Senin, 02 Juli 2012

Hijaz Yamani: PERCAKAPAN MALAM


Data buku kumpulan puisi

Judul : Percakapan Malam
Penulis : Hijaz Yamani
Cetakan : I, 1997
Penerbit : Penerbit Al Hidayah, Banjarmasin
Tebal : iv + 70 halaman (54 puisi)
Sampul : Husnun

Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Percakapan Malam

Kubur dan Kebun

Sebuah kubur di sini, di pinggir kebun
Sebuah kebun di sana, di dalam kubur
Kubur di sini matahari menyinar sepanjang hari
Kebun di sana matahari menyinar begitu lestari

1986


Elegi Kota

Kotaku yang tak pernah lagi tidur
malam-malam selalu menerima nasib
orang-orang di sepanjang jalan
dalam alur yang deras

Orang-orang pun membangun transaksi
di pasar-pasar di puncak malam
di balik musik instrumentalia

Jalan licin telah memberi warna manis
mereka yang memacu angin
membangun deru memecah malam
Mereka tak pernah lagi ingat
punya satu rangka rumah
dan penghuni satu jiwa

Ah, seperti tak ada malam lagi
pada kota yang tak sempat tertidur
dan tak ada bisik yang mengetuk pintu hati
Tuhan pun telah jauh dari anak-anak Adam
yang tak pernah menekur dan diam

Banjarmasin, 1992



Tamu Malam

yang berdiri di beranda itu
berteduh di malam hujan
engkaukah satu-satunya tamu malamku?
Atas nama-Nya masuklah
Hujan di luar telah memberikan
seperangkat kemungkinan. Dan
wajahmu memberikan cermin pejalan jauh
Tapi sebaiknya jangan merasa begitu sendiri
kau masuk rumah ini, dan
tanpa purbasangka
Lalu maukah kau mengucap selamat
pada hari kelahiranku kembali
juga penemuan kita malam ini?

1989


Kota M

Masih setenang dulu
kota lama dan taman raja-raja
Apakah karena wali dan serambi tanah suci
dan pegunungan dan hujan memberi berkah
dan mengalirkan sungaimu ke muara
Di baratnya rumahku, hidupku
tempias anugerah
tapi maafkan gusti
Kami lupa berterima kasih kepadamu

1984


Terminal

Apakah aku harus berhenti di sini
pada siklus yang digeret siang panjang begini
Adakah engkau yang berdiri di situ
menunggu colt penghabisan
mau sendiri dihabiskan waktu
tanpa mengusik
tanpa mereka yang tidak perduli
tapi hatimu bagai ku tahu terusik sendiri
sampai terbit bulan nanti malam
sesudah ramadhan penghabisan
Ah, moga-moga saja engkau beriman dan sabar
menuju perjalanan jauh
meninggalkan pacuan
yang digeret sepanjang siang
Apakah aku harus berhenti di sini
pada siklus pacuan kuda-kuda
yang digeret di siang panjang
“Tidak,” kataku
“Tidak,” katamu juga
Terminal ini tempat kehidupan dan kekerasan
dan kita di sini sama-sama terpaksa
dalam lain alasan

1984


Tanjung Dewa

Di Tanjung Dewa
Ruh-ruh telah menghabiskan tapa
Setelah angin berputar dari tenggara

Di Tanjung Dewa
Orang-orang laut yang kekar
Dari timur Selat Makassar
Mereka telah terdampar
Mereka menancapkan layar
Yang terus berkibar
Mereka pun bangkit dari putus asa
Mendaratkan jiwa
Menggantikan kaum pertapa

Di Tanjung Dewa
Kini orang-orang leluhurnya dari utara
Kembali memanggil dewa-dewa
Dan para pertapa
Mereka sajikan upeti
Mengharapkan berkah, rezeki
Dan tak ingin mati pagi hari

Di Tanjung Dewa
Laut biru menyapu pantainya
Angin dari Selat Makassar
Sesekali memusar
Menghidupkan kepurbaannya
Dan menyeru siapa yang singgah kepadanya

Pulau Laut Utara, 26 April 1992


Pada Hari Jadi Sebuah Kota

Ketika kumasuki kembali gerbang kota
orang-orang mencoba menghiasinya dengan bendera pusaka
orang-orang mencoba merindukan kepurbaannya
orang-orang mencoba menahan arus di hilir martapura
orang-orang mencoba melupakan korban perang di hulu bandar
Ketika aku sendiri menghirup udara di jantungnya
betapa harumnya bau lumpur
betapa kau bandar tua
menemukan kembali si pengembara

1981


Lanskap Kota

Aku ingin menyaksikan
awan dan ombak daun
panorama dan tugu putih di batas kota
Tetapi mengapa gemuruh abadi
pada september yang menunjuk jarum waktu
menantang angin khatulistiwa
menyusup lorong-lorong antar gedung tua
ah, september yang mulai membara
kalau ia tak menerpa pandangku
diterpanya kesadaran dan sajakku

1981


Tentang Angin

Angin datang dari mana-mana
dari pegunungan
dari lembah
dari samudera
dari benua-benua
dari pusat bumi
dari pintu langit
dari dunia makro
dari dunia mikro
dari neraka dan surga
dari diriku

adalah angin adalah kehidupan
yang menerbangkan kita
ke dunia gelap sana
yang mengantar kita
mandi cahaya

Adalah angin yang perkasa
yang meniup terpental pasak-pasak bumi
yang mengubah musim
yang menantang bulan
yang mengganti cuaca
dan menyaput matahari dengan jelaga
yang menebarkan api
mengeringkan lautan
memusnahkan sejarah manusia

Adalah angin adalah kehidupan
membelah hampa udara di pusat mikro
menyaring dan menguapkan sampah

Adalah angin adalah makhluk paling setia
menerima perintah yang menjadikannya
-      kun fa ya kun –
jadilah beterbangan
bermilyar ruh
yang setia dan tak setia
pada janjinya dan
yang tangannya mengacungkan api kesumat

Adalah angin adalah yang ramah
pada manusia
pada tumbuhan
pada gurun
Kita pun tak perlu takut kepadanya, sebab
adalah angin adalah kehidupan
yang menyusup dan memeluk kita
karena kita tak dapat menghindar padanya
di manapun, kapanpun

Angin adalah ayat-ayat tuhan
yang mengantar kita pada dua pilihan
perjalanan panjang yang gelisah
dan hidup paling azasi

Banjarmasin, 1986


Pelayaran

Pelayaran panjangkah yang kita ikrarkan
ataukah kita mencapai pelabuhan pertama
mencari cinta yang hilang di daratan?
Hari-hari memang memberikan pengalaman
yang telah jenuh
Tapi kita belum menemukan apa-apa
yang menjadi obsesi sepanjang tahun
sedang bintang-bintang malam ini
tampaknya sudah memberikan persiapan
memberikan arah pada pelayaran kita
yang makin panjang

1990


Surat kepada Fatima Cerik di Mostar, Bosnia-Herzegovina

Fatima,
Benarlah, 1992 adalah “annus horribilis”
Tahun yang baru kita lewati
Tahun yang memilukan hati
Tahun kekerasan
Tahun para korban berjatuhan
Tahun orang-orang melanggar zona kemanusiaan
Tahun orang-orang kehilangan kasih sayang
Tahun kritis orang-orang mempertahankan kehidupan
Tahun berbagai bencana diturunkan
Dari wilayah India, Thailand, Republik-Republik CIS, Los Angeles, Jermania
Somalia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Flores dan Palestina
Tapi manakala kutatap lanskap dunia
Ah, Bosnia-Herzegovina-lah paling nestapa

Telah kusaksikan lanskap negerimu, Fatima
Bumimu bergetar sepanjang siang, sepanjang malam
Gedung-gedung terbakar dan runtuh
Kota-kota utama Sarajevo, Gradacac dan Mostar tidak lagi utuh
juga perkampungan-perkampungan produk kehidupan
Ratapan perempuan terdengar di mana-mana
Tangis bayi dalam pangkuan minta keselamatan utama

Pengungsian besar-besaran dari orang-orang lapar dan kedinginan
adalah deretan panjang mereka yang terusir dari kampung halaman
Karena di sana tidak ditemukan lagi rasa aman
Di mana selalu terjadi siksaan dan perkosaan
Di sela peluru-peluru mortir yang selalu berjatuhan

Fatima Ceric, kusaksikan juga seorang gadis amat belia
Yang menangis di kuburan ayah bundanya
Yang meninggal kemarin malam
Yang wajah mereka hampir tak dikenal lagi
Ledakan maut meruntuhkan kediaman mereka
Ah, kuburan ini sebulan yang lalu adalah taman kota
Ketika masih damai ia jadi paru-paru dan simbol keindahan kota
Dan tempat anak-anak bersuka-ria
Namun kini menjelma jadi taman duka-cita dan air mata

Telah kutatap lanskap kota, Fatima sayang
Suatu kekejaman orang-orang Serbia
Yang melakukan pembersihan
Terhadap bangsa beradab dan beriman
Inilah tangan berdarah seorang penjahat perang
Slobodan Milosevic
Yang semakin berada di puncak kekuasaannya

Aku pun telah menyaksikan dalam kasyaf syu’urku
Sungaimu, sungai Drina airnya memerah darah
Dan mayat-mayat mengapung membeku
Siapakah pembuat kezaliman dengan hati yang membatu
Kalau bukan raksasa-raksasa yang haus darah:
Ratko Mladic, Zivota Ninkovic dan Radovan Karadzic
Atau si algojo Borislav Herac yang membantai ribuah putra Bosnia

Telah kusaksikan lewat bawah sadarku, tapi begitu transparan
Di sudut kota Mostar
Anak-anak terkapar
Perempuan-perempuan dan para gadis yang masih belia
Telah dibongkar kehormatannya
Dan telah dihancurkan masa depannya

Fatima Cerik, adikku yang malang
Engkaulah yang duduk menekur di kuburan taman kota itu
Ketika sesaat serdadu-serdadu Serbia
Mendinginkan mortir-mortir mereka
Engkau membaca ayat-ayat suci di atas kuburan yang diam
Dua kuburan bertanda bulan sabit dan bintang
Betapa engkau gadis yang malang
Telah kehilangan kasih sayang
Ah, begitu sunyi engkau dalam dunia yang tiri
Fatima, adikku yang begitu sendiri

Ketika aku menatap lanskap memilukan ini
Ketika aku tak sempat berpikir jauh tentang dirimu, Fatima
Tiba-tiba aku disentakkan getaran dahsyat di bagian timur negeriku
Oh, Tuhan, saudara-saudara di Flores ditimpa musibah besar
Bumi bergoyang
Dalam beberapa detik, meruntuhkan gedung-gedung dan rumah-rumah
Telah merenggut ribuan nyawa
Laut pun tiba-tiba menjelma gelombang pasang
Menyapu bersih pulau-pulau dan pantai

Saudara-saudaraku yang terluka sempat bertanya:
“Kiamatkah melanda alam semesta?”
Betapa kecil manusia
Betapa tak berdaya kita semua
Bila bencana yang datang tiba-tiba
Menghancurkan Maumere, menyapu pulau Babi,
Memporak-porandakan Wuring dan Magik Panda
Berpuluh ribu saudaraku kehilangan rumah dan sumber kehidupannya

Seorang ibu menangis di bawah tenda
“Buat apa memotret saya,” katanya kepada seorang wartawan
“Saya sudah tidak punya apa-apa lagi,” katanya lagi dan tersedu

Ketika beberapa saat gelombang pasang telah berlalu
Seorang anak kecil memelas, minta tolong kepada ayahnya:
“Papa, saya di sini. Saya terjepit… Saya terluka…”
Sarkati si gadis kecil amat memelas, ketika air laut masih mengurungnya
Ia kehilangan ibu dan kakak-kakaknya

Adalah tanda-tanda Tuhan telah ditunjukkan, wahai Fatima
Ketika duaribu korban yang tewas dan hilang
Seorang bayi di atas kasur mengapung di lautan
Dengan tubuh berlumpur dan punggung terluka
Ia masih bernafas ketika dihempaskan ombak di pantai
Ia bayi misteri dan sebatang kara
Christina, kemudian ia diberi nama

Fatima Ceric, adikku. Cerita tentang Christina dan Sarkati
Mengingatkan aku pada seorang bocah enam tahun di Sarajevo
Menghadapi mayat kedua ibu bapa dan kakak-kakaknya
yang ditimpa reruntuhan rumah mereka
Ah, Bosniaku dan Floresku
Telah menampilkan lanskap yang nestapa
Bosniamu karena kekejaman orang-orang yang melanggar zona kemanusiaan
Floresku karena bencana yang amat tiba-tiba datangnya
Tapi keduanya telah banyak merenggut kehidupan
Yang amat dramatik dan memilukan
Kami harus menjadi bapa dari sekian anak-anak Flores
Demi masa depan mereka dan demi Indonesiaku
Kami segera membangun kembali reruntuhan dan sarana kehidupan
Namun aku masih mau menerima kau dan anak-anak Bosnia
yang juga tidak memiliki apa-apa

Wahai Fatima Ceric yang malang
Aku masih yakin, Tuhan akan menurunkan tangan-Nya
Meskipun kau tak memiliki apa-apa
Tapi kau tak kehilangan iman, kemerdekaan dan simpatiku

Banjarmasin, 1992/1993


Tentang Hijaz Yamani
Hijaz Yamani lahir di Banjarmasin, 23 Maret 1933. Meninggal, (?). Menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1954. Juga menulis naskah drama, esai sastra dan budaya. Puisinya pernah dimuat di Mimbar Indonesia, Budaya, Siasat, Mimbar, Budaya Jaya, Horison, dan Bahana (Brunei Darussalam), disamping media-media lokal. Juga dimuat dalam antologi bersama: Panorama (1974), Pesta Seni (DKJ, 1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975), Puisi ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrut Khatulistiwa (Arpenda, Yogya, 1984) dan Tonggak II, ed. Linus Suryadi AG (Gramedia, 1987). Kumpulan Puisinya: Tanah Huma (Pustaka Jaya, 1978) bersama D. Zauhidhie dan Yustan Aziddin. Tahun 1975, ia menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel.


Hal Lain
Hijaz Yamani, yang merupakan ayahanda penyair Micky Hidayat ini, puluhan tahun mengasuh Ruang Untaian Mutiara Sekitar ilmu dan Seni, ruang Sastra dan Budaya pada RRI Nusantara III Banjarmasin. Penyair-penyair senior Kalsel saat ini, selalu mengenangnya dengan penuh nostalgia. Ruang itu, saya kira, pernah menjadi barometer sastra di Kalsel berdampingan dengan ruang “Dahaga” Banjarmasin Post. Saat itu, puisi memang sedang jaya-jayanya. Penulis-penulis cerpen belum akan diakui sebagai “sastrawan” sebelum menulis puisi. Namanya juga akan terlewatkan dalam setiap pencatatan. Kejadian malang itulah yang menimpa Sandi Firly. Hehehe. Puluhan kali mempublikasikan cerpen di Koran, namanya tetap dianggap sepi. Barangkali menulis cerpen dianggap seperti tukang kisah saja dalam tradisi lisan. Dianggap banyak membual/mahalabiu dan bamarista-maristaan (bersedih-sedih), belum “nyastra”.   
Secara sosial kemasyarakatan, posisi Hijaz juga cukup berpengaruh. Ia merupakan salah satu pendiri GP. Ansor Banjarmasin tahun 1951. Pernah menjadi ketua PC NU dan DPC PPP kota Banjarmasin, wakil ketua DPW PPP Kalsel. Sejak 1971 sd. 1992 menjadi anggota DPRD II Kota Banjarmasin dan menjadi wakil ketua di lembaga legislatif tersebut selama 3 periode (1977 sd. 1992). Terakhir menjadi Anggota DPRD I Kalsel periode 1992-1997. Belum terhitung kedudukannya di lembaga-lembaga kesenian, seperti HIMSI (Himpunan Sastrawan Indonesia) Kalimantan Selatan.
Saya tidak pernah bertemu atau mengenal penyair ini secara pribadi, tapi dengan anaknya pernah :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar