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum
dalam tak ada? Setiap
waktu, setiap ketika, mereka mendengar
diamku dalam suara.
Melengking, merintih, jauh menuju tiada
Payakumbuh, 1997
Usia
maka tertahan aku: di
bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema.
“Siapa
yang memecah kulit,
keluar dari cangkangnya?”
dan kulihat engkau,
tapi tak ada. Seperti bunga
dipindahkan: dari
tangkai ke jambangan. Bagaimana
mungkin, kehilangan
datang menaklukkan keberadaan?
dan aku meronta,
mengerang dari dada. Secabik serat
melenguh: mengiris
ruang dalam diriku. O, bagaimana
mungkin, masa depan
menyurut, mengekal masa lalu?
maka tertahan aku: di
bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema.
“Siapa
yang mengupas kulit,
kelucas dari keriputnya?”
Payakumbuh, 1996
Si
Bisu, Si Lupa
Letih mengembara, capek berkelana,
akhirnya ia putuskan
jadi Si Bisu. Ketika
itulah ia tahu: Tiap kali bicara, sebenarnya
mengurangi hidupnya.
Maka mulailah ia tinggal dalam pikiran;
dalam kenangan.
Menciptakan dunia sendiri, seperti musik
dibuntal melodi,
melengkung-ngambang dalam ruangan
segala dekat dalam
jangkauan.
Capek mengembara, puas berkelana,
akhirnya ia putuskan
jadi Si Lupa. Barulah
ia tahu: Tiap kali mengenang, sebenarnya
getar riang kian
berkurang. Maka mulailah ia tinggal dalam alpa;
dalam lupa.
Menciptakan dunia kedua, seakan hidup kemarin
tak pernah ada. Dan
ia mengulang, mengulang lagi kehadirannya.
Payakumbuh, 1997
Negara
Waktu
kau pun lalu berkata,
“Hanya ketika waktu tak ada,
kau boleh bilang
keabadian engkau yang punya.”
Tapi inilah kota – katamu negara – yang
tergerus
angan cahaya. Setiap
hari bila terjaga, kau bermandi khayal
khatulistiwa. Katamu,
“Lihatlah akar menjalar, merucut tumbuh
ke batang tubuh.
Atmosfer cair, melengkung rebah ke bingkai air.
Sungai inikah, cemas
sejarah, mengalir-bermuara ke laut entah?”
Tapi inilah kampung – katamu kota – yang
tercangkul
di ritus tanah.
Setiap hari bila terjaga, engkau tercerap, lenyap
ke khayal indah.
Katamu, “Lihatlah gedung menjulang, menyundul
awan bagai melayang.
Lampu berpendar, berdenyar ke gelung akar.
Beton inikah, cemas
sejarah, memanggul-bawa ke zaman entah?”
Mereka pun lalu
berkata, “Hanya ketika kau tak ada,
kampung dan kota
bagai waktu, akan memisah tak berkira.”
Payakumbuh, 1998
Daging
Angkasa luas inilah yang
menggelembungkan balon
di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan
dada yang mengerang.
“Siapa Anda? Punyakah Anda secebis
kisah tentang dunia?
Tolong.”
Tidak. Tak ada kisah
tentang dunia. Kecuali dongeng, semacam
konon,
yang diterbangkan
oleh sepotong daging di jagat raya. “Ini
bulan, kuserpih dari
seratku yang malam. Ini matahari, kubeset
dari kulitku yang
siang. Pada keduanya ada gerhana, tempat
kau berpikir tentang
tiada.”
Tentang tiada? “Aku manusia! Diriku
lahir
karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya
kalau di mataku Anda
tiada. Takkan aku berkata kalau gugus
galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya
sia-sia. Siapa Anda?”
“Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.
Sudah mereka katakan aku cuma konon.
Tapi aku daging. Daging, yang setiap
hari engkau telan
engkau
muntahkan…”
Payakumbuh, 1997
Kutukan
Itu
dan bebas. Kukatakan takdirku: Mencari.
Akhirnya datang
kutukan itu. Kebebasan.
Adakah yang dapat
engkau temukan? Tak ada.
Karena memang tak ada
makna pada diriku.
Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.
Kebebasan. Akhirnya
datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah
engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari,
berabad-abad memikul kata: Makna
esensi, makna,
esensi. Sampai capek. Sampai letih
dalam sajakku. Tapi
tak ada. Karena makna, memang
hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.
Larutkan aku, dalam terali penjara maknamu.
Payakumbuh, 1998
Geronggang,
2
Karena di luar begitu penuh, kuciptakan
suatu tempat dalam
diriku. Di situ, kota kulipat
jalan kugulung; tak
satu apa pun pernah
tegak menancap di
atas tanah.
“Sangat indah kekosongan.”
“Sangat luas kefanaan.”
Karena di luar begitu penuh, kuciptakan
suatu
dunia dalam diriku.
Di situ, kukutuk segala yang pasti
kupuja segala yang
ragu. Ruang? Waktu? Hanya khayal,
seperti dongeng tak
habis-habis didustakan ibu.
“Ia heran kepada yang
ada. Mungkinkah
sesuatu ada jika tak ada awalnya?”
“Setiap ada mulai dari tak ada.
Mungkinkah
sesuatu muncul dari
tiada?”
Karena di luar begitu penuh, kuciptakan
suatu
geronggang dalam
diriku. Di situ, kota-kota mati jalan
jalan beku. Orang-orang
mati jiwa-jiwa bisu. Manusia
manusia mati
raga-raga batu. Dan ia? Dan dunia?
Tak ada. Kecuali
seperti yang tampak dalam pikiranku.
Jakarta-Payakumbuh,
1999
Sajak,
2
Satu kalimat dalam
dirimu: Suatu kali
engkau akan direnggut
oleh waktu. Satu
kalimat dalam diriku:
Selalu mencoba
ungkapkan diri, tak
sampai-sampai,
tak sampai-sampai
kepadamu.
Payakumbuh, 2000
Tentang Gus tf
Gus tf lahir di Payakumbuh,
Sumatera Barat pada 13 Agustus 1965. meraih Sih
Award dari Jurnal Puisi tahun 2002. Buku puisinya yang lain adalah Sangkar Daging (Grasindo, 1997).
Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab dan Jerman.
Catatan
Lain
Buku ini saya
temukan di rak bukunya Hajri. Di sampul belakang bagian dalam ada tempelan
bertulisan Rp. 20.000,- Barangkali itu adalah harga buku puisi tersebut. Ada
beberapa kata yang berulang-ulang muncul dalam beberapa puisi, dan itu menandai
jejak Gus tf dalam pikiran saya, yaitu Susi,
dalam diriku/dalam diri, serta daging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar