Kamis, 05 Juli 2012

Afrizal Malna: ARSITEKTUR HUJAN


Data buku kumpulan puisi

Judul  : Arsitektur Hujan, Empat Kumpulan Sajak Afrizal Malna
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, November 1995
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tebal : xiii + 98 halaman (53 puisi)
ISBN : 979-8793-06-4
Disain cover : Erik Prasetya, berdasarkan Instalasi dari Agus Suwage

Beberapa pilihan puisi Afrizal Malna dalam Arsitektur Hujan

Chanel OO

Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman

Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

1983



Kebiasaan Kecil Makan Coklat

Aku tak suka kakimu berbunyi.”
Ini coklat, seperti cintaku padamu.”

James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat  di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.

Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni  peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan  kecil seperti itu.

Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.

Ini coklat untukmu.

Jangan mengenang diri seperti itu.

1994



Warisan Kita

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.

Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.

Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, to-  piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau

1989


Masyarakat Rosa

Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.

Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi se-  jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.

Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka.   Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang  selalu baru.

Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.

Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera  dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.

Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki   itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen  karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.

1989   


Lembu yang Berjalan

Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.

1984


Mitos-mitos Kecemasan

Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis    di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.

Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah  pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.

Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.

1985


Migrasi dari Kamar Mandi

Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke- matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.

Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka-   longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.

Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.

1993


Gadis Kita

O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja-  ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.

1985


Buku Harian dari Gurindam Duabelas

Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.”  Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di    situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.

Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau  seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam  seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” ... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.

Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.

1993


Asia Membaca

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi  dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka  pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain  lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

1985   


Tentang Afrizal Malna
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun, Afrizal Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).
Hal Lain
Buku Arsitektur Hujan, yang diimbuhi dengan Empat kumpulan sajak Afrizal Malna ini, seperti dikabarkan di halaman terakhir, “merupakan koleksi dari kerja kepenyairan Afrizal yang ketat terhadap empat kumpulan puisinya. Sebagian pernah terbit, dan mengalami banyak revisi. Inilah puisi-puisi yang dihasilkannya selama hampir 15 tahun.” Ya, kumpulan itu meliputi Narasi dari Semangka dan Sepatu (25 puisi), Yang Berdiam dalam Mikropon (11 puisi), Mitos-mitos Kecemasan (12 puisi), dan Membaca Kembali Dada (5 puisi). Yang unik dari buku kumpulan puisi ini, yang belum saya temukan di buku puisi yang lain, adalah adanya indeks puisi. Kalau daftar baris pertama puisi sudah ada beberapa yang saya temui. Indeks Puisi Afrizal memakan halaman dari 67 sd 96, jadi ada sekitar 30 halaman tersendiri. Contoh, kata Belajar ada di halaman 3, 12, 16, 34, 49, 50, 56, 61 atau kata Angin ada di halaman 20, 48, 64, 65.   
            Mayoritas puisi dalam kumpulan ini menggunakan pola tulis rata kiri-kanan. Dari 53 puisi itu, hanya dua yang tidak, yaitu puisi Dia Hanya Dada (hlm. 61) dan Chanel OO (hlm. 63). Saya juga baru ngeh, kalau ada satu puisinya yang tenggelam di alam bawah sadar saya. Sewaktu kuliah di Jogja, saya antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga, pernah mendengar sebuah puisi dibahas dan dibacakan lewat radio kecil saya. Puisi itu berkata: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku,....dst. Tak tahu saya siapa penulisnya, apalagi judulnya, namun puisi itu terus membekas di benak saya. Bertahun-tahun saya mengira itu puisi Taufik Ismail, karena kesederhanaannya. Ternyata milik orang ini.
            Menghadirkan puisi Afrizal, bagi saya pribadi, tergolong yang paling berat. Saya didera, semacam lengan yang dikasih pemberat, hingga butuh tenaga ekstra untuk untuk menuliskannya lagi. Metafor-metafor yang berloncatan, gerumbulan kata yang secara visual penuh memenuhi halaman buku: saya seperti kurang leluasa bernafas. Tapi itulah puisi. Ia begitu mempermainkan penyair dan pembacanya sekaligus. Hehe.   
Tema puisi Afrizal Malna yang menonjol adalah pelukisan dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi objek-objek itulah yang menciptakan nuansa dan gaya puitiknya. Demikian Wikipedia Indonesia mengutip dari buku Barbara Hatley. ”Nation, ‘Tradition’, and Constructions of the Feminine in Modern Indonesian Literature,” pada Imagining Indonesia, ed. J. Schiller and B. Martin Schiller, hlm 93, (yang ternyata juga) dikutip dari Aveling, Harry. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (diterjemahkan dari Secrets Need Words, Indonesian Poetry 1966-1998 oleh Wikan Satriati), IndonesiaTera, 2003.
            Buku ini dibeli oleh Almarhum Eza Thabry Husano pada 27 Juli 1996 di Gramedia dengan harga Rp. 7.550,- Dan bulan Juli tahun 2012, 16 tahun kemudian, saya mengusiknya dari rak buku untuk dihadirkan di sini. Ini kesempatan pertama saya membolak-balik dan membaca buku puisi Afrizal, di rumah saya hanya punya kumpulan esainya: Sesuatu Indonesia. Jadi apalagi selain, selamat menikmati.  
              Oya, saya juga kesulitan mengaplikasikan margin kiri kanan sebagaimana di buku. Akhirnya pemotongan/pemenggalan baris puisi tidak sama dengan di buku, jadi hanya demi mengambil praktis dan pokoknya saja: yaitu puisi yang menolak bait dengan penulisan yang rata kiri-kanan.

3 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya, untuk menambah koleksi buku-buku sastra kunjungi web kami di www.golekbuku.wordpress.com

    BalasHapus
  2. Dan memang kita sengal nafas membacanya. Pikiran dipaksa buntu namun ada magis yang menyerang untuk membacanya. Saya ada di rahim ibu tak ada anjing. Sampai hari ini masih sengal nyaris engga bisa nafas membacanya.

    BalasHapus
  3. terima kasih banyak kak. dengan usaha kakak ini, saya bisa mempelajari dan menikmati puisi puisi legendaris yang bukunya agak sulit dicari sekarang ini :)

    BalasHapus