Judul : Dalam Rimba Bayang-bayang
Penulis : Mochtar Pabottingi
Cetakan :
I, Januari 2003
Penerbit :
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tebal :
lvi + 128 halaman (31 puisi)
ISBN :
979-709-051-5
Kata pengantar : Ignas Kleden (Puisi sebagai
Medium: Sajak-sajak Mochtar Pabottingi)
Catatan penutup : Joko Pinurbo (“Bertutur ketika Salju”: Janji Baik
Mochtar Pabottingi)
Desain Sampul & Ilustrasi : Rully Susanto
Beberapa pilihan puisi Mochtar Pabottingi dalam Dalam Rimba Bayang-bayang
Suatu
Malam di Honolulu
Seorang setengah baya
Melantunkan lagu-lagu Hawaii
Dengan gitar. Di sidewalk Waikiki
“Untuk tuan-tuan. Untuk nyonya-nyonya
Untuk tuan-tuan dan nyonya-nyonya!” serunya
Ke segenap turis yang lalu lalang
“Kunyanyikan sendiri
Beberapa lagu hasil piringan hitamku
Dari dua puluh lima tahun lalu.”
Di sepanjang deretan stalls penjual accessories
dan
perhiasan-perhiasan emas palsu
para
turis berkulit udang matang mengalir tiada henti
dengan
pakaian-pakaian santai
dengan
bikini atau sekedar handuk terlilit
Mereka menengok sejenak kepada sang penyanyi
Ada yang mengangguk-angguk tersenyum. Ada yang
tercenung
Satu-dua melemparkan kepingan-kepingan dimes dan quarters
yang
jatuh di dekat topi tampung
Seorang dengan seragam penjaga Istana Eropa
Melangkah tegap dalam upacara bendera. Di
King’s Village
Dengan ayunan-ayunan lincah senapan kuno
Mungkin mengimbau Captain Cook. Yang tewas di
sini
Yang ruhnya bangkit kembali. Bersama Hawaii
Five-O
Adapun tiga lengkung pelangi
Siang tadi. Di atas Magic Island dan Hanauma
Bay
Telah direguk sekali teguk oleh para turis
Bersama Budweiser
dan bergelas-gelas anggur
Di selonjoran lidah-lidah pantai. Di balik
hotel-hotel mewah
Yang aman dan teduh
Adapun orang-orang Hawaii
Sudah lama tak kuasa membunuh ruh itu
Merekalah yang justru terus terdesak gusur
Pada hari-hari ini
Dari pantai ke pantai. Dari gigir ke gigir
Di tanah sendiri
Astaga!
Pastilah imajinasi gila
Yang meloncatkan ingatanku pada orang-orang
Filipina
Dan orang-orang Betawi
Dan tak terhitung mereka. Di seluruh
tanahairku
Sudah begitu kelu lidah kita untuk menyebut
diri
Dengan nama sendiri
Honolulu, 1978
Kereta Api Terakhir
Tak dihitung lagi matahari
Ketika kereta itu bergerak. Ke dunia yang lain
Cakrawala kehilangan ufuk. Orang-orang terpaku
di tempatnya
Belum pernah seribu musim turun begitu
dalam polka
dalam Pakanjara
dalam tamburnya
sendiri-sendiri
Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi
Semua jadi teraba. Telanjang
Segala jadi bersuara. Bangkit
Menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita
Konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita
Dalam intensitas yang semakin tinggi. Dalam
otomasi
yang sempurna
Maka hening pun tercabik-cabik
Maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih
Jakarta, 1986
Zarathustra
Dari gelegak itu juga engkau berangkat,
Zarathustra
Ketika sungai lahar menyerbu muara.
Berdesis-desis
Bacalah!
Lalu kelepak cahaya langit pun singkap
Bacalah!
Lalu kalam darah pun gumpal
Di depan kita
Aksara telah tersalib. Darahnya raib
Dalam jeram sejarah
Kita harus belajar lagi
Untuk berkata
Amherst, MA, 1980
Gracias A La Vida
Camarku, camarku
Kaukah yang menggurat luka
Pada bianglala
Kaukah yang merenggut bait-bait
Dari musim. Menyebarkan sembilu
Di udara
Pada bayang-bayang
Masih memanjang juga
namamu
Cintaku
Rinduku surai kemilau
Yang merekahkan
bunga-bunga
Di dadaku
Menyalakan sejuta
kristal
Pada rahimku. Yang
tertawan
Yang kau tikam
berkali-kali
Ya, Tuhan
Tetap saja daun-daun bernyanyi. Sambil luka
Gracias,
gracias a la vida
Honolulu, 1986
Suara-suara
Selalu dari rahim malam engkau bangkit
mengusik aku
Hai suara-suara
Jadi duka belantara
Jadi lengking gerapai
Lalu aku pun bersimpuh di pusar aksara
Yang tak tertuliskan
Selalu aku tidak tahan untuk menagkapmu
Memelukmu
Relung-relung tak kunjung musim
Memupusku laron. Luluh dalam nyala
Selalu dari rahim malam engkau bangkit
mengusik aku
Hai suara-suara
Jakarta, 1986
Burung-burung Telaga Cayuga
Pada matamu rimba membukakan daun-daunnya
Memanggil matahari
Pada matamu padang ilalang menguraikan
rambutnya
Menyebarkan harum telaga musim panas
Pada matamu kurasakan gelitik air sungai
Menciumi batuan kali
Dan mataku lalu terbenam pada matamu. Seperti
matahari
Terbenam pada telaga. Hingga lahirlah
bianglala
Dan itu pun terjadi
Begitu saja
Di tepi danau. Di tengah hutan
Engkau dan aku
Mengalir bersama sungai
Meregangkan batang-batang pohonan
Kita saling membakar
Dalam nyala
Letup-meletup. Jilat-menjilat
Dalam tamasya purba
Nun di pucuk-pucuk ombak
Nun di dasar-dasar lembah
Nun
Bersilancar
Bergulingan
Melesat ke angkasa
Ratusan kuda berpacu
Menembus gemuruh planit-planit
Angin jadi puluhan genderang
Dan sejuta seruling
Yang ditiup para malaikat
Pelangi jadi ribuan bendera
Yang mengibas-ngibas tatasurya
Dan kita terus melesat
Di tengah badai api
Hingga kata pun tak sampai
Hingga kita pun terhempas-hempas
Terhempas-hempas
Dalam samudra
Bukan kita yang bercinta, wanitaku
Melainkan kehidupan
Bukan kita yang berdosa, wanitaku
Melainkan penciptaan
Tatkala ia menggeliat
Tatkala busur fajar melepaskan selaksa
panahnya
Tatkala bunga-bunga menghembuskan mantranya
Memenuhi angkasa
Dan meluluhkan kita ke dalam nafasnya
Honolulu, 1986
Waktu
Waktu bukan lagi
rantai tanya
hidup yang tak bakal tersimpulkan
Waktu bukan lagi
harap-harap cemas
di mana kita selalu
betah menunggui detik-detik yang panjang
Waktu bukan lagi sais
yang tak hentinya mencambuki kita
bagai kuda-kuda kereta
Waktu sudahlah sebuah
lanskap sempurna
di bawah terik matahari gurun
dan kita dipaksa menatanya terus
sudah lama kita bosan
1971
Tentang Mochtar Pabottingi
Mochtar Pabottingi lahir
di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 17 Juli 1945. Mencecap pendidikan di
Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin hingga sarjana
muda kemudian melanjutkan ke jurusan sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada,
lulus tahun 1972. Ngambil master di Department of Sociology, University of
Massachusetts dan program doktoral di Political Science Departement, University
of Hawaii. Seterusnya menjadi peneliti di Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia
(LIPI). Mulai karir sastra dengan menulis cerpen di koran-koran Makassar sejak
1964. Sejak 1971, puisinya mulai muncul di Basis dan Horison. Tahun-tahun
selanjutnya mulai muncul di Kompas, Tempo, dan majalah Prisma. Mochtar
Pabottingi lebih banyak menulis esai dan artikel.
Catatan
Lain
Buku Mochtar
Pabottingi yang berjudul Dalam Rimba
Bayang-bayang ini saya temukan di rak bukunya Hajri. Di sampul belakang ada
barcode harganya, yaitu Rp. 33.200,-. Dalam kata pengantarnya, Ignas Kleden
menyebut ada 29 sajak dalam kumpulan ini, namun hitungan saya berdasarkan
daftar isi ada sekitar 31 sajak, termasuk 1 sajak terpanjang: Kesaksian untuk Indonesiaku, yang tulis Ignas, “ditulis
dengan niat dan rencana yang terlalu jelas, untuk meringkaskan sejarah
Indonesia dalam suatu epigram panjang.” (hlm. xii).
Yang sedikit aneh dari buku punya
Hajri itu tentu saja, ada loncatan halaman dari halaman 40 langsung ke halaman
73. Setidaknya ada beberapa puisi yang hilang, berturut-turut berdasarkan
daftar isi: (1) Concierto di Monona,
(2) Dalam Rimba bayang-bayang, (3) Bertutur ketika Salju, (4) Di Altar Purbamu, 1999, (4) 2002: To Delusions (5) Cerita tentang Chautauqua, (6) Jajar Lirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar